Arsip Tag: cinta

cinta dan sebatang rokok

Cinta dan Sebatang Rokok

cinta dan sebatang rokok

Belum tidur?”

Aku sampai menjatuhkan korek api dari tanganku. Tak kusangka Nenek masih terjaga. Ini sudah lewat satu jam dari tengah malam. Cepat kusembunyikan sebatang rokok di tangan kiriku. “Eh, belum.” Aku menggeleng. Memaksakan tersenyum. Nenek balas tersenyum. Sama sekali tidak terpaksa kelihatannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pundakku. Aku tak berani memperkirakan maksudnya.

Aku memilih untuk tinggal bersama dengan Nenek daripada harus memilih antara Ayah atau Ibu ketika mereka bercerai. Kakek sudah lama meninggal, satu hal yang kutahu sejak kecil, ia adalah perokok berat.

Dan aku tahu Nenek tidak akan suka jika aku merokok.

Tapi bagaimana lagi, pikiranku kacau. Aku merasakan merokok dapat menenangkanku. Tidak banyak. Tapi membantu paling tidak. Semenjak itu aku biasa merokok jika sedang gundah.

Aku sudah siap jika Nenek akan marah.

Tapi ia tak kunjung membuka suara. Sudut mataku menangkap ia malah duduk dengan tenang di kursi sudut. Memang tempat kesukaannya. Tangannya membuka laci lemari kecil yang terletak di samping kursi, mengambil rajutan.

Aku makin serba salah.

“Bagaimana kuliah?”

Akhirnya.

Aku berpaling padanya. Mencari-cari jejak kemarahan pada wajahnya. Gagal total. “Biasa saja.” Aku mengangguk-angguk kecil. “Tidak ada yang istimewa.”

Aku memperbaiki posisi bersandarku.

Sunyi.

Hanya bisa kudengar Nenek menggumamkan lagu. Tak bisa kupastikan nadanya.

“Nenek sendiri, kenapa belum tidur?” kuputar arah dudukku. Menghadap padanya. Tidak nyaman sekali jika berada dalam posisi sedang diawasi.

Ia mengangkat wajah dari kedua tangannya yang terus bergerak lincah seakan telah terprogram otomatis untuk terus merajut. “Aku tidak bisa tidur.”

Nenek dulu seorang dosen bahasa. Ia merasa nyaman berbicara tanpa harus memandang umur seseorang. Aku sendiri sudah terbiasa dengan kelugasannya. Kupandangi ia yang kembali tenggelam dalam rajutannya.

“Aku memang belum bilang kalau aku merokok.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa persiapan.

Nenek mengangkat wajahnya. Berhenti merajut. Kurasa ia juga tidak siap mendengar pengakuanku. Matanya sedikit membesar.

“Aku hanya sesekali merokok.” Kali ini kupilih kataku dengan cermat. “Memang tidak bisa dibenarkan juga. Aku minta maaf.”

Aku dapat melihat air muka wanita di depanku itu berubah. Untuk wanita seusianya, aku kagum melihatnya masih dapat mengekspresikan segala emosi hanya dari sedikit kerutan di dahi atau tarikan bibir. Ia tak memerlukan banyak kata untuk sekedar bicara. Lama kami saling menatap. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memandang lantai marmer kecoklatan di bawah kakiku. Lalu menatap langit di seberang wajahku.

Malam hampir sempurna dengan pekatnya. Langit hitam legam dengan sebaran bintang-bintang mengeriap di tepiannya sebagai renda. Bulan bertahta agung dengan kemilau keperakan, menggantung; sejumput awan lalu lalang melintas, namun tetap tak mampu menutupi. Ia purnama malam ini.

“Kau tahu aku punya banyak cerita tentang rokok.”

Kualihkan pandangan ke arah Nenek. Mengangguk. “Nenek banyak bercerita tentang Kakek.”

Ia tersenyum. Menarik nafas. “Aku sedang di tahun terakhir saat itu. Menulis tugas akhir.” Satu helaan nafas dalam yang tak biasa.”Berusaha menulis tugas akhir tepatnya.”

Suaranya terdengar jelas dalam hening begini. Aku diam.

*****

Aku punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas akhir itu. Berkali-kali kuulang kalimat itu di kepalaku. Sepanjang hari. Bahkan sampai menempelkannya di dinding kamar. Pintu tiap ruangan. Pintu kamar mandi tak luput, hanya saja kertas itu tak bertahan lama karena tersiram air saat seseorang terlalu bersemangat untuk mandi.

Tinggal di asrama sama sekali tidak membantu. Saat kurasakan mendapatkan seuntai kalimat yang akan kutulis, ketukan di pintu ataupun suara langkah berlarian di lorong akan dengan mudah membuyarkan konsentrasi dan tinggallah aku mengumpat kesal dalam ketidakpastian.

Kuputuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Harus. Dosen pembimbingku sudah memberi peringatan bahwa deadline kali ini bukan main-main. Ia ingin aku seserius mungkin. Katanya aku punya kemampuan yang jauh lebih cukup dari sekedar menulis ulang kalimat-kalimat tugas akhir milik senior yang berserakan di perpustakaan.

Maka sore itu, aku sengaja keluar asrama. Tanpa tujuan. Saat akhirnya memarkir skuter di sebuah kafe di pinggiran taman kota, alasan laparlah yang lebih memaksa. Saat itulah aku melihatnya.

Ia duduk tepat di seberang mejaku, di sudut kafe. Berusaha menyalakan rokoknya.

Gerakannya canggung sekali. Kurasa bisa saja ia membakar sebagian bulu hidungnya saat itu. Takkan pernah bisa kulupa saat pertama itu. Setelah rokoknya menyala, ia tersenyum puas. Meletakkan di asbak.

Tanpa sadar aku memperhatikan.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan buku dari dalam tas yang tersampir di kursi. Mencabut pena dari balik saku kemeja. Lalu menulis.

Aku hampir terpekik saat pelayan kafe menanyakan pesananku. Aku rasa aku terlalu serius memperhatikan lelaki di seberangku hingga tak sadar sudah ditanyai akan memesan apa. Aku tidak ingat memesan apa saat itu. Yang kuinginkan adalah pelayan itu segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Wajah itu seteduh telaga di subuh hari yang diselimuti kabut. Asap rokok yang berputar-putar menguatkan efek itu.

Tuhan. Aku rasa aku bisa tenggelam di sana.

Lagi-lagi pelayan itu mengagetkanku. Aku rasa aku jadi sedikit kesal. Sama sekali tidak ingat apa yang kukatakan padanya, namun seperti yang sudah kubilang, aku ingin ia segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Atau diamati.

Lelaki itu ternyata sedang memandangiku. Badanku langsung panas-dingin.

Lalu seakan-akan semua menepi. Tinggal kami.

*****

Besoknya aku datang lagi. Kali ini dengan debaran jantung yang tak terkira iramanya. Skuter hampir rebah karena aku lupa memarkirnya dengan benar.

Sayang sekali, tempat dudukku kemarin sudah terisi. Rasa kecewa langsung menyelimuti. Tapi mungkin itu sudah dirancang oleh Allah.

Ia, masih di tempat yang sama. Sendirian.

Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menyeret sepasang kakiku yang tiba-tiba seberat puluhan kilogram, lalu untuk tidak jatuh lunglai saat akhirnya sampai di mejanya. Ia mengangkat wajah dari buku tulisnya.

Tuhan. Kau telah memperlihatkan aku surga.

Sama sekali tidak ingat apa yang ia katakan.

Yang kuingat adalah aku duduk di depannya. Berusaha untuk tidak terlihat gemetar saat mengeluarkan tumpukan kertas coretan tugas akhir yang selalu kubawa kemana-mana. Berusaha untuk tidak bergaduh karena kini ia kembali menekuni tulisannya.

Sepanjang sore itu, kami bersama. Tidak saling bicara. Tidak saling menyapa. Sampai aku menyadari sesuatu yang ganjil.

Ia sama sekali tidak menghisap rokoknya.

*****

Kekakuannya saat menyulut rokok semakin kentara karena kini jarak yang memisahkan kami hanya setengah depa. Aku bisa memastikan kalau ia gemetar.

“Bisa kubantu?” tanpa sadar aku memuntahkan kalimat itu.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Menampilkan deretan gigi putih rapi berjejer. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya.

“Kau bukan perokok.” Cetusku. Aku mengernyitkan kening saat ia tertawa kecil.

Ia menggeleng. Rokoknya telah menyala dan ia meletakkannya di dalam asbak yang kini hampir penuh dengan abu. Hati-hati sekali. Ia menaruhnya di sana, memastikannya tidak mati.

“Lalu?” tak sabar. Aku menyadari nada suaraku sedikit meninggi.

Kembali ia tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. Ia meletakkan pena di atas buku, membentangkan kedua tangannya ke samping dan berusaha untuk tidak terlihat sedang menggeliat. Matanya beralih ke jam di pergelangan tangannya.

“Kita sudah hampir empat jam di sini. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.” Ucapnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.

Kurasa aku mengerti rasanya mabuk.

Sore itu, kurasa, dan kupastikan, aku telah jatuh cinta.

*****

“Aku sedang dikejar jadwal. Menulis buku.”

“Aku juga begitu.” Kurasakan kesadaran makin menguasaiku setelah kami saling mengenal. Lambat laun suasana mencair dan aku bahkan bisa bercanda padanya. Menanyakan berapa kali ia membakar jarinya sendiri saat akan membakar rokok. “Lalu, apa mereka punya arti?”

Kami saling memandang.

“Aku bukan orang yang baik dalam mengatur waktu. Seringkali semuanya lewat begitu saja. Jam. Hari. Pekan. Sama sekali tidak terasa. Sementara tiba-tiba semuanya harus selesai dalam satu kedipan mata. Lalu suatu hari, tidak perlu kujelaskan aku mendapat ide dari mana, kucoba untuk merokok. Kau tahu, orang-orang melakukannya. Merokok. Memperlambat waktu barang sedetik.

Tapi aku gagal pada hisapan pertama. Kurasa itu tawa terbesarku dalam beberapa tahun terakhir. Aku memandangi saja rokok di tanganku yang terus terbakar. Jika ia mati, kunyalakan lagi, sampai akhirnya ia benar-benar habis. Lalu aku tersadar bahwa aku telah melewatkan hampir satu jam untuk sekedar membakar dan mengamati asapnya.

Aku membakarnya lagi, kali ini seperti yang kulakukan sekarang. Menaruhnya di asbak. Memastikannya tidak mati. Ajaib. Konsentrasiku kembali dan aku bisa menulis. Tidak, bukan rokok yang membuatku menulis. Kurasa aku menyadari bahwa waktu perlahan habis, seperti batang rokok di depanku, yang terus terbakar. Mungkin jika aku mencobanya pertama kali dengan lilin, kita sekarang akan duduk dengan sebatang lilin yang terus menyala.”

Aku memiringkan wajah, menopangnya dengan punggung tangan. Mengangguk pelan. Berusaha mencerna setiap kata dalam kalimatnya.

Besoknya kami berjanji untuk kembali bersama.

*****

Masih tersisa dua hari dari deadline ketika tugas akhirku selesai. Ia banyak membantuku, memberi masukan. Lelaki yang benar-benar pintar. Kurasa aku bisa bicara padanya tentang apa saja. Aku ingat saat kami saling bersandar. Di kursi masing-masing. Puas setelah selesai menulis. Ia dengan bukunya. Aku dengan tugasku.

“Jadi, apa yang akan kaulakukan setelah ini?”

Aku tergagap. Tak menyangka ia akan bertanya seperti itu. “Ah. Pertanyaan yang sulit. Kurasa aku…”

“Tidak ingin menikah?”

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Sama sekali tidak siap. Ia tersenyum lebar. Aku buru-buru menjawab. “Belum. Aku belum memikirkannya.”

Lalu kami saling diam. Tiba-tiba saja, seperti ada benteng yang memisahkan kami. Tiba-tiba saja, aku merasa kami berdua menjauh. Kulihat ia melirik jam tangannya.

“Sudah siap untuk pulang?”

Aku tak tahu telah menjawab apa.

“Besok kita bertemu lagi, kan? Ada yang ingin kutunjukkan.” Lalu ia berlalu setelah mematikan sebatang rokok di asbak.

Untuk pertama kali pula, aku ketakutan. Tanpa sebab.

*****

Aku tidak bisa tidur. Tidak sepicing pun. Kupandangi jarum jam di dinding yang terus berputar, melompat-lompat dari satu angka ke angka lainnya. Sepanjang malam begitu.

Di pagi hari teman dari kamar sebelah menyampaikan pesan. Dosen pembimbingku ingin aku menemuinya hari itu juga. Maju lebih awal sehari dari jadwal asli. Ya, kurasa kini ketakutanku beralasan.

Panik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menjumpai dosen pembimbingku dengan kepala dan hati hampa. Kuserahkan tugas akhirku padanya. Menjelaskan beberapa ratus lembar hasil kerjaku seperti yang selama ini ia minta. Saat akhirnya ia menyalamiku, kurasakan air mataku mengalir.

Ia tersenyum lebar. Aku tahu ia menyangka aku terharu.

Padahal aku menangis karena kehabisan waktu.

Sudah malam saat aku sampai di kafe. Ya. Benar sekali.

Asbak itu penuh abu dan batang rokok yang sudah berhenti menyala.

Ia tidak di sana.

*****

 “Apa maksud Nenek?” aku terpana.

“Kita sering terlalaikan oleh waktu. Datang dan pergi. Silih berganti. Siang. Malam. Semua berjalan teratur sekali. Ketika malam berakhir kita akan berharap dihampiri pagi.” Nenek mengalihkan wajah padaku. “Aku sama sekali tidak pernah menanyakan tentangnya. Dari mana ia berasal. Bahkan aku tidak tahu buku apa yang sedang ia tulis. Kurasa, aku terlarut dalam perasaanku sendiri. Terlanjur percaya diri bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kami.”

“Ia bukan Kakek?” suaraku meninggi.

Nenek tersenyum. Menatapku lama. “Tentu saja bukan.” Ia kemudian membuka laci di sampingnya. Memasukkan hasil rajutannya. Lalu mendekatiku. Memandangi bulan yang ada di seberang kami berdua.

“Aku sudah akan tidur.” Katanya.

Ia sudah sampai ke pintu saat berbalik. “Kau selalu boleh bercerita padaku. Kau tahu benar itu.”

Lama setelah pintu itu tertutup, aku baru mengangguk pelan. Ya, aku tahu benar itu.

***** selesai *****

Tinggalkan Balasan

Waktu Berhenti di Matanya 3

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Kelabu Atas Langit 5

Kelabu Atas Langit

“Kau mau pergi?”

Desingan mesin jahit itu berhenti. Aku yakin wanita itu sedang menatapku sekarang. Tapi kubiarkan saja. Kuteruskan memakai kaus kakiku.

“Ada wawancara kerja.” jawabku datar.

Mesin jahit tadi kembali berdesing.

“Jam berapa kau akan pulang?”

Aku menarik nafas panjang. Kupakai sepatuku.

“Mungkin malam.”

Kembali suara desingan itu berhenti. Ekor mataku menangkap bahwa wanita itu bangkit dari belakang mejanya.

“Kau akan pergi sekarang?”

“Ya.”

“Sekarang?”

Rahangku mengeras. “Sebentar lagi.”

“Kau sudah sarapan? Mau kubuatkan kopi?”

“Aku akan makan di luar.”

Wanita itu memberikan sesuatu dari belakang pundakku. Sebuah payung.

“Belakangan ini sering hujan. Kemarin aku ke pasar dan membeli payung ini. Bisa dilipat. Kurasa bisa muat di dalam tasmu.”

Aku menerimanya. Memasukkannya ke dalam tas. Memang muat. “Terima kasih.”

“Aku akan membuatkanmu kopi. Akan kulihat juga jika masih ada roti.” Wanita itu memasuki dapur. Sekejap saja dia hilang di balik tirai.

Lengang.

Hanya suara gelas beradu dengan sendok logam.

Kusibak lengan kemeja panjangku. Mengintip arlojiku. Seharusnya Arman sudah datang delapan menit yang lalu.

Nah. Itu dia. Kulihat sepeda motor memasuki halaman. Arman membuka helmnya. Menekan klakson. Tersenyum padaku. “Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam. Kupikir kau tidak jadi datang.”

“Ah. Kau bisa saja. Jangan terlalu serius.” Arman memarkir motornya. “Kita berangkat sekarang?”

Aku terdiam. Kubalikkan tubuh. Memandang ke arah dapur. Hidungku mencium bau kopi dan roti bakar. “Ya. Aku akan ke dalam sebentar. Hanya sebentar.”

Aku bangkit berdiri dan memasuki dapur.

Wanita itu sedikit terkejut saat aku menyibak tirai. “Ternyata masih ada roti. Aku membuatkanmu roti bakar.”

“Arman sudah datang. Aku akan berangkat sekarang.”

Wanita itu terdiam. Ia menatapku lekat-lekat. “Rotinya memang belum siap. Tapi kopinya sudah bisa diminum.”

“Terima kasih. Tapi aku harus pergi sekarang.” Kusibak lengan kemejaku. “Aku bisa terlambat.”

Wanita itu tegak mematung. “Kau ingin membawa roti sebagai bekal? Kau belum sarapan.” suaranya terdengar bergetar.

“Tidak. Tidak perlu.” Aku menggeleng. “Aku akan makan di luar.”

Sesudah itu aku keluar. Wanita itu masih mematung.

*****

            Hujan turun dengan deras. Aku bisa mendengar bunyi air yang memukul-mukul kaca jendela. Sepertinya akan lama.

Hujan yang lama.

Menunggu yang lama.

Seorang lelaki bertubuh besar berjalan melewatiku dengan tergesa-gesa. Ternyata namanya dipanggil. Ia menyenggol tasku. Dengan sedikit panik ia meminta maaf. Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkannya lewat. Lalu mengambil tasku yang tergeletak di lantai.

Tanganku meraba sesuatu yang keras. Payung. Aku ingat aku membawa payung. Sepertinya tidak terlalu buruk membawa payung. Perasaanku jadi sedikit terganggu.

“Ibumu sendirian di rumah?” Arman menepuk pundakku. Membuatku tersadar.

“Ya.” Aku mengangguk pelan.

Ibumu sendirian di rumah? Hhh…

Ibuku sendirian di sana. Ibu kandungku sendirian di alam sana…

“Kulihat kau masih tidak berubah.”

Aku berpaling pada Arman. “Kau bicara padaku?”

“Kupikir kau harus memperbaiki komunikasi antara kalian berdua. Ia sudah bersamamu sejak lama. Tapi kau masih juga tak bisa menerimanya.”

Rahangku mengeras. Kutatap Arman lama. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku berpaling. Menatap lantai.

Begitu mudah untuk kembali mengingat masa-masa pahit yang pernah terjadi. Seperti sekarang. Ketika langit pecah dengan hujannya. Siang menggigil dengan dinginnya. Manusia di sekitarku meringkuk pada kesibukannya. Pikiranku kembali ke masa silam. Aku masih tiga belas tahun saat itu…

“Ayah akan menikah lagi…”

            Aku tidak menyatakan apa-apa. Yang jelas beberapa bulan kemudian aku mendapati seorang wanita telah resmi menjadi penghuni rumah yang selama ini kuhuni. Ibu tiri. Aku mendapatkan seorang ibu tiri.

            Ibuku meninggal saat usiaku sepuluh tahun. Berarti telah tiga tahun berlalu. Namun tetap saja perasaan tidak senang muncul pada ibu tiriku itu. Meski setiap orang di keluargaku mengatakan bahwa ibu tiriku itu adalah seorang wanita yang sangat baik. Meski setiap orang menyatakan bahwa memang sudah saatnya ayah memiliki seorang pendamping hidup setelah tiga tahun ibu meninggal.

            Aku lalu memutuskan masuk sekolah yang memiliki asrama. Kukatakan pada ayah bahwa aku ingin lebih mandiri. Tapi jauh dalam lubuk hatiku aku berteriak bahwa aku tidak sanggup melihat sosok ibu tiriku itu. Entahlah. Aku sangat ingin membencinya. Namun sayangnya, ia tepat seperti yang dikatakan keluargaku, dia wanita yang sangat baik. Tak ada alasan untuk membencinya.

“Kau takut Ayah melupakan Ibumu…?”

            Ternyata Ayah menyadari perasaanku. Satu malam sebelum keberangkatanku ke asrama dia mengajakku bicara. Dari hati ke hati. Pembicaraan laki-laki.

“Ibumu adalah wanita yang hebat. Ayah tak kan pernah menyangkal itu. Dengarkan ini, simpan ini sebagai kata-kata yang bisa Ayah ucapkan sebagai penjelasan bagimu. Ayah sangat mencintai Ibumu. Sangat cinta. Dan Ayah tak akan pernah melupakan cinta itu. Bahkan seandainya Ayah berniat melupakannya, cinta yang terlalu dalam itu sendiri yang akan menuntut Ayah. Akan terus menuntut Ayah untuk mengingatnya. Di lain pihak, Ayah harus tetap hidup untuk beberapa waktu ke depan. Biarlah Ibumu menjadi penguat Ayah agar terus menjagamu. Karena cinta kami berdua seperti itu. Jauh di dalam lubuk hati ini Ayah menyimpan segala hal tentang Ibumu. Tidak akan pernah Ayah sia-siakan kenangan itu…”

“Muhammad Baihaqi…!”

“Kau dipanggil…” Arman kembali menepuk pundakku. Memutus lamunanku.

*****

Ayah meninggal sembilan tahun kemudian. Sekali lagi hatiku hancur. Apalagi saat aku melihat ibu tiriku terlihat begitu terguncang. Begitu sedih. Sebesar itukah cintanya pada ayahku? Aku sempat takut jika ibu masih hidup apakah akan terlihat sesedih itu. Aku takut jika ternyata cinta wanita itu jauh lebih besar daripada cinta yang telah ibu berikan pada Ayah. Ibu telah tiada. Tak ada lagi masa untuknya bisa menunjukkan perasaannya yang begitu halus. Sedang wanita itu dengan bebas bisa mengekspresikan cintanya.

Sepeninggal Ayah aku bingung akan terus hidup sendiri ataukah kembali ke rumah. Keluarga yang lain mengatakan sebaiknya aku kembali ke rumah saja. Karena sekarang ibu tiriku sendirian. Ia tidak memiliki anak. Baguslah. Aku bakalan lebih senewen jika ternyata ia memiliki anak. Aku menurutinya. Tinggal bersama wanita itu.

Dan selama kami — aku dan ibu tiriku — tinggal bersama itulah aku melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ wanita itu. Pantas jika ayah memilihnya menggantikan ibu. Sekali lagi aku gugup jika seandainya ibu dan wanita itu harus bersaing memperebutkan ayah, aku tidak begitu yakin dengan hasilnya.

Lambat laun aku mulai menerima ibu tiriku itu. Paling tidak aku menghargainya. Ia wanita yang baik. Sholehah. Ia menutup dirinya dengan baik. Ia menjaga kehormatannya dengan baik.

Sebentar.

Kurasa aku lupa mengatakan tentang satu hal. Satu hal yang sangat penting. Cerita ini takkan jelas tanpa sesuatu itu.

Ibu tiriku itu masih muda.

Ia menikah dengan ayahku saat berumur sembilan belas tahun.

Aku harus mengakui tidak terlalu nyaman tinggal bersamanya. Aku harus berusaha menumbuhkan kebencian — paling tidak rasa tidak suka — padanya. Sebab ternyata aku mulai menyukainya. Menyayanginya. Ingin menjaganya.

Aku tahu perasaan itu tidak bisa dibenarkan. Sama sekali tidak bisa dibenarkan. Karena itu perasaan sayang itu tak boleh kubiarkan tumbuh dengan bebas dalam hatiku. Aku menyimpan rapat-rapat perasaanku itu. Aku harus memupuk benci agar perasaanku pada wanita itu tidak menjadi perasaan yang tak terkendali. Tidak terlalu menyenangkan bersikap seperti itu. Tapi aku membiasakannya. Seperti tadi pagi. Benar-benar tidak nyaman. Jauh di dalam lubuk hatiku aku ingin tahu seperti apa perasaannya terhadapku.

“Mas. Sudah mau tutup…”

Aku membayar makananku. Beranjak dari dudukku.

Hujan belum reda. Benar-benar lama. Meski sekarang sudah tidak sederas tadi. Kurapatkan jaketku. Mencoba mengusir dingin. Mengusir pikiran-pikiran liar yang sedari tadi mengisi kepalaku.

Aku pulang sendirian. Arman berpisah denganku sejak Asar. Sekarang sudah jam sebelas. Jalanan sudah mulai lengang. Lengkap sudah sketsa buram malam ini. Sendiri. Sepi. Dingin. Beku.

Aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki saja.

Kubuka payungku. Mulai berjalan pulang.

“Maaf. Bisa beritahu saya di mana jalan Beringin?” seseorang menyela jalanku.

Seorang gadis. Usianya pasti di bawahku. Memakai jas hujan yang menutupi kepalanya. Kerudungnya tepatnya. Mengingatkanku pada wanita itu.

“Sudah dekat. Di ujung belok kiri saja.”

Gadis itu mengikuti arah telunjukku. Wajahnya menyiratkan kelelahan. “Terima kasih.”

Aku terdiam. Mengamatinya. “Terima kasih kembali.”

Gadis itu sudah menjauh. Menarik travel bagnya. Selain itu ia juga membawa beberapa tas gendong. Kelihatannya berat.

Aku mengejarnya. Mempercepat langkahku. Bisa kulihat ia sedikit terkejut saat melihatku lagi.

“Kupikir kau perlu bantuan…”

*****

Aku tiba di rumah lewat tengah malam. Rumah kosong. Kemana wanita itu?

Diam-diam aku merasa cemas.

Sampai kutemukan sebuah surat terletak di atas meja makan.

Assalamu’alaikum.

Anakku. Izinkan aku memanggilmu demikian.

Aku pergi ke Panti. Mungkin akan tinggal di sana lagi. Maaf jika aku melakukan ini. Tadi siang saat kau menelepon meminta dilihatkan berkas-berkas surat, aku terpaksa mencarinya di kamarmu. Dari sanalah aku menemukan alasan mengapa aku harus melakukan ini. Kupikir akan jauh lebih baik jika aku pergi.

Anakku. Biar bagaimanapun kau tetap adalah anakku. Aku adalah istri ayahmu. Aku mencintai ayahmu. Jika yang tersisa darinya adalah kau, maka aku juga menyayangimu, sebagai seorang anak dari suamiku. Aku menyayangimu seperti itu.

Anakku. Aku akhirnya mengerti mengapa selama ini kau bersikap dingin padaku. Kau menulis dengan sangat jelas dalam buku harianmu. Terima kasih karena sudah dengan sepenuh hati menjagaku. Aku sangat menghargainya.

Anakku. Kau adalah laki-laki yang baik. Darah ayahmu mengalir dalam darahmu. Aku percaya kau akan segera menemukan cinta lain yang bisa kau jaga dengan kebaikan hatimu, jauh lebih kuat dari saat kau menjagaku. Aku sangat percaya itu.

Aku minta maaf atas kesalahanku selama ini. Aku mendoakanmu untuk seluruh kebahagiaan yang ada di atas dunia ini. Kau pantas menerimanya.

Sekali lagi maafkan aku.

Ratih

Kulipat kembali surat itu. Meletakkannya ke atas meja. Kurasakan tubuhku menyerah. Kutarik sebuah kursi untuk kemudian mendudukinya. Kepalaku terasa berdenyut.

Perlahan aku bangkit. Menuju kamar wanita itu. Ibu tiriku. Ia benar-benar sudah pergi.

Aku beralih ke kamarku. Mataku langsung menangkap buku harianku tergeletak di atas tempat tidur. Aku ingat aku tidak meletakkannya di sana. Sepertinya wanita itu memang membacanya.

Malam itu aku benar-benar sendirian.

Wanita itu benar-benar pergi.

 ***** selesai *****