Pertemuan di Kereta 1

Pertemuan di Kereta

“Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu—sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan—, kuharap tekadmu sudah benar-benar bulat, Nak. Dan waktumu tak panjang, jangan berlama-lama di sana,” kecemasan memenuhi air mukanya.

Aku menelan ludah. Panik mulai memenuhi benak.

Kurasakan sensasi aneh mencair di mulutku. 

Aku tak sempat untuk berubah pikiran—bahkan sekiranya ingin—karena sesuatu tiba-tiba menarik rambutku naik ke atas dan aku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air di bawah kota yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.

Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ouk yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Aku meringkuk rapat-rapat, sampai kurasakan kereta yang kutumpangi berhenti. 

Membuka mata, aku melirik sekeliling. Tidak terlihat lagi wajah Nenek Perta. Serta aroma apak dinding ruang tamunya yang menurutku mengandung racun. 

Aku terbatuk pelan. 

Langkah pertama berhasil.

Sekarang yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.

Yang sepertinya tidak akan mudah. 

Nenek Perta sialan. 

Dari sekian banyak peron pemberhentian, penyihir tua renta itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. 

Sempurna. 

Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah—pada akhirnya mantra Tulang Lunak terpakai juga. Seorang kakek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan (setelah kupikirkan lagi, dia mungkin seorang pengemis yang sempat mengira aku adalah tetesan jeli hijau-lumut yang bisa dimakan). 

“Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?” Dia menyapa ramah.

Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. 

Astaga, tempat ini cool sekali (dalam artian sebenarnya dan kiasan), pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Buru-buru aku ke kamar mandi dan merapikan diri.

Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural (di tahun ini!) daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat, kugenggam sudut perkamennya erat-erat. Kehilangan barang itu bisa berarti mati.

Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus yang berbuah panjang-panjang berwarna ungu-biru, buah itu menjuntai panjang hampir dua meter dari tangkainya menempel. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.

Teler karena Buah Sulur Jembalang adalah pilihan yang sangat manusiawi. Aku mendengus pelan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.

Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.

“Bisa bicara?”

Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan dia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian tongkat berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” ulangnya dengan membelalak.

“Ibu; dia ingin aku—maksudku, kau,” aku sedikit tak terbiasa melihat riasan di matanya,”menghindari naik gerbong yang biasa kau tumpangi. Pilih saja gerbong lansia. Atau para guru.”

“Gerbong lansia banyak pelecehan seksual. Kau tak mau tahu apa isi koran belakangan.”

“Kalau begitu para guru.”

“Apa kau sudah gila?!” Wajahnya tampak khawatir, memandang sekitar dengan nanar. “Sebenarnya ada apa kau datang? Kau tahu berisiko sekali bepergian ke masa depan.”

Aku berdeham. Hampir saja aku lupa dengan risiko itu. Kudekatkan wajah ke telinganya (astaga, aku menindik telingaku sebanyak tujuh lubang?), “Ada pria yang akan jadi suamimu di sana,—dan apa yang kaulakukan dengan hidungmu? Kau mengoperasinya?”

Wanita itu spontan menjengit. “Siapa yang bilang?”

Aku memutar bola mata. “Ibu. Dengarkan aku: dia-melarangmu-naik-gerbong-yang-biasa-kau-tumpangi,” aku mengulang pesan dengan sedikit tak sabaran. 

“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”

Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”

“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu Ibu benci rambut merah.”

“Mengingatkannya pada Ayah yang pemabuk. Bagaimana Ibu tahu hal seperti ini?”

Aku mengibaskan tangan. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan. Dan ada banyak hal lagi yang jadi ceracaunya belakangan ini. Hindari rambut merah itu, dan hidupmu akan baik-baik saja, begitu katanya.”

Wanita itu menghela napas. “Aku tak ingat itu. Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya. Bertepatan dengan lolongan kereta yang mendekat. 

“Keretaku datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”

Aku mengangguk cepat. Kurogoh saku jubah, mencari permen mint yang sudah dimantrai oleh Nenek Perta. “Jaga diri!” teriakku pada wanita itu persis sebelum permen itu meledak di dalam mulutku (secara harfiah!) dan merasakan sensasi tersedot yang sama seperti sebelumnya.

Kali ini gerbong pengembalianku tak berterali, lebih empuk dan wangi biji bunga matahari. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. 

Oh, Demi-Tanduk-Kelabang! 

Kurasa hidungku patah. 

Perlahan aku mengeluarkan saputangan, menyumpal darah yang mulai menetes.

Wow. Sepertinya kau butuh dokter.”

Suara itu mengagetkanku, sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki bertopi jerami sedang memandangiku takjub. Mata hijaunya berkilauan. “Kau tampak—biru. Tersesat?”

Aku menggeleng pelan, memeriksa sekujur tubuh—selain hidung, aku tak kurang satu apapun. Bangkit berdiri, aku bertanya pada anak itu, sepertinya kami seumuran. “Hei, sekarang tahun berapa?” 

Anak laki-laki itu menjawab pelan, dia mengulurkan tambahan sapu tangan dari saku jubahnya. “Kau yakin tidak perlu ke dokter? Ayahku punya penyembuh yang bagus.”

Tidak. Uang dan tabunganku telah habis untuk membayar Nenek Petra. 

Aku menggeleng yakin, meski kini kurasakan pandanganku agak mengabur dan sulit bernapas. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” 

Anak laki-laki itu mengangkat bahu, “Terserah kau saja.” 

Kulepas sapu tangan dari hidungku. Darahnya sudah berhenti. 

“Kau seperti nenek sihir,” anak itu terkekeh. Menunjuk pada hidungku yang bengkok tak wajar. 

Berdecak kesal, aku mendorongnya, mengintip keluar kereta yang sedang berjalan—perpindahan hanya bisa dilakukan pada objek yang sedang bergerak cepat. “Apakah ini gerbongmu?”

Kembali dia mengangkat bahu, “Menurutmu?” 

Aku berpaling padanya. Menyewa satu gerbong sendirian? Anak orang kaya yang mulutnya pedas sekali. 

Sekelabat sinar matahari masuk dan menyinari gerbong, kembali aku mengintip keluar jendela. Padang Rusa Merah, sebentar lagi aku akan sampai di rumah. 

“Kau habis bepergian?” Anak itu ikut bertumpu di jendela. 

Aku meliriknya, “Menurutmu?”

Dia terkekeh, dengan susah payah dia mengangkat tepian kaca yang berat, “Bantu aku.”

Bersungut-sungut, aku tetap ikut mengungkitnya. Berat sekali, sepertinya tidak pernah ada yang repot-repot meminyaki jendela ini. 

Berhasil! 

Kaca itu mengayun naik dengan derak terpaksa, mengizinkan gerombolan angin sore sabana yang keras menghempas masuk. Aku tertawa saat melihat topi jerami anak itu disambar angin kencang lalu terbang keluar gerbong. 

“Hei…!” sudah terlambat untuk mengucap mantra pemanggil. 

Aku masih terkekeh, “Kau harus merelakannya.” 

Kali ini sinar matahari benar-benar masuk gerbong secara merata. 

Senyumku lenyap. 

Anak laki-laki itu masih mencebik, mengusap-ngusap rambutnya yang berkibar berantakan. 

Rambut merah itu.

*****

Author: Harun Malaia

4 thoughts on “Pertemuan di Kereta

  1. … dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan), ??? “aku menangkap sendiri buayanya”. Ku ulang2 sampai sadar ….

  2. Hahhaha aku juga ga ngerti ?
    Belum selesai bacanya, baru nyampe sana karena terus ngulang baca bagian “Aku menangkap sendri buayanya” Sambil ketawa daaan akhirnya ketemu deh candaannya.. Ngerti ga? Aah pasti ngga, ?

Tinggalkan Balasan