“Apakah akan berbekas?”
Eliana menggeleng pelan, melirik sekilas pada kerutan di antara kedua alis putrinya.
“Kuharap tidak.”
Dengan hati-hati dimasukkannya gunting, plester, serta sisa kasa ke dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.
“Kau masih belum boleh membasahinya. Harus berapa kali kukatakan.”
“Apakah masih boleh naik sepeda?” tanya Lily tak sabar.
Belum sempat Eliana memberikan jawaban, Lily sudah turun; melompat dari tempat tidur. Gerakannya yang tiba-tiba membangunkan Elio, adiknya yang sedang terlelap—tidak lagi kini. Anak perempuan itu buru-buru menghilang di balik pintu, suara langkahnya berdebam menuruni tangga.
Eliana memungut Elio dari ayunan, menimangnya dengan gerakan otomatis yang entah kapan pernah dia pelajari—dia tak ingat pernah memasuki kelas Menimang Bayi, bahkan sampai menamatkan gelar S2-nya. Disibaknya kerai jendela, mengamati putrinya tadi membuka pagar kayu tanpa repot-repot turun dari sepeda.
“Pulang sebelum ayahmu datang!” teriaknya.
Yang segera disesali karena kini Elio tak hanya terbangun namun juga memekik keras.
Gerakan menimang Eliana semakin bersemangat. Didekapnya anak itu. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubun Elio yang bernapas. Tak juga diam, Eliana memberinya susu.
Sedikit panik, diliriknya jam dinding. Mengerjap-ngerjap. Mengukur masa.
Seharusnya Elio belum terbangun.
Seharusnya dia masih sempat menyeterika.
Seharusnya dia bisa memasak dengan tenang.
Seharusnya….
Eliana menutup kerai jendela, mengunci daunnya dengan rapat. Sore hari kerap burung singgah dan membuang kotoran; dia sedang tak ingin menambah daftar pekerjaan.
“Kau tak bekerja?”
Isapan Elio yang tiba-tiba kencang mengagetkannya. Membuatnya terdiam. Dengan ujung jarinya yang bebas Eliana menekan lekukan di depan lehernya sendiri, mencoba mengusir kering yang tiba-tiba melekat erat.
Kembali diperiksanya jam dinding. Elio butuh setidaknya sepuluh menit lagi agar benar-benar pulas. Puluhan Eliana di dalam kepalanya sedang memutuskan perubahan menu dari yang tadi pagi dia susun menjadi yang jauh lebih sederhana; mengutak-atik layar handphone, Eliana menelusuri laman resep masakan.
Dia bukan seorang kidal, namun kini dirasanya semakin mahir berselancar dengan tangan kiri. Elio masih harus ditimang. Dengan kaki kanannya Eliana menarik kursi mendekat. Duduk sejenak akan membuat pinggangnya berterima kasih.
Lampu di atas kepalanya tiba-tiba padam. Eliana mengeluh pelan, mengangkat kepala menyalahkan.
“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”
Dia tak memasak dengan listrik, kulkas juga masih tetap dingin sampai beberapa jam ke depan.
Elio yang tak bisa kepanasan.
Menimbang sejenak, Eliana menarik bantal kecil yang biasa Elio pakai. Membawanya serta ke dapur. Matanya melirik jejeran buku-buku tebal di dalam lemari kaca. Terpampang jemawa di antara piagam dan piala.
Tak sering listrik mati, namun ini bukan pertama kali Elio menemaninya di dapur. Dia hanya harus memasak sesuatu yang sunyi senyap.
Tumis? Lupakan.
Goreng? Nanti dulu.
Eliana merasakan isapan Elio melonggar, namun belum tepat waktu untuk melepaskan. Ditimangnya Elio sesekali. Memeriksa isi rice-cooker. Menjumput beberapa butir, memastikannya tidak mendekati basi.
Handphone-nya bergetar.
Kalian sampai selamat?
Dia berhasil menghindari memikirkan orang itu. Kalimat-kalimat orang itu. Sebelumnya.
“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”
Dalam perjalanan pagi ini, Lily tersandung saat sedang mengamati lubang-lubang cahaya lolos di dedaunan-pepohonan. Luka di lututnya tak berhenti berdarah. Eliana menelepon sekolahnya meminta libur, lalu membawa Lily ke klinik terdekat.
“Kau tak bekerja?”
Berapa peluang dia akan bertemu teman masa kecilnya di klinik pertama yang dia temui? Mestinya hampir mustahil. Eliana ingat menggeleng pelan atas pertanyaan itu, menunduk, mencari-cari sesuatu dari dalam tas besarnya yang dia ingat benar apa saja isinya: tisu basah, popok sekali pakai, minyak telon, dua pasang baju Elio, dompet, botol air minum, sepenggal roti lapis.
Dia menunduk karena tak ingin terlihat wajahnya yang memerah.
“Kau melakukannya baik sekali. Mereka berdua terlihat sehat.”
Keluar dari mulut seorang dokter anak.
Seharusnya dia bangga.
“Aku belum melihatmu di grup Whatsapp angkatan kita,” pria itu mengeluarkan handphone-nya, bersiap mencatat.
Kalian sampai selamat?
Eliana meletakkan handphone-nya.
Dengan hati-hati dibaringkannya Elio di atas bantal. Sekejap kemudian dia menyangga kedua sisi tubuh bayi itu dengan barisan tebal buku teori ekonomi yang ditariknya dari dalam lemari kaca. Tergelitik, Eliana tersenyum geli.
“Kau adalah orang yang selalu mampu menyeimbangkan hidup. Sungguh. Kau tahu aku selalu mengagumimu karenanya. Sesekali, kau harus memberitahuku rahasianya.”
Eliana merenung. Mengamati foto pernikahan yang terpajang rapi di lemari samping meja makan. Buku. Piagam. Piala. Pigura.
Mengerjap-ngerjap.
Eliana membawa jarinya menelusuri huruf-huruf yang tertera di sana.
Pekikan anak-anak membawa pandangannya keluar jendela.
Memanjangkan leher, matanya menangkap Lily terjerembab dari sepeda. Namun anak itu sudah keburu bangkit dan menepuk-nepuk sisa tanah lembab dari telapak tangan dan betisnya. Seakan tahu diawasi, Lily mendongak dan memamerkan barisan giginya yang sedang tumbuh.
Eliana berteriak HATI-HATI tanpa suara.
Lily mengangguk paham. Mengayuh sepeda dengan tak kurang cepatnya.
Eliana membuka laci perlahan. Menarik pisau dan bahan masakan.
Teriakan Lily terdengar sesekali.
Bawang kupas membuat mata Eliana pedih.
Jemarinya teriris.
Eliana meletakkan pisaunya perlahan. Tak ingin Elio kembali mengamuk. Dibukanya keran air sekecil mungkin.
Tak membantu.
Dibawanya telunjuk kiri itu ke dalam mulut.
Asin.
Sembari menunggu, ditatanya meja makan, memastikan piring gelas yang digunakan kering dan tak retak di pinggiran.
Dikeluarkannya jari. Masih berdarah.
Asin.
Memungut handphone, Eliana menarik kursi dari bawah meja makan, menimbang informasi apa yang dia butuhkan.
Cara menghentikan darah.
Bolehkah mengisap darah.
Beberapa pencarian membuatnya tersenyum dan terus mengisap.
Asin.
Diketiknya pencarian baru.
Mengapa darah asin?
Sebuah notifikasi masuk. Seseorang memasukkannya ke dalam grup Whatsapp.
Beberapa pesan di sana menyambutnya ramah.
Eliana menimbang-nimbang.
Seseorang mengirimkan foto.
Dirinya. Berdua dengan dokter anak itu— sebenarnya bertiga, namun Elio tak terlihat dalam pelukannya.
Lihat, siapa yang kutemukan pagi ini?
Grup itu mendadak riuh.
Eliana menutup handphone-nya.
Memeriksa jarinya.
Masih berdarah.
Asin.
Entah sejak kapan air matanya mengalir.
Juga asin.
Eliana bangkit dari duduknya, untuk kemudian kembali duduk. Memeriksa handphone. Memastikan pengaturan tak ada notifikasi dari grup tersebut. Kuat keinginannya untuk mengintip lebih jauh. Namun asin di mulutnya membuatnya tersadar.
Dibawanya langkah menuju kamar, seharusnya masih ada sisa plester yang tadi Lily gunakan. Kemudian dia ingat Elio masih ditinggalkan di atas meja dapur.
Menimang anak itu, dipungutnya handphone, mengirim pesan pada sebuah nomor yang dia hapal di luar kepala.
Belikan makan malam saat kau pulang. Aku tak masak hari ini.
Sent.
Diintipnya garis dua yang berubah warna. Suaminya sedang mengetik.
Eliana tersenyum. Selepas itu ringan langkahnya menuju kamar. Elio masih terlelap dalam dekapan. Diciumnya bayi itu sekilas. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubunnya yang bernapas.
Handphonenya kembali menyala.
Tak masalah. Seperti biasa?
Eliana mengangguk. Lalu sadar suaminya tak bisa melihat. Dikirimnya sederet emoji makanan.
Yang dibalas emoji tertawa.
Eliana meletakkan handphone-nya, serta Elio yang kini sudah pulas kembali.
Berdehem pelan, Eliana mengambil gunting, plester, serta sisa kasa dari dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.
Dia tahu dia hanya perlu membalut jarinya.
Itu saja.