Cinta dan Sebatang Rokok 1

Cinta dan Sebatang Rokok

“Belum tidur?”

Aku sampai menjatuhkan korek api dari tanganku. Tak kusangka Nenek masih terjaga. Ini sudah lewat satu jam dari tengah malam. Cepat kusembunyikan rokok di tangan kiriku. “Eh, belum.” Aku menggeleng. Memaksakan tersenyum. Nenek balas tersenyum. Sama sekali tidak terpaksa kelihatannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pundakku. Aku tak berani memperkirakan maksudnya.

Aku memilih untuk tinggal bersama dengan Nenek daripada harus memilih antara Ayah atau Ibu ketika mereka bercerai. Kakek sudah lama meninggal, satu hal yang kutahu sejak kecil, ia adalah perokok berat.

Dan aku tahu Nenek tidak akan suka jika aku merokok.

Tapi bagaimana lagi, pikiranku kacau. Aku merasakan merokok dapat menenangkanku. Tidak banyak. Tapi membantu paling tidak. Semenjak itu aku biasa merokok jika sedang gundah.

Aku sudah siap jika Nenek akan marah.

Tapi ia tak kunjung membuka suara. Sudut mataku menangkap ia malah duduk dengan tenang di kursi sudut. Memang tempat kesukaannya. Tangannya membuka laci lemari kecil yang terletak di samping kursi, mengambil rajutan.

Aku makin serba salah.

“Bagaimana kuliah?”

Akhirnya.

Aku berpaling padanya. Mencari-cari jejak kemarahan pada wajahnya. Gagal total. “Biasa saja.” Aku mengangguk-angguk kecil. “Tidak ada yang istimewa.”

Aku memperbaiki posisi bersandarku.

Sunyi.

Hanya bisa kudengar Nenek menggumamkan lagu. Tak bisa kupastikan nadanya.

“Nenek sendiri, kenapa belum tidur?” kuputar arah dudukku. Menghadap padanya. Tidak nyaman sekali jika berada dalam posisi sedang diawasi.

Ia mengangkat wajah dari kedua tangannya yang terus bergerak lincah seakan telah terprogram otomatis untuk terus merajut. “Aku tidak bisa tidur.”

Nenek dulu seorang dosen bahasa. Ia merasa nyaman berbicara tanpa harus memandang umur seseorang. Aku sendiri sudah terbiasa dengan kelugasannya. Kupandangi ia yang kembali tenggelam dalam rajutannya.

“Aku memang belum bilang kalau aku merokok.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa persiapan.

Nenek mengangkat wajahnya. Berhenti merajut. Kurasa ia juga tidak siap mendengar pengakuanku. Matanya sedikit membesar.

“Aku hanya sesekali merokok.” Kali ini kupilih kataku dengan cermat. “Memang tidak bisa dibenarkan juga. Aku minta maaf.”

Aku dapat melihat air muka wanita di depanku itu berubah. Untuk wanita seusianya, aku kagum melihatnya masih dapat mengekspresikan segala emosi hanya dari sedikit kerutan di dahi atau tarikan bibir. Ia tak memerlukan banyak kata untuk sekedar bicara. Lama kami saling menatap. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memandang lantai marmer kecoklatan di bawah kakiku. Lalu menatap langit di seberang wajahku.

Malam hampir sempurna dengan pekatnya. Langit hitam legam dengan sebaran bintang-bintang mengeriap di tepiannya sebagai renda. Bulan bertahta agung dengan kemilau keperakan, menggantung; sejumput awan lalu lalang melintas, namun tetap tak mampu menutupi. Ia purnama malam ini.

“Kau tahu aku punya banyak cerita tentang rokok.”

Kualihkan pandangan ke arah Nenek. Mengangguk. “Nenek banyak bercerita tentang Kakek.”

Ia tersenyum. Menarik nafas. “Aku sedang di tahun terakhir saat itu. Menulis tugas akhir.” Satu helaan nafas dalam yang tak biasa.”Berusaha menulis tugas akhir tepatnya.”

Suaranya terdengar jelas dalam hening begini. Aku diam.

*****

Aku punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas akhir itu. Berkali-kali kuulang kalimat itu di kepalaku. Sepanjang hari. Bahkan sampai menempelkannya di dinding kamar. Pintu tiap ruangan. Pintu kamar mandi tak luput, hanya saja kertas itu tak bertahan lama karena tersiram air saat seseorang terlalu bersemangat untuk mandi.

Tinggal di asrama sama sekali tidak membantu. Saat kurasakan mendapatkan seuntai kalimat yang akan kutulis, ketukan di pintu ataupun suara langkah berlarian di lorong akan dengan mudah membuyarkan konsentrasi dan tinggallah aku mengumpat kesal dalam ketidakpastian.

Kuputuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Harus. Dosen pembimbingku sudah memberi peringatan bahwa deadline kali ini bukan main-main. Ia ingin aku seserius mungkin. Katanya aku punya kemampuan yang jauh lebih cukup dari sekedar menulis ulang kalimat-kalimat tugas akhir milik senior yang berserakan di perpustakaan.

Maka sore itu, aku sengaja keluar asrama. Tanpa tujuan. Saat akhirnya memarkir skuter di sebuah kafe di pinggiran taman kota, alasan laparlah yang lebih memaksa. Saat itulah aku melihatnya.

Ia duduk tepat di seberang mejaku, di sudut kafe. Berusaha menyalakan rokoknya.

Gerakannya canggung sekali. Kurasa bisa saja ia membakar sebagian bulu hidungnya saat itu. Takkan pernah bisa kulupa saat pertama itu. Setelah rokoknya menyala, ia tersenyum puas. Meletakkan di asbak.

Tanpa sadar aku memperhatikan.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan buku dari dalam tas yang tersampir di kursi. Mencabut pena dari balik saku kemeja. Lalu menulis.

Aku hampir terpekik saat pelayan kafe menanyakan pesananku. Aku rasa aku terlalu serius memperhatikan lelaki di seberangku hingga tak sadar sudah ditanyai akan memesan apa. Aku tidak ingat memesan apa saat itu. Yang kuinginkan adalah pelayan itu segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Wajah itu seteduh telaga di subuh hari yang diselimuti kabut. Asap rokok yang berputar-putar menguatkan efek itu.

Tuhan. Aku rasa aku bisa tenggelam di sana.

Lagi-lagi pelayan itu mengagetkanku. Aku rasa aku jadi sedikit kesal. Sama sekali tidak ingat apa yang kukatakan padanya, namun seperti yang sudah kubilang, aku ingin ia segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Atau diamati.

Lelaki itu ternyata sedang memandangiku. Badanku langsung panas-dingin.

Lalu seakan-akan semua menepi. Tinggal kami.

*****

Besoknya aku datang lagi. Kali ini dengan debaran jantung yang tak terkira iramanya. Skuter hampir rebah karena aku lupa memarkirnya dengan benar.

Sayang sekali, tempat dudukku kemarin sudah terisi. Rasa kecewa langsung menyelimuti. Tapi mungkin itu sudah dirancang oleh Allah.

Ia, masih di tempat yang sama. Sendirian.

Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menyeret sepasang kakiku yang tiba-tiba seberat puluhan kilogram, lalu untuk tidak jatuh lunglai saat akhirnya sampai di mejanya. Ia mengangkat wajah dari buku tulisnya.

Tuhan. Kau telah memperlihatkan aku surga.

Sama sekali tidak ingat apa yang ia katakan.

Yang kuingat adalah aku duduk di depannya. Berusaha untuk tidak terlihat gemetar saat mengeluarkan tumpukan kertas coretan tugas akhir yang selalu kubawa kemana-mana. Berusaha untuk tidak bergaduh karena kini ia kembali menekuni tulisannya.

Sepanjang sore itu, kami bersama. Tidak saling bicara. Tidak saling menyapa. Sampai aku menyadari sesuatu yang ganjil.

Ia sama sekali tidak menghisap rokoknya.

*****

Kekakuannya saat menyulut rokok semakin kentara karena kini jarak yang memisahkan kami hanya setengah depa. Aku bisa memastikan kalau ia gemetar.

“Bisa kubantu?” tanpa sadar aku memuntahkan kalimat itu.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Menampilkan deretan gigi putih rapi berjejer. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya.

“Kau bukan perokok.” Cetusku. Aku mengernyitkan kening saat ia tertawa kecil.

Ia menggeleng. Rokoknya telah menyala dan ia meletakkannya di dalam asbak yang kini hampir penuh dengan abu. Hati-hati sekali. Ia menaruhnya di sana, memastikannya tidak mati.

“Lalu?” tak sabar. Aku menyadari nada suaraku sedikit meninggi.

Kembali ia tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. Ia meletakkan pena di atas buku, membentangkan kedua tangannya ke samping dan berusaha untuk tidak terlihat sedang menggeliat. Matanya beralih ke jam di pergelangan tangannya.

“Kita sudah hampir empat jam di sini. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.” Ucapnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.

Kurasa aku mengerti rasanya mabuk.

Sore itu, kurasa, dan kupastikan, aku telah jatuh cinta.

*****

“Aku sedang dikejar jadwal. Menulis buku.”

“Aku juga begitu.” Kurasakan kesadaran makin menguasaiku setelah kami saling mengenal. Lambat laun suasana mencair dan aku bahkan bisa bercanda padanya. Menanyakan berapa kali ia membakar jarinya sendiri saat akan membakar rokok. “Lalu, apa mereka punya arti?”

Kami saling memandang.

“Aku bukan orang yang baik dalam mengatur waktu. Seringkali semuanya lewat begitu saja. Jam. Hari. Pekan. Sama sekali tidak terasa. Sementara tiba-tiba semuanya harus selesai dalam satu kedipan mata. Lalu suatu hari, tidak perlu kujelaskan aku mendapat ide dari mana, kucoba untuk merokok. Kau tahu, orang-orang melakukannya. Merokok. Memperlambat waktu barang sedetik.

Tapi aku gagal pada hisapan pertama. Kurasa itu tawa terbesarku dalam beberapa tahun terakhir. Aku memandangi saja rokok di tanganku yang terus terbakar. Jika ia mati, kunyalakan lagi, sampai akhirnya ia benar-benar habis. Lalu aku tersadar bahwa aku telah melewatkan hampir satu jam untuk sekedar membakar dan mengamati asapnya.

Aku membakarnya lagi, kali ini seperti yang kulakukan sekarang. Menaruhnya di asbak. Memastikannya tidak mati. Ajaib. Konsentrasiku kembali dan aku bisa menulis. Tidak, bukan rokok yang membuatku menulis. Kurasa aku menyadari bahwa waktu perlahan habis, seperti batang rokok di depanku, yang terus terbakar. Mungkin jika aku mencobanya pertama kali dengan lilin, kita sekarang akan duduk dengan sebatang lilin yang terus menyala.”

Aku memiringkan wajah, menopangnya dengan punggung tangan. Mengangguk pelan. Berusaha mencerna setiap kata dalam kalimatnya.

Besoknya kami berjanji untuk kembali bersama.

*****

Masih tersisa dua hari dari deadline ketika tugas akhirku selesai. Ia banyak membantuku, memberi masukan. Lelaki yang benar-benar pintar. Kurasa aku bisa bicara padanya tentang apa saja. Aku ingat saat kami saling bersandar. Di kursi masing-masing. Puas setelah selesai menulis. Ia dengan bukunya. Aku dengan tugasku.

“Jadi, apa yang akan kaulakukan setelah ini?”

Aku tergagap. Tak menyangka ia akan bertanya seperti itu. “Ah. Pertanyaan yang sulit. Kurasa aku…”

“Tidak ingin menikah?”

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Sama sekali tidak siap. Ia tersenyum lebar. Aku buru-buru menjawab. “Belum. Aku belum memikirkannya.”

Lalu kami saling diam. Tiba-tiba saja, seperti ada benteng yang memisahkan kami. Tiba-tiba saja, aku merasa kami berdua menjauh. Kulihat ia melirik jam tangannya.

“Sudah siap untuk pulang?”

Aku tak tahu telah menjawab apa.

“Besok kita bertemu lagi kan? Ada yang ingin kutunjukkan.” Lalu ia berlalu setelah mematikan rokok di asbak.

Untuk pertama kali pula, aku ketakutan. Tanpa sebab.

*****

Aku tidak bisa tidur. Tidak sepicing pun. Kupandangi jarum jam di dinding yang terus berputar, melompat-lompat dari satu angka ke angka lainnya. Sepanjang malam begitu.

Di pagi hari teman dari kamar sebelah menyampaikan pesan. Dosen pembimbingku ingin aku menemuinya hari itu juga. Maju lebih awal sehari dari jadwal asli. Ya, kurasa kini ketakutanku beralasan.

Panik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menjumpai dosen pembimbingku dengan kepala dan hati hampa. Kuserahkan tugas akhirku padanya. Menjelaskan beberapa ratus lembar hasil kerjaku seperti yang selama ini ia minta. Saat akhirnya ia menyalamiku, kurasakan air mataku mengalir.

Ia tersenyum lebar. Aku tahu ia menyangka aku terharu.

Padahal aku menangis karena kehabisan waktu.

Sudah malam saat aku sampai di kafe. Ya. Benar sekali.

Asbak itu penuh abu dan batang rokok yang sudah berhenti menyala.

Ia tidak di sana.

*****

 “Apa maksud Nenek?” aku terpana.

“Kita sering terlalaikan oleh waktu. Datang dan pergi. Silih berganti. Siang. Malam. Semua berjalan teratur sekali. Ketika malam berakhir kita akan berharap dihampiri pagi.” Nenek mengalihkan wajah padaku. “Aku sama sekali tidak pernah menanyakan tentangnya. Dari mana ia berasal. Bahkan aku tidak tahu buku apa yang sedang ia tulis. Kurasa, aku terlarut dalam perasaanku sendiri. Terlanjur percaya diri bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kami.”

“Ia bukan Kakek?” suaraku meninggi.

Nenek tersenyum. Menatapku lama. “Tentu saja bukan.” Ia kemudian membuka laci di sampingnya. Memasukkan hasil rajutannya. Lalu mendekatiku. Memandangi bulan yang ada di seberang kami berdua.

“Aku sudah akan tidur.” Katanya.

Ia sudah sampai ke pintu saat berbalik. “Kau selalu boleh bercerita padaku. Kau tahu benar itu.”

Lama setelah pintu itu tertutup, aku baru mengangguk pelan. Ya, aku tahu benar itu.

***** selesai *****

Author: Harun Malaia

Tinggalkan Balasan