Arsip Tag: keluarga

Kelabu Atas Langit 1

Kelabu Atas Langit

“Kau mau pergi?”

Desingan mesin jahit itu berhenti. Aku yakin wanita itu sedang menatapku sekarang. Tapi kubiarkan saja. Kuteruskan memakai kaus kakiku.

“Ada wawancara kerja.” jawabku datar.

Mesin jahit tadi kembali berdesing.

“Jam berapa kau akan pulang?”

Aku menarik nafas panjang. Kupakai sepatuku.

“Mungkin malam.”

Kembali suara desingan itu berhenti. Ekor mataku menangkap bahwa wanita itu bangkit dari belakang mejanya.

“Kau akan pergi sekarang?”

“Ya.”

“Sekarang?”

Rahangku mengeras. “Sebentar lagi.”

“Kau sudah sarapan? Mau kubuatkan kopi?”

“Aku akan makan di luar.”

Wanita itu memberikan sesuatu dari belakang pundakku. Sebuah payung.

“Belakangan ini sering hujan. Kemarin aku ke pasar dan membeli payung ini. Bisa dilipat. Kurasa bisa muat di dalam tasmu.”

Aku menerimanya. Memasukkannya ke dalam tas. Memang muat. “Terima kasih.”

“Aku akan membuatkanmu kopi. Akan kulihat juga jika masih ada roti.” Wanita itu memasuki dapur. Sekejap saja dia hilang di balik tirai.

Lengang.

Hanya suara gelas beradu dengan sendok logam.

Kusibak lengan kemeja panjangku. Mengintip arlojiku. Seharusnya Arman sudah datang delapan menit yang lalu.

Nah. Itu dia. Kulihat sepeda motor memasuki halaman. Arman membuka helmnya. Menekan klakson. Tersenyum padaku. “Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam. Kupikir kau tidak jadi datang.”

“Ah. Kau bisa saja. Jangan terlalu serius.” Arman memarkir motornya. “Kita berangkat sekarang?”

Aku terdiam. Kubalikkan tubuh. Memandang ke arah dapur. Hidungku mencium bau kopi dan roti bakar. “Ya. Aku akan ke dalam sebentar. Hanya sebentar.”

Aku bangkit berdiri dan memasuki dapur.

Wanita itu sedikit terkejut saat aku menyibak tirai. “Ternyata masih ada roti. Aku membuatkanmu roti bakar.”

“Arman sudah datang. Aku akan berangkat sekarang.”

Wanita itu terdiam. Ia menatapku lekat-lekat. “Rotinya memang belum siap. Tapi kopinya sudah bisa diminum.”

“Terima kasih. Tapi aku harus pergi sekarang.” Kusibak lengan kemejaku. “Aku bisa terlambat.”

Wanita itu tegak mematung. “Kau ingin membawa roti sebagai bekal? Kau belum sarapan.” suaranya terdengar bergetar.

“Tidak. Tidak perlu.” Aku menggeleng. “Aku akan makan di luar.”

Sesudah itu aku keluar. Wanita itu masih mematung.

*****

            Hujan turun dengan deras. Aku bisa mendengar bunyi air yang memukul-mukul kaca jendela. Sepertinya akan lama.

Hujan yang lama.

Menunggu yang lama.

Seorang lelaki bertubuh besar berjalan melewatiku dengan tergesa-gesa. Ternyata namanya dipanggil. Ia menyenggol tasku. Dengan sedikit panik ia meminta maaf. Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkannya lewat. Lalu mengambil tasku yang tergeletak di lantai.

Tanganku meraba sesuatu yang keras. Payung. Aku ingat aku membawa payung. Sepertinya tidak terlalu buruk membawa payung. Perasaanku jadi sedikit terganggu.

“Ibumu sendirian di rumah?” Arman menepuk pundakku. Membuatku tersadar.

“Ya.” Aku mengangguk pelan.

Ibumu sendirian di rumah? Hhh…

Ibuku sendirian di sana. Ibu kandungku sendirian di alam sana…

“Kulihat kau masih tidak berubah.”

Aku berpaling pada Arman. “Kau bicara padaku?”

“Kupikir kau harus memperbaiki komunikasi antara kalian berdua. Ia sudah bersamamu sejak lama. Tapi kau masih juga tak bisa menerimanya.”

Rahangku mengeras. Kutatap Arman lama. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku berpaling. Menatap lantai.

Begitu mudah untuk kembali mengingat masa-masa pahit yang pernah terjadi. Seperti sekarang. Ketika langit pecah dengan hujannya. Siang menggigil dengan dinginnya. Manusia di sekitarku meringkuk pada kesibukannya. Pikiranku kembali ke masa silam. Aku masih tiga belas tahun saat itu…

“Ayah akan menikah lagi…”

            Aku tidak menyatakan apa-apa. Yang jelas beberapa bulan kemudian aku mendapati seorang wanita telah resmi menjadi penghuni rumah yang selama ini kuhuni. Ibu tiri. Aku mendapatkan seorang ibu tiri.

            Ibuku meninggal saat usiaku sepuluh tahun. Berarti telah tiga tahun berlalu. Namun tetap saja perasaan tidak senang muncul pada ibu tiriku itu. Meski setiap orang di keluargaku mengatakan bahwa ibu tiriku itu adalah seorang wanita yang sangat baik. Meski setiap orang menyatakan bahwa memang sudah saatnya ayah memiliki seorang pendamping hidup setelah tiga tahun ibu meninggal.

            Aku lalu memutuskan masuk sekolah yang memiliki asrama. Kukatakan pada ayah bahwa aku ingin lebih mandiri. Tapi jauh dalam lubuk hatiku aku berteriak bahwa aku tidak sanggup melihat sosok ibu tiriku itu. Entahlah. Aku sangat ingin membencinya. Namun sayangnya, ia tepat seperti yang dikatakan keluargaku, dia wanita yang sangat baik. Tak ada alasan untuk membencinya.

“Kau takut Ayah melupakan Ibumu…?”

            Ternyata Ayah menyadari perasaanku. Satu malam sebelum keberangkatanku ke asrama dia mengajakku bicara. Dari hati ke hati. Pembicaraan laki-laki.

“Ibumu adalah wanita yang hebat. Ayah tak kan pernah menyangkal itu. Dengarkan ini, simpan ini sebagai kata-kata yang bisa Ayah ucapkan sebagai penjelasan bagimu. Ayah sangat mencintai Ibumu. Sangat cinta. Dan Ayah tak akan pernah melupakan cinta itu. Bahkan seandainya Ayah berniat melupakannya, cinta yang terlalu dalam itu sendiri yang akan menuntut Ayah. Akan terus menuntut Ayah untuk mengingatnya. Di lain pihak, Ayah harus tetap hidup untuk beberapa waktu ke depan. Biarlah Ibumu menjadi penguat Ayah agar terus menjagamu. Karena cinta kami berdua seperti itu. Jauh di dalam lubuk hati ini Ayah menyimpan segala hal tentang Ibumu. Tidak akan pernah Ayah sia-siakan kenangan itu…”

“Muhammad Baihaqi…!”

“Kau dipanggil…” Arman kembali menepuk pundakku. Memutus lamunanku.

*****

Ayah meninggal sembilan tahun kemudian. Sekali lagi hatiku hancur. Apalagi saat aku melihat ibu tiriku terlihat begitu terguncang. Begitu sedih. Sebesar itukah cintanya pada ayahku? Aku sempat takut jika ibu masih hidup apakah akan terlihat sesedih itu. Aku takut jika ternyata cinta wanita itu jauh lebih besar daripada cinta yang telah ibu berikan pada Ayah. Ibu telah tiada. Tak ada lagi masa untuknya bisa menunjukkan perasaannya yang begitu halus. Sedang wanita itu dengan bebas bisa mengekspresikan cintanya.

Sepeninggal Ayah aku bingung akan terus hidup sendiri ataukah kembali ke rumah. Keluarga yang lain mengatakan sebaiknya aku kembali ke rumah saja. Karena sekarang ibu tiriku sendirian. Ia tidak memiliki anak. Baguslah. Aku bakalan lebih senewen jika ternyata ia memiliki anak. Aku menurutinya. Tinggal bersama wanita itu.

Dan selama kami — aku dan ibu tiriku — tinggal bersama itulah aku melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ wanita itu. Pantas jika ayah memilihnya menggantikan ibu. Sekali lagi aku gugup jika seandainya ibu dan wanita itu harus bersaing memperebutkan ayah, aku tidak begitu yakin dengan hasilnya.

Lambat laun aku mulai menerima ibu tiriku itu. Paling tidak aku menghargainya. Ia wanita yang baik. Sholehah. Ia menutup dirinya dengan baik. Ia menjaga kehormatannya dengan baik.

Sebentar.

Kurasa aku lupa mengatakan tentang satu hal. Satu hal yang sangat penting. Cerita ini takkan jelas tanpa sesuatu itu.

Ibu tiriku itu masih muda.

Ia menikah dengan ayahku saat berumur sembilan belas tahun.

Aku harus mengakui tidak terlalu nyaman tinggal bersamanya. Aku harus berusaha menumbuhkan kebencian — paling tidak rasa tidak suka — padanya. Sebab ternyata aku mulai menyukainya. Menyayanginya. Ingin menjaganya.

Aku tahu perasaan itu tidak bisa dibenarkan. Sama sekali tidak bisa dibenarkan. Karena itu perasaan sayang itu tak boleh kubiarkan tumbuh dengan bebas dalam hatiku. Aku menyimpan rapat-rapat perasaanku itu. Aku harus memupuk benci agar perasaanku pada wanita itu tidak menjadi perasaan yang tak terkendali. Tidak terlalu menyenangkan bersikap seperti itu. Tapi aku membiasakannya. Seperti tadi pagi. Benar-benar tidak nyaman. Jauh di dalam lubuk hatiku aku ingin tahu seperti apa perasaannya terhadapku.

“Mas. Sudah mau tutup…”

Aku membayar makananku. Beranjak dari dudukku.

Hujan belum reda. Benar-benar lama. Meski sekarang sudah tidak sederas tadi. Kurapatkan jaketku. Mencoba mengusir dingin. Mengusir pikiran-pikiran liar yang sedari tadi mengisi kepalaku.

Aku pulang sendirian. Arman berpisah denganku sejak Asar. Sekarang sudah jam sebelas. Jalanan sudah mulai lengang. Lengkap sudah sketsa buram malam ini. Sendiri. Sepi. Dingin. Beku.

Aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki saja.

Kubuka payungku. Mulai berjalan pulang.

“Maaf. Bisa beritahu saya di mana jalan Beringin?” seseorang menyela jalanku.

Seorang gadis. Usianya pasti di bawahku. Memakai jas hujan yang menutupi kepalanya. Kerudungnya tepatnya. Mengingatkanku pada wanita itu.

“Sudah dekat. Di ujung belok kiri saja.”

Gadis itu mengikuti arah telunjukku. Wajahnya menyiratkan kelelahan. “Terima kasih.”

Aku terdiam. Mengamatinya. “Terima kasih kembali.”

Gadis itu sudah menjauh. Menarik travel bagnya. Selain itu ia juga membawa beberapa tas gendong. Kelihatannya berat.

Aku mengejarnya. Mempercepat langkahku. Bisa kulihat ia sedikit terkejut saat melihatku lagi.

“Kupikir kau perlu bantuan…”

*****

Aku tiba di rumah lewat tengah malam. Rumah kosong. Kemana wanita itu?

Diam-diam aku merasa cemas.

Sampai kutemukan sebuah surat terletak di atas meja makan.

Assalamu’alaikum.

Anakku. Izinkan aku memanggilmu demikian.

Aku pergi ke Panti. Mungkin akan tinggal di sana lagi. Maaf jika aku melakukan ini. Tadi siang saat kau menelepon meminta dilihatkan berkas-berkas surat, aku terpaksa mencarinya di kamarmu. Dari sanalah aku menemukan alasan mengapa aku harus melakukan ini. Kupikir akan jauh lebih baik jika aku pergi.

Anakku. Biar bagaimanapun kau tetap adalah anakku. Aku adalah istri ayahmu. Aku mencintai ayahmu. Jika yang tersisa darinya adalah kau, maka aku juga menyayangimu, sebagai seorang anak dari suamiku. Aku menyayangimu seperti itu.

Anakku. Aku akhirnya mengerti mengapa selama ini kau bersikap dingin padaku. Kau menulis dengan sangat jelas dalam buku harianmu. Terima kasih karena sudah dengan sepenuh hati menjagaku. Aku sangat menghargainya.

Anakku. Kau adalah laki-laki yang baik. Darah ayahmu mengalir dalam darahmu. Aku percaya kau akan segera menemukan cinta lain yang bisa kau jaga dengan kebaikan hatimu, jauh lebih kuat dari saat kau menjagaku. Aku sangat percaya itu.

Aku minta maaf atas kesalahanku selama ini. Aku mendoakanmu untuk seluruh kebahagiaan yang ada di atas dunia ini. Kau pantas menerimanya.

Sekali lagi maafkan aku.

Ratih

Kulipat kembali surat itu. Meletakkannya ke atas meja. Kurasakan tubuhku menyerah. Kutarik sebuah kursi untuk kemudian mendudukinya. Kepalaku terasa berdenyut.

Perlahan aku bangkit. Menuju kamar wanita itu. Ibu tiriku. Ia benar-benar sudah pergi.

Aku beralih ke kamarku. Mataku langsung menangkap buku harianku tergeletak di atas tempat tidur. Aku ingat aku tidak meletakkannya di sana. Sepertinya wanita itu memang membacanya.

Malam itu aku benar-benar sendirian.

Wanita itu benar-benar pergi.

 ***** selesai *****


sang sejuk 3

sang sejuk

“Apakah akan berbekas?”

Eliana menggeleng pelan, melirik sekilas pada kerutan di antara kedua alis putrinya.

“Kuharap tidak.”

Dengan hati-hati dimasukkannya gunting, plester, serta sisa kasa ke dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.

“Kau masih belum boleh membasahinya. Harus berapa kali kukatakan.”

“Apakah masih boleh naik sepeda?” tanya Lily tak sabar.

Belum sempat Eliana memberikan jawaban, Lily sudah turun; melompat dari tempat tidur. Gerakannya yang tiba-tiba membangunkan Elio, adiknya yang sedang terlelap—tidak lagi kini. Anak perempuan itu buru-buru menghilang di balik pintu, suara langkahnya berdebam menuruni tangga.

Eliana memungut Elio dari ayunan, menimangnya dengan gerakan otomatis yang entah kapan pernah dia pelajari—dia tak ingat pernah memasuki kelas Menimang Bayi, bahkan sampai menamatkan gelar S2-nya. Disibaknya kerai jendela, mengamati putrinya tadi membuka pagar kayu tanpa repot-repot turun dari sepeda.

“Pulang sebelum ayahmu datang!” teriaknya.

Yang segera disesali karena kini Elio tak hanya terbangun namun juga memekik keras.

Gerakan menimang Eliana semakin bersemangat. Didekapnya anak itu. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubun Elio yang bernapas. Tak juga diam, Eliana memberinya susu.

Sedikit panik, diliriknya jam dinding. Mengerjap-ngerjap. Mengukur masa.

Seharusnya Elio belum terbangun.

Seharusnya dia masih sempat menyeterika.

Seharusnya dia bisa memasak dengan tenang.

Seharusnya….

Eliana menutup kerai jendela, mengunci daunnya dengan rapat. Sore hari kerap burung singgah dan membuang kotoran; dia sedang tak ingin menambah daftar pekerjaan.

“Kau tak bekerja?”

Isapan Elio yang tiba-tiba kencang mengagetkannya. Membuatnya terdiam. Dengan ujung jarinya yang bebas Eliana menekan lekukan di depan lehernya sendiri, mencoba mengusir kering yang tiba-tiba melekat erat.

Kembali diperiksanya jam dinding. Elio butuh setidaknya sepuluh menit lagi agar benar-benar pulas. Puluhan Eliana di dalam kepalanya sedang memutuskan perubahan menu dari yang tadi pagi dia susun menjadi yang jauh lebih sederhana; mengutak-atik layar handphone, Eliana menelusuri laman resep masakan.

Dia bukan seorang kidal, namun kini dirasanya semakin mahir berselancar dengan tangan kiri. Elio masih harus ditimang. Dengan kaki kanannya Eliana menarik kursi mendekat. Duduk sejenak akan membuat pinggangnya berterima kasih.

Lampu di atas kepalanya tiba-tiba padam. Eliana mengeluh pelan, mengangkat kepala menyalahkan.

“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”

Dia tak memasak dengan listrik, kulkas juga masih tetap dingin sampai beberapa jam ke depan.

Elio yang tak bisa kepanasan.

Menimbang sejenak, Eliana menarik bantal kecil yang biasa Elio pakai. Membawanya serta ke dapur. Matanya melirik jejeran buku-buku tebal di dalam lemari kaca. Terpampang jemawa di antara piagam dan piala.

Tak sering listrik mati, namun ini bukan pertama kali Elio menemaninya di dapur. Dia hanya harus memasak sesuatu yang sunyi senyap.

Tumis? Lupakan.

Goreng? Nanti dulu.

Eliana merasakan isapan Elio melonggar, namun belum tepat waktu untuk melepaskan. Ditimangnya Elio sesekali. Memeriksa isi rice-cooker. Menjumput beberapa butir, memastikannya tidak mendekati basi.

Handphone-nya bergetar.

Kalian sampai selamat?

Dia berhasil menghindari memikirkan orang itu. Kalimat-kalimat orang itu. Sebelumnya.

“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”

Dalam perjalanan pagi ini, Lily tersandung saat sedang mengamati lubang-lubang cahaya lolos di dedaunan-pepohonan. Luka di lututnya tak berhenti berdarah. Eliana menelepon sekolahnya meminta libur, lalu membawa Lily ke klinik terdekat.

“Kau tak bekerja?”

Berapa peluang dia akan bertemu teman masa kecilnya di klinik pertama yang dia temui? Mestinya hampir mustahil. Eliana ingat menggeleng pelan atas pertanyaan itu, menunduk, mencari-cari sesuatu dari dalam tas besarnya yang dia ingat benar apa saja isinya: tisu basah, popok sekali pakai, minyak telon, dua pasang baju Elio, dompet, botol air minum, sepenggal roti lapis.

Dia menunduk karena tak ingin terlihat wajahnya yang memerah.

“Kau melakukannya baik sekali. Mereka berdua terlihat sehat.”

Keluar dari mulut seorang dokter anak.

Seharusnya dia bangga.

“Aku belum melihatmu di grup Whatsapp angkatan kita,” pria itu mengeluarkan handphone-nya, bersiap mencatat.

Kalian sampai selamat?

Eliana meletakkan handphone-nya.

Dengan hati-hati dibaringkannya Elio di atas bantal. Sekejap kemudian dia menyangga kedua sisi tubuh bayi itu dengan barisan tebal buku teori ekonomi yang ditariknya dari dalam lemari kaca. Tergelitik, Eliana tersenyum geli.

“Kau adalah orang yang selalu mampu menyeimbangkan hidup. Sungguh. Kau tahu aku selalu mengagumimu karenanya. Sesekali, kau harus memberitahuku rahasianya.”

Eliana merenung. Mengamati foto pernikahan yang terpajang rapi di lemari samping meja makan. Buku. Piagam. Piala. Pigura.

Mengerjap-ngerjap.

Eliana membawa jarinya menelusuri huruf-huruf yang tertera di sana.

Pekikan anak-anak membawa pandangannya keluar jendela.

Memanjangkan leher, matanya menangkap Lily terjerembab dari sepeda. Namun anak itu sudah keburu bangkit dan menepuk-nepuk sisa tanah lembab dari telapak tangan dan betisnya. Seakan tahu diawasi, Lily mendongak dan memamerkan barisan giginya yang sedang tumbuh.

Eliana berteriak HATI-HATI tanpa suara.

Lily mengangguk paham. Mengayuh sepeda dengan tak kurang cepatnya.

Eliana membuka laci perlahan. Menarik pisau dan bahan masakan.

Teriakan Lily terdengar sesekali.

Bawang kupas membuat mata Eliana pedih.

Jemarinya teriris.

Eliana meletakkan pisaunya perlahan. Tak ingin Elio kembali mengamuk. Dibukanya keran air sekecil mungkin.

Tak membantu.

Dibawanya telunjuk kiri itu ke dalam mulut.

Asin.

Sembari menunggu, ditatanya meja makan, memastikan piring gelas yang digunakan kering dan tak retak di pinggiran.

Dikeluarkannya jari. Masih berdarah.

Asin.

Memungut handphone, Eliana menarik kursi dari bawah meja makan, menimbang informasi apa yang dia butuhkan.

Cara menghentikan darah.

Bolehkah mengisap darah.

Beberapa pencarian membuatnya tersenyum dan terus mengisap.

Asin.

Diketiknya pencarian baru.

Mengapa darah asin?

Sebuah notifikasi masuk. Seseorang memasukkannya ke dalam grup Whatsapp.

Beberapa pesan di sana menyambutnya ramah.

Eliana menimbang-nimbang.

Seseorang mengirimkan foto.

Dirinya. Berdua dengan dokter anak itu— sebenarnya bertiga, namun Elio tak terlihat dalam pelukannya.

Lihat, siapa yang kutemukan pagi ini?

Grup itu mendadak riuh.

Eliana menutup handphone-nya.

Memeriksa jarinya.

Masih berdarah.

Asin.

Entah sejak kapan air matanya mengalir.

Juga asin.

Eliana bangkit dari duduknya, untuk kemudian kembali duduk. Memeriksa handphone. Memastikan pengaturan tak ada notifikasi dari grup tersebut. Kuat keinginannya untuk mengintip lebih jauh. Namun asin di mulutnya membuatnya tersadar.

Dibawanya langkah menuju kamar, seharusnya masih ada sisa plester yang tadi Lily gunakan. Kemudian dia ingat Elio masih ditinggalkan di atas meja dapur.

Menimang anak itu, dipungutnya handphone, mengirim pesan pada sebuah nomor yang dia hapal di luar kepala.

Belikan makan malam saat kau pulang. Aku tak masak hari ini.

Sent.

Diintipnya garis dua yang berubah warna. Suaminya sedang mengetik.

Eliana tersenyum. Selepas itu ringan langkahnya menuju kamar. Elio masih terlelap dalam dekapan. Diciumnya bayi itu sekilas. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubunnya yang bernapas.

Handphonenya kembali menyala.

Tak masalah. Seperti biasa? 

Eliana mengangguk. Lalu sadar suaminya tak bisa melihat. Dikirimnya sederet emoji makanan.

Yang dibalas emoji tertawa.

Eliana meletakkan handphone-nya, serta Elio yang kini sudah pulas kembali.

Berdehem pelan, Eliana mengambil gunting, plester, serta sisa kasa dari dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.

Dia tahu dia hanya perlu membalut jarinya.

Itu saja.

Mayat, Mima 5

Mayat, Mima

Seumpama bukan karena dua ekor kucing hitam berekor putih yang bertengkar di atap rumah, belum tentu mayat Tuk Hasan sudah ditemukan.

Hari itu, seperti biasa Mima masuk lewat pintu samping; dia memang diperkenankan membawa kuncinya, karena baik Tuk Hasan apalagi Cik Loya tak pernah lagi lewat sana. Yang satu sudah tak cukup awas untuk melewati celah remang-remang dengan paving block yang mulai berlumut itu, sedang satunya terlalu berat badannya untuk sekedar berpindah dari ruang tamu tempatnya menonton televisi sepanjang siang.

“Sudah kubelikan sarapan yang biasa,” Mima berucap datar saat Cik Loya berpaling melihatnya masuk. Ucapannya dibalas anggukan dan semacam lenguhan pelan.

Mima tak pernah ambil pusing, dia bekerja untuk dibayar, dan selama tak ada masalah tentang hal itu, dia tak berkeluh kesah tentang perangai acuh tak acuh majikannya. Pekerjaannya pun tak begitu berat.

Pagi hari, setelah menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anaknya, Mima akan pergi ke pasar, membeli belanja untuk tiga hari—bukan dapurnya, karena untuk yang itu, suaminya yang punya tugas—untuk dapur Cik Loya. Dia juga akan membeli sarapan yang banyak dijual di pasar: Cik Loya sarapan lontong sayur, Tuk Hasan makan nasi kuning dengan lauk sepotong ikan yang diberi sambal. Sesekali di awal masa kerjanya, Mima membelikan kerupuk untuk teman mengunyah sepasang majikannya itu, tetapi karena tak pernah disentuh dia berhenti melakukannya.

Menjelang matahari meninggi, Mima biasanya sudah selesai dengan urusan dapur. Tinggal mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin pencuci. Mima biasa meninggalkannya dalam mode otomatis lalu keluar rumah sebentar untuk menjemput anaknya pulang sekolah. Saat kembali, pakaian itu sudah siap untuk dijemur. Cik Loya punya ruangan khusus menjemur di lantai atas.

Ketika itulah Mima melihat dua ekor kucing hitam dengan ekor putih berkelahi begitu sengit. Dia tak ambil pusing sebagaimana sudah tabiatnya. Akan tetapi kucing-kucing itu berlari dan menabrak keranjang cuciannya yang tinggal berisi air sisa perasan cucian. Kucing malang itu tak sanggup menahan laju larinya dengan bantalan air sabun di bawah cakarnya, terpelanting menabrak dinding. Kucing yang lain tak kalah bodohnya ikut meluncur dan bertemu di dinding yang sama. Mima bergidik, dia tak pernah suka kucing. Apalagi kucing bodoh yang senang berkelahi. Maka diambilnya sapu yang tergeletak di sudut ruangan, berlagak hendak memukul kucing-kucing itu.

Keduanya menggeram lalu lari secepat mereka datang, satu ekor sempat terpeleset kembali tetapi tak dihiraukan oleh yang satunya. Mima berdecak kesal namun tak urung senyumnya tersungging.

Senyum itu segera menghilang saat menyadari ada yang aneh dengan aliran air di lantai. Biasanya air bekas cuciannya segera mengalir ke lubang pembuangan di sudut ruangan. Kali ini tidak. Mima mengutuk dalam hati, pasti kucing tadi sempat berak lalu kotorannya menyumbat lubang pembuangan. Itu sering terjadi. Kucing-kucing itu senang buang hajat di sudut ruangan yang gelap dengan kardus bertumpuk itu. Dia benci membersihkan berak kucing, dan itu salah satu alasan untuk tak suka kucing.

Tentu saja hari itu bukan berak kucing yang dia temukan.

*****

 

Cik Loya tampak terlalu kaget untuk terlihat sedih. Dia menganga saja dengan pandangan hampa di atas kursinya. Televisi tak lagi menyala tetapi dia tetap memandanginya. Satu dua polisi yang berusaha menanyainya akhirnya menyerah. Mereka bergumam tentang shock yang begitu hebat dan pada akhirnya saling mengangguk mengasihani Cik Loya. Mima yang pada akhirnya berhasil menguasai dirilah yang kemudian harus menjawab pelbagai pertanyaan. Tak banyak yang bisa dia jelaskan, karena memang dia tak tinggal di rumah itu.

“Kapan terakhir kali melihat Tuk Hasan?”

Dua hari yang lalu, saat dia membuang sisa sarapan yang setengahnya tak tersentuh; Tuk Hasan beralasan giginya sakit jadi dia tak mau makan. Mima ingat sempat menawarkan diri untuk membelikan obat penghilang nyeri tetapi kembali menemukan obat tersebut utuh tak tersentuh.

“Kira-kira apa yang dilakukan Tuk Hasan di lantai atas?”

Mima menjawab tak tahu. Polisi terus menanyakan pendapatnya. Tak peduli benar atau salah, yang penting dijawab.

“Mungkin ada yang ingin dicari. Gudang berisi barang-barang bekas ada di atas,” bahkan Mima sendiri tak yakin dengan pendapatnya itu. Selama dia bekerja di rumah, sekali dua dia memang pernah melihat Tuk Hasan menaiki lantai atas, tetapi tak pernah lagi terutama sejak matanya semakin senja.

Lalu apa gerangan yang membuat Tuk Hasan yang hampir buta naik ke sana?

Di luar para tetangga mulai kasak-kusuk, masing-masing dengan teorinya. Satu orang berhasil mengajak polisi berbicara. Pak Imam. Beliau menanyakan perihal pengurusan jenazah. Tuk Hasan memang telah lama tak nampak di masjid, tapi karena tak pernah terdengar kabar dia berpindah agama, Pak Imam merasa perlu mengurusi mayatnya.

“Coba tanyakan istrinya.”

Cik Loya masih belum mampu mengatup mulutnya. Hanya erangan tak jelas yang berhasil keluar.

“Tak adakah anak atau kerabat dekat?”

Lagi-lagi Mima yang harus menjelaskan. Dicarinya album foto keluarga lama yang biasa disurukkan di laci lemari ruang tengah. Di foto itu Tuk Hasan dan Cik Loya mengapit anak perempuan.

“Anak mereka hanya satu. Aziza. Sudah lama tak tinggal bersama. Kini tinggal di Jawa. Sudah berkeluarga, punya anak dua.”

Mima lalu menyampaikan kalau dia sudah sempat mencari-cari nomor telepon Aziza ketika berhasil menghubungi polisi. Urutannya: dia meminjam celana dalam Cik Loya karena sempat terkencing saat melihat mayat Tuk Hasan, setelah itu dia mencari Cik Loya untuk mengabarkan perihal suaminya. Mencari Cik Loya tak susah karena posisinya jarang berpindah, hanya saja menyampaikan berita kematian suaminya yang ternyata cukup payah.

“Tuk Hasan mati di atas.”

Cik Loya masih memandang televisi.

“Ada mayat Tuk Hasan di lantai atas.”

Cik Loya mengangguk pelan pada iklan sinetron India di depannya.

Mima mendekatkan mulut pada telinga perempuan gemuk itu. Membisikkan innalillahiwainnailaihirajiun.

Barulah Cik Loya tersentak.

Selepas itu Mima memberitahu tetangga. Tetapi saat itu jam makan siang. Jalanan sepi dan beberapa pintu terdekat tak kunjung membuka saat diketuk, jadi Mima menelepon suaminya. Dia hapal deretan nomor itu di luar kepala.

Suaminya yang menyuruhnya melapor polisi.

“Untuk apa?” Mima mencicit.

Suaminya mengatakan bahwa jaman sekarang menemukan mayat seperti itu harus lapor polisi.

Dia sempat menunggu lama karena suaminya juga tak hapal nomor telepon polisi.

Setelahnya barulah dia terpikir untuk mencari tahu nomor Aziza.

“Tapi nomor itu tak aktif lagi.” Mima menunjukkan buku telepon yang tadi dia pakai.

Pada akhirnya kedatangan polisi yang membuat para tetangga tahu perihal penemuan mayat Tuk Hasan. Beberapa orang memaksa masuk namun segera terhalau keluar oleh garis kuning hitam yang telanjur dipasang. Kini mustahil untuk Mima bisa pulang, jalan sempit di depan rumah itu sudah buntu total.

Selepas mengambil beberapa gambar dan mencatat keadaan sekitar, mayat Tuk Hasan diizinkan untuk dipindahkan. Beberapa orang warga antusias terpilih untuk membantu mengangkat mayat meski pada akhirnya terbatuk-batuk menahan napas.

“Sudah berapa hari agaknya jenazah ini?”

“Bukankah perlu berminggu-minggu untuk mayat bisa berbau?”

Sekejap saja lorong depan rumah itu penuh teori tentang pembusukan mayat. Pak Imam sampai membawa pengeras suara dari masjid dan menyampaikan ceramah singkat tentang kewajiban menjaga rahasia jenazah. Suasana langsung senyap meski jelas dari berpuluh pasang mata yang saling tatap itu, benak mereka bergemuruh.

Demi memenuhi rasa penasaran akan sebab kematian, seorang anggota polisi ikut memandikan mayat. Memeriksa dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Matanya yang tajam berhasil melihat luka di sana.

“Oh, ini luka bakar listrik. Mestinya ada luka keluar di bagian lain.”

Ketika mereka menemukannya, maka terpecahkanlah misteri kematian Tuk Hasan. Tak bisa dipungkiri, wajah mereka jadi berseri-seri.

“Tuk Hasan mati kesetrum.”

Demikianlah kabar itu segera menyebar.

Menjelang Ashar Mima berhasil menyeret deretan sofa berdebu dari ruang tamu, dibantu beberapa orang tetangga. Cik Loya berbaring di kamarnya. Satu demi satu warga yang sudah berganti pakaian datang membaca doa dan membawa makanan.

Mima ingin menyediakan suguhan tapi ditolak oleh Pak Imam.

“Tak boleh. Keluarga yang berduka justru sepantasnya menerima.”

Maka Mima menelepon suaminya, minta dijemput segera.

“Mungkin malam ini akan menginap menemani Cik Loya. Setidaknya aku pulang dulu untuk mandi dan berganti baju.”

*****

 

Karena nomor Aziza masih tak dapat dihubungi, diputuskan untuk segera menguburkan Tuk Hasan. Batas waktu adalah dua hari tiga malam, demikian ujar Pak Imam. Semakin disegerakan semakin dianjurkan. Hanya perkara memilih pemimpin rakyat yang bisa mengalahkan pemakaman mayat.

Cik Loya hanya mengangguk lemah saat ditanya persetujuannya.

“Ambilkan aku air gula,” bisiknya pada Mima.

Pelan tapi pasti kesadaran wanita tua itu kembali. Sekarang sesekali terdengar dia terisak sambil mengeringkan sudut-sudut matanya. Beberapa orang tetangga yang seusia dengannya diizinkan masuk menjenguk di dalam kamar.

“Kau bersabarlah, Loya. Pasti akan ada gantinya.”

Mima yang sempat mendengar ucapan itu menahan diri untuk tidak mencebik. Apa pula urusan doa tetangga ini? Ketika satu dua orang berikutnya mulai mengajak Cik Loya membahas kelanjutan sinetron India, Mima bertindak cepat dengan menumpahkan segelas air di lantai dan berkilah tak sengaja.

“Ada baiknya Makcik semua menunggu dulu di ruang tamu. Di dalam kamar tak cukup terang untuk membaca Yasin.”

Menjelang tengah malam pelayat yang datang hampir semua sudah pulang. Mima menutup pintu dan jendela. Dia belum pernah bermalam pada rumah yang sedang berduka. Ayah ibunya masih hidup dan dia tak sempat melihat kakek neneknya. Begitu juga dari pihak suaminya. Tamu terakhir adalah tetangga persis sebelah rumah, wanita itu menitipkan nomor telepon padanya.

“Seandainya ada yang kau perlukan di malam ini, Mima.”

Mima mengangguk. Sepenuh hati bersyukur. Ingin rasanya meminta Makcik tua itu ikut menginap tapi tak tahu bagaimana menyampaikannya.

Cik Loya sedang berbaring di dalam kamar ketika Mima mengetuk pintu dan membawakan sepiring nasi.

“Makanlah.”

Kemudian Mima teringat perihal Aziza. Ditanyakannya. Cik Loya menjawab di sela kunyahannya.

“Dia masih mengirim uang. Bagaimana mungkin aku membayarmu sedang kau tahu aku dan suamiku tak bekerja?”

Mima mengulangi pertanyaannya. Adakah cara menghubungi Aziza.

Cik Loya menggeleng.

“Suamiku. Aku tak bicara pada Aziza. Dia kawin dengan lelaki yang tak kusuka.”

Mima keluar kamar setelah mengingatkan Cik Loya untuk menaruh saja piring bekas di atas meja di samping tempat tidur. Dipandanginya ruang tamu yang sepi. Rasanya berbeda sekali. Temaram seakan semua cahaya yang ada telah tenggelam. Dalam benaknya, terlintas pikiran bisa saja sewaktu-waktu Tuk Hasan muncul dan menanyakan sarapannya.

“Ikan yang kemarin terasa hambar sekali.”

Atau,

“Tak bisakah dia mengingat seperti apa masakan yang kemarin dia buat?”

Dia teringat pertama kali bekerja karena Tuk Hasan yang memintanya. Mereka bertemu di pasar. Mima sedang berjualan nasi kuning. Tinggal sebungkus ketika lelaki tua itu datang membelinya. Lalu dimakan langsung di tempat.

“Kau yang membuatnya?”

Bukan, jawab Mima. Dia hanya menjualkan. Beberapa menit dia habiskan untuk menjelaskan tentang tetangganya yang pandai memasak nasi kuning.

“Kau sendiri, pandai membersihkan rumah?”

Bisa saja, jawab Mima. Tentu saja masih merasa heran karena dia pikir lelaki tua itu ingin memesan nasi kuning.

“Kerjalah di rumahku. Nanti kau belikan sarapan untukku dan istriku setiap hari. Yang seperti ini aku suka.”

Mima mendengarkan alamat yang diberikan laki-laki itu. Tak jauh dari pasar. Tak jauh dari rumahnya sendiri. Seorang penjual sarapan lain mengenal Tuk Hasan dan menganjurkan agar dia menerima saja tawarannya.

“Keduanya sudah tua. Jika tak cocok kau bisa berhenti kapan saja,” penjual itu berbisik begitu ketika Tuk Hasan sudah cukup jauh berlalu.

Sudah menjalani tahun kedua. Mima baru menyadarinya. Dia merasa tak berguna.

Bahkan menghubungi Aziza saja dia tak bisa.

*****

 

Hari ketujuh tiba ketika akhirnya telepon rumah berdering. Mima mengangkatnya. Dia menekan kuat benda itu ke telinganya karena beberapa orang tamu masih datang dan membaca ayat suci.

“Aziza,” kata suara di seberang sana.

Mima hampir tersungkur, bersujud syukur. Lalu tangisnya pecah.

Aziza sempat mengira yang bicara adalah Cik Loya, maka dia ikut menangis karena bahagia dan terharu. Sampai kemudian berita duka itu dikabarkan.

“Aku akan mengunjungi Ibu secepatnya,” demikian katanya, terdengar mengisak.

Cik Loya tak bahagia ketika Mima menyampaikan pesan Aziza. Dia membalik badan beradu pandang dengan dinding. Mima serba salah.

“Biar bagaimana pun, dia bilang akan mengurusmu.”

“Tahu apa kau tentang diriku.” Cik Loya membalas ketus.

Mima keluar kamar, sudah jadi tabiatnya untuk tak bicara panjang lebar. Yang jelas, dia kini lebih tenang. Cik Loya memang keras kepala, tetapi tak mungkin pula dia akan menolak Aziza datang ke rumahnya.

Esok berganti tanpa kejadian berarti kecuali Aziza yang mengabarkan bahwa kemungkinan dia akan tiba menjelang senja. Mima hampir merasa terbiasa dengan satu dua orang tetangga yang kini rutin berkunjung sekedar menyambung cerita dengan Cik Loya. Mereka penasaran dengan akhir kisah jandanya.

Seorang tetangga yang cukup rajin ikut mencuci pinggan dan gelas kotor sisa penganan tamu menggamit Mima. “Jika memang wanita itu tak ingin diurus anaknya, bagaimana bisa dia membayarmu nantinya?”

Sedikit pun prasangka tentang hal itu tak pernah terlintas di benak Mima tetapi kini dia jadi memikirkannya. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut. “Entahlah. Akan kutanya langsung pada anaknya ketika dia tiba.” Selepas itu dia kembali pergi, mengurus apa yang memang sudah jadi pekerjaannya.

Menjelang petang Mima naik ke lantai atas, membawa keranjang kosong. Dia teringat sudah hampir seminggu dia tak pernah menginjak tangga itu lagi. Pakaian kotor sudah menumpuk di sudut kamar dan itu sudah dia kumpulkan. Tinggal memetik jemuran yang telanjur dia abaikan.

Saat itulah dia kembali terpikir, apa penyebab Tuk Hasan naik ke lantai atas?

Selesai memasukkan jemuran yang kini setengahnya mengeras kaku karena terpanggang sinar matahari dan terendam embun seminggu, Mima menyempatkan diri menilik sudut ruangan yang penuh tumpukan kardus.

Polisi telah memeriksa tempat itu dan memperbaiki kabel yang diduga menyebabkan Tuk Hasan tersetrum.

“Ada bagian yang terbuka, tersambung ke dinding, kita tak akan pernah tahu bagaimana peristiwa aslinya.” Demikian polisi berkata saat itu.

Tetapi tetap saja Mima berhati-hati. Dilihatnya sekeliling paling tidak dua kali.

Dengkur kucing menarik perhatiannya. Berjinjit mencari asal suara, dia memanjangkan leher. Dengan kaki didorongnya kardus yang jadi sumber bunyi.

Seekor kucing melompat keluar dan menggeram marah. Perutnya bengkak.

Kucing bunting. Mima memberengut karena kaget. Dipastikannya kucing itu tidak sempat berak. Untunglah tidak. Sepertinya hanya sedang ingin beranak.

Matanya menangkap sudut pigura itu.

Lukisan?

Oh. Mima mendekatinya.

Menariknya dengan sedikit bertenaga.

Itu ternyata foto keluarga, jauh lebih baru dari yang pernah dilihatnya.

Mima hampir terpana dan tak menyangka, dalam pandangannya, di foto tersebut Aziza sangat mirip dengan dirinya.

Terdengar ribut-ribut dari lantai bawah. Asal suaranya seperti dari ruang tengah. Cik Loya berteriak histeris. “Anakku Aziza…!! Kau telah datang…!!”

Mima merasa darahnya naik ke kepala. Tak tahu kenapa tapi dia jadi sangat bahagia. Buru-buru diletakkannya pigura itu. Memungut keranjang berisi pakaian. Menuruni tangga dengan tergesa.

Betisnya menginjak gumpalan kenyal yang bersuara.

Mima segera menyadari dia telah menginjak kucing bunting. Hanya saja, kesadaran itu segera disusul dengan kelabatan dunia yang berguling.

Hal terakhir yang diingatnya adalah wajah-wajah penghuni rumah. Di matanya, mereka kini tampak bahagia.

Tuk Hasan, tersenyum menemukan foto keluarganya.

Cik Loya, memeluk anak yang diakunya durhaka.

Aziza. Jelas tak mampu berkata-kata.

Maka Mima memejam. Dalam diam.

Seumpama bukan karena seekor kucing hitam berekor putih yang siap sedia untuk beranak lalu mondar-mandir dan kemudian membuat bising di atap rumah, belum tentu…

*****