Arsip Tag: harunmalaia

Waktu Berhenti di Matanya 1

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Winter Lullaby 3

Winter Lullaby

Nathan duduk di tepian tempat tidur, memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. Seseorang harus melakukannya jika tak ingin benda itu meleleh dan merusak tart yang susah payah dibuat ibunya. Perlahan dia bangkit, mengintip di balik pintu. Polisi masih mondar-mandir di teras dan ruang tamu. Samar-samar terdengar berisik alat komunikasi yang mereka gunakan. Dari kejauhan sirene dan suara binatang malam silih bersahutan.

Jika bukan karena salju yang mulai turun sejak siang, Nathan tak akan menelepon Mrs. Alberta, janda tua yang tinggal seratus lima puluh meter dari rumahnya. Ibunya memang terbiasa pulang larut malam. Hanya saja, hari ini ulang tahunnya dan mereka sudah berencana menonton rekaman pertandingan football tempo hari. 

“Ibuku belum pulang, Mrs. Alberta. Aku tak bisa menghubungi ponselnya. Bisakah aku memintamu menghubungi polisi?” 

Sudah lewat 15 jam sejak terakhir kali seseorang melihat Amber; Ibu Nathan. Ms. Austin, penjual kue di pinggiran kota mengaku wanita itu datang membayar bahan-bahan kue di pagi hari. Mr. Simmons, pemilik kelab malam tempatnya bekerja mengangkat bahu saat ditanyai polisi. “Dia sudah minta libur malam ini dan besok. Nathan, anaknya berulang tahun.” 

“Sebenarnya, apa pekerjaannya di sini?” 

“Dia penari. Pool dancer.” 

“Amber tak bisa melakukan hal lain karena kikuk. Pernah mencoba jadi pelayan, atau kasir di toko. Dia sebenarnya bisa melakukannya, maksudku, dia bukan orang yang bodoh, hanya cenderung teledor dan lupa.” Nancy, pramusaji di kelab, mencoba membantu menjelaskan. “Tapi dia sangat bertanggung jawab. Maksudku, dia sadar kelemahannya, jadi dia belakangan membawa buku catatan kemana-mana. Dan dia tak merepotkan siapa-siapa, kalau mau jujur.” 

Buku catatan itu ide Nathan. Ketika dia mulai kelas tujuh dan ibunya kerap mangkir pertemuan orangtua murid, dia membuatkan catatan untuk diselipkan di kantong jaket jeans biru satu-satunya milik ibunya. Polisi memastikan ibunya keluar tak mengenakannya. Jaket itu masih tersampir rapi di belakang pintu depan. Ramalan cuaca memang tidak memperkirakan kalau salju akan turun jauh lebih dini. Kemungkinan ibunya pergi pagi-pagi sekali karena yang Nathan jumpai saat bangun hanya selembar kertas tertempel di pintu lemari es. 

Ke tempat Ms. Austin, membayar tepung dan mentega!

“Kau yakin ibumu tak bekerja di tempat lain, Nak? Mungkin kau melewatkan sesuatu? Teman yang baru dikenal? Atau apapun yang mungkin dia coba lakukan seharian ini?” Letnan Donovan, polisi perempuan berkulit hitam yang memimpin pencarian mencoba memastikan.

Nathan menggeleng. Mrs. Alberta yang menengahi, “Amber menderita Alzheimer dini yang langka. Hampir tak ada yang bisa dia kerjakan tanpa mengacau. Hanya menari. Ya, dia bilang, saat menari seseorang tak perlu ingat. Dia hanya perlu bergerak sampai tiga puluh menitnya selesai lalu mendapat bayaran.” 

Di jalanan depan rumah salju mulai menumpuk setinggi lutut ketika jarum jam dinding berkencan di angka dua belas. Nathan terkantuk, Mrs. Alberta mengelus kepalanya. 

“Kau perlu tidur, Sayang.” 

Nathan menggeleng, hidungnya berair. “Ibuku akan baik-baik saja?”

“Polisi sedang mencarinya. Kuharap dia hanya tersesat.” 

Ibunya sering tersesat. Tapi tak pernah selama ini. Atau dalam cuaca seperti ini. 

Mrs. Alberta bersikeras kalau Nathan harus tidur jadi anak itu mengalah. Berbaring kaku di atas kasur, telinganya menangkap desau angin memukul-mukul jendela. Terlelap sejenak, Nathan tersentak saat membuka mata. Dia mendengar bisik-bisik di balik pintunya.

“Dari mana kau semalaman?” 

“Aku terjebak salju, Mrs Alberta. Dokter Grey berbaik hati mengantarkanku, tapi aku lupa jalan pulang jadi kami berputar-putar sejenak. Apakah Nathan kecewa aku melewatkan ulang tahunnya?”

Nathan mengerjap-ngerjap. 

Memasang telinga.

Sekarang hening.

Hanya sirene terdengar di kejauhan.

Serta angin yang memukul-mukul daun jendela. 

Nathan bangkit, menggosok mata, lalu duduk di tepian tempat tidurnya. Memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. 

Bisik-bisik barusan, mimpi—atau nyata? 

Kisah Kasih Kotek-Kotek 5

Kisah Kasih Kotek-Kotek

Astaga, kau lihat si Petunia? Dia sudah berkotek-kotek lagi!”

Oklahoma berhenti mengais-ngais dan memiringkan kepalanya. Mempertimbangkan kata-katanya sebelum berucap; dia tahu Esther hanya sedang ingin bergosip, “Bukankah baru minggu lalu dia selesai mengeram?”

“Itu maksudku! Betina itu hanya pandai berbuat tapi coba kau lihat apa hasilnya. Hampir semua anaknya mati lumpuh layu!”

“Saat itu sebenarnya memang sedang ada wabah, kan?” Tak ingin terlalu terpancing, Oklahoma beralih mengutak-atik sisi sayapnya yang dirasa gatal.

“Tapi kau paham maksudku, Okla.”

“Jangan katakan kau cemburu padanya, Esther.”

“Amit-amit kuning telur,” Esther menggeleng lalu berlenggang menjauh. Meski sebenarnya di dalam hati dia mengakui kalau cemburu besar pada Petunia, betina bertubuh montok dengan bulu-bulu mengkilap yang tersusun simetris seakan dibuat dari cetakan spesial, beda dengan ayam-ayam lainnya.

Esther sendiri juga sudah rindu ingin mengasuh telur-telurnya sendiri hingga menetas. Dia senang saat membayangkan bulu-bulu kuning itu berlarian namun apa daya hingga kini tak ada pejantan yang mendekatinya.

“Apa aku kurang menarik?” pernah dia bertanya demikian saat mereka sedang berburu cacing di pinggir empang. Lehernya sampai terpuntir karena asyik mematut diri di permukaan air.

“Diamlah, Esther. Apa perlu kucarikan pejantan buta?

Jawaban ketus Oklahoma membuat Esther tersentak. Tidak. Dia tidak tersinggung. Okla hanya bercanda, tetapi perkataannya benar adanya. Esther seakan mendapat suntikan semangat baru hingga bulu-bulunya bergetar hebat dan dia seperti terserang demam.

Tak apa buta, yang aku perlukan hanya supaya telurku dibuahi, Esther membatin.

Maka Esther menyusun rencana untuk mendapatkan pejantan buta. Semula, dia sempat kesusahan ketika menanyai tentang hal itu pada para pejantan. Mereka tak suka ditanya tentang ayam lain.

“Kau pikir aku petugas klinik mata?”

“Apa tadi yang kau tanyakan? Telingaku kurang mendengar. Apa kau tak mencari ayam tuli juga?”

“Hey, Nona, apa kau membawa undangan gratis operasi katarak?”

“Lihat saja yang jalannya sering terantuk-antuk. Lagian, apa yang kau cari dengan seekor buta, Manis?”

Esther mungkin rindu punya gumpalan bulu kuning yang berlarian, tapi dia cukup pemilih untuk tidak menanggapi godaan dari pejantan yang tak jelas asal-usulnya. Okla yang mengetahui rencananya sampai berdecak gemas.

“Kalau perlu kutarik lagi ucapanku agar reda obsesimu pada ayam tuna netra. Mengapa tak kau ladeni saja si Karem? Dia mengagumimu, tahu.

Esther menirukan gaya muntah saat kapan hari dia tersedak kerikil. “Karem itu entah dari mana asalnya, Okla. Jika dia berkokok, kepalaku pening karena tak ada nada yang pas. Lalu kau lihat tajinya? Astaga, pantas saja dia tak pernah mau berkelahi. Atau lebih parah, tak ada yang ingin mengajaknya duel karena cuma buang-buang tenaga.”

“Ooh, kau mencari yang bengal, sekarang?”

“Kau paham maksudku, Okla. Genetik Karem itu mengecewakan. Aku tak ingin telurku ternoda olehnya.”

Oklahoma kembali berdecak gemas. “Baiklah, kalau itu maumu. Dengarkan ceritaku ini, beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar kalau Jakob terluka parah saat berkelahi dengan Thor. Dia menang, sih. Tapi dengan harga yang pantas.”

Jakob? Pejantan dari kampung seberang? Yang suaranya tegap dan lantang? Yang ekornya indah dan bulu lehernya jenjang mengembang? Esther merasakan jantungnya bertalu-talu. “Apa maksudmu, Okla?”

“Maksudku adalah, kabar angin menyampaikan kalau sekarang dia buta. Tidak sepenuhnya buta, sih. Tapi kau tahu maksudku,” Okla menjawab malas-malasan.

Esther tak menunggu lama, setengah hari dia habiskan untuk berkeliaran mencari tahu di mana Jakob berada. Di persimpangan jalan tak diduga dia bertemu dengan Petunia. Dia sudah bersiap membuang muka ketika didengarnya Petunia menyapa, “Apa kabarmu, Perawan Tua?

Esther membelalak dan spontan menerjang Petunia yang sigap menghindar lari sambil tertawa-tawa. Ayam itu mengikik geli dan berteriak-teriak genit di sela-sela langkahnya, “Kau terlalu emosian, Esther. Percuma kita bertetangga tapi tak ada ilmu yang bertambah darimu. Betina itu harus pandai bersikap centil…!

“Astaga. Berhentilah membanggakan diri! Tak sedikit pun aku iri padamu yang hanya sukarela merendahkan badan dan membiarkan kepalamu dipatuk seakan itu menambah kehormatanmu. Bahkan bebek saja akan berlagak meronta jika mereka melakukannya.”

Petunia masih berlari-lari sambil tertawa,”Bicaramu seakan kau sudah pernah merasakannya. Aku penasaran dengan kitab kamasutra mana yang selesai kau baca.”

Esther geram setengah mati namun Petunia terlalu lincah dan liar untuk dikejar. Jadi dia berhenti dan membalikkan diri. Di bawah rindang pohon dirapikannya bulu-bulu yang kini lengket dan penuh debu.

Saat itulah dia melihatnya.

Jakob.

Astaga.

Esther hampir menetaskan telur jika dia tak segera merapatkan sepasang kakinya. Dia sibuk mematut diri sebelum teringat tentang apa yang disampaikan oleh Oklahoma. Merasa Jakob tak akan terlalu menilai penampilannya, Esther mendekat dan menyapa.

“Hai, Jakob.”

Jakob memiringkan kepala, menatap dengan sebelah matanya yang sepertinya masih berfungsi; setidaknya begitu dugaan Esther.

“Perkenalkan… namaku: Esther.”

Jakob hanya mengangguk pelan. “Apa maumu?”

Astaga, dia ini tak pandai berbasa-basi, ya? Esther membatin.

“Aku… aku… begini… aduh, aku harus mulai dari mana, ya?” Esther bingung.

Jakob terlihat bosan dan melangkah pergi. “Jangan buang waktuku kalau begitu.”

Esther panik dan menyusulnya. “Oh, tidak, jangan pergi dulu, Jakob.”

Jakob kembali memiringkan kepala.

“Aku… aku ingin kalau kau bisa melihat lagi,” cetus Esther.

Jakob langsung menegakkan leher tinggi-tinggi. Refleks berkokok.

Esther memalingkan wajah dan menelan lidahnya sendiri. Aduh, apa yang barusan kukatakan?

“Kau tidak sedang meledekku, kan?

Esther gugup dan menggeleng. “Tentu tidak. Aku, aku tahu siapa yang bisa mengobati matamu. Itu sebabnya aku mencarimu.”

“Benarkah? Luar biasa!! Aku tak mengira akan mendapat kabar baik di sore hari seperti ini!”

Maka pergilah Esther dengan penuh kebimbangan setelah dia bertukar janji dengan Jakob untuk kembali bertemu dalam dua hari.

“Matilah, kau, Esther! Apa kau tak bisa berbohong yang lebih dahsyat lagi? Mencarikannya ramuan supaya bisa terbang, mungkin?!” Oklahoma geleng-geleng tak percaya saat diceritakan runut kejadiannya.

“Ayolah, Okla. Carikan aku ayam penyembuh.

Bukan Oklahoma namanya jika tak kenal seisi kampung dan seberang-seberangnya. Dia kemudian memberikan sebuah nama.

“Pergilah cepat, perjalananmu sendiri sudah akan menghabiskan waktu lama. Tapi jangan lupa, jangan lagi kau banyak bicara.”

Esther mengangguk dan bergegas, penuh harap dan cemas, menemui dukun yang dimaksud. Sehari penuh dia habiskan namun beruntung pada akhirnya berhasil menemui ayam penyembuh itu dan menceritakan maksud kedatangannya tanpa keliru. Entah memang nasib mujur sedang menghampirinya, atau memang sudah itu takdir baginya, dukun itu memiliki ramuan mujarab untuk tuna netra.

“Dengarkan aku, Nak, ini cara pakainya, kau harus…”

Esther mendengarkannya setengah-setengah dengan pikiran gelisah, saat itu matahari sudah mulai rebah. Dia tak ingin terlambat dan Jakob marah padanya. Jadi dia memotong ucapan nenek itu dengan sopan dan segera meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan. “Berikan saja padaku instruksinya dalam bentuk catatan, Nenek Penyembuh. Aku sedang diburu waktu.”

Nenek itu tampak ragu, namun melihat kesungguhan hati Esther dia jadi tak tega dan memberikan catatan yang dimaksud. “Semoga tercapai apa yang kau inginkan, Nak.”

Esther berlari sambil sesekali membaca catatan yang diberikan, “Astaga, tulisan nenek ini sungguh seperti cakar ayam. Aku tak bisa membacanya dengan baik.”

Di tempat janji bertemu, Jakob telah menunggu. Wajahnya cerah saat melihat Esther datang terengah-engah.

“Apakah kau membawakan ramuanku?”

“Tentu. Aku tak akan mengecewakanmu, Jakob.” Esther menjawab di sela deru napasnya.

Maka Jakob menggunakan ramuan tersebut sesuai instruksi. Beberapa saat mereka menanti. Kesunyian mulai melanda, masing-masing dengan pikirannya.

“Berapa lama lagi aku baru bisa membuka mata?”

Esther meneliti catatannya, “Sebentar lagi. Dikatakan sampai kotoran encer mengering. Berarti tak lama lagi.”

Sementara menunggu, Esther mencuri pandang pada Jakob yang berdiri tegap di hadapannya. Dia sungguh terpesona.

“Apa kau sedang memandangiku, Nona?”

Esther gelagapan dan mengalihkan pandangan pada catatan yang dibawanya. “Tidak, aku hanya memastikan. Bagaimana bisa kau melihat aku sedang memandangimu?”

Jakob tak menjawab, hanya mengangguk-angguk pelan.

Waktu berlalu, sebentar lagi tiba saat yang dinantikan. Esther kembali memastikan catatan yang diberikan oleh ayam penyembuh.

Waktu reaksi obat: sampai kotoran encer mengering.

Lalu ada sebaris tulisan yang tak mampu dibaca olehnya. Diangsurkannya kepada Jakob.

“Hei, Jakob, kurasa sudah saatnya. Coba buka matamu dan baca catatan ini. Sebagai bukti kalau kau sudah bisa melihat lagi.”

Jakob membuka matanya. Luar biasa. Dia benar-benar sudah bisa melihat lagi! Dikepakkannya sayap dan berkokok lantang. Diambilnya catatan yang diangsurkan Esther, membaca dengan antusias.

Ramuan penyembuh mata buta.

Terbuat dari akar alang-alang berumur dua hari tiga malam, campuran sayap kepik bertotol hitam-ungu, seruas cacing tanah berkaki ganjil, dan dua puluh tetes embun subuh saat matahari berkilauan di ufuk timur.

Cara pakai: lumurkan ramuan pada mata yang sakit, tidak membuka mata sampai waktu yang telah ditentukan.

Waktu reaksi obat: sampai kotoran encer mengering.

Efek samping obat: berubah haluan.

“Bagaimana?? Aku sudah bisa melihat lagi!” Jakob melonjak-lonjak kegirangan.

Esther memiringkan wajah. “Sebentar. Coba kau ulangi. Baris terakhir. Aku tak salah dengar, kan?

“Oh, tentu tidak! Aku sudah bisa membaca dan tidak lagi buta!” Jakob mengedip genit dan mulai berkotek-kotek.

*****