Arsip Tag: CERPEN

Mengubur Kesedihan 1

Mengubur Kesedihan

Aku sangat senang karena beberapa hari menjelang akhir tenggat #nulisbareng kali ini, ada yang mengirimkan tulisannya, hence the title ‘mengubur kesedihan’, hehe. Harus kuakui, kali ini aku sedikit keteteran promosi event, ahahaha. Kupikir akan lowong (dan memang seharusnya lowong), tetapi ternyata ada beberapa hal yang sempat aku tunda di waktu lalu, ndilalah muncul sebagai hal yang harus diselesaikan dalam minggu-minggu ini.

Toyor kepala sendiri.

Tapi ya, aku senang sekali karena tiga tulisan yang masuk kali ini, terasa lepas dan jujur. Mungkin batasan kata yang sebelumnya ada, membuat tantangan kali ini bisa dijadikan tempat meluahkan keluh-kesah. Terima kasih banyak untuk Nara Lahmusi, Putri Brilliany, dan Din Jagga yang sudah berbagi kisah-kisahnya, ya! Semoga sesuai judul post, tulisan ini juga bisa buat kalian mengubur kesedihan yang kalian punya!

Seperti biasa, aku akan berikan ulasan pribadi untuk ketiga kisah ini.

1. Batuk. Dari sisi gaya menulis, aku melihat banyak kemiripan antara tulisan Putri dan tulisanku sendiri (dalam beberapa cerpen). Cara kami bertutur, dan menggelindingkan kisah dengan menggunakan simpul-simpul pikiran. Hal ini membuatku sedikit mengerutkan kening ketika menurutku kisahnya bisa dibawa ke arah lain, saat penulis membawanya ke arah yang berbeda. Tentu saja, itu tidak mengurangi kesenanganku membaca kisah kontemplasi berjudul Batuk ini.

Lewat kejadian super singkat (seharusnya), kita bisa menyaksikan puntiran balik dalam hidup tokoh utama, dan meski banyak hal menyedihkan yang terjadi di sana, aku merasa senang dengan penutup kisah. Terkesan klise, tapi setidaknya ada closure yang jelas, bahwa di balik kejadian sederhana ada lapisan trauma, rasa malu, dan ketidakadilan sosial yang tak seharusnya dialami siapa pun. Hal-hal kecil seperti batuk yang menjadi simbol penderitaan (lahir dan batin) menunjukkan bagaimana sesuatu yang terlihat sepele bisa menjadi cermin dari luka yang lebih besar.

Jika aku harus memberi masukan, aku akan mempreteli beberapa kiasan yang kerap berkelindan saat penulis menguraikan cerita. Tidak semua, tentu saja, tapi ada beberapa yang menurutku sedikit jadi rem saat cerita harusnya sudah bergulir lancar. Tentu saja aku pikir ini gaya khas penulis sih. Seru ceritanya!

2. Fasad. Bertolak belakang dengan Batuk, cerpen ini hampir tak menggunakan kiasan dalam penuturannya, cenderung lurus dengan pemaparan yang apa adanya. Penulis menggunakan permainan kata yang aman karena kisah yang ditawarkan sebenarnya adalah kisah yang sangat alami. Aku tentu saja berharap cerpen ini memberi ruang untuk bertanya lebih, tentang kenapa kisah ini harus dituliskan, atau apa yang menjadi motivasi tokoh utama, atau pergolakan batin yang mendasari kisah terjadi. Cerpen ini juga lebih terasa seperti kritik sosial tentang keserakahan dan ambisi pribadi daripada eksplorasi mendalam tentang hal-hal yang “tak seharusnya terjadi.” Terlepas dari itu semua, cerpen ini salah satu yang jujur sekali dalam memberi nasihat. Well done!

3. Mencuri Wajah Bapak. Dari judulnya saja, aku sudah menduga akan segelap apa cerpen ini, dan aku tak kecewa. Terlepas dari mungkin di luar sana ada beberapa cerpen yang sudah mengangkat tema serupa, kisah-kisah semacam ini tak akan pernah hilang dari peredaran, dan kita perlu mengapresiasi berbagai sudut pandang yang terus ditawarkan. Aku bisa merasakan apa yang dialami oleh tokoh dalam cerpen, dan aku yakin banyak yang seperti itu. Penulis mampu menyusun cerita dengan rapi dan hati-hati agar rentetan kisah yang terjadi tak terkesan dipaksakan.

Cerpen ini sangat kuat dalam menggambarkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi: seorang anak yang ingin mencuri wajah ayahnya, baik secara simbolis maupun literal. Ada unsur ironi yang gelap— yang melibatkan keajaiban dan pengkhianatan terhadap orang yang mencintainya. Twist tentang wajah asli Bapak juga memperkuat gagasan bahwa dunia penuh dengan “topeng” yang seharusnya tak ada. Cerpen ini menonjol karena tidak hanya bermain di ranah fantasi, tetapi juga menyoroti moralitas manusia secara mendalam. Semoga yang sedang ‘luka-luka’ segera disembuhkan oleh dunia. Ayoo, mari kita kubur kesedihan itu!

Semoga berkenan dengan komentar dariku, ya! Semangat terus menulis!

Tentu saja sesuai janji, ada dua orang yang beruntung dalam event kali ini yaitu Putri dan Nara. Selamat! Sementara untuk Dina, jika berkenan I have 75k for you too! Semua nanti boleh japri (DM Twitter/Whatsapp/IG) untuk klaim insentif nulisnya, ya. 🙂 Sampai ketemu lagi bulan-bulan mendatang. Dan semoga topiknya bisa jauh dari mengubur kesedihan, hehe.

mengubur kesedihan
menuju akhir

Menuju Akhir!

Hei, hei! Beberapa hari lagi menuju akhir 2024, dan meski aku nggak berhasil benar-benar nulis tahun ini, aku senang bisa mempelajari beberapa hal baru, salah satunya Bahasa Arab! Aku memang belum bisa bicara lancar seperti yang aku inginkan, tapi aku cukup senang karena setidaknya tahun depan aku punya tujuan memperbaikinya, ehehe.

Postingan kali ini, untuk kembali ngajak #nulisbareng ya. Mirip dengan event-event sebelumnya, sederhana aja sih: silakan nulis cerpen, share laman yang bisa aku akses, dan kalau berkenan akan aku pertimbangkan untuk dapat insentif nulis. Kalau di flyer aku tulis ‘kalau beruntung’ sih, karena kadang semua entry bagus-bagus, sehingga aku tutup mata terus hitung kancing (becanda).

Info event kali ini ada di gambar ya. Silakan masukkan pranala/link tulisan kalian via komen, biar aku (dan yang lain, sekiranya mereka mau ikutan baca) bisa baca sebelum tenggat berakhir. Kalau ada yang kurang jelas, langsung ditanyakan saja, ya! Selamat bersenang-senang menulis, selamat menuju akhir tahun, kawan!

*btw Ambon hujan lagi beberapa hari ini, hiks.

menuju akhir
sebuah pembalasan

Sebuah Pembalasan

Salah satu hal yang senantiasa saya nikmati adalah kisah-kisah pendek yang ditulis dengan bernas, ibarat dendam, ini adalah sebuah pembalasan yang manis. Saat dibaca ulang, sampai kapan pun akan tetap menyenangkan. Bisa jadi teman makan, sahabat perjalanan, atau sekadar duduk-duduk santai. Misalnya kemarin saat perjalanan Ambon – Saumlaki, saya sudah bawa satu novel tapi sepertinya perjalanan 1,5 jam nggak cocok jadi akhirnya saya iseng buka koleksi di handphone. Kebetulan saya simpan beberapa kumpulan kisah pendek, yang saya pilih kemarin adalah Miss Marple The Complete Short Stories (Agatha Christie). Sangat ringan dan menyenangkan. Lalu, saya menemukan kebahagiaan karena saya ternyata sudah mulai lupa beberapa bagian cerita sehingga kembali ikut menebak-nebak penyelesaian tiap kasus yang digulirkan.

Menua dan mudah lupa rupanya ada hikmahnya, hehehe.

Kisah misteri juga menjadi salah satu yang belakangan coba saya kembali geluti, baik itu untuk saya nikmati sebagai pembaca, atau coba belajar untuk tulis sendiri. Sedikit-banyak mengerutkan kening di usia begini ternyata memang sangat menyenangkan. Tapi tetap saja, tulisan-tulisan genre mana saja akan saya baca jika ditulis dengan baik, ini sebuah pembalasan bagiku yg kurang baca, hehe.

Ide ngajakin nulis cerpen kemarin spontan saja, dan saya senang karena beberapa tulisan yang masuk, mengingatkan saya bahwa menulis, adalah hal yang senantiasa menyenangkan untuk dilakukan. Semoga terus konsisten, ya! Beberapa cerpen saya terima via Twitter (I still refused to call it X, ehehe), blog, dan japrian. Terima kasih banyaaak ya teman-teman. Besok-besok segera kita bikin lagi, yuk. Ada usul tema yang lebih menantang, siapa tau bisa jadi arena sebuah pembalasan? Hehehe.

Berikut cerpen yang masuk kali ini, dengan sedikit komentar pribadi:

  1. Jas Biru untuk Mas Pandu | Sebuah cerpen yang memiliki twist supernatural dan ikatan kekeluargaan. Cara penulis bertutur sangat dinamis dan emosi dari tiap karakter terasa di tiap bagian. Meski terkesan casual, tapi justru kesederhanaan itu yang bikin cerpen ini berkesan.
  2. Lunas | Salah satu cerpen yang sangat kukuh memegang tema balas budi, literally (materi) and figuratively (emosi). Kisah yang langsung to-the-point (aku pikir ini salah satu kekuatan penulis) dan hampir tidak menutup-nutupi pesan moral yang dibawanya.
  3. Ziarah | Cerpen ini punya nuansa refleksi diri dan mengedepankan teknik bertutur yang ‘atmosferik’, kalau boleh dibilang. Pacenya mungkin terasa lambat bagi yang senang aksi, tapi dengan tema filosofis dan introspeksi yang dalam, bisa jadi terasa lebih personal.
  4. Cara Terbaik Menuju Kuburanku | Mungkin salah satu entry yang paling ‘dirugikan’ dengan batasan 1000 kata, karena aku merasa kisah ini sangat potensial dengan alur maju-mundurnya. Kisah tentang ekspektasi keluarga dan obligasi sosial, diramu dengan monolog yang berkelindan dengan dialog karakter-karakternya.

Yang beruntung kali ini adalah ‘Jas Biru untuk Mas Pandu’ (Betty) dan ‘Ziarah’ (Adit). Yang lain tentu tidak kalah spesial, hanya mungkin belum beruntung untuk dapat top incentives (450k) pada kesempatan kali ini, jika berkenan I have 75k for you all too! Semua nanti boleh japri (DM Twitter/Whatsapp/IG) untuk klaim insentif nulisnya ya. 🙂 Sampai ketemu lagi dalam sebuah pembalasan untuk bulan-bulan mendatang.

sebuah pembalasan
Return the Favor! 8

Return the Favor!

Hello, berjumpa kembali, dalam pengumuman event nulis terbaru! Sayangnya belum dalam postingan cerpen tulisanku sendiri, hehe. Mudah-mudahan tak lama lagi, yak!

Kali ini, saya kembali mengundang kita semua untuk nulis. Kurang lebih tatacaranya ada dalam foto berikut ya. Kalau ada yang kurang jelas, boleh sekali ditanyakan di komentar. Selamat menulis!

event nulis

Tambahan info (20/8), link tulisan boleh juga dituliskan via komentar ya. Siapa tau yang lain juga mau baca. Thanks!

malam buta

Siapa Menekan Bel di Malam Buta?

malam buta

Mama histeris lagi. Saat aku bangun kudapati tiga puluh sembilan missed calls darinya. Semua dilakukan sebelum jam lima pagi. Malam buta! Ada juga beberapa pesan yang tak ingin kubuka. Lebih baik segera kutelepon. 

Mama mengangkat pada dering pertama dan suaranya melengking, “Seseorang menyentuh jendela kamarku!” Dia memberi penekanan pada tiap suku katanya.

Kamar Mama di lantai dasar, terdapat dua pasang jendela di sisi timur dan selatan yang memang memiliki tambahan teras. Pagar setinggi pinggang dengan kawat berduri memisahkannya dengan halaman di sekitarnya. Belum lagi beberapa petak rumpun mawar yang sengaja ditanam dan terawat baik sebagai pagar pelindung alami. Jadi rasanya mustahil jika seseorang bersusah payah hanya untuk menyentuh jendela kamar Mama, tapi kubiarkan saja Mama terus bercerita.

“Ada tiga belas telapak tangan, bernoda lumpur! Tiga belas! Aku menghitungnya sendiri. Kurasa ada yang bernoda darah! Di jendela kamarku!” 

Aku terus mendengarkan keluhan Mama sampai sekitar sepuluh menit berikutnya. Ketika dia sudah mulai tenang, kukatakan kalau akan kuperiksa jendelanya selepas makan siang. Sif malamku berakhir nanti jam delapan.

Mama terdengar senang. “Saat kau pulang, bawakan aku dua potong brownies dari kedai Nyonya Meulia. Dan permen.”

Aku mencatat pesanannya, meski aku tak akan membelikannya permen. Sejenak aku berpikir tentang makanan pengganti yang mungkin kubelikan. Kuputuskan akan singgah di toko buah yang jaraknya tak jauh dari kedai Nyonya Meulia.

“Ada lagi yang Mama mau?” 

Mama tak langsung menjawab, tapi aku tahu dia sedang berpikir karena telepon gemerisik selama beberapa waktu. Napasnya terdengar satu-satu.

“Mama?”

Dia berdeham sesekali. Terdengar ketukan-ketukan kecil, mungkin Mama sedang memainkan gagang telepon. Aku baru akan bertanya lagi saat jawabannya tiba. 

“Itu saja.” 

Lalu dia menutup sambungan.

***  

Sudah hampir dua tahun Mama tak berani keluar rumah. Dia selalu ingin keluar, tapi paling jauh lima langkah melewati pintu depan, lututnya mendadak goyah dan dia—dengan sejuta alasan untuk memutar badan, kembali ke dalam rumah. 

“Napasku sesak, mungkin aku perlu duduk-duduk sebentar.”

“Kurasa aku lupa mematikan keran air kamar mandi.”

“Aku lupa ada rekaman telenovela yang belum aku tonton.”

“Kurasa akan segera hujan, lebih baik kita ngobrol di kamarku.”

Meski kami sama-sama tahu bahwa itu semua hanya alasan palsu dan alasan sebenarnya Mama tak ingin keluar adalah dia semakin tak percaya orang-orang di sekitarnya, kami berdua tak membicarakannya lebih lanjut. Mama tak ingin aku mencampuri kecemasannya. Sedangkan aku, meski sedikit merasa berdosa karena mendiamkan hal itu, harus mengakui bahwa aku tak selalu cukup sabar untuk mendampingi kecemasannya. 

Jadi, kami sama-sama diuntungkan kalau mau jujur. 

Ada saja pikiran buruk yang segera menghinggapi Mama jika dia keluar rumah. Hal yang lucu tentunya, mengingat dia sama sekali tak punya pikiran seperti itu jika sudah di dalam rumah. Seakan-akan ada tabir pelindung kasat mata yang membentenginya dari dunia luar. Persis di depan pintu. 

Ya, kurasa Mama mungkin benar-benar merasa seperti itu. Rumah ini gelembung dan Mama senang di dalamnya. Kukatakan gelembung karena tentu saja cepat atau lambat dindingnya akan pecah dan suatu saat Mama harus menghadapi dunia luar sana.

Hanya saja, selama Mama merasa aman dalam gelembungnya, aku tak terlalu banyak pikiran. Dan itu sudah lebih dari cukup.

*** 

Segalanya memburuk dua bulan terakhir. Ketika Mama mulai tak ingin keluar kamar. Bukan lagi rumah.

Ya, aku ingat karena membuat silang merah di kalender gantung. Pertama kali dia menelepon di malam hari dan mengatakan ada seseorang membunyikan bel pintu depan. 

“Tapi ini jam satu malam, Mama.” Dan aku tak mendengar apapun di luar sana. Namun ucapan itu aku telan saja.

“Justru itu. Apa kau pikir hantu sudah bisa membunyikan bel?”

Kami tinggal serumah, kamarku di lantai atas. Aku baru pulang sif sore saat itu dan sejujurnya kepalaku pening dan tak ingin ribut dengannya, tapi karena tak tahan, kukatakan padanya itu semua khayalan dan Mama mendengar sesuatu yang lain. Perempuan itu mendiamkanku selama seminggu, dan baru mau bicara saat aku membawakan sekantung permen kesukaannya. 

Mama juga sudah tak mau lagi pergi beribadah. Dia bilang terlalu banyak cahaya di tempat-tempat itu dan semua mengingatkannya pada kematian. 

“Jika mati aku yakin mereka tak datang di kuburanku.” 

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depannya.

Satu dua kali teman-teman lama Mama menanyakan keberadaannya padaku, karena aku anak satu-satunya. Kucoba menjelaskan dan aku bersyukur setengah mati karena kebanyakan dari mereka memahami keadaan Mama. Pernah beberapa orang datang ke rumah, sekadar duduk-duduk dan bercerita. Pulangnya, Mama meninggalkan pesan singkat di handphone

‘kurasa Nyonya Tulita hanya ingin mencuri bunga anggrekku. dia tak henti-henti meliriknya (oh, aku benar-benar melihatnya—tentunya dia tak menyadari itu). dan saat kami berbincang, dia terus menyinggung betapa indahnya bunga itu. oh, kuharap dia berhenti mengunjungiku.’

***

Salah seorang teman lama Mama, tinggal tak jauh dari kami, adalah dokter spesialis jiwa. Kucoba mendekatinya, dan menceritakan sedikit banyak tentang Mama. 

“Apakah pernah terjadi sesuatu yang membuat ibumu khawatir?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mama memang selalu khawatir. Bahkan sejak ingatan kanak-kanak pun, aku tak bisa mengingat kapan Mama tak khawatir.

“Jangan panjat pohon itu, kau bisa terluka.”

“Jangan berteman dengan Teddy dan Lily, mereka sering mengumpat dan sekali lagi kudengar kau menirukannya, aku akan menaruh cabe besar-besar di dalam roti isimu.”

Atau saat berbincang dengan mendiang Papa. 

“Kurasa anak kita itu memang tak cerdas. Setengah mati aku mengajarinya, tapi mungkin kepalanya benar-benar kosong—yang mana seharusnya bisa diisi, tapi ini kosong yang membuatmu muak. Oh, aku tak tahu harus lakukan apa dengannya.”

“Bisakah kau meminta kenaikan gaji? Kau sudah bekerja di sana berapa lama—dua puluh tahun? Tapi hanya ini saja yang kau bawa pulang.”

Pelan-pelan aku mencoba menceritakan tentang Mama kepada dokter itu, beberapa hal yang terlalu memalukan tentu tak kusampaikan. Perempuan ringkih dengan rambut memutih, tapi matanya bijak seperti telaga tak berpenghuni itu mengangguk-angguk dan sesekali membetulkan kacamatanya yang bertengger di ujung hidung. 

“Apakah memungkinkan jika aku mengunjungi ibumu sesekali?”

Aku ragu-ragu menjawabnya. Pertama, jelas Mama tak akan suka. Kedua, aku tak punya cukup uang untuk membayar dokter ahli jika konsultasi ini dilakukan secara normal. Untuk alasan pertama aku coba utarakan secara perlahan. Beruntung, dokter itu memahami situasiku—dan alasan kedua. 

“Tidak usah bayar. Aku sebenarnya sudah lama pensiun. Dan mungkin ini jalan untukku terus melayani. Aku juga memang sudah lama tak bertemu ibumu.”

Oh, besar hatiku mendengarnya. Jika tak ingat bahwa saat itu kami masih berada di persimpangan jalan, sudah kupeluk erat-erat dokter itu. Alih-alih, aku menggenggam tangannya dan mengucap terima kasih banyak-banyak. 

Karena dokter itu tak bisa serta merta mengunjungi Mama, aku memberikan laporan secara berkala: apa saja keluhan Mama, begitu juga dengan hal-hal baru yang Mama takuti. Termasuk coretan di kalendar yang sekarang sedang kupandangi. 

Mama mulai menelepon di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama melaporkan bel ditekan orang di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama memberhentikan Pascal tukang kebun. Satu bulan lalu.

***

Pascal patah hati saat Mama memberhentikannya. Meski dia tahu kondisi Mama sejak lama, kurasa dia tak menduga kalau dia akan termasuk orang yang pada akhirnya ditakuti oleh Mama. Pascal sebaya denganku, ayahnya yang pemabuk sering menempeleng kepalanya. Kurasa itu mengakibatkan otaknya tak begitu pintar. Untuk urusan itu, kami berdua senasib jadi secara otomatis berteman sejak kecil. Jika ayahnya mabuk dan kembali menempelengnya, Pascal kabur dan bersembunyi di rumahku dan kami berdua akan makan jagung bakar yang dibuatkan mendiang Papa. 

Mama akan mengomel dan bilang bisa jadi suatu saat keluarga kami dibunuh oleh ayah Pascal karena sering turut campur.

Mungkin malaikat lewat saat itu sehingga ketakutan Mama benar-benar terjadi, tidak semua tapi tetap terbukti. 

Suatu sore, ayah Pascal mabuk berat, berkali-kali lipat dari biasanya, datang menggedor pintu dan mencari Pascal. Papa mencoba menenangkannya namun pria itu tak mau tahu dan ketika tak menemukan Pascal di rumah kami—memang saat itu Pascal sedang bersembunyi di tempat lain. Pria itu mulai menarik-narik rumpun mawar Mama dan saat itu Mama meneriakinya ‘orang gila’. Entah bagaimana ayah Pascal bisa tersinggung, mengingat dia mabuk seperti pelaut, dia lantas mengayunkan sekop kebun menghancurkan jendela Mama. Papa yang berusaha menghentikannya tak begitu beruntung karena ayah Pascal terpeleset tanah kebun yang licin dan tak sengaja sekop kebun itu menghujam leher Papa dengan begitu keras. Papa tak tertolong, dia meninggal tersedak gumpalan darahnya sendiri. 

Ayah Pascal mendekam di penjara dan tak pernah kembali. Pascal kemudian diasuh bibinya yang tinggal di seberang sungai, tapi karena bibinya senang mengomel, anak itu tak pernah betah. Ketika dia sudah bisa memasak sendiri, anak laki-laki itu pulang kembali ke rumahnya, hidup sebatang kara. 

Lalu muncul suatu sore di pintu depan rumah kami, “Bisakah aku bekerja membersihkan halaman?” 

Pascal menanyakan setiap rumah pertanyaan yang sama. Jadi, meski tak besar upah yang didapatkannya dari Mama, total lembar-lembar yang ia terima sehabis memotong rumput atau memindah-mindahkan posisi pot bunga dari rumah-rumah yang lain memungkinkannya untuknya hidup. Bahkan sampai sekarang. Saat kami bukan lagi anak kecil yang tertawa-tawa memungut dan menyuap butiran jagung bakar yang terlepas dari tongkolnya.

Jadi saat ia menangis karena diberhentikan Mama, kupikir pasti karena sebab yang lain, bukan karena kehilangan upah. 

“Aku suka padamu. Sekarang apa alasanku datang menemuimu?”

Wajahku panas mengingat momen itu. Aku tak ingat bagaimana Pascal berani mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kami duduk lama di samping mesin cuci tempatku bekerja sebagai pegawai laundry.

*** 

Dokter ahli jiwa itu mengatakan bisa jadi Mama mengidap paranoid. Sedikit yang mengganggu pikiranku adalah karena dia menyebutkan bahwa kondisi ini bisa terus memburuk.

“Dia akan curiga setiap saat. Pada setiap hal. Pada setiap orang.”

“Tapi Mama tak mungkin curiga padaku, kan?”

Aku ingat wajah kasihan yang seketika muncul di wajah dokter tua itu. Kurasa dia tahu yang sebenarnya, meski aku belum cerita. Empat hari yang lalu, Mama menolak makanan yang kusiapkan.

“Aku melihatmu menambahkan sesuatu yang tak biasa ke dalamnya. Apa kau sedang ingin membunuhku?”

Aku memang menambahkan bumbu baru ke dalam supnya. Tapi itu kulakukan karena bumbu yang biasa digunakan sudah tak lagi diproduksi dan tak bisa kudapatkan lagi di mana-mana meski aku berkeliling dan rasanya betisku mau patah. Pascal yang menyarankan untuk menggantikan bumbu itu dengan bumbu lain. 

“Ini rasanya hampir sama. Aku sering pakai ini saat memasak. Harganya juga sedikit lebih murah.”

Aku ingat menangis di sudut dapur sambil memungut pecahan mangkuk yang Mama lemparkan di wajahku saat aku memaksanya makan. Aku tak cerita pada dokter tentang hal itu karena kupikir itu hanya kesilapan Mama. Dan memang kurasa dia tak sepenuhnya curiga padaku. 

Karena selama tiga hari ini dia bersikap manis padaku. Meski tak meminta maaf, tapi dia mengingatkanku untuk mengganti perban di dahiku jika aku habis mandi—tentu saja semua ini dilakukannya lewat telepon. Sempat terpikir olehku apa Mama lupa kalau dia yang menyebabkan kepalaku luka?

Aku juga tak cerita pada dokter kalau Mama sempat menyinggung agar aku berpacaran dengan pria baik-baik, dan dia secara tegas menyebutkan Pascal bukan pria baik-baik. 

“Dia terlihat baik tapi punya darah buruk. Dan darah itu akan mengalir selama dia hidup.”

Aku mengerti mungkin Mama masih dendam perihal kematian Papa. Sehingga aku mendiamkannya. 

Dokter tua itu sempat berpesan sebelum meninggalkan bangkunya–kami sedang duduk-duduk di bangku taman. Dia terlihat menimbang-nimbang sambil melihat-lihat catatan kalendar yang kuberikan padanya. Memang memburuk, demikian ujarnya. 

“Pastikan saja ibumu tidak menggunakan benda-benda tajam di dapur dan semacamnya. Kita tidak tahu apa yang besok-besok ada di pikirannya.” Dokter itu sempat menepuk bahuku pelan. “Jaga dirimu baik-baik, gadis muda.”

Aku tersentuh oleh perlakuannya, dadaku waktu itu menghangat. Diam-diam kucatat ucapannya. 

Benda tajam. 

Ya, akan kupastikan benda itu ada di dekat Mama malam ini. 

Jika tiga belas telapak tangan bikinan Pascal itu tak cukup, mungkin aku perlu mendorongnya lebih jauh… 

***selesai***