You are currently viewing perempuan gila dan bayinya yang berusia seminggu

perempuan gila dan bayinya yang berusia seminggu

Aku mencintai perempuan gila itu. Perkara itu sudah jelas. Apakah dia membalas perasaanku, tak pernah diketahui. Tak akan pernah.

Karena kini dia sudah mati.

Seorang pengendara mabuk menabraknya saat dia hendak menyeberang jalan. Perempuan itu mati seketika. Peruntungan yang membuat banyak orang ternganga.

Aku juga ternganga.

Terlebih dengan seorang bayi berusia seminggu yang menangis kelaparan dalam pangkuan. Bayi perempuan itu.

Jika dia sedang tak begitu gila, perempuan itu memang cukup pintar untuk sekedar membuat seseorang tertarik pada tutur katanya. Didukung dengan wajah yang manis — dan tentunya peruntungan yang buruk —, seseorang terpesona dan berhasil memperkosanya.

Lalu meninggalkannya begitu saja di tepi jalan.

Jika sebelumnya perempuan itu masih punya sisa kewarasan, maka kejadian tragis itu pasti telah menghapusnya.

Aku bisa melihatnya.

Dalam kunjungan rutin sebelumnya, —perempuan itu adalah pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa tempatku bekerja— meski sendu, masih tampak binar di bola matanya. Setelah kejadian tragis itu, cahayanya padam.

Duduk di ruang tunggu, perempuan itu hanya membisu, merabai perutnya. Mungkin dia tahu kalau dia hamil, bahkan sebelum tes kehamilan memastikannya.

Bajingan itu punya sperma yang gesit sekali.

Maka perempuan itu dijadikan pasien rawat inap, dengan ruangan terpisah dari pasien jiwa lainnya.

Aku lumayan sering memperhatikannya.

Yang membuatku tertarik, seiring membesarnya perutnya, kembali pula kewarasannya. Beberapa minggu sebelum melahirkan, hampir semua orang bahkan yakin dia telah sembuh total. Badannya sintal membengkak, pipinya membulat seperti bakpao, dan senyumnya lebar pada semua orang, sampai anjing pengorek tong sampah yang sering berkeliaran di pekarangan rumah sakit jiwa, tak lupa dia sedekahi dengan senyuman.

Aku ingat, pertama kali meyakini mencintainya, saat melihat senyum itu.

Pekan berganti. Bulan menjelang. Hari persalinannya pun datang, sang bayi disambut dengan sukacita. Untuk sekali waktu yang jarang, rumah sakit jiwa bergembira bukan karena seorang pasien pulang membawa serta kembali kewarasannya.

Bayi mungil itu manis sekali, untunglah tak pernah ada beda yang nyata antara bayi hasil hubungan gelap dan terang. Bayi yang terberkati. Semua orang tahu, tak pernah ada bayi yang terlahir gila. Semua orang berdoa agar peruntungan bayi itu baik, bahkan jika sedikit saja lebih baik daripada ibunya, itu sudah dianggap benar-benar mujur.

Tetapi malang — bagi perempuan itu, begitu keluar isi perutnya, hilang juga aliran listrik otaknya. Mata perempuan itu kembali redup.

Meski begitu dia masih menerima bayinya. Disusuinya sambil sesekali cekikikan. Mungkin kegelian.

Kunjungan rutin berikutnya, aku sedang menyapu seperti biasa saat dokter jiwa datang. Keluar ruangan, wajah suram dokter itu memastikan dugaanku bahwa perempuan itu memang kembali gila. Muncul rencana memindahkan bayinya ke bangsal perawatan lain, untuk memastikan keselamatannya.

Yang terbaik untuk bayinya. Sekarang itu prioritas.

Perempuan itu tentu tak peduli. Dia asyik memilin-milin ujung rambutnya sambil duduk di sudut tempat tidur. Bagian depan bajunya basah.

Dia melihatku sedang bekerja, bangkit dari tempat tidur lalu berjalan mendekat, memanggilku dengan lambaian tangannya.

Aku bertanya, “Kau mau apa?”

Perempuan itu menunjuk boks berisi bayinya.

Yang pertama kali muncul dalam benakku adalah dugaan bahwa anaknya mati dan dia ingin aku menolongnya. Segera aku mengambil kunci serep ruangan dan membukanya. Namun ternyata bayinya baik-baik saja.

Seorang perawat ruangan yang sebelumnya tak kusadari keberadaannya karena mungkin dia sedang di kamar mandi menegurku dan menyuruhku keluar.

“Segera selesaikan pekerjaanmu. Jangan ganggu bayi itu!”

Aku keluar dengan bersungut. Niat baik memang tak selalu mendapat tanggapan serupa. Segera kukemasi sapu dan peralatan kebersihanku. Pergi menjauh.

Namun suara cekikikan di belakangku beberapa saat kemudian membuatku berpaling. Perawat ruangan itu pasti sedang mencret sehingga masuk lagi ke kamar mandi tetapi lupa mengunci pintu ruangan perawatan.

Perempuan gila itu mengikik keluar sambil memeluk bayinya. Aku sigap menyongsongnya karena dia menggendong anaknya bagai seonggok cucian kotor; kepala bayi itu terjuntai-juntai.

“Kenapa kau keluar?”

Dia hanya mengikik dan menarikku pergi ke sudut rumah sakit yang lebih sepi. Sesampai di sana aku melihat anaknya bangun.

“Susui anakmu atau dia segera menjerit.”

Perempuan itu mengangkat bahu dan mengangsurkan bayinya padaku, lalu menyingkap bajunya yang basah.

Aku terperangah.

Kurasa wajah kagetku mengingatkannya pada kejadian tragis saat dia diperkosa karena detik berikutnya dia langsung bangkit dan menjerit histeris layaknya orang gila — dan dia memang gila.

Aku berusaha mengejarnya namun perempuan itu malah berlari lebih kencang.

Melintasi pagar, keluar pekarangan rumah sakit.

Menyeberangi jalan.

*** selesai ***

Tinggalkan Balasan