Arsip Tag: keluarga

Pertemuan di Kereta 1

Pertemuan di Kereta

“Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu—sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan—, kuharap tekadmu sudah benar-benar bulat, Nak. Dan waktumu tak panjang, jangan berlama-lama di sana,” kecemasan memenuhi air mukanya.

Aku menelan ludah. Panik mulai memenuhi benak.

Kurasakan sensasi aneh mencair di mulutku. 

Aku tak sempat untuk berubah pikiran—bahkan sekiranya ingin—karena sesuatu tiba-tiba menarik rambutku naik ke atas dan aku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air di bawah kota yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.

Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ouk yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Aku meringkuk rapat-rapat, sampai kurasakan kereta yang kutumpangi berhenti. 

Membuka mata, aku melirik sekeliling. Tidak terlihat lagi wajah Nenek Perta. Serta aroma apak dinding ruang tamunya yang menurutku mengandung racun. 

Aku terbatuk pelan. 

Langkah pertama berhasil.

Sekarang yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.

Yang sepertinya tidak akan mudah. 

Nenek Perta sialan. 

Dari sekian banyak peron pemberhentian, penyihir tua renta itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. 

Sempurna. 

Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah—pada akhirnya mantra Tulang Lunak terpakai juga. Seorang kakek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan (setelah kupikirkan lagi, dia mungkin seorang pengemis yang sempat mengira aku adalah tetesan jeli hijau-lumut yang bisa dimakan). 

“Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?” Dia menyapa ramah.

Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. 

Astaga, tempat ini cool sekali (dalam artian sebenarnya dan kiasan), pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Buru-buru aku ke kamar mandi dan merapikan diri.

Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural (di tahun ini!) daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat, kugenggam sudut perkamennya erat-erat. Kehilangan barang itu bisa berarti mati.

Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus yang berbuah panjang-panjang berwarna ungu-biru, buah itu menjuntai panjang hampir dua meter dari tangkainya menempel. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.

Teler karena Buah Sulur Jembalang adalah pilihan yang sangat manusiawi. Aku mendengus pelan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.

Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.

“Bisa bicara?”

Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan dia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian tongkat berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” ulangnya dengan membelalak.

“Ibu; dia ingin aku—maksudku, kau,” aku sedikit tak terbiasa melihat riasan di matanya,”menghindari naik gerbong yang biasa kau tumpangi. Pilih saja gerbong lansia. Atau para guru.”

“Gerbong lansia banyak pelecehan seksual. Kau tak mau tahu apa isi koran belakangan.”

“Kalau begitu para guru.”

“Apa kau sudah gila?!” Wajahnya tampak khawatir, memandang sekitar dengan nanar. “Sebenarnya ada apa kau datang? Kau tahu berisiko sekali bepergian ke masa depan.”

Aku berdeham. Hampir saja aku lupa dengan risiko itu. Kudekatkan wajah ke telinganya (astaga, aku menindik telingaku sebanyak tujuh lubang?), “Ada pria yang akan jadi suamimu di sana,—dan apa yang kaulakukan dengan hidungmu? Kau mengoperasinya?”

Wanita itu spontan menjengit. “Siapa yang bilang?”

Aku memutar bola mata. “Ibu. Dengarkan aku: dia-melarangmu-naik-gerbong-yang-biasa-kau-tumpangi,” aku mengulang pesan dengan sedikit tak sabaran. 

“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”

Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”

“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu Ibu benci rambut merah.”

“Mengingatkannya pada Ayah yang pemabuk. Bagaimana Ibu tahu hal seperti ini?”

Aku mengibaskan tangan. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan. Dan ada banyak hal lagi yang jadi ceracaunya belakangan ini. Hindari rambut merah itu, dan hidupmu akan baik-baik saja, begitu katanya.”

Wanita itu menghela napas. “Aku tak ingat itu. Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya. Bertepatan dengan lolongan kereta yang mendekat. 

“Keretaku datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”

Aku mengangguk cepat. Kurogoh saku jubah, mencari permen mint yang sudah dimantrai oleh Nenek Perta. “Jaga diri!” teriakku pada wanita itu persis sebelum permen itu meledak di dalam mulutku (secara harfiah!) dan merasakan sensasi tersedot yang sama seperti sebelumnya.

Kali ini gerbong pengembalianku tak berterali, lebih empuk dan wangi biji bunga matahari. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. 

Oh, Demi-Tanduk-Kelabang! 

Kurasa hidungku patah. 

Perlahan aku mengeluarkan saputangan, menyumpal darah yang mulai menetes.

Wow. Sepertinya kau butuh dokter.”

Suara itu mengagetkanku, sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki bertopi jerami sedang memandangiku takjub. Mata hijaunya berkilauan. “Kau tampak—biru. Tersesat?”

Aku menggeleng pelan, memeriksa sekujur tubuh—selain hidung, aku tak kurang satu apapun. Bangkit berdiri, aku bertanya pada anak itu, sepertinya kami seumuran. “Hei, sekarang tahun berapa?” 

Anak laki-laki itu menjawab pelan, dia mengulurkan tambahan sapu tangan dari saku jubahnya. “Kau yakin tidak perlu ke dokter? Ayahku punya penyembuh yang bagus.”

Tidak. Uang dan tabunganku telah habis untuk membayar Nenek Petra. 

Aku menggeleng yakin, meski kini kurasakan pandanganku agak mengabur dan sulit bernapas. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” 

Anak laki-laki itu mengangkat bahu, “Terserah kau saja.” 

Kulepas sapu tangan dari hidungku. Darahnya sudah berhenti. 

“Kau seperti nenek sihir,” anak itu terkekeh. Menunjuk pada hidungku yang bengkok tak wajar. 

Berdecak kesal, aku mendorongnya, mengintip keluar kereta yang sedang berjalan—perpindahan hanya bisa dilakukan pada objek yang sedang bergerak cepat. “Apakah ini gerbongmu?”

Kembali dia mengangkat bahu, “Menurutmu?” 

Aku berpaling padanya. Menyewa satu gerbong sendirian? Anak orang kaya yang mulutnya pedas sekali. 

Sekelabat sinar matahari masuk dan menyinari gerbong, kembali aku mengintip keluar jendela. Padang Rusa Merah, sebentar lagi aku akan sampai di rumah. 

“Kau habis bepergian?” Anak itu ikut bertumpu di jendela. 

Aku meliriknya, “Menurutmu?”

Dia terkekeh, dengan susah payah dia mengangkat tepian kaca yang berat, “Bantu aku.”

Bersungut-sungut, aku tetap ikut mengungkitnya. Berat sekali, sepertinya tidak pernah ada yang repot-repot meminyaki jendela ini. 

Berhasil! 

Kaca itu mengayun naik dengan derak terpaksa, mengizinkan gerombolan angin sore sabana yang keras menghempas masuk. Aku tertawa saat melihat topi jerami anak itu disambar angin kencang lalu terbang keluar gerbong. 

“Hei…!” sudah terlambat untuk mengucap mantra pemanggil. 

Aku masih terkekeh, “Kau harus merelakannya.” 

Kali ini sinar matahari benar-benar masuk gerbong secara merata. 

Senyumku lenyap. 

Anak laki-laki itu masih mencebik, mengusap-ngusap rambutnya yang berkibar berantakan. 

Rambut merah itu.

*****

Waktu Berhenti di Matanya 3

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 5

Lelaki Tua di Tengah Gerimis

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 7

Setengah berjongkok aku duduk di depan nisan perempuan itu. Seminggu telah berlalu sejak kepergiannya; istriku. Leukimia yang lama menggerogotinya akhirnya menang. Kudekatkan pigura yang kubawa tadi dan berbisik padanya. 

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di nisan. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

~~~

 “Apa yang sedang kaulukis?”

Istriku menoleh sejenak, kemudian kembali pada kanvasnya. “Lelaki tua di tengah gerimis.”

Aku mengangguk pelan. Mataku menangkap foto yang sedang ia tiru.

“Kapan foto itu kauambil?”

“Kemarin. Saat aku sedang berteduh.”

“Kupikir kau membawa mobil.”

“Aku meninggalkannya di taman untuk berjalan kaki sebentar. Lalu hujan turun.”

“Siapa lelaki tua itu?”

Istriku terlihat sedikit jengah dengan pertanyaanku. Ia meletakkan kuas di pangkuannya, lalu menarik foto di sebelahnya dan mengangsurkannya padaku. “Aku tak mengenalinya. Aku hanya tertarik.”

Kuamati foto yang ia berikan. Sudut bibirku tertarik ke bawah. “Kenapa bisa?”

Istriku mengeluarkan tawa kecil. “Kau cerewet sekali.”

Mau tak mau aku tersenyum. “Kenapa ia tak menaiki sepedanya?”

Istriku melemparkan pandangan sinis. “Kau tak melihat ban sepedanya kempes?”

“Di mana ia mendapatkan rumput? Kupikir semua padang rumput tak ada lagi yang gratis.”

Istriku menggeleng pelan. Ia lalu kembali menekuni kanvasnya.

“Berapa usianya kira-kira?”

Istriku terlihat menimbang-nimbang. “Enam puluh. Entahlah. Tujuh puluh. Sulit untuk mengiranya dalam gerimis. Apalagi jika seseorang bekerja sekeras itu sampai tua. Bisa jadi ia lebih muda.”

“Berapa usiaku?”

Istriku melemparkan tube cat kosong padaku. “Tahu yang menarik perhatianku pada awalnya? Ia tidak berhenti menuntun sepedanya meski hujan.”

“Kenapa ia harus berhenti? Hujan tak membuat orang mati.”

Hei…!” istriku melempar pandangan sinis lagi.

Aku mengangkat bahu, menunjukkan wajah minta maaf. “Mungkin ia dikejar setoran. Sekarang kan banyak hewan kurban.”

Istriku tak menampiknya. Ia melanjutkan goresan kuasnya. Aku sendiri kembali mengamati foto di tanganku.

“Kautahu minuman apa yang ia bawa?”

Untuk pertama kalinya kulihat istriku tersenyum geli mendengar pertanyaanku. “Kopi? Minuman penambah tenaga? Entahlah.”

“Harusnya kautanyakan.”

Aku mendapat tatapan maut istriku sebagai balasan. Membuatku tersenyum. Kualihkan pandangan pada kanvas di depannya. “Kenapa belum ada wajahnya?”

Istriku tak menjawab.

“Aku tak mengerti kenapa kau tertarik pada lelaki ini.” Desahku.

“Dia tidak buncit sepertimu.”

Aku membelalak namun tak urung terbahak. “Hei…!” kugenggam lemak di depan pinggangku. Bibirku mengerucut. “Kurasa aku harus diet.”

“Karena kau takut buncit?”

“Karena kau senang melukis pria kurus.”

Istriku melayangkan pandangannya padaku. “Apa maksudmu?”

Aku tak menyangka akan mendengar nada serius dalam pertanyaannya itu. Sedikit tergagap aku menjawab. “Kau melukis lelaki tua di tengah gerimis. Kau bahkan tak mengenalnya.” Setelah berdehem kecil aku melanjutkan ucapanku. “Kau tak pernah melukisku.”

Istriku memutar kursinya padaku. “Kau ingin tahu alasan sebenarnya aku melukis lelaki tua ini?”

Aku menatap lurus padanya. Kurasakan ia serius ingin memberitahuku. Tak menjawab, aku hanya mengangguk.

Istriku mengambil kuas yang lebih kecil, membawanya ke area wajah yang belum ia lukis. Tangannya bergerak perlahan. Ekor mataku mengikutinya.

“Aku ingin melukis senyum di wajahnya.”

~~~

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di sana. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

Kukuatkan diriku untuk mengumpulkan kata-kata. “Kubawakan lukisan terakhirmu. Kuharap kau juga tersenyum di sana…”

*****


Ditulis untuk ikut MondayFlashFiction Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis. #494 kata dengan judul. Gambar milik Rinrin Indrianie.

Dawai Terakhir 9

Dawai Terakhir

Jika normalnya seorang bayi lahir akan menangis dan beberapa menit kemudian tembuninya keluar, maka tidak dengan Kakek. Setidaknya begitu yang kudengar dari cerita turun-temurun keluarga yang kerap diulang Ibu padaku.

“Kakek lahir, dan langsung bernyanyi bersama gitarnya.”

Dulu, aku selalu mencibir dan mencemooh cerita itu, sampai kemudian kakek tinggal bersama kami, tepatnya dua bulan yang lalu. Setelah kematian Nenek, usianya yang sudah lanjut tak mengizinkannya lagi untuk tinggal sendiri (bagaimana Nenek tetap waras sampai ia dikebumikan sedangkan Kakek malah sebaliknya tetap merupakan misteri bagiku). Sebagai anak bungsu yang baru menginjak remaja, aku dianggap masih tak perlu kamar sendiri sebagai ruang privasi, sehingga harus rela berbagi.

“Yang penting Kakek nggak ngelindur, ya…” aku bersungut-sungut.

Semakin tua Kakek justru semakin seperti anak kecil. Hanya sesekali kujumpai ia mengatakan sesuatu yang tak mencerminkan kepikunan. Sisanya, ia akan menghabiskan hari memetik gitar kesayangannya yang senarnya tinggal satu.

“Ini sisa umurku,” jelasnya suatu sore, ketika dilihatnya aku memasang tampang iba pada gitarnya. Ia kemudian melanjutkan memetik sambil sesekali berucap. Kalimatnya pendek-pendek. Terputus-putus. Ditingkahi petikan. “Pertama putus usia duapuluh. Lalu tiga tujuh. Lalu entah usia berapa. Yang terakhir waktu nenekmu meninggal.”

Sudah dua bulan ini pula malam hari yang kulalui terasa begitu menyiksa. Bagaimana tidak, Kakek bisa memetik gitarnya sampai lewat tengah malam. Telah kusampaikan keluhanku pada Ibu namun ia hanya menggeleng sambil menggumamkan sesuatu yang tak bisa kumengerti hingga akhirnya aku menyerah.

“Setiap manusia lahir dengan gitarnya,” Kakek membuka suara untuk pertama kalinya malam ini. Aku melirik jam dinding. Setengah sebelas. “Gitarmu di mana?”

Aku terbiasa mendiamkan Kakek, karena biasanya ia juga tak butuh jawaban. Tapi saat kupalingkan wajah padanya, ia sedang menatapku, seakan menunggu.

Aku menggeleng tak acuh, “Nggak punya.”

“Pasti disimpan ibumu. Ia tak mau kamu seperti ayahmu.”

Obrolan tentang ayah merupakan hal tabu di rumah. Darahku berdesir cepat saat mendengar kakek menyinggungnya. Baru aku membuka mulut untuk lebih lanjut bertanya, kakek sudah membalikkan badan memunggungiku.

Ayah seorang wartawan politik. Tabiatnya yang keras kerap membuatnya terlibat dalam kesulitan. Dari cerita yang secara sembunyi-sembunyi disampaikan kerabat padaku, Ibu sudah sering mengingatkan Ayah untuk berhati-hati dalam tulisannya namun hal itu justru membuat Ayah marah dan merasa tidak didukung.

Kemudian suatu pagi, Ayah pergi dan tak pernah kembali.

Aku baru berumur tiga tahun saat itu.

Satu-satunya ingatan samar tentang Ayah adalah bau kerah bajunya yang manis dan membuatku mengantuk. Ia biasa menggendongku sampai tertidur, kadang ia membiarkanku terlelap di sampingnya, ketika ia sedang mengetik dengan mesin ketik tuanya.

Suara mesin itu jauh lebih baik daripada gitar berdawai satu. Aku mengeluh dalam hati. Kulirik Kakek yang sedang tertidur pulas. Pelan kucoba untuk membangunkannya. Ia tak bereaksi saat kusentuh bahunya.

Sebuah pikiran usil melintas di benakku.

Kutarik pelan gitar yang dipeluknya. Seutas benang melilit benda itu dan tampaknya terikat erat pada tubuh Kakek. Keningku berkerut. Orang tua aneh, ia pasti tak mau gitarnya hilang.

Tak putus asa, kugunting benang pengikat gitar.

Kusurukkan benda itu jauh ke bawah tumpukan baju kotor.

Malam itu aku tertidur dengan lelap kembali.

Keesokan harinya aku bangun dengan kepala berdenyut. Samar kudengar isak tangis dan suara membaca Yasin. Ranjang di sebelahku kosong.

Setiap manusia lahir dengan gitarnya…

Maka kutuliskan kisah ini.

Sepenggal Senja Punya Madi 11

Sepenggal Senja Punya Madi

Matahari masih berada di atas kepala saat Madi menerobos semak-semak membentang yang memisahkan jalan setapak yang tadi ia lewati dengan hamparan sawah yang sedang ia tuju. Sebenarnya jika ia terus saja berjalan mengikuti jalan setapak, ia pada akhirnya juga akan tiba ke sawahnya. Tapi ia memilih melintasi semak-semak perdu ini. Paling tidak ia akan tiba lebih cepat daripada seharusnya. Perutnya sudah berbunyi sejak lama. Pagi tadi ia memang terburu-buru sehingga tak sempat mengisi perut. Ia hanya meminum setengah gelas teh hangat. Itupun ia langsung diteriaki oleh ibunya karena meminum teh miliknya.

Namun betapa kecewanya ia saat melihat dangau kosong. Seakan tak percaya, ia bergegas mendekat dan memeriksa. Tapi memang tidak ada siapa pun di sana. Dengan lesu ia meletakkan sepatu yang sedari tadi ia jinjing — jalanan yang tadi ia lewati tidak hanya berhias semak berduri, tapi juga lumpur yang lengket. Lumpur itu meninggalkan bekas sampai hampir mencapai lutut. Madi menggaruknya. Kini ia bukan hanya lapar. Tapi juga gatal.

Tiba-tiba ia teringat, ia pernah memeram buah mangga. Maka ia bangkit dan memeriksa bakul kecil di sudut dangau. Untunglah, ia masih beruntung. Tak hanya mangga yang ia dapatkan. Ternyata ibunya juga memeram tiga buah pisang tanduk yang kini sudah berwarna kuning. Ia bisa mencium baunya. Mangganya tidak terlalu matang. Sepertinya besok akan pas matangnya. Tapi perutnya terlalu lapar untuk bisa menunggu besok. Maka Madi memutuskan akan memakannya demi mengganjal perutnya yang sudah benar-benar kosong.

Saat menghabiskan pisangnya yang kedua ia berpikir tentang bagaimanakah reaksi ibunya jika tahu ia telah memakan pisangnya. Sedang meminum setengah gelas tehnya saja ia sudah diteriaki seperti seorang maling. Memikirkan itu Madi berhenti mengunyah, pisangnya tinggal setengah.

Ia lalu membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah bingkisan. Hadiah. Ia mendapat rangking dua di kelasnya. Ia mendapat hadiah untuk itu. Sepertinya buku. Apalagi? Madi mencoba merabanya dari sudut ke sudut. Sepertinya memang buku.

Paling tidak Didi tidak perlu lagi membeli buku. Adiknya itu sekarang kelas dua SD. Jika tadi ia naik kelas berarti sekarang ia kelas tiga. Madi memberengut, pasti bukunya ini akan banyak diminta untuk Didi. Tapi kemudian ia tersenyum, ia berniat menggoda Didi jika pulang nanti. Ia akan berpura-pura pelit. Biar Didi menangis dulu. Pasti seru. Biasanya Didi jika menangis suka sampai berguling-guling. Diam-diam Madi menertawakan khayalannya.

Sekali lagi diperhatikannya hadiah di tangannya itu. Juara dua. Lalu diambilnya buku raportnya. Memang juara dua. Ia terpaut satu angka dengan Hamid, sang pemuncak di kelasnya. Mulut Madi mengerucut, meneliti nilai-nilai yang tertera. Tadi ia sudah memeriksanya. Sekarang ia ingin menikmatinya. Oh ya. Bahasa Inggris. Ia hanya mendapat angka delapan. Sedang Hamid sembilan. Tentu saja ia kalah, melihat kamus Hamid saja sudah akan memastikan nilai Hamid. Sedang ia sendiri, punya sebuah kamus kecil yang justru banyak tidak memuat kata-kata penting. Itupun pinjaman.

Kaki Madi kini berwarna coklat keputihan. Lumpur tadi sudah mengeras. Madi menggesek-gesekkannya ke tiang dangau, membuatnya terkikis. Paling tidak kini kakinya tidak terasa terlalu keras. Ia menggoyang-goyangkannya, sepertinya tadi kakinya tergores, kini gantian lalat yang mengerubungi kakinya.

Perutnya kini tak lagi terlalu keroncongan. Tapi kini ia malah memikirkan nilai raportnya. Madi membuka-buka lembarannya dari awal. Juara dua. Juara dua. Juara dua lagi. Yang ini juga juara dua. Selalu juara dua. Mata Madi menerawang. Juara satunya selalu Hamid. Ya. Hamid tak pernah tidak juara satu. Mereka sudah satu kelas sejak SD. Dan selama itu — sampai sekarang kelas dua SMP, ia selalu juara dua dan Hamid yang memegang juara satu.

Hamid. Abdul Hamid. Madi langsung terbayang wajah temannya itu. Ya, meski mereka bersaing, tapi mereka tetap berteman. Sebenarnya Madi agak segan berteman dengan Hamid. Ia anak Haji Mahmud, orang terkaya di desa.

Kening Madi tiba-tiba berkerut. Iya ya. Hamid anak orang kaya. Pintar. Selalu juara satu. Anaknya ramah. Bersih — Madi memandangi kakinya yang dikerubungi lalat. Wajahnya juga tampan. Hamid ketua OSIS…

Wah! Kening Madi makin berkerut. Makin dipikir-pikir, ternyata Hamid begitu lebih. Ia sendiri? Hanya juara dua. Anak orang miskin. Harus ikut bekerja mengambil upah membersihkan sawah milik tetangganya yang lumayan berada jika musim tanam sawah. Rumahnya bahkan sering bocor jika hujan turun terlalu deras.

Madi lalu meneliti kembali nilai-nilainya. Sebenarnya ia berharap menemukan ketidakcocokan. Maksudnya nilainya lebih dari nilai Hamid. Tapi sepertinya Bu Tini menghitung dengan kalkulator. Tidak ada yang salah. Matematika…! Oh ya. Ia yakin saat ujian nilainya lebih tinggi daripada nilai Hamid, sebab mereka saling mencocokkan jawaban setelah selesai ujian. Tapi kenapa nilai mereka jadi sama? Hamid juga dapat sembilan. Iya ya. Kenapa malah bisa sama?

Tiba-tiba Madi menepuk kepalanya sendiri. Tertawa keras. Bodohnya ia. Bukankah nilai raport juga diambil dari nilai harian? Pantas saja jika mereka berdua pada akhirnya mendapat nilai yang sama. Selama ini nilai harian Hamid selalu baik. Madi manggut-manggut sendirian.

Tapi kenapa ia tak pernah bisa mengungguli Hamid?

Perut Madi kembali berbunyi. Ia lalu menghabiskan sisa pisangnya tadi. Di sela keasyikannya mengunyah ia berusaha mengingat-ingat kapan ia pernah mengalahkan Hamid. Oh ya. Pernah. Saat pelajaran Olahraga. Ia menjadi yang tercepat dalam nilai lari 100 meter. Sedang Hamid masuk lima besar saja tidak. Hamid hanya urutan tujuh. Tapi di raport, Hamid tetap mendapat sembilan. Wah. Madi mengeluh kecewa. Kenapa nilai mereka bisa sama lagi?

Madi memasukkan raportnya kembali ke dalam tasnya. Tangannya menyentuh sesuatu. Permen. Oh iya. Tadi Asti ulang tahun. Ia membagi-bagikan permen bagi teman sekelas. Tadi sebenarnya lima. Kini hanya tinggal dua. Madi ingat telah memakan tiga lagi saat berjalan pulang tadi.

Saat berniat membuka sebuah permen lagi, Madi teringat Didi. Didi sangat suka permen ini. Madi membatalkan niatnya. Didi itu gemuk. Pasti tidak mau diberi satu. Madi memutuskan menyimpan dua sisa permennya untuk Didi. Oh ya, begini saja. Jika nanti Didi menangis tak diberi buku, baru ia akan memberikan permen sebagai ganti. Wah, pasti seru. Madi tersenyum-senyum sendiri.

Asti. Kini Madi memikirkan Asti. Sudah lama sebenarnya ia naksir Asti. Ia tidak ingat kapan persisnya. Yang pasti sudah lama. Ia ingat betapa senangnya ia saat diberi permen. Langsung dari Asti. Apalagi ia mendapat yang berbungkus pink. Sebenarnya ada juga temannya yang lain mendapat bungkus pink. Tapi rasanya berbeda saja. Madi diam-diam tersenyum malu. Tersipu. Digoyangkannya kakinya. Mengusir lalat. Sekarang ternyata juga ada agas. Kakinya makin gatal.

Tapi kabar burung yang beredar banyak menyebutkan kalau Asti justru menaruh hati pada Hamid. Mereka sering terlihat bersama. Rumah mereka berdekatan. Lho? Kenapa Hamid lagi? Madi menggaruk kepalanya dengan gusar. Ia memang melihat Asti mengucapkan selamat pada Hamid saat pembagian raport. Tapi… kenapa Hamid lagi? Masa kali ini ia juga harus kalah?

Seekor nyamuk menggigit kaki Madi yang memang tepat sebagai sasaran empuk. Madi memukulnya sekuat tenaga. Membuat nyamuk itu langsung lenyap, menyatu dengan lumpur kering yang menempel di kakinya. Melihat itu Madi langsung terbahak. Ia tak menyangka akan memukul sekeras itu. Mungkin ia terbawa perasaannya tadi. Bukankah tadi ia sedang jengkel pada Hamid?

Ah. Madi tiba-tiba  kembali tersenyum. Buat apa ia susah-susah memikirkan perasaan orang lain? Bukankah Asti memiliki hak untuk menyukai siapa saja. Jika memang Hamid yang ia sukai, paling ia akan sedikit sedih, sebab berarti ia kalah untuk kesekian kali. Iya ya. Kenapa ia kalah terus. Kapan menangnya? Madi kembali menggaruk kepalanya. Kali ini karena memang kepalanya sedang gatal.

Suara kecipak air membuyarkan lamunan Madi. Ia menoleh mencoba memastikan apa yang berbunyi tadi. Lagi-lagi terdengar bunyi kecipak air. Kali ini Madi bisa melihat jelas sumber bunyinya. Perlahan bibir Madi membentuk senyuman.

Sepertinya ada ikan yang terjebak dalam lumpur sawah. Pasti terbawa air pasang beberapa hari yang lalu, pikir Madi. Ia melepas seragamnya. Menyampirkannya pada dinding dangau. Lalu mendekati ikan yang berkecipak tadi. Benar saja. Ada tiga ekor lele. Mata Madi langsung berbinar. Benar-benar lumayan. Pasti enak kalau dibikin sambal goreng.

Maka Madi pun terjun menangkap lele itu. Ternyata susah juga, mereka tak begitu saja mau menyerah. Padahal sudah sekering ini.

Wah, ternyata lebih dari tiga ekor! Empat! Eh, enam!! Di sana ada dua ekor lagi. Madi berteriak kegirangan. Matahari kini tak lagi berada di atas kepala. Lebih condong. Hampir rebah malah. Madi makin bersemangat. Perutnya masih keroncongan.

Matahari sudah hampir tenggelam saat Madi keluar dari lumpur. Benar-benar parah. Seluruh tubuhnya diliputi lumpur. Tapi ia senang karena berhasil menangkap tujuh ekor lele yang besar-besar. Sebenarnya ada banyak lagi. Entah bagaimana ada banyak lele. Madi memilih yang paling besar. Yang paling mudah ditangkap.

Terburu-buru Madi mandi di kolam. Ia ingat belum shalat Ashar. Maka ia segera naik dari kolam. Ikan-ikannya ia gantung dengan tali akar di tiang dangau yang mencuat. Segera ia memakai sarung. Seingatnya ada sarung di dalam bakul satunya. Untunglah ada. Tak sampai tiga menit Madi sudah selesai. Perutnya kembali keroncongan. Kini mulai terasa pedih malah. Heran. Bagaimana bisa ia belum makan dari pagi? Kenapa ia tadi tak langsung pulang saja? Iya ya. Madi memikirkan seandainya ia pulang tentu ia sudah kenyang sekarang. Tapi kemudian ia terbahak. Kalau tadi ia langsung pulang tentu ia tidak mendapat lele. Besar lagi. Tujuh ekor. Madi bernyanyi riang sepanjang jalan menuju rumahnya.

Hari sudah gelap saat Madi tiba di rumah. Ia sendiri heran. Ternyata ia terlalu lama saat di sawah. Menyadari itu, Madi bergegas masuk. Memanggil ibunya. Tadi ibunya tidak ke sawah. Lalu kemana? Iya ya. Kemana ibunya? Kenapa tadi ia tak memikirkan itu?

Madi meletakkan ikannya di dapur. Melongok kedalam kamar. Ah. Itu Didi. Didi sedang berbaring. Sepertinya tidur. Madi teringat ia punya permen. Juga buku. Maka ia mengambil tasnya. Mendekati Didi.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya di luar. Madi tak jadi membangunkan Didi. Ia keluar kamar.

“Kau sudah pulang? Kemana saja seharian ini? Didi sakit. Demam. Badannya panas. Kau punya tabungan tidak?” ibunya menadahkan tangan.

Madi terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Entah kenapa. Pelan ia menggeleng. Lalu kembali masuk kamar. Mendekati Didi. Meraba keningnya. Bukan main. Panasnya tinggi.

Madi menggenggam hadiahnya kuat. Permen dari Asti tergeletak di samping bantal. Iya ya. Kenapa ia tak mendapat hadiah uang. Kalau saja buku bisa ditukar uang. Atau permen. Atau ikan. Kenapa tadi ia dapat ikan? Kenapa ia tak dapat uang?

“Besok kau libur tidak? Pak Hasan mengupahkan sawahnya. Mudah-mudahan besok kita dapat uang. Didi panas sekali.” Ibunya sudah berada di sampingnya, ikut duduk dan menggenggam tangan Didi. “Kau tahu penyakitnya? Di sekolah belajar penyakit tidak? Ibu takut sekali.”

Madi merasa hidungnya tiba-tiba beringus. Dadanya makin sesak. Pelan ia kembali menggeleng. Bangkit. Menuju dapur. Membuang ingusnya.

Ikan-ikan lelenya masih berontak di dalam ember. Mereka tak mudah menyerah ternyata. Padahal sekarang sudah benar-benar kering.