Arsip Tag: cita-cita

Torimodosu* 1

Torimodosu*

Hana menghela napas dalam. Disekanya keringat yang mengalir di kening. Siang itu terik. Ditambah lagi ia harus berdesakan di dalam angkot. Seorang bapak separuh baya tampak tenang mengisap rokok, untuk kemudian dengan lebih tenang mengembuskannya keluar.

Hana menghela napas lebih dalam. Dadanya sesak tak tertahankan. Maka ketika ia melihat persimpangan jalan menuju rumahnya, ia buru-buru berkata pada sopir.

“Berhenti kiri, Bang.”

Ia masih harus berjalan sekitar dua ratus meter lagi. Jalan menuju rumahnya tidak termasuk jalur angkutan umum.

Dua orang anak SD berlarian mendahului. Hana tersenyum melihatnya.

Ah… anak-anak.

Mereka masih bebas. Masih bisa tertawa lepas. Tidak seperti dirinya sekarang.

Hari ini pembagian raport SMA semester ganjil. Hana merabai tasnya dari luar. Ada raportnya di dalam. Selain itu ada raport Hani. Adiknya. Adik kembar tepatnya.

Hani masih di sekolah. Ia mendapat juara umum. Lagi. Untuk keempat kalinya sejak kelas satu semester dua. Sekarang mereka sudah kelas tiga.

Hana menelan ludah. Kerongkongannya tiba-tiba terasa sangat kering.

Ia sendiri biasa-biasa saja. Sepuluh besar juga tidak. Kalau tidak salah tadi Bu Hanum mengatakan nilainya urutan enam belas dari tiga puluh siswa.

Rumahnya sudah terlihat. Hana harus mengakui ia sedikit gugup. Apalagi ia melihat sepeda Andi, adik laki-lakinya. Anak itu biasanya juga dapat ranking satu. Hana senang karena adik-adiknya itu pintar. Hanya sayang, Andi masih suka mengejek. Seperti semalam …

“Hani besok tes beasiswa. Doain ya, Yah…”

Waktu itu ia sedang mengupas bawang untuk menggoreng sambal di dapur. Diam-diam ia mendengarkan pembicaraan Hani dan kedua orang tuanya itu.

“Oh ya. Yang kemarin kamu ceritakan itu? Jadi kamu lulus?”

“Alhamdulilah, Yah. Udah lulus tahap pertama. Kalau besok lulus lagi, Hani mewakili sekolah untuk babak selanjutnya.”

“Babak? Kok kayak perlombaan gitu, Han?” Ibunya ikut nimbrung.

“Ya… prosedurnya emang gitu, Bu…”

“Kak Hana ikut tes, nggak?”

Ini dia. Andi mulai ikut-ikutan juga.

“Pasti nggak. Iya kan? Iya kan?! Hahaha … bener nggak? Ah, kak Hani curang. Masa nggak mau jawab. Andi tanya sendiri, ah. Kak Hana mana? Di dapur ya?”

“Kringg… kringg!!”

Hana tersentak dan buru-buru menepi. Membiarkan tukang bakso tadi mendahuluinya. Ia sendiri sudah sampai. Terlihat sepeda Andi tergeletak menutupi pagar. Hana membereskannya sebelum masuk. Memarkirnya dengan baik di teras.

“Dorr!!!”

Astaghfirullahaladzim … Andi …! Ngapain sih?!”

“Hahaha … sorry man … eh … kakak cewek ya? Girl …” Andi masih tergelak. Tangannya membawa sebuah piagam. Ia memamerkannya. “Lihat. Bagus, nggak? Bagus, kan? Bagus … Andi dapat penghargaan. Hebat, kan?”

Hana sedang melepas sepatunya. Ia melirik sekilas. “Bagus. Selamat ya.”

Thank you. Eh, kakak udah terima raport? Gimana? Dapat rangking? Nggak? Dapat, nggak? Kak Hani gimana? Raportnya di mana? Dalam tas ya? Lihat ya?” Andi membuka tas Hana. Hana buru-buru merebutnya.

“Apaan sih? Nanti kakak lihatin! Baru juga nyampe.”

“Sekarang!” Andi balas menarik tas dengan kuat. Hana akhirnya mengalah. Membiarkan tasnya dibuka. Dadanya berdebar tambah keras.

“Wah … juara satu … wuuu … sembilan semua … cuma satu yang dapat delapan … pelajaran olahraga … waw … hebat …” Andi menatap wajah Hana dengan sorot kagum. Hana menelan ludah.

“Itu punya kak Hani.”

“Ha?! Kak Hani? Oh iya … Hani Safitri … hehehe … tadi cuma lihat fotonya sih …. Kak Hani mana? Kok nggak pulang sama-sama?”

“Belum. Masih di sekolah.” Hana menjawab pendek. Diletakkannya sepatunya dengan rapi. Bangkit. “Ibu mana?”

“Ke pasar. Wah, kakak nggak dapat juara lagi, ya? Hehehe … tapi nilai totalnya naik sih … satu angka … hihi ….”

Hana tak menanggapi. Ia sangat haus. Ia ingin minum. Andi masih terus berkomentar tentang nilai raportnya. Anak itu mengekor langkahnya. Ikut ke dapur.

“Kakak malas belajar, sih.”

Hana memeriksa rice-cooker. Ternyata nasi tinggal sedikit. Ia lalu mengambil rantang. Membasuh beras.

“Menurut yang Andi pelajari di Biologi, harusnya anak kembar itu sangat mirip satu sama lain. Apalagi kakak kan kembar identik.”

“Kamu sudah makan?”

“Belum. Gorengin telur, dong? Dadar, ya. Sambal semalam masih ada, kan? Eh, tadi Andi bilang telur apa? Dadar, ya? Ganti deh, mata sapi aja. Setengah matang. Eh, matang aja deh, yang kuningnya diaduk-aduk, ya. Biar gurih.”

Hana menyalakan kompor. Menaruh wajan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku Biologi. Sekelas sama kakak, ya?”

“Nggak. Eh, kakak ganti baju dulu. Kamu tungguin kompornya bentar. Nanti kalau minyaknya udah panas, masukin telurnya, ya.”

Ha? Nggak, ah. Andi kan minta dimasakin.”

“Bentar aja. Kakak mau ganti baju dulu. Ya?

“Nggak. Matiin aja kompornya dulu kalo gitu.”

Hana memberengut. Andi menjulurkan lidah.

“Bentar aja, kok.”

Tapi Andi tetap menggeleng. Kalau sudah begitu tidak ada gunanya lagi menyuruhnya.

Assalamu’alaikum…” terdengar salam dari pintu masuk.

Suara ibunya. Hana kembali merasakan jantungnya berdebar kencang. Andi berlari keluar. Memamerkan piagamnya.

“Hebat kan, Bu. Lihat … Bagus nggak?”

“Iya … Iya … Bagus … Tadi juga kamu udah bilang sama ibu … Bantu ibu angkat belanjaan. Itu di luar … Eh, udah pulang, Na?”

Hana mengangguk. Disekanya keringat yang tiba-tiba mengalir lagi. Ia mengulurkan tangan mengambil bungkusan belanjaan yang tak dipedulikan oleh Andi. Setelah itu menutup pintu dan mengikuti langkah ibunya ke dapur.

“Kamu masak apa? Ibu tadi beli ikan. Sekalian digoreng nanti ya.”

Hana tersadar. Tadi Andi minta dibuatkan telur mata sapi. Ia segera memecahkan telur.

“Sudah masak nasi?”

Hana mengangguk. Ia menatap ibunya. Ada yang ingin ia katakan. Tapi mulutnya seakan terkunci.

“Kuningnya dihancurkan. Dihancurkan.” Andi masuk. Terengah-engah.

Hana memberengut pada adiknya itu. Tapi tetap dituruti permintaannya itu. Setelah selesai ia mengambil piring dan mengambil sisa nasi di rice-cooker, meletakkan di depan Andi yang sudah duduk dengan manis di tepi meja makan. Mata anak itu berbinar-binar.

Thank you ….” Andi menyambut piring berisi telur yang disodorkan Hana. Matanya kemudian mengedip-ngedip nakal.

“Nanti kamu tumis kacang panjang, ya, Na. Ibu tadi ada beli. Mahal sekali, dua ikat sepuluh ribu… Kamu nggak mau nunggu ikannya digoreng dulu, Ndi?”

Hana mengangguk. Diambilnya tas sekolah dari atas meja makan. Andi yang meletakkannya di situ tadi. Ia tidak mendengar jawaban Andi atas pertanyaan ibunya tadi.

Sesampainya di kamar, Hana mengganti seragam. Kerudung putihnya terasa basah. Ia juga melepasnya. Rambutnya terlihat basah. Setelah selesai berganti pakaian ia segera kembali ke dapur

“Ada karet gelang, nggak?”

Andi menoleh. Menggeleng. Mulutnya penuh nasi.

“Itu ada. Dekat rak gelas. Ibu ingat ada satu di situ.” Ibu yang menjawab.

Hana mengambil dan mengikat rambutnya.

“Jangan lupa dibasuh dulu sayurnya, ya.”

“Bu…!” Andi menyela. “Kak Hani juara umum lagi, lho. Andi liat raportnya.”

“Oh, ya?” ibunya berpaling pada Hana. “Benar?”

Hana mengangguk pelan.

Alhamdulillah. Kamu sendiri? Bagus nilaimu?”

Hana memaksa bibirnya tersenyum.

“Naik satu.”

Alhamdulillah. Biar satu kan naik juga. Besok-besok mudah-mudahan lebih baik. Ibu sih senang saja kalau kalian semua dapat nilai yang baik.” Ibunya bicara sambil membersihkan ikan.

Ini dia. Hana merasa dadanya sesak. Ibunya tak pernah membandingkannya dengan Hani. Satu-satunya orang yang tak pernah menyinggung perbedaan antara ia dan saudara kembarnya itu. Hana selalu merasa sedih jika mengingat itu. Jauh di dalam hatinya ia ingin bisa menyamai Hani. Pintar. Pandai bergaul. Selalu membuat bangga keluarga.

“Kak Hani kok belum datang juga? Lama, ya? Andi kan mau kasih selamat.”

“Andi, piringnya dicuci kalau sudah selesai,” Ibu mengingatkan.

“Kak Hana cuciin, ya.”

“Cuci sendiri. Kan cuma satu. Malas jangan dipelihara,” Hana menyahut.

“Cuciin ya ….” Andi menggelitik kakaknya itu. Lalu berlari keluar.

Hana sudah selesai menumis kacang panjang saat ibunya berkata.

“Hani pulang jam berapa?”

Hana menatap ibunya. “Hana kurang tahu, Bu. Tadi katanya ada pertemuan. Mungkin sampai sore.”

“Oh ….”

Tiba-tiba Ibu menghentikan gerakannya membasuh ikan.

“Kamu sekarang kelas tiga ya, Na?”

Hana terdiam. Menduga-duga arah pembicaraan Ibu. “Ya. Masih satu semester lagi.”

“Nanti kalau selesai SMA, mau kuliah di mana?”

Hana terdiam lagi. Diambilnya ikan yang diberikan ibunya. Menggaraminya. Ibu melanjutkan kalimatnya. “Beberapa hari yang lalu Hani cerita kalau ia mau masuk fakultas kedokteran. Hani bilang ia akan berusaha dapat beasiswa agar bisa masuk. Sebab katanya kedokteran itu mahal. Kalau kamu mau masuk apa?”

Hana menggigit bibirnya. Pandangannya mulai terasa kabur. Ia merasa hidungnya juga mulai berair.

“Hana belum tahu …” tanpa bisa ditahan suaranya sedikit tercekat.

“Oh .…”

Hana mengambil asam jawa. Melumurinya pada ikan-ikan.

“Nanti digoreng sampai kering, ya? Ibu mau angkat jemuran. Sepertinya hari akan hujan.”

Sepeninggal ibunya, Hana termenung. Ia teringat saat di sekolah tadi…

Nanti kamu yang ambilin raportku, ya? Aku mau tes beasiswa. Kayaknya bakalan lama.”

“Ah. Apa kamu benar-benar nggak bisa…?”

“Pokoknya Hana tolong, ya. Hari ini kita pakai baju yang sama saja. Pakai bajuku. Pasti nggak ada yang menduga kalau Hana adalah Hani… gimana?”

Dan ia benar-benar gugup saat pengumuman di lapangan upacara. Hani kembali jadi juara umum. Dan itu berarti ia harus maju ke depan. Benar-benar ke barisan paling depan. Hana masih teringat betapa gugupnya ia dipandangi oleh hampir seribu pasang mata. Semuanya akan baik-baik saja jika ia tidak mendengar bisik-bisik dari barisan majelis guru…

“Lho? Bukannya Hani Safitri sedang tes beasiswa? Tadi saya yakin melihat dia sudah pergi diantar kepala sekolah.”

“Masa?”

“Iya. Benar. Apa dia nggak jadi pergi?”

“Mungkin juga, sih. Tapi sayang kalau dia tidak jadi ikut tes beasiswa. Dia itu sangat cerdas. Saya pernah mengajarnya saat kelas satu dulu. Kagum.”

“Benar. Jarang ada anak perempuan yang sudah pintar, baik, alim lagi. Kerudungnya lebar, lho…”

“Saudara kembarnya itu namanya siapa?”

“Siapa?”

“Ah, ada itu. Mereka mirip sekali. Saya pernah pulang bareng mereka. Mirip banget.”

“Masa? Sekolah di sini juga?”

“Lho? Ibu nggak tahu? Aduh, kok bisa nggak tahu?”

“Mungkin karena mirip, ya? Katanya mereka mirip. Mungkin saya kira mereka itu satu orang.”

“Tapi beda lho, Bu.”

“Beda gimana?”

Hana masih ingat ia hampir menangis saat itu. Dadanya benar-benar sesak. Apalagi ternyata kedua ibu guru itu mendekatinya dan menanyakan tentang Hana Safitri.

Lalu saat ia mendatangi kelas Hani untuk mengambil raport. Kelas terbaik. Kelas A. Kumpulan orang pintar.

“Jadi yang tadi itu bukan Hani yang maju?” wali kelas Hani menatapnya tajam.

Padahal ia sudah mengumpulkan seluruh keberanian untuk masuk, namun tetap saja kakinya sampai lemas. Seluruh kelas menontonnya.

“Maksudnya apa itu? Kamu berpura-pura jadi Hani? Begitu?”

“Hani sedang ikut tes. Saya menggantikannya…”

“Lho? Kenapa? Kenapa harus digantikan? Kan bisa dibilang kalau Hani sedang ikut tes. Kenapa malah kamu gantikan? Itu namanya membohongi kami. Saya kira yang maju tadi itu Hani.”

Hana terdiam, menunduk memandangi ujung sepatunya. Ibu wali kelas itu masih menatapnya tajam.

“Kamu Hana, kan? Kamu kira bisa tuker-tukeran gitu? Maksudnya apa coba?”

“Pengen ngerasain jadi Hani tuh…” seorang siswa menyeletuk. Seketika itu kelas gaduh. Penuh dengan tawa. Hana berjuang agar air matanya tidak tumpah.

“Jangan terlalu kering menggoreng ikannya…”

Hana tersentak. Mengangguk pada ibunya.

“Kalau sudah, nanti ditaruh di lemari. Suka ada kucing masuk.” Kata ibunya lagi. “Ibu ada beli mangga. Makan yuk. Sudah lama nggak makan mangga. Kita makan berdua saja.”

Hana menoleh pada ibunya. Mengangguk lagi. Kali ini dengan tersenyum kecil.

“Ibu tunggu di teras belakang, ya?” Ibu mendahului pergi sambil membawa kantung berisi mangga. “Sekalian nanti bawa pisaunya, ya, Na. Jangan lupa dibasuh dulu, tadi habis potong ikan.”

Hana mengangguk mengiyakan.

“Aku tunggu di parkiran, ya?”

Wahid. Betapa ia tidak berani memandangi wajah itu saat di kelas Hani tadi. Setelah mengambil raport Hani ia segera keluar ruangan, ia bisa merasakan pandangan seluruh mata menghujam punggungnya. Buru-buru ia menuju kelasnya, sebelum ia mendengar Wahid memanggilnya. “Aku tunggu di parkiran, ya. Aku sekalian mau mengembalikan buku. Tapi karena tidak membawa tas, bukunya masih kutaruh di mobil saja. Nanti sekalian ikut pulang saja. Kita nggak berdua kok, ada Fatima adikku.”

Ia ingat telah mengangguk sebagai jawaban. Namun ia tidak pernah datang ke parkiran. Setelah mengambil raport, ia buru-buru pulang dengan angkot pertama yang bisa ia masuki.

Assalamu’alaikum.

Hana bisa mendengar itu suara ayahnya. Ia bergegas mematikan kompor dan menuju pintu depan. “Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Yah?”

Ayahnya terlihat kaget saat melihat ia yang membukakan pintu. “Ibumu mana? Iya, Ayah tidak enak badan. Jadi pulang lebih awal.”

“Ibu di teras belakang. Ayah mau makan? Nanti Hana siapkan.”

Ayahnya menggeleng sambil melonggarkan dasinya. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu. Ibu ngapain di belakang?”

“Katanya mau makan mangga. Ayah mau dibuatkan teh?”

Ayahnya kembali menggeleng. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu.” Ia kemudian menuju kamar. Sesaat sebelum membuka pintu ia membalikkan badan dan bertanya. “Hani mana?”

Hana mengulang jawaban yang sama saat menjawab pertanyaan ibunya. Ia kemudian melihat pintu kamar ditutup setelah ayahnya melewatinya. Ia kembali ke dapur dan menyimpan ikan goreng ke dalam lemari. Mengambil pisau dan mencucinya dengan bersih, setelah yakin tidak berbau ikan ia mengeringkannya. Ia baru akan keluar dapur ketika ibunya kembali masuk.

“Kenapa lama sekali?”

“Barusan Ayah datang. Katanya lagi nggak enak badan.”

Raut wajah ibunya berubah, “Sekarang di kamar?”

Hana mengangguk. Ibunya meletakkan kantung berisi mangga yang tadi dibawanya di atas meja, kemudian bergegas ke kamar.

Sejurus kemudian Andi datang dengan terengah-engah. “Ikan tadi udah digoreng? Andi mau makan lagi, dong.”

“Kamu dari mana saja, keringetan banget.” Hana mendorong dahi adiknya dan menyeka rambutnya yang basah. “Cuci tangan dulu.”

“Mau makan lagi.”

Hana menggeleng-geleng, namun diturutinya juga. “Nasinya baru matang jadi masih panas, hati-hati ngambilnya.”

“Ambilin.” Andi sudah duduk dengan manis di tepi meja.

“Kamu itu kenapa sih makan aja mesti diambilin. Kayak anak kecil.” Hana bersungut.

“Hehehe. Mumpung ada kak Hana. Kalau Kak Hani pasti nggak mau disuruh-suruh.” Andi terkekeh. “Lagian kan Andi ranking satu jadi harus dilayani. Ikannya mau dua, ya. Tapi nggak mau kepalanya. Kepalanya nggak mau.”

Hana menghela napas, dengan cepat ia mengambil nasi dan ikan untuk Andi. Ia juga memasukkan tumis kacang panjang dan sambal ke piring tersebut. Andi mengernyit tak suka. “Sayurnya nggak mau.”

“Sudah terlanjur di piring. Harus dimakan.”

Andi mencibir tak suka tapi tetap melanjutkan makan. “Tadi Andi main di rumah Heru. Dia punya game baru di Playstation-nya.”

“Kok sampe keringetan gitu?”

“Habis main PS kami main bola. Lagi asyik main eh berhenti karena ayah Heru pulang.”

Ayah Heru adalah teman sekantor ayahnya. Hana mengernyitkan kening. “Ayahnya Heru sudah pulang kantor?”

Andi mengangguk-angguk. Ia kemudian meludahkan sepotong tulang ikan ke tangannya. “Ayah Heru di-PHK katanya.”

Hana terkesiap. “Siapa yang bilang?”

“Heru. Dia dikasih tahu ibunya kalau game yang baru itu harus awet karena ntar susah buat beli lagi karena ayahnya mau di-PHK.” Andi mendesis kepedasan. “PHK apaan ya?”

Hana menelan ludah. Perasaannya tak enak. “Makannya pelan-pelan. Nanti tersedak.”

Andi mengangguk-angguk. Pandangannya nanar. Ia melihat kantung buah di atas meja.

“Andi mau mangga.”

“Punya Ibu.”

“Kupasin satu.”

“Bilang Ibu dulu.”

Andi menggigitkan giginya dengan gemas. “Minta satu…!”

“Bilang Ibu dulu.” Setelah itu Hana mengemasi kantung mangga tadi ke dalam lemari paling atas, tidak akan terjangkau oleh Andi. Anak itu mendecak kesal namun melanjutkan makan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku.”

“Tadi kamu sudah bilang.” Hana membuka kulkas, mengeluarkan lima butir telur. Andi mengamatinya.

“Kakak bikin apa?”

“Kue.”

“Mau.”

Hana mengacungkan telur mentah di tangannya, membuat Andi tergelak. Mau tak mau Hana ikut tersenyum.

“Bang Wahid bilang bukunya harus dikasih langsung ke Kakak.”

Hana diam saja dan kembali membuka lemari, mencari-cari tepung terigu.

“Katanya mau datang lagi ntar jam lima.”

Hana melirik Andi dengan ekor matanya. Anak itu sedang menjilat-jilati jemarinya.

“Andi mau kalau punya abang seperti bang Wahid.”

“Cuci piringmu kalau sudah selesai.”

“Kak Hani kok belum pulang?”

Hana mengambil mixer dan mulai mengocok telur, bisingnya membuat Andi kalah suara. Namun justru suara di dalam kepalanya yang mulai bergema.

“Wahid bertanya apakah kamu mau mengajar adiknya, si Fatima.”

“Kenapa harus aku?”

“Karena menurutnya kamu bisa nulis cerita dengan baik. Katanya dia tak sengaja baca salah satu cerpen yang kamu tulis di balik buku paket Biologi.”

“Aku nggak bisa, Hani.”

“Kamu bilang sendiri padanya, Hana. Aku sudah bilang kalau kamu pasti nggak mau tapi dia terus maksa.”

“Ya sudah nanti aku coba bilang sendiri.”

“Kakak melamun ya…!”

Hana hampir menumpahkan isi mangkuknya. Andi melonjak-lonjak kegirangan. Ia kemudian berlari ke kamar Ayah dan Ibu. Hana bisa mendengarnya berteriak minta izin mengupas mangga.

Setelah memasukkan adonan kue ke dalam oven, Hana mengambil satu buah mangga. Tidak ada yang bisa menghentikan Andi jika ia sudah bertingkah seperti tadi. Ia sudah setengah selesai mengupas buah ketika Andi masuk sambil tersenyum-senyum kecil, lidahnya melet-melet mengejek.

Beberapa saat kemudian ibu dan ayahnya juga masuk dapur. Hana menoleh dan berkata. “Hana siapin makan siang ya, Bu.”

Ibunya mengangguk dan menarik kursi untuk duduk, diikuti ayahnya.

“Kamu bikin kue, Na?” ibunya melihat oven yang sedang menyala. Hana menoleh dan mengangguk. Ia meletakkan nasi dan piring kosong di atas meja. Kemudian meletakkan lauk yang sudah dimasaknya tadi. Ia juga membuatkan segelas teh untuk ayahnya. Kali ini ayahnya diam saja. Andi yang sudah hampir menghabiskan mangganya kemudian berdiri dan menyorongkan piring kosong.

“Andi mau makan lagi…”

***

取り戻す (Torimodosu): Summed up in one word, it has the same meaning as the famous English saying, “When life knocks you down, dust yourself off and get back up again.” from here

Judulnya selalu tidak terasa pas: Hana; Bayangan di Cermin Itu. Kali ini Torimodosu.

Dawai Terakhir 3

Dawai Terakhir

Jika normalnya seorang bayi lahir akan menangis dan beberapa menit kemudian tembuninya keluar, maka tidak dengan Kakek. Setidaknya begitu yang kudengar dari cerita turun-temurun keluarga yang kerap diulang Ibu padaku.

“Kakek lahir, dan langsung bernyanyi bersama gitarnya.”

Dulu, aku selalu mencibir dan mencemooh cerita itu, sampai kemudian kakek tinggal bersama kami, tepatnya dua bulan yang lalu. Setelah kematian Nenek, usianya yang sudah lanjut tak mengizinkannya lagi untuk tinggal sendiri (bagaimana Nenek tetap waras sampai ia dikebumikan sedangkan Kakek malah sebaliknya tetap merupakan misteri bagiku). Sebagai anak bungsu yang baru menginjak remaja, aku dianggap masih tak perlu kamar sendiri sebagai ruang privasi, sehingga harus rela berbagi.

“Yang penting Kakek nggak ngelindur, ya…” aku bersungut-sungut.

Semakin tua Kakek justru semakin seperti anak kecil. Hanya sesekali kujumpai ia mengatakan sesuatu yang tak mencerminkan kepikunan. Sisanya, ia akan menghabiskan hari memetik gitar kesayangannya yang senarnya tinggal satu.

“Ini sisa umurku,” jelasnya suatu sore, ketika dilihatnya aku memasang tampang iba pada gitarnya. Ia kemudian melanjutkan memetik sambil sesekali berucap. Kalimatnya pendek-pendek. Terputus-putus. Ditingkahi petikan. “Pertama putus usia duapuluh. Lalu tiga tujuh. Lalu entah usia berapa. Yang terakhir waktu nenekmu meninggal.”

Sudah dua bulan ini pula malam hari yang kulalui terasa begitu menyiksa. Bagaimana tidak, Kakek bisa memetik gitarnya sampai lewat tengah malam. Telah kusampaikan keluhanku pada Ibu namun ia hanya menggeleng sambil menggumamkan sesuatu yang tak bisa kumengerti hingga akhirnya aku menyerah.

“Setiap manusia lahir dengan gitarnya,” Kakek membuka suara untuk pertama kalinya malam ini. Aku melirik jam dinding. Setengah sebelas. “Gitarmu di mana?”

Aku terbiasa mendiamkan Kakek, karena biasanya ia juga tak butuh jawaban. Tapi saat kupalingkan wajah padanya, ia sedang menatapku, seakan menunggu.

Aku menggeleng tak acuh, “Nggak punya.”

“Pasti disimpan ibumu. Ia tak mau kamu seperti ayahmu.”

Obrolan tentang ayah merupakan hal tabu di rumah. Darahku berdesir cepat saat mendengar kakek menyinggungnya. Baru aku membuka mulut untuk lebih lanjut bertanya, kakek sudah membalikkan badan memunggungiku.

Ayah seorang wartawan politik. Tabiatnya yang keras kerap membuatnya terlibat dalam kesulitan. Dari cerita yang secara sembunyi-sembunyi disampaikan kerabat padaku, Ibu sudah sering mengingatkan Ayah untuk berhati-hati dalam tulisannya namun hal itu justru membuat Ayah marah dan merasa tidak didukung.

Kemudian suatu pagi, Ayah pergi dan tak pernah kembali.

Aku baru berumur tiga tahun saat itu.

Satu-satunya ingatan samar tentang Ayah adalah bau kerah bajunya yang manis dan membuatku mengantuk. Ia biasa menggendongku sampai tertidur, kadang ia membiarkanku terlelap di sampingnya, ketika ia sedang mengetik dengan mesin ketik tuanya.

Suara mesin itu jauh lebih baik daripada gitar berdawai satu. Aku mengeluh dalam hati. Kulirik Kakek yang sedang tertidur pulas. Pelan kucoba untuk membangunkannya. Ia tak bereaksi saat kusentuh bahunya.

Sebuah pikiran usil melintas di benakku.

Kutarik pelan gitar yang dipeluknya. Seutas benang melilit benda itu dan tampaknya terikat erat pada tubuh Kakek. Keningku berkerut. Orang tua aneh, ia pasti tak mau gitarnya hilang.

Tak putus asa, kugunting benang pengikat gitar.

Kusurukkan benda itu jauh ke bawah tumpukan baju kotor.

Malam itu aku tertidur dengan lelap kembali.

Keesokan harinya aku bangun dengan kepala berdenyut. Samar kudengar isak tangis dan suara membaca Yasin. Ranjang di sebelahku kosong.

Setiap manusia lahir dengan gitarnya…

Maka kutuliskan kisah ini.

Ingin Ini, Ingin Itu 5

Ingin Ini, Ingin Itu

Arif adalah seorang anak laki-laki kelas tiga SD yang sangat gemar membaca. Di rumahnya, ia punya sebuah lemari kecil yang khusus diberikan oleh ibunya untuk menyimpan deretan buku-buku miliknya. Arif anak yatim. Ayahnya meninggal dunia ketika ia berumur tiga tahun. Sejak saat itu, Arif tinggal bersama ibunya yang sehari-hari menjahit pakaian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.

Kesulitan hidup yang mereka hadapi tidak membuat Arif berhenti membaca. Ia senang sekali jika menemukan kisah seseorang yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan dengan bekerja keras. Ibunya juga tidak pernah mempermasalahkan Arif gemar membaca. Bagi ibunya, asalkan Arif tetap rajin belajar dan senang membantu, itu sudah cukup. Dan sejauh ini Arif adalah anak yang sangat baik. Ketika teman-temannya sibuk menuntut orang tuanya untuk membelikan mainan dan bepergian ke tempat-tempat yang jauh, Arif sudah merasa sangat puas jika ia diberikan buku-buku kisah perjalanan.

Karena keseringannya membaca, Arif menjadi kebingungan dengan cita-citanya. Ia kerap menceritakan pada ibunya bahwa ia terpesona dengan pilot yang begitu gagah mengudara. Ia juga begitu kagum pada nelayan yang hidup dengan gagah dan lepas di alam luas. Tak lupa ia memimpikan menjadi seorang guru sederhana yang disayangi oleh murid-muridnya.

Suatu ketika Arif dibangunkan ibunya dari tidur malam karena ia sedang mengigau.

“Apakah yang saya katakan, Bu?” Arif meringis malu.

Ibu mengelus kepalanya dengan lembut. “Kau mengucapkan kata-kata yang tidak biasanya ibu dengar. Tapi sepertinya tentang film dan musik. Benarkah itu?”

Arif teringat buku terakhir yang ia baca di perpustakaan sekolah. Itu adalah sebuah buku tentang sutradara-sutradara film terkenal. Ia mengangguk pelan pada ibunya. “Apakah saya mengganggu tidur Ibu?”

Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Tapi kau seharusnya bisa tidur dengan nyenyak sekarang. Anak seusiamu butuh istirahat yang cukup. Apalagi kau masih harus bersekolah besok. Bacalah doa sebelum tidur. Semoga kau diberikan mimpi yang indah…”

Perubahan cita-cita Arif itu terus berlanjut. Suatu hari ia pulang ke rumah dan dengan wajah bersinar-sinar mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang ilmuwan hebat yang menemukan alat agar manusia bisa terbang tanpa pesawat. Ibunya yang sedang menjahit hanya tersenyum-senyum mendengarkannya bercerita.

“Saya baru saja membaca tentang hukum grativasi. Seandainya kita bisa menghilangkannya atau paling tidak mengontrolnya, maka kita akan bisa tidak terjatuh. Bukankah itu hebat, Bu?”

Ibunya hanya mengangguk, lalu mengangsurkan bungkusan pakaian padanya. “Tolong kau antarkan pakaian ini pada Bu Agustina. Ibu berjanji untuk mengantarkannya hari ini. Kau bisa membantu ibu?”

Arif memberengut karena merasa ceritanya belum tuntas. Namun melihat senyum ibunya sekejap kemudian wajahnya sudah kembali ceria. Ia bangkit dari duduknya dan mengangguk.

“Hati-hati ya, Nak…”

Suatu hari, Arif mendapatkan tugas mengarang dari guru bahasa Indonesia di kelasnya. Mereka ditugaskan untuk menuliskan keinginannya di masa depan. Arif begitu bersemangat. Sekaligus kebingungan. Gurunya mengatakan ia hanya boleh memilih satu keinginan dan menuliskan alasannya. Sementara ia memiliki berjuta keinginan dalam kepalanya dan ketika ia akan memilihnya, semua jadi satu dan ia merasa pusing.

Aku ingin jadi dokter. Aku ingin jadi penulis. Aku ingin jadi pengusaha. Aku ingin jadi nelayan. Aku ingin jadi petani. Aku ingin jadi polisi. Aku ingin jadi hakim. Aku ingin jadi antariksawan. Aku ingin jadi guru. Aku ingin…

Arif menemui ibunya dan menceritakan masalahnya.

“Pilih saja salah satu. Kau bisa menyisakan yang lain dan menuliskannya jika pak guru kembali menyuruhmu membuat tugas.”

“Tapi saya bingung… saya mau menulis semuanya.”

Ibu terlihat berpikir, “Kalau begitu, tulislah sebanyak yang mampu kau tulis. Kau cukup menuliskannya sebisamu. Tidak perlu dipilih. Nanti jika harus diberikan salah satu, kau tidak perlu khawatir, toh, semua itu memang keinginanmu. Bagaimana?”

Arif mengerjap-ngerjap. Wajahnya kembali cerah. Ia senang karena bisa mendapatkan pemecahan atas masalahnya. “Terima kasih, Ibu.”

Jadilah selama beberapa hari itu Arif asyik menulis karangannya. Jika biasanya sepulang sekolah ia sempat bermain bersama temannya, sekarang ia tidak lagi melakukannya! Ia begitu bersemangat untuk menulis. Dalam tiga hari saja ia sudah menyelesaikan hampir lima belas buah karangan yang semuanya sudah ia tulis dengan rapi!

Dua hari lagi tugas mengarang itu akan dikumpulkan dan Arif sudah menumpuk tiga puluh lebih hasil tulisannya. Dalam hati ia masih ingin menambah lagi, tapi ia merasa lucu sendiri dan memutuskan bahwa itu semua sudah cukup. Ia kembali membolak-balik hasil tulisannya dan mencoba mencari salah satu yang ia rasa paling baik untuk dikumpulkan.

Hari sudah menjelang Magrib ketika ia selesai membaca seluruh hasil tulisannya. Ia sudah berhasil memilih dari tiga puluhan hingga menjadi sepuluh saja. Ia masih merasa perlu untuk menanyakan pendapat ibunya, maka ia bangkit dari kamarnya dan mencari ibunya.

Ruangan depan tempat ibunya biasa menjahit kosong. Arif mencari ke dapur. Juga tidak ada. Akhirnya Arif mengetuk pintu kamar.

“Masuklah…” terdengar suara ibunya.

Rupanya ibu sedang berbaring. Arif menyibak tirai kamar hingga mentari sore dapat menembus dan menerangi kamar.

“Apakah Ibu sakit?” Arif meraba kening ibunya. Bukan main. Panas sekali. Arif merasa gugup sekarang.

Ibu hanya mengangguk pelan. “Ibu hanya demam. Tadi pagi Ibu merasa lemas sekali.”

“Apakah Ibu ingin makan sesuatu?” Arif memijat lengan ibunya dengan lembut.

Ibunya hanya menggeleng. “Ibu hanya ingin berbaring sebentar. Ada apa, Nak? Tadi sepertinya kau mencari ibu.”

Arif terdiam. Ia tidak ingin menyusahkan ibunya. “Saya hanya mau menanyakan sesuatu tentang tugas. Tapi nanti saja.”

Ibunya mengangguk pelan tanda mengerti. “Oh ya, Ibu baru ingat. Ada beberapa pesanan jahitan yang harus diantar sore ini. Ibu sudah menyiapkannya di atas meja. Bungkusan merah diantar ke Ibu Fitri, terus juga ada pesanan Ibu Tina. Ibu sudah menuliskan namanya. Lalu yang terakhir ada punya Ibu Tantri, tapi yang ini agak jauh, kau bisa mengantarkannya, Nak?”

Arif mengangguk pelan. “Apakah Ibu tidak apa-apa jika saya tinggal?”

Ibu mengangguk dan memejamkan mata. “Pergilah sekarang. Nanti keburu malam.”

Arif bergegas pergi mengantarkan pesanan jahitan sesuai dengan yang disuruh oleh ibunya. Magrib telah tiba ketika ia selesai mengantarkan pesanan yang terakhir. Ia sempat singgah di mesjid sebelum pulang. Dalam sholatnya ia mendoakan agar ibunya baik-baik saja. Entah kenapa, perasaannya tidak begitu enak. Namun ia masih sempat memikirkan sepuluh hasil tulisannya. Kini ia sudah memilihnya menjadi lima.

Semoga Ibu bisa membantuku memutuskan yang mana satu yang akan diberikan pada Pak Guru! Demikian Arif membatin.

Ia sampai ke rumahnya ketika hari sudah benar-benar gelap dan lampu-lampu jalanan baru saja menyala. Pintu depan tidak terkunci, Arif buru-buru masuk. Namun tidak bisa menemukan ibunya di dalam kamar.

“Ibumu terjatuh di kamar mandi ketika ia akan mengambil wudhu. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit oleh Pak RT,” demikian kata Cik Minah yang tinggal di sebelah rumahnya.

Arif mengemasi beberapa pakaian ibunya, dimasukkannya ke dalam sebuah tas kecil. Ia juga merapikan beberapa jahitan yang masih berserakan. Sebelum waktu Isya, ia sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit.

“Kau akan pergi dengan siapa?” Cik Minah tampak khawatir. “Tunggulah sebentar lagi. Ayah Imran sebentar lagi pulang. Akan kuminta agar dia mengantarmu.”

Arif mengangguk, ia duduk menunggu di depan rumah. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk kesembuhan ibunya.

Ayah Imran, suami Cik Minah datang beberapa menit kemudian. Beberapa saat kemudian mereka berdua berangkat ke rumah sakit.

“Ibumu sedang di ruang rawat intensif. Ia masih tidak sadar. Kata Dokter ia terkena serangan stroke,” jelas Pak Lukman, ia yang tadi mengantar Ibu ke rumah sakit. “Kau lebih baik pulang ke rumah saja, Nak. Besok kau harus sekolah.”

Arif menangis tanpa suara. Ia memeluk bungkusan pakaian ibunya kuat-kuat. Pak Lukman menepuk-nepuk punggungnya. “Bersabarlah, Nak.”

Arif kemudian diantar ke ruangan rawat intensif. Setelah berganti pakaian khusus untuk masuk ruangan tersebut, barulah ia boleh mendekati ibunya. Arif menggenggam tangan ibunya. Namun ibunya sedang tidak sadar. Air mata Arif mengalir tanpa bisa ditahan.

“Ibu… Saya tidak ingin apa-apa lagi…” Arif menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangisnya. Ia kemudian mencium tangan ibunya. “Saya hanya ingin Ibu sembuh.”

Sepenggal Senja Punya Madi 7

Sepenggal Senja Punya Madi

Matahari masih berada di atas kepala saat Madi menerobos semak-semak membentang yang memisahkan jalan setapak yang tadi ia lewati dengan hamparan sawah yang sedang ia tuju. Sebenarnya jika ia terus saja berjalan mengikuti jalan setapak, ia pada akhirnya juga akan tiba ke sawahnya. Tapi ia memilih melintasi semak-semak perdu ini. Paling tidak ia akan tiba lebih cepat daripada seharusnya. Perutnya sudah berbunyi sejak lama. Pagi tadi ia memang terburu-buru sehingga tak sempat mengisi perut. Ia hanya meminum setengah gelas teh hangat. Itupun ia langsung diteriaki oleh ibunya karena meminum teh miliknya.

Namun betapa kecewanya ia saat melihat dangau kosong. Seakan tak percaya, ia bergegas mendekat dan memeriksa. Tapi memang tidak ada siapa pun di sana. Dengan lesu ia meletakkan sepatu yang sedari tadi ia jinjing — jalanan yang tadi ia lewati tidak hanya berhias semak berduri, tapi juga lumpur yang lengket. Lumpur itu meninggalkan bekas sampai hampir mencapai lutut. Madi menggaruknya. Kini ia bukan hanya lapar. Tapi juga gatal.

Tiba-tiba ia teringat, ia pernah memeram buah mangga. Maka ia bangkit dan memeriksa bakul kecil di sudut dangau. Untunglah, ia masih beruntung. Tak hanya mangga yang ia dapatkan. Ternyata ibunya juga memeram tiga buah pisang tanduk yang kini sudah berwarna kuning. Ia bisa mencium baunya. Mangganya tidak terlalu matang. Sepertinya besok akan pas matangnya. Tapi perutnya terlalu lapar untuk bisa menunggu besok. Maka Madi memutuskan akan memakannya demi mengganjal perutnya yang sudah benar-benar kosong.

Saat menghabiskan pisangnya yang kedua ia berpikir tentang bagaimanakah reaksi ibunya jika tahu ia telah memakan pisangnya. Sedang meminum setengah gelas tehnya saja ia sudah diteriaki seperti seorang maling. Memikirkan itu Madi berhenti mengunyah, pisangnya tinggal setengah.

Ia lalu membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah bingkisan. Hadiah. Ia mendapat rangking dua di kelasnya. Ia mendapat hadiah untuk itu. Sepertinya buku. Apalagi? Madi mencoba merabanya dari sudut ke sudut. Sepertinya memang buku.

Paling tidak Didi tidak perlu lagi membeli buku. Adiknya itu sekarang kelas dua SD. Jika tadi ia naik kelas berarti sekarang ia kelas tiga. Madi memberengut, pasti bukunya ini akan banyak diminta untuk Didi. Tapi kemudian ia tersenyum, ia berniat menggoda Didi jika pulang nanti. Ia akan berpura-pura pelit. Biar Didi menangis dulu. Pasti seru. Biasanya Didi jika menangis suka sampai berguling-guling. Diam-diam Madi menertawakan khayalannya.

Sekali lagi diperhatikannya hadiah di tangannya itu. Juara dua. Lalu diambilnya buku raportnya. Memang juara dua. Ia terpaut satu angka dengan Hamid, sang pemuncak di kelasnya. Mulut Madi mengerucut, meneliti nilai-nilai yang tertera. Tadi ia sudah memeriksanya. Sekarang ia ingin menikmatinya. Oh ya. Bahasa Inggris. Ia hanya mendapat angka delapan. Sedang Hamid sembilan. Tentu saja ia kalah, melihat kamus Hamid saja sudah akan memastikan nilai Hamid. Sedang ia sendiri, punya sebuah kamus kecil yang justru banyak tidak memuat kata-kata penting. Itupun pinjaman.

Kaki Madi kini berwarna coklat keputihan. Lumpur tadi sudah mengeras. Madi menggesek-gesekkannya ke tiang dangau, membuatnya terkikis. Paling tidak kini kakinya tidak terasa terlalu keras. Ia menggoyang-goyangkannya, sepertinya tadi kakinya tergores, kini gantian lalat yang mengerubungi kakinya.

Perutnya kini tak lagi terlalu keroncongan. Tapi kini ia malah memikirkan nilai raportnya. Madi membuka-buka lembarannya dari awal. Juara dua. Juara dua. Juara dua lagi. Yang ini juga juara dua. Selalu juara dua. Mata Madi menerawang. Juara satunya selalu Hamid. Ya. Hamid tak pernah tidak juara satu. Mereka sudah satu kelas sejak SD. Dan selama itu — sampai sekarang kelas dua SMP, ia selalu juara dua dan Hamid yang memegang juara satu.

Hamid. Abdul Hamid. Madi langsung terbayang wajah temannya itu. Ya, meski mereka bersaing, tapi mereka tetap berteman. Sebenarnya Madi agak segan berteman dengan Hamid. Ia anak Haji Mahmud, orang terkaya di desa.

Kening Madi tiba-tiba berkerut. Iya ya. Hamid anak orang kaya. Pintar. Selalu juara satu. Anaknya ramah. Bersih — Madi memandangi kakinya yang dikerubungi lalat. Wajahnya juga tampan. Hamid ketua OSIS…

Wah! Kening Madi makin berkerut. Makin dipikir-pikir, ternyata Hamid begitu lebih. Ia sendiri? Hanya juara dua. Anak orang miskin. Harus ikut bekerja mengambil upah membersihkan sawah milik tetangganya yang lumayan berada jika musim tanam sawah. Rumahnya bahkan sering bocor jika hujan turun terlalu deras.

Madi lalu meneliti kembali nilai-nilainya. Sebenarnya ia berharap menemukan ketidakcocokan. Maksudnya nilainya lebih dari nilai Hamid. Tapi sepertinya Bu Tini menghitung dengan kalkulator. Tidak ada yang salah. Matematika…! Oh ya. Ia yakin saat ujian nilainya lebih tinggi daripada nilai Hamid, sebab mereka saling mencocokkan jawaban setelah selesai ujian. Tapi kenapa nilai mereka jadi sama? Hamid juga dapat sembilan. Iya ya. Kenapa malah bisa sama?

Tiba-tiba Madi menepuk kepalanya sendiri. Tertawa keras. Bodohnya ia. Bukankah nilai raport juga diambil dari nilai harian? Pantas saja jika mereka berdua pada akhirnya mendapat nilai yang sama. Selama ini nilai harian Hamid selalu baik. Madi manggut-manggut sendirian.

Tapi kenapa ia tak pernah bisa mengungguli Hamid?

Perut Madi kembali berbunyi. Ia lalu menghabiskan sisa pisangnya tadi. Di sela keasyikannya mengunyah ia berusaha mengingat-ingat kapan ia pernah mengalahkan Hamid. Oh ya. Pernah. Saat pelajaran Olahraga. Ia menjadi yang tercepat dalam nilai lari 100 meter. Sedang Hamid masuk lima besar saja tidak. Hamid hanya urutan tujuh. Tapi di raport, Hamid tetap mendapat sembilan. Wah. Madi mengeluh kecewa. Kenapa nilai mereka bisa sama lagi?

Madi memasukkan raportnya kembali ke dalam tasnya. Tangannya menyentuh sesuatu. Permen. Oh iya. Tadi Asti ulang tahun. Ia membagi-bagikan permen bagi teman sekelas. Tadi sebenarnya lima. Kini hanya tinggal dua. Madi ingat telah memakan tiga lagi saat berjalan pulang tadi.

Saat berniat membuka sebuah permen lagi, Madi teringat Didi. Didi sangat suka permen ini. Madi membatalkan niatnya. Didi itu gemuk. Pasti tidak mau diberi satu. Madi memutuskan menyimpan dua sisa permennya untuk Didi. Oh ya, begini saja. Jika nanti Didi menangis tak diberi buku, baru ia akan memberikan permen sebagai ganti. Wah, pasti seru. Madi tersenyum-senyum sendiri.

Asti. Kini Madi memikirkan Asti. Sudah lama sebenarnya ia naksir Asti. Ia tidak ingat kapan persisnya. Yang pasti sudah lama. Ia ingat betapa senangnya ia saat diberi permen. Langsung dari Asti. Apalagi ia mendapat yang berbungkus pink. Sebenarnya ada juga temannya yang lain mendapat bungkus pink. Tapi rasanya berbeda saja. Madi diam-diam tersenyum malu. Tersipu. Digoyangkannya kakinya. Mengusir lalat. Sekarang ternyata juga ada agas. Kakinya makin gatal.

Tapi kabar burung yang beredar banyak menyebutkan kalau Asti justru menaruh hati pada Hamid. Mereka sering terlihat bersama. Rumah mereka berdekatan. Lho? Kenapa Hamid lagi? Madi menggaruk kepalanya dengan gusar. Ia memang melihat Asti mengucapkan selamat pada Hamid saat pembagian raport. Tapi… kenapa Hamid lagi? Masa kali ini ia juga harus kalah?

Seekor nyamuk menggigit kaki Madi yang memang tepat sebagai sasaran empuk. Madi memukulnya sekuat tenaga. Membuat nyamuk itu langsung lenyap, menyatu dengan lumpur kering yang menempel di kakinya. Melihat itu Madi langsung terbahak. Ia tak menyangka akan memukul sekeras itu. Mungkin ia terbawa perasaannya tadi. Bukankah tadi ia sedang jengkel pada Hamid?

Ah. Madi tiba-tiba  kembali tersenyum. Buat apa ia susah-susah memikirkan perasaan orang lain? Bukankah Asti memiliki hak untuk menyukai siapa saja. Jika memang Hamid yang ia sukai, paling ia akan sedikit sedih, sebab berarti ia kalah untuk kesekian kali. Iya ya. Kenapa ia kalah terus. Kapan menangnya? Madi kembali menggaruk kepalanya. Kali ini karena memang kepalanya sedang gatal.

Suara kecipak air membuyarkan lamunan Madi. Ia menoleh mencoba memastikan apa yang berbunyi tadi. Lagi-lagi terdengar bunyi kecipak air. Kali ini Madi bisa melihat jelas sumber bunyinya. Perlahan bibir Madi membentuk senyuman.

Sepertinya ada ikan yang terjebak dalam lumpur sawah. Pasti terbawa air pasang beberapa hari yang lalu, pikir Madi. Ia melepas seragamnya. Menyampirkannya pada dinding dangau. Lalu mendekati ikan yang berkecipak tadi. Benar saja. Ada tiga ekor lele. Mata Madi langsung berbinar. Benar-benar lumayan. Pasti enak kalau dibikin sambal goreng.

Maka Madi pun terjun menangkap lele itu. Ternyata susah juga, mereka tak begitu saja mau menyerah. Padahal sudah sekering ini.

Wah, ternyata lebih dari tiga ekor! Empat! Eh, enam!! Di sana ada dua ekor lagi. Madi berteriak kegirangan. Matahari kini tak lagi berada di atas kepala. Lebih condong. Hampir rebah malah. Madi makin bersemangat. Perutnya masih keroncongan.

Matahari sudah hampir tenggelam saat Madi keluar dari lumpur. Benar-benar parah. Seluruh tubuhnya diliputi lumpur. Tapi ia senang karena berhasil menangkap tujuh ekor lele yang besar-besar. Sebenarnya ada banyak lagi. Entah bagaimana ada banyak lele. Madi memilih yang paling besar. Yang paling mudah ditangkap.

Terburu-buru Madi mandi di kolam. Ia ingat belum shalat Ashar. Maka ia segera naik dari kolam. Ikan-ikannya ia gantung dengan tali akar di tiang dangau yang mencuat. Segera ia memakai sarung. Seingatnya ada sarung di dalam bakul satunya. Untunglah ada. Tak sampai tiga menit Madi sudah selesai. Perutnya kembali keroncongan. Kini mulai terasa pedih malah. Heran. Bagaimana bisa ia belum makan dari pagi? Kenapa ia tadi tak langsung pulang saja? Iya ya. Madi memikirkan seandainya ia pulang tentu ia sudah kenyang sekarang. Tapi kemudian ia terbahak. Kalau tadi ia langsung pulang tentu ia tidak mendapat lele. Besar lagi. Tujuh ekor. Madi bernyanyi riang sepanjang jalan menuju rumahnya.

Hari sudah gelap saat Madi tiba di rumah. Ia sendiri heran. Ternyata ia terlalu lama saat di sawah. Menyadari itu, Madi bergegas masuk. Memanggil ibunya. Tadi ibunya tidak ke sawah. Lalu kemana? Iya ya. Kemana ibunya? Kenapa tadi ia tak memikirkan itu?

Madi meletakkan ikannya di dapur. Melongok kedalam kamar. Ah. Itu Didi. Didi sedang berbaring. Sepertinya tidur. Madi teringat ia punya permen. Juga buku. Maka ia mengambil tasnya. Mendekati Didi.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya di luar. Madi tak jadi membangunkan Didi. Ia keluar kamar.

“Kau sudah pulang? Kemana saja seharian ini? Didi sakit. Demam. Badannya panas. Kau punya tabungan tidak?” ibunya menadahkan tangan.

Madi terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Entah kenapa. Pelan ia menggeleng. Lalu kembali masuk kamar. Mendekati Didi. Meraba keningnya. Bukan main. Panasnya tinggi.

Madi menggenggam hadiahnya kuat. Permen dari Asti tergeletak di samping bantal. Iya ya. Kenapa ia tak mendapat hadiah uang. Kalau saja buku bisa ditukar uang. Atau permen. Atau ikan. Kenapa tadi ia dapat ikan? Kenapa ia tak dapat uang?

“Besok kau libur tidak? Pak Hasan mengupahkan sawahnya. Mudah-mudahan besok kita dapat uang. Didi panas sekali.” Ibunya sudah berada di sampingnya, ikut duduk dan menggenggam tangan Didi. “Kau tahu penyakitnya? Di sekolah belajar penyakit tidak? Ibu takut sekali.”

Madi merasa hidungnya tiba-tiba beringus. Dadanya makin sesak. Pelan ia kembali menggeleng. Bangkit. Menuju dapur. Membuang ingusnya.

Ikan-ikan lelenya masih berontak di dalam ember. Mereka tak mudah menyerah ternyata. Padahal sekarang sudah benar-benar kering.