Arsip Tag: harunmalaia

sebuah pembalasan

Sebuah Pembalasan

Salah satu hal yang senantiasa saya nikmati adalah kisah-kisah pendek yang ditulis dengan bernas, ibarat dendam, ini adalah sebuah pembalasan yang manis. Saat dibaca ulang, sampai kapan pun akan tetap menyenangkan. Bisa jadi teman makan, sahabat perjalanan, atau sekadar duduk-duduk santai. Misalnya kemarin saat perjalanan Ambon – Saumlaki, saya sudah bawa satu novel tapi sepertinya perjalanan 1,5 jam nggak cocok jadi akhirnya saya iseng buka koleksi di handphone. Kebetulan saya simpan beberapa kumpulan kisah pendek, yang saya pilih kemarin adalah Miss Marple The Complete Short Stories (Agatha Christie). Sangat ringan dan menyenangkan. Lalu, saya menemukan kebahagiaan karena saya ternyata sudah mulai lupa beberapa bagian cerita sehingga kembali ikut menebak-nebak penyelesaian tiap kasus yang digulirkan.

Menua dan mudah lupa rupanya ada hikmahnya, hehehe.

Kisah misteri juga menjadi salah satu yang belakangan coba saya kembali geluti, baik itu untuk saya nikmati sebagai pembaca, atau coba belajar untuk tulis sendiri. Sedikit-banyak mengerutkan kening di usia begini ternyata memang sangat menyenangkan. Tapi tetap saja, tulisan-tulisan genre mana saja akan saya baca jika ditulis dengan baik, ini sebuah pembalasan bagiku yg kurang baca, hehe.

Ide ngajakin nulis cerpen kemarin spontan saja, dan saya senang karena beberapa tulisan yang masuk, mengingatkan saya bahwa menulis, adalah hal yang senantiasa menyenangkan untuk dilakukan. Semoga terus konsisten, ya! Beberapa cerpen saya terima via Twitter (I still refused to call it X, ehehe), blog, dan japrian. Terima kasih banyaaak ya teman-teman. Besok-besok segera kita bikin lagi, yuk. Ada usul tema yang lebih menantang, siapa tau bisa jadi arena sebuah pembalasan? Hehehe.

Berikut cerpen yang masuk kali ini, dengan sedikit komentar pribadi:

  1. Jas Biru untuk Mas Pandu | Sebuah cerpen yang memiliki twist supernatural dan ikatan kekeluargaan. Cara penulis bertutur sangat dinamis dan emosi dari tiap karakter terasa di tiap bagian. Meski terkesan casual, tapi justru kesederhanaan itu yang bikin cerpen ini berkesan.
  2. Lunas | Salah satu cerpen yang sangat kukuh memegang tema balas budi, literally (materi) and figuratively (emosi). Kisah yang langsung to-the-point (aku pikir ini salah satu kekuatan penulis) dan hampir tidak menutup-nutupi pesan moral yang dibawanya.
  3. Ziarah | Cerpen ini punya nuansa refleksi diri dan mengedepankan teknik bertutur yang ‘atmosferik’, kalau boleh dibilang. Pacenya mungkin terasa lambat bagi yang senang aksi, tapi dengan tema filosofis dan introspeksi yang dalam, bisa jadi terasa lebih personal.
  4. Cara Terbaik Menuju Kuburanku | Mungkin salah satu entry yang paling ‘dirugikan’ dengan batasan 1000 kata, karena aku merasa kisah ini sangat potensial dengan alur maju-mundurnya. Kisah tentang ekspektasi keluarga dan obligasi sosial, diramu dengan monolog yang berkelindan dengan dialog karakter-karakternya.

Yang beruntung kali ini adalah ‘Jas Biru untuk Mas Pandu’ (Betty) dan ‘Ziarah’ (Adit). Yang lain tentu tidak kalah spesial, hanya mungkin belum beruntung untuk dapat top incentives (450k) pada kesempatan kali ini, jika berkenan I have 75k for you all too! Semua nanti boleh japri (DM Twitter/Whatsapp/IG) untuk klaim insentif nulisnya ya. 🙂 Sampai ketemu lagi dalam sebuah pembalasan untuk bulan-bulan mendatang.

sebuah pembalasan
malam buta

Siapa Menekan Bel di Malam Buta?

malam buta

Mama histeris lagi. Saat aku bangun kudapati tiga puluh sembilan missed calls darinya. Semua dilakukan sebelum jam lima pagi. Malam buta! Ada juga beberapa pesan yang tak ingin kubuka. Lebih baik segera kutelepon. 

Mama mengangkat pada dering pertama dan suaranya melengking, “Seseorang menyentuh jendela kamarku!” Dia memberi penekanan pada tiap suku katanya.

Kamar Mama di lantai dasar, terdapat dua pasang jendela di sisi timur dan selatan yang memang memiliki tambahan teras. Pagar setinggi pinggang dengan kawat berduri memisahkannya dengan halaman di sekitarnya. Belum lagi beberapa petak rumpun mawar yang sengaja ditanam dan terawat baik sebagai pagar pelindung alami. Jadi rasanya mustahil jika seseorang bersusah payah hanya untuk menyentuh jendela kamar Mama, tapi kubiarkan saja Mama terus bercerita.

“Ada tiga belas telapak tangan, bernoda lumpur! Tiga belas! Aku menghitungnya sendiri. Kurasa ada yang bernoda darah! Di jendela kamarku!” 

Aku terus mendengarkan keluhan Mama sampai sekitar sepuluh menit berikutnya. Ketika dia sudah mulai tenang, kukatakan kalau akan kuperiksa jendelanya selepas makan siang. Sif malamku berakhir nanti jam delapan.

Mama terdengar senang. “Saat kau pulang, bawakan aku dua potong brownies dari kedai Nyonya Meulia. Dan permen.”

Aku mencatat pesanannya, meski aku tak akan membelikannya permen. Sejenak aku berpikir tentang makanan pengganti yang mungkin kubelikan. Kuputuskan akan singgah di toko buah yang jaraknya tak jauh dari kedai Nyonya Meulia.

“Ada lagi yang Mama mau?” 

Mama tak langsung menjawab, tapi aku tahu dia sedang berpikir karena telepon gemerisik selama beberapa waktu. Napasnya terdengar satu-satu.

“Mama?”

Dia berdeham sesekali. Terdengar ketukan-ketukan kecil, mungkin Mama sedang memainkan gagang telepon. Aku baru akan bertanya lagi saat jawabannya tiba. 

“Itu saja.” 

Lalu dia menutup sambungan.

***  

Sudah hampir dua tahun Mama tak berani keluar rumah. Dia selalu ingin keluar, tapi paling jauh lima langkah melewati pintu depan, lututnya mendadak goyah dan dia—dengan sejuta alasan untuk memutar badan, kembali ke dalam rumah. 

“Napasku sesak, mungkin aku perlu duduk-duduk sebentar.”

“Kurasa aku lupa mematikan keran air kamar mandi.”

“Aku lupa ada rekaman telenovela yang belum aku tonton.”

“Kurasa akan segera hujan, lebih baik kita ngobrol di kamarku.”

Meski kami sama-sama tahu bahwa itu semua hanya alasan palsu dan alasan sebenarnya Mama tak ingin keluar adalah dia semakin tak percaya orang-orang di sekitarnya, kami berdua tak membicarakannya lebih lanjut. Mama tak ingin aku mencampuri kecemasannya. Sedangkan aku, meski sedikit merasa berdosa karena mendiamkan hal itu, harus mengakui bahwa aku tak selalu cukup sabar untuk mendampingi kecemasannya. 

Jadi, kami sama-sama diuntungkan kalau mau jujur. 

Ada saja pikiran buruk yang segera menghinggapi Mama jika dia keluar rumah. Hal yang lucu tentunya, mengingat dia sama sekali tak punya pikiran seperti itu jika sudah di dalam rumah. Seakan-akan ada tabir pelindung kasat mata yang membentenginya dari dunia luar. Persis di depan pintu. 

Ya, kurasa Mama mungkin benar-benar merasa seperti itu. Rumah ini gelembung dan Mama senang di dalamnya. Kukatakan gelembung karena tentu saja cepat atau lambat dindingnya akan pecah dan suatu saat Mama harus menghadapi dunia luar sana.

Hanya saja, selama Mama merasa aman dalam gelembungnya, aku tak terlalu banyak pikiran. Dan itu sudah lebih dari cukup.

*** 

Segalanya memburuk dua bulan terakhir. Ketika Mama mulai tak ingin keluar kamar. Bukan lagi rumah.

Ya, aku ingat karena membuat silang merah di kalender gantung. Pertama kali dia menelepon di malam hari dan mengatakan ada seseorang membunyikan bel pintu depan. 

“Tapi ini jam satu malam, Mama.” Dan aku tak mendengar apapun di luar sana. Namun ucapan itu aku telan saja.

“Justru itu. Apa kau pikir hantu sudah bisa membunyikan bel?”

Kami tinggal serumah, kamarku di lantai atas. Aku baru pulang sif sore saat itu dan sejujurnya kepalaku pening dan tak ingin ribut dengannya, tapi karena tak tahan, kukatakan padanya itu semua khayalan dan Mama mendengar sesuatu yang lain. Perempuan itu mendiamkanku selama seminggu, dan baru mau bicara saat aku membawakan sekantung permen kesukaannya. 

Mama juga sudah tak mau lagi pergi beribadah. Dia bilang terlalu banyak cahaya di tempat-tempat itu dan semua mengingatkannya pada kematian. 

“Jika mati aku yakin mereka tak datang di kuburanku.” 

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depannya.

Satu dua kali teman-teman lama Mama menanyakan keberadaannya padaku, karena aku anak satu-satunya. Kucoba menjelaskan dan aku bersyukur setengah mati karena kebanyakan dari mereka memahami keadaan Mama. Pernah beberapa orang datang ke rumah, sekadar duduk-duduk dan bercerita. Pulangnya, Mama meninggalkan pesan singkat di handphone

‘kurasa Nyonya Tulita hanya ingin mencuri bunga anggrekku. dia tak henti-henti meliriknya (oh, aku benar-benar melihatnya—tentunya dia tak menyadari itu). dan saat kami berbincang, dia terus menyinggung betapa indahnya bunga itu. oh, kuharap dia berhenti mengunjungiku.’

***

Salah seorang teman lama Mama, tinggal tak jauh dari kami, adalah dokter spesialis jiwa. Kucoba mendekatinya, dan menceritakan sedikit banyak tentang Mama. 

“Apakah pernah terjadi sesuatu yang membuat ibumu khawatir?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mama memang selalu khawatir. Bahkan sejak ingatan kanak-kanak pun, aku tak bisa mengingat kapan Mama tak khawatir.

“Jangan panjat pohon itu, kau bisa terluka.”

“Jangan berteman dengan Teddy dan Lily, mereka sering mengumpat dan sekali lagi kudengar kau menirukannya, aku akan menaruh cabe besar-besar di dalam roti isimu.”

Atau saat berbincang dengan mendiang Papa. 

“Kurasa anak kita itu memang tak cerdas. Setengah mati aku mengajarinya, tapi mungkin kepalanya benar-benar kosong—yang mana seharusnya bisa diisi, tapi ini kosong yang membuatmu muak. Oh, aku tak tahu harus lakukan apa dengannya.”

“Bisakah kau meminta kenaikan gaji? Kau sudah bekerja di sana berapa lama—dua puluh tahun? Tapi hanya ini saja yang kau bawa pulang.”

Pelan-pelan aku mencoba menceritakan tentang Mama kepada dokter itu, beberapa hal yang terlalu memalukan tentu tak kusampaikan. Perempuan ringkih dengan rambut memutih, tapi matanya bijak seperti telaga tak berpenghuni itu mengangguk-angguk dan sesekali membetulkan kacamatanya yang bertengger di ujung hidung. 

“Apakah memungkinkan jika aku mengunjungi ibumu sesekali?”

Aku ragu-ragu menjawabnya. Pertama, jelas Mama tak akan suka. Kedua, aku tak punya cukup uang untuk membayar dokter ahli jika konsultasi ini dilakukan secara normal. Untuk alasan pertama aku coba utarakan secara perlahan. Beruntung, dokter itu memahami situasiku—dan alasan kedua. 

“Tidak usah bayar. Aku sebenarnya sudah lama pensiun. Dan mungkin ini jalan untukku terus melayani. Aku juga memang sudah lama tak bertemu ibumu.”

Oh, besar hatiku mendengarnya. Jika tak ingat bahwa saat itu kami masih berada di persimpangan jalan, sudah kupeluk erat-erat dokter itu. Alih-alih, aku menggenggam tangannya dan mengucap terima kasih banyak-banyak. 

Karena dokter itu tak bisa serta merta mengunjungi Mama, aku memberikan laporan secara berkala: apa saja keluhan Mama, begitu juga dengan hal-hal baru yang Mama takuti. Termasuk coretan di kalendar yang sekarang sedang kupandangi. 

Mama mulai menelepon di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama melaporkan bel ditekan orang di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama memberhentikan Pascal tukang kebun. Satu bulan lalu.

***

Pascal patah hati saat Mama memberhentikannya. Meski dia tahu kondisi Mama sejak lama, kurasa dia tak menduga kalau dia akan termasuk orang yang pada akhirnya ditakuti oleh Mama. Pascal sebaya denganku, ayahnya yang pemabuk sering menempeleng kepalanya. Kurasa itu mengakibatkan otaknya tak begitu pintar. Untuk urusan itu, kami berdua senasib jadi secara otomatis berteman sejak kecil. Jika ayahnya mabuk dan kembali menempelengnya, Pascal kabur dan bersembunyi di rumahku dan kami berdua akan makan jagung bakar yang dibuatkan mendiang Papa. 

Mama akan mengomel dan bilang bisa jadi suatu saat keluarga kami dibunuh oleh ayah Pascal karena sering turut campur.

Mungkin malaikat lewat saat itu sehingga ketakutan Mama benar-benar terjadi, tidak semua tapi tetap terbukti. 

Suatu sore, ayah Pascal mabuk berat, berkali-kali lipat dari biasanya, datang menggedor pintu dan mencari Pascal. Papa mencoba menenangkannya namun pria itu tak mau tahu dan ketika tak menemukan Pascal di rumah kami—memang saat itu Pascal sedang bersembunyi di tempat lain. Pria itu mulai menarik-narik rumpun mawar Mama dan saat itu Mama meneriakinya ‘orang gila’. Entah bagaimana ayah Pascal bisa tersinggung, mengingat dia mabuk seperti pelaut, dia lantas mengayunkan sekop kebun menghancurkan jendela Mama. Papa yang berusaha menghentikannya tak begitu beruntung karena ayah Pascal terpeleset tanah kebun yang licin dan tak sengaja sekop kebun itu menghujam leher Papa dengan begitu keras. Papa tak tertolong, dia meninggal tersedak gumpalan darahnya sendiri. 

Ayah Pascal mendekam di penjara dan tak pernah kembali. Pascal kemudian diasuh bibinya yang tinggal di seberang sungai, tapi karena bibinya senang mengomel, anak itu tak pernah betah. Ketika dia sudah bisa memasak sendiri, anak laki-laki itu pulang kembali ke rumahnya, hidup sebatang kara. 

Lalu muncul suatu sore di pintu depan rumah kami, “Bisakah aku bekerja membersihkan halaman?” 

Pascal menanyakan setiap rumah pertanyaan yang sama. Jadi, meski tak besar upah yang didapatkannya dari Mama, total lembar-lembar yang ia terima sehabis memotong rumput atau memindah-mindahkan posisi pot bunga dari rumah-rumah yang lain memungkinkannya untuknya hidup. Bahkan sampai sekarang. Saat kami bukan lagi anak kecil yang tertawa-tawa memungut dan menyuap butiran jagung bakar yang terlepas dari tongkolnya.

Jadi saat ia menangis karena diberhentikan Mama, kupikir pasti karena sebab yang lain, bukan karena kehilangan upah. 

“Aku suka padamu. Sekarang apa alasanku datang menemuimu?”

Wajahku panas mengingat momen itu. Aku tak ingat bagaimana Pascal berani mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kami duduk lama di samping mesin cuci tempatku bekerja sebagai pegawai laundry.

*** 

Dokter ahli jiwa itu mengatakan bisa jadi Mama mengidap paranoid. Sedikit yang mengganggu pikiranku adalah karena dia menyebutkan bahwa kondisi ini bisa terus memburuk.

“Dia akan curiga setiap saat. Pada setiap hal. Pada setiap orang.”

“Tapi Mama tak mungkin curiga padaku, kan?”

Aku ingat wajah kasihan yang seketika muncul di wajah dokter tua itu. Kurasa dia tahu yang sebenarnya, meski aku belum cerita. Empat hari yang lalu, Mama menolak makanan yang kusiapkan.

“Aku melihatmu menambahkan sesuatu yang tak biasa ke dalamnya. Apa kau sedang ingin membunuhku?”

Aku memang menambahkan bumbu baru ke dalam supnya. Tapi itu kulakukan karena bumbu yang biasa digunakan sudah tak lagi diproduksi dan tak bisa kudapatkan lagi di mana-mana meski aku berkeliling dan rasanya betisku mau patah. Pascal yang menyarankan untuk menggantikan bumbu itu dengan bumbu lain. 

“Ini rasanya hampir sama. Aku sering pakai ini saat memasak. Harganya juga sedikit lebih murah.”

Aku ingat menangis di sudut dapur sambil memungut pecahan mangkuk yang Mama lemparkan di wajahku saat aku memaksanya makan. Aku tak cerita pada dokter tentang hal itu karena kupikir itu hanya kesilapan Mama. Dan memang kurasa dia tak sepenuhnya curiga padaku. 

Karena selama tiga hari ini dia bersikap manis padaku. Meski tak meminta maaf, tapi dia mengingatkanku untuk mengganti perban di dahiku jika aku habis mandi—tentu saja semua ini dilakukannya lewat telepon. Sempat terpikir olehku apa Mama lupa kalau dia yang menyebabkan kepalaku luka?

Aku juga tak cerita pada dokter kalau Mama sempat menyinggung agar aku berpacaran dengan pria baik-baik, dan dia secara tegas menyebutkan Pascal bukan pria baik-baik. 

“Dia terlihat baik tapi punya darah buruk. Dan darah itu akan mengalir selama dia hidup.”

Aku mengerti mungkin Mama masih dendam perihal kematian Papa. Sehingga aku mendiamkannya. 

Dokter tua itu sempat berpesan sebelum meninggalkan bangkunya–kami sedang duduk-duduk di bangku taman. Dia terlihat menimbang-nimbang sambil melihat-lihat catatan kalendar yang kuberikan padanya. Memang memburuk, demikian ujarnya. 

“Pastikan saja ibumu tidak menggunakan benda-benda tajam di dapur dan semacamnya. Kita tidak tahu apa yang besok-besok ada di pikirannya.” Dokter itu sempat menepuk bahuku pelan. “Jaga dirimu baik-baik, gadis muda.”

Aku tersentuh oleh perlakuannya, dadaku waktu itu menghangat. Diam-diam kucatat ucapannya. 

Benda tajam. 

Ya, akan kupastikan benda itu ada di dekat Mama malam ini. 

Jika tiga belas telapak tangan bikinan Pascal itu tak cukup, mungkin aku perlu mendorongnya lebih jauh… 

***selesai*** 

Apatía 5

Apatía

Fly me to the moon, and let me play among the stars…

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars… 

In other words, hold my hand.

In other words, darling, kiss me…

*

Sayup-sayup terdengar Julie London dari speaker yang kau pasang; selain suaranya yang merayu, tak ada yang bicara. Sudah hampir lima menit kau duduk bersamanya, namun tak sepatah pun kata terucap. Hingga akhirnya kau buka suara, “Kudengar kau tak rutin meminum obat.”

Kau lihat dia mengangkat mata. Pandangan kalian bertemu.

“Lalu kau juga masih….“ Sejenak kau diam, mencari kata yang pas.

“Melacur.” 

Berdeham kecil, perempuan itu yang menyelesaikannya. Kau melihatnya merogoh isi Prada tiruan di pangkuannya. Mengeluarkan lipstik dan mulai memoles bibir, tangannya yang lain memajang kaca kecil. Kau yakin benar keduanya gemetar. Di balik lengan baju panjangnya, kau tahu semua tak baik-baik saja. 

Ketika mendapatkan panggilan darinya tadi pagi buta, kau sudah menduga ada yang tak beres dengannya; yang tak kau tahu, apa dan bagaimana. 

“Bisakah aku mampir besok sore? Ada yang ingin kupastikan.”

Kau ingat bahkan sempat terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan meyakinkan bahwa benar dia yang menelepon. 

“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”

Gemerisik di telepon bercampur dengan desah napasnya. Kau mendengarnya terbatuk. Suaranya sedikit sengau. “Mungkin jam lima. Atau jam enam. Kau masih bisa menunggu?” 

Kau tak bisa tertidur sepicing pun setelah menutup telepon. Sudah sekian lama sejak terakhir kali kau dan dia bicara. 

Dan sekarang, di sini kalian berdua. 

Kembar tapi tak serupa. 

Meski tentu saja kau masih bisa melihat kilasan masa lalu dan masa depanmu pada wajahnya. Kau melihatnya mematut bibirnya yang penuh, merah kontras dengan wajahnya yang pucat. Kau kembali buka suara, “Tindakanmu itu sungguh berbahaya. Tidak hanya kau memperburuk status penyakitmu, namun kau juga berisiko menularkannya.”

Dengan bunyi ‘klik’ yang jelas dia menangkupkan cermin. Matanya terangkat padamu. “Kau tahu aku tak peduli.” 

“Tapi aku peduli.” 

Tak kau sangka dia terbahak keras sekali, menepuk lutut, dan memegangi perut. Tawanya berubah jadi sengal napas yang memburu.  

“Ooh…” ujarnya sambil mengeringkan sudut mata, “setelah sekian lama, tak kusangka kau masih lucu saja, Ariana.”

Rautmu sontak mengeras. “Aku bisa mengirimmu pada psikiater.”

“Lakukan apa yang kau mau. Aku juga begitu.”

Kau menggeleng gusar. “Luana, kita bukan anak kecil lagi.”

“Terang saja bukan anak kecil. Kau pikir pelangganku buta? Atau pedofil? Mereka hanya mencari selangkanganku! Setan! Kau seharusnya bersyukur aku memberikan virus kematian pada mereka dengan cuma-cuma!” 

Menahan amarah, kau buka lembar dokumen di depanmu. Mencoba memusatkan perhatian pada catatan yang sudah kau pelajari sejak pagi. 

Setidaknya dia kini tak lagi membisu, begitu pikirmu.  

“Tercatat positif HIV sejak lima tahun lalu. Sempat menerima obat rutin. Namun belakangan tak lagi melakukannya.” Kau dorong dokumen tersebut padanya, menuntut penjelasan. “Apa yang terjadi? Kenapa berhenti berusaha? Lalu apa yang membawamu periksa hari ini?”

Kau melihatnya mengangkat bahu, mendesah malas. Kembali mengorek isi tas, dia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

“Luana! Kau tak boleh merokok di sini!” suaramu meninggi.

“Tak ada tanda larangan.”

“Demi Tuhan! Jika kau begini tak peduli, apa gunanya hidup?!” 

Kini kau saksikan dia menurunkan rokok, memutar bola mata. “Kau terlalu lurus, Ariana. Wajar para pria takut padamu. Santailah sedikit. Papa Mama pasti menangis dalam kubur kalau tahu anak kesayangannya jadi perawan tua.” Mendengar nada suaranya mencela, wajahmu panas membara.

“Air mata mereka sudah habis karenamu.” 

Dapat kau lihat perkataanmu melukainya. Luana menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya bergetar saat berujar, “Kalau perlu mereka menangis darah karena garis keturunan Gouw akan habis di tangan kita: perempuan celaka.”

Kau terkesiap, tak siap. 

“Oh, kau pikir aku tak tahu tentang operasi kanker rahimmu, Ariana?” Kembali, dia menyulut rokok. Kali ini kau tak menghentikannya.

Tangannya bergetar. Api berkobar. “I’m sorry for your loss.” 

“Katakan apa maumu, Luana.” Setengah mati kau menahan air mata.

Jelas kau sadari dia tak peduli perasaanmu, karena seraya mengumpulkan segenap rambutnya ke bahu kiri, dia lanjut bicara, “Aku periksa karena badanku tak seperti biasa. Belum pernah aku selelah ini. Sekacau ini.” Untuk pertama kali kau mendengar kegelisahan dalam suaranya. Begitu juga dengan caranya mengukur diri dengan merentangkan kedua tangan di depan tubuhnya, seakan mengukur dan menghitung semua kesalahan yang ada di sana. “Jika benar akan segera mati, aku ingin memastikannya. Setidaknya kau bisa mengurusi mayatku nanti. Kau mau mengurusi mayatku, kan?” 

Kau tak menjawabnya. Bimbang apakah dia sedang kembali memancing amarahmu atau bicara sejujurnya. 

Lama kalian bertatapan. 

Sampai akhirnya pintu ruangan diketuk. Seorang perawat masuk membawa hasil laboratorium sore ini. Berterima kasih, kau menunggunya benar-benar pergi lalu membuka amplop tersebut. 

Dari ekor matamu kau menangkap Luana bangkit dari kursinya. Berjalan berkeliling, mengamati acuh tak acuh pada piagam-piagam pelatihan dan penghargaan di dinding. Saat kembali bersuara, dia bertanya, “Bagaimana kondisiku?” 

Kau hampir menyergah ‘apa pedulimu?’ namun tak jadi. Alih-alih, kau bergumam, “Tak terlalu bagus. Namun kurasa kau justru bahagia.” 

Lembaran kedua.

Jantungmu mencelos.

Mengangkat wajah, suaramu bergetar saat berkata, “Kau harus kembali meneruskan terapi.”

Kau melihatnya menggeleng. “Kau yang bilang apa gunanya hidup jika tak peduli. Aku ingin mati.”

Dadamu panas, kau sodorkan hasil laboratorium padanya. 

“Bacalah. Aku tak tahu caranya agar kau bisa peduli, tapi Tuhan mengerti. Mungkin ini kerja rahasianya.”

Nanar, kau lihat matanya melebar. Bibirnya gemetar, “Aku…,” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Kau membantunya, “Ya. Kau sedang berbadan dua.” 

Hening.

Tak kau dengar Luana membalas ucapanmu. 

Justru kau saksikan dia memberesi tas di meja dengan tergesa. Sebelum menjangkau pintu keluar dia berhenti sejenak dan membalikkan badan. Kau lihat matanya berkaca-kaca. “Kurasa aku butuh udara segar. Keluar sebentar. Pikiranku…” dia memegang kepalanya sambil terisak, menangkup wajah, “maaf karena telah berkata buruk padamu.” 

Sejurus kemudian dia berlalu. 

Sayup-sayup hanya Julie London yang masih mengalun di telingamu. 

*

Now you say you’re sorry

For being so untrue

Well, you can cry me a river, cry me a river

I cried a river over you… 

*****

*Apatia (Spanish) adalah kondisi kurangnya antusiasme, motivasi, ataupun kegembiraan. Merupakan istilah psikologi untuk kondisi ketidakpedulian, di mana individu tersebut tidak merespon baik secara emosi, sosial, atau aktivitas fisik. 

Sehidup Semati 7

Sehidup Semati

“Apa kabarmu?” 

Ia mengerling, mengangkat bahu. 

Aku mengangguk paham, tak ada jawaban ‘baik’ bagi pesakitan, kecuali saat mereka dibebaskan. 

“Aku membawakan bacaan,” kudorong bingkisan di atas meja. Kulihat ia mengerling malas di kursinya, jelas tak berminat berbincang. 

“Ibu bilang kalau lagi-lagi kau tak membalas suratnya, ia akan datang sendiri.” 

Kali ini ia mengangkat wajah, sejajar dengan pandanganku. Aku serasa sedang selfie dengan kamera depan berfilter buruk. 

“Tak usah repot-repot.” 

“Ibu ingin tahu keadaanmu.” 

“Sampaikan saja apa yang kaulihat sekarang!” Membentangkan tangan lebar-lebar, ia lalu naik dan berdiri di kursinya. Sepasang penjaga di depan pintu menoleh sesaat, lalu kembali ngobrol. 

“Aku selalu menyampaikannya…”

“Peduli setan!!” Tiba-tiba ia menggebrak meja. Cukup untuk mengundang teguran keras salah satu penjaga.

Ia lalu kembali duduk, lambat-lambat mendekatkan wajah padaku. Dekat sekali sampai aku bisa melihat irisnya yang cokelat tua. “Katakan kalau aku sudah mati,” bisiknya dingin.

“Ibu tak menyalahkanmu mencoba bunuh diri.” 

“KAU YANG MENCOBA MEMBUNUHKU…!!! KEPARAT!!” Ia meninju wajahku, meninggalkan bekas memar yang nyata di buku kepalan tangannya. 

Salah satu dari penjaga akhirnya mendekat masuk, disusul oleh temannya. Mereka menggeleng-geleng. Salah satunya berbisik berkomentar, “Lihat apa jadinya jika terlalu dalam berkhayal? Kudengar dulu ia penulis handal. Tapi sekarang gila karena halusinasinya sendiri.” 

Menutup kalimatnya, mereka memasang kembali borgol di tanganku. Kali ini, ia tak memberontak. Satu hidup, yang lain mati. Sehidup semati. 

***

Radio 9

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran radio favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet! 

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…! 

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…! 

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****