Arsip Tag: pasangan

Waktu Berhenti di Matanya 1

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Kasih, ini yang penghabisan. 3

Kasih, ini yang penghabisan.

Apa yang lebih berat daripada terus menerus mengingatmu?

Terpaksa aku.

Dalam tiap rinai yang basah.

Aku gelisah.

Tak ayal lagi rindu yang membuncah.

Pecah tak berkesudah.

Di bawah hujan sore itu.

Waktu seakan tak pernah berlalu.

Hanya ada kau… lalu aku.

(1)

Adam menepikan sepeda motor dengan tergesa. Bersungut-sungut dia memaki dalam hati. Joni, abangnya yang pelupa, pasti tidak langsung mengembalikan jas hujan ke dalam jok motor. Beberapa orang siswa lain juga memilih untuk berteduh. Hujan deras turun tiba-tiba beberapa saat setelah pagar sekolah dibuka. Melihat tebalnya awan yang sekarang menggelayut di langit, hujan ini akan lama. 

Seorang siswi berlari tergesa dan mengambil tempat berdiri persis di sebelah Adam; siswi itu sedang menelepon. Adam bisa melihat pakaiannya sudah setengah basah. Butir-butir air hujan tampak jelas di lengannya yang sedang melekatkan handphone di telinga, mengalir pelan dan menetes jatuh setelah sempat berkumpul sebentar di bagian sikunya. 

“Ya, Mama. Aku masih terjebak hujan.” 

Adam tersenyum, dia mengenali siswi di sampingnya sebagai siswi baru di kelasnya. Suaranya terdengar berbeda dari jarak sedekat ini.  

Merasa diperhatikan, siswi itu memalingkan wajah, lalu tersenyum sambil menyapa, “Hai.”

Adam sampai tergagap, “Hai. Kau ingat aku? Kita sekelas.”

Siswi itu masih tersenyum. “Ya, kau yang dihukum karena tidak membuat tugas Fisika.”

Adam bisa merasakan darah mengalir deras ke daerah kepalanya, “Ah, kini aku berharap kau tak mengingat apa pun.”

Siswi itu tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang rapi luar biasa, “Kau juga ketua kelas.”

Adam hanya mengangguk-angguk pelan, “Kau boleh mengingat yang itu,” dia kemudian memaksa dirinya untuk tersenyum. Digesernya posisi berdirinya agar lebih mendekat, “bagaimana hari pertamamu? Dan maafkan aku, namamu Ana, bukan?”

Siswi bernama Ana itu mengangguk pelan. Dengan tangan kirinya dia menyisipkan helai-helai rambut yang berkibar tertiup angin ke belakang telinganya. “Kau — Adam?” dia sempat mencuri lihat pada badge name yang terjahit di seragam Adam. “Tadi apa pertanyaanmu?”

Adam menggaruk kepalanya, “Bagaimana hari pertamamu? Kuharap tidak mengecewakan.”

Ana menggeleng. Membuat rambutnya kembali jatuh ke sisi wajahnya. Adam memperhatikan saat dia kembali menelusupkannya ke belakang telinga. “Untuk hari pertama, kau tidak akan mendengar keluhanku.”

“Baguslah,” Adam mengangguk, “aku senang mendengarnya.” 

Ana berpaling padanya, “Benarkah? Wajahmu tidak terlihat senang.”

Ah,” Adam kembali merasakan wajahnya panas. Dia lalu menceritakan tentang jas hujannya yang dipinjam oleh abangnya. “Biasanya kalau pakai jas hujan, aku bisa menembus hujan.”

“Menembus hujan?”

Adam berpaling, “Ya.”

“Kau menggunakan pilihan kata yang jarang kudengar,” Ana tertawa pelan. Entah kenapa Adam senang mendengarnya, dia jadi bersemangat untuk bercerita lebih banyak.

“Aku senang merasakan hujan jatuh di atas jas hujanku saat di atas motor. Bisingnya menenangkan.” Adam merapatkan tangannya, memeluk dada. “Kau sendiri?”

Ana menggeleng pelan sambil tersenyum, rambutnya kembali tergerai. Kali ini dia mengumpulkan mereka semua di sisi bahu kanannya. Dari sudut matanya, Adam bisa melihat kulit leher di bawah telinganya sekarang. “Aku menderita asma,” sambung Ana.

Adam menunjukkan wajah khawatir. “Sekarang kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

Ana memiringkan kepala, berpaling pada Adam, “Apa tugas ketua kelasmu sampai sejauh ini?”

Adam tak mengerti, jelas itu tergambar di wajahnya karena Ana kembali tertawa sebelum akhirnya berkata, “Kau sangat perhatian.”

Adam belum pernah merasakan wajahnya sepanas itu. 

*****

Berdua kita pernah menyandarkan hati

menatap langit dan menunjuk bintang yang sama

berdua kita pernah menguatkan diri

ketika semua sulit dan gelap membayangi

padamu aku percaya

padaku kau percaya

berdua sudah cukup

kau alasan bagiku untuk bahagia

(231)

“Kau tidur berapa jam?” 

Adam mengangkat wajah, mengangkat bahu tak acuh. “Tidurku cukup.”

Ana menatap Adam cukup lama, seakan memastikan kata-kata terakhirnya itu dapat dipercaya. Dia kemudian mengangsurkan beberapa lembar kertas, “Aku suka bagian yang ini. Meski kurasa kau kadang lepas kontrol.”

“Lepas kontrol?”

“Kau memasukkan keinginanmu ke dalam kisah ini.”

“Bukankah aku yang menulisnya? Aku bisa saja memasukkan apa yang kuinginkan.”

Ana menggeleng pelan, “Ini sedikit terlalu banyak. Tidak sesuai dengan watak tokoh yang kautulis.”

Adam mencibir, “Sedikit terlalu banyak.

“Terserah kau saja berarti.”

Adam menopangkan dagu pada telapak tangan kiri sementara dengan tangan kanan dia mengaduk teh yang baru saja diantar. Dilihatnya Ana mengambil beberapa lembar kertas dan mulai menggambar.

“Aku tidur satu jam saja,” Adam membuka suara.

Ana tidak menjawab. Dia masih saja menggambar. 

“Belakangan ini aku terus memikirkanmu, Ana.”

Adam melihat Ana terus menggambar. Ia kemudian mengangkat gelasnya dan meminumnya beberapa teguk. Hangatnya langsung membuat hidungnya terasa penuh. 

“Aku tahu kau tidak menyukaiku sebanyak aku menyukaimu.”

Gerakan tangan Ana terhenti. 

Dia mengangkat wajah. 

Pandangan mereka bertemu.

“Aku mengerti keadaanmu sekarang, tetapi aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri,” lanjut Adam tergesa.

Ana meletakkan pensilnya. Menggerakkan tangan ke arah telinga, untuk kemudian menariknya kembali. 

Adam mendengus pelan. 

Kini tak ada lagi anak rambut berjatuhan di pipi. Tidak ada lagi gerakan semi otomatis menyelipkan rambut di belakang telinga. Tidak ada lagi pemandangan kulit leher yang tersembunyi. 

“Kau ingin mengatakan apa?” suara Ana terdengar bergetar.

Adam berdehem pelan, kerongkongannya tercekat. “Ini terakhir kalinya aku meminta padamu. Jika kau tidak bisa bersamaku, pacaran denganku, kurasa akan lebih baik jika kita tidak bertemu sama sekali.”

“Kita sekelas.”

“Kau bisa menghindariku. Atau sebaliknya.”

“Sebegitu mengganggu perasaanmu?”

Adam mendengus dan memaki pelan. 

Ana menarik napas dalam dan mengemasi tasnya. Adam mencoba menahannya. 

“Ana…” Adam tercekat saat mengucapkan nama itu.

Ana menatapnya sejenak, lalu memasukkan pensil dan kertasnya. Dia juga mengangsurkan kembali naskah yang tadi malam dia edit. “Aku pergi.” Dia kemudian berdiri dan keluar dari belakang meja. Saat membuka pintu kafe, udara panas di luar yang berangin menyambutnya, mengibarkan kerudungnya. 

*****

karena kata yang telah terucap tak dapat ditarik kembali

begitu juga dengan kepergianmu

yang membawa serta mimpiku

kau segala yang kutahu

harus darimana aku memulai lagi?

karena hidup adalah tentang pembelajaran

meski semua tak kutahu bisa sesakit ini

kehilangan

(298)

“Ada apa? Bingkisan apa ini?” tanya Ana, setengah berteriak.

Adam mengedikkan kepala, mengajak Ana keluar ruangan yang penuh dengan siswa berpakaian gelap. Sekarang malam perpisahan SMA. Musik berdentam-dentam menulikan telinga dari setiap sudut ruangan. Namun tak seorang pun yang benar-benar memedulikannya, semua tampak asyik dengan kegiatannya sendiri. Beberapa tampak berfoto bersama, mencoba untuk membuat kenangan untuk terakhir kalinya. Sebagian bercerita dengan suara keras agar terdengar dengan lawan bicaranya, saling menceritakan penggalan-penggalan kisah yang sempat terjalin antara mereka semua. Terutama yang menyenangkan. Tawa biasanya sudah pecah bahkan sebelum kisah selesai diceritakan. 

Ana mengikuti langkah Adam keluar ruangan. Meski tetap saja ramai, paling tidak kalau bicara tidak perlu sambil berteriak. 

“Di sini saja.” Ana berhenti melangkah. 

Mereka sekarang di salah satu sudut yang hanya berisikan sekelompok siswi yang saling bercerita sambil bergantian berfoto. 

Adam berbalik dan sekarang mereka berhadapan. 

Adam menunjuk pada bingkisan yang tadi ia berikan pada Ana. “Itu buku. Aku biasa menulis di sana.” 

“Lalu?” 

Adam tampak gelisah. Ana mengenali tanda-tandanya. Dia berulang kali menjejak dengan ujung sepatunya, bergoyang-goyang kecil. Kedua tangannya juga dimasukkan ke dalam saku celana. 

“Kupikir aku tidak akan menulis lagi.” 

Ana berdecak, “Adam, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”

“Aku tidak ingin menulis lagi.”

“Apa?”

“Aku tidak bisa menulis lagi!”

Ana mengerutkan kening, menatap Adam tajam, “Adam, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba membicarakan ini. Terakhir kali, kau mengatakan tidak ingin bicara lagi denganku. Sekarang kau memberikan aku buku dan mengatakan kau tidak akan menulis lagi.”

Beberapa siswa yang tadi asyik berfoto dapat mendengar nada suara Ana yang mulai meninggi. Mereka sekarang mulai memperhatikan. Adam yang menyadari hal itu lalu menarik tangan Ana melangkah menjauh. 

Gerakannya itu membuat Ana terkejut. 

Hei!

Adam membawanya ke depan gedung sekolah. Menuruni tangga. Menuju parkiran. 

“Adam. Lepaskan aku.”

“Kita bicara di mobil.” 

“Aku tidak bisa hanya berdua denganmu.”

Adam memaki pelan. Dilepaskannya tangan Ana. 

Sekarang mereka memang hanya berdua di area parkiran. 

“Itu yang tidak kusuka darimu. Kau pikir aku akan melakukan apa? Hah?!” suara Adam sampai menggema saking kerasnya dia berteriak. “Aku tahu kau sekarang sudah menggunakan jilbab. Atau kerudung. Atau apa pun istilahnya. Aku tahu kau sekarang tidak lagi bergaul bersama siswa laki-laki. Aku berterima kasih karena setelah semua itu terjadi kau masih mau membaca tulisanku. Kau masih mau bertemu denganku. Kau membuatku merasa bahwa aku istimewa di matamu. Tapi kau harus tahu bahwa aku benar-benar sayang padamu dan aku tidak sama sekali berniat untuk merusakmu.”

“Kau sudah pernah mengatakan ini.”

“Oh, Ana… kau membuatku gila.”

“Adam. Kau tidak perlu berteriak.”

Adam mengangkat tangannya, meminta maaf. “Aku tidak akan berteriak.”

Ana menarik nafas panjang. Dia menimang-nimang buku di tangannya. “Jika kau memintaku untuk kembali bersamamu, aku tidak bisa.”

“Ana…”

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam terperangah, “Kau gila? Bagaimana bisa aku menikahimu?”

“Karena kita baru saja lulus SMA?”

“Karena kita baru saja lulus SMA. Karena aku tidak bekerja. Karena aku hanya menginginkan kau bisa lebih lama bersamaku. Menemaniku menulis. Mengajakku bicara. Aku tidak akan melakukan lebih. Aku bersumpah. Aku belum siap menikah. Kau belum siap menikah,” Adam gelagapan.

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam menggeleng-geleng pelan. Dia bersandar pada mobilnya. Saat mengangkat wajahnya lagi, matanya berkaca-kaca. Ditatapnya Ana sambil berucap pelan, tangannya terangkat seakan meminta penjelasan, “Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?”

*****

jauh di dalam sana 

kau ada

tidak perlu susah payah 

untuk mengingat semua kisah

bahkan kehancuran pun bisa terasa indah

melihatmu lagi

aku seperti pernah mengenal getir ini

(4376)

Ah… aku tidak pernah suka hujan seperti ini,” Rani merapatkan jaket yang dia kenakan, “Bisakah kita kembali ke dalam? Jika kita pulang sekarang kemungkinan jalan juga akan macet dan kau tahu aku tidak senang berdiam diri di mobil dalam cuaca seperti ini.” 

Yang diajak bicara malah beranjak menuruni undakan tangga, tepat berhenti di batas lantai yang terkena tempias air yang tertiup angin sore itu. Laki-laki itu mengulurkan tangan dan merasakan butiran-butiran air yang lembut langsung menyentuh telapak tangannya. 

Hujan. 

Dia kemudian menatap langit, seolah mencari celah untuk sinar matahari lewat. Namun sia-sia saja. Awan gelap telah menyelimuti langit kota sejak pagi buta. Tinggal menunggu waktu saja sampai air yang benar-benar banyak akan turun dari langit dan membuat dataran di bawahnya basah kuyup. 

“Ayolah. Aku tadi menemukan buku yang bagus sekali, tapi aku tidak membawa kartu untuk meminjam. Kita masuk lagi saja, ya?” Rani setengah melonjak-lonjak di tempatnya berdiri. Dia memasukkan kedua tangan dalam-dalam kebalik saku jaket. 

“Kau duluan saja, aku menyusulmu sebentar lagi.” 

Rani berhenti melonjak-lonjak. Dia kemudian menuruni undakan tangga di bawah kakinya. Kemudian berdiri di samping pria tadi. “Kau sedang bad-mood, ya? Kenapa tiba-tiba sekali?” 

Pria itu berpaling dan tersenyum, “Aku hanya sedang menikmati gerimis.” 

Rani mencibir, “Aku tidak akan pernah bisa bersaing dengan hujan.” 

“Cepatlah naik. Aku akan menyusulmu sebentar lagi.”

Rani tertawa kecil. Dia memeluk lengan pria itu sebelum kemudian setengah berlari naik dan kembali masuk ke dalam perpustakaan. 

Adam menunggu beberapa saat sebelum akhirnya terus menuruni tangga dan membiarkan gerimis menyentuh tubuhnya. Dia tak merasa perlu repot-repot menyeka kacamatanya yang kini beruap dan berbintik-bintik air. 

Hujan. 

Ketika Adam hampir mencapai mobil, hujan deras mulai turun. Dia bisa merasakan butiran-butiran air yang lumayan besar menumbuki punggungnya, membuatnya merasa kegelian. Buru-buru dia mengeluarkan kunci dari dalam jaket, dia tidak ingin basah kuyup. 

Telinganya mendengar segerombolan anak kecil berteriak-teriak kesenangan, sambil berlarian menuju teras perpustakaan. Adam memutar pandangannya, tanpa bisa ditahan dia tersenyum. Diangkatnya wajah menatap langit yang benar-benar pekat dan putih. 

Adam tak lagi memaksa dirinya membuka pintu mobil. Dia memejamkan mata, mendengarkan desau angin yang bergesekan dengan ribuan partikel air yang terpelanting jatuh saling mendahului sebelum akhirnya pecah terhempas ke bumi. Atau ke atas bahunya. Di samping telinganya dia bisa mendengar riak yang tak pernah bisa dia lupakan. 

Adam membuka mata.

Saat itulah dia melihatnya

Tidak ada yang pernah membuat degup jantungnya seperti ini.

Kakinya menyeret badannya menjauhi mobil. Mendekatinya

Wanita itu berlutut, terlihat dia menangkupkan kedua tangan kedepan mulutnya, sebuah benda kecil berwarna putih menempel erat di mulutnya, mungkin juga hidungnya. Adam memicingkan mata. Air hujan mengaburkan pandangannya. 

Inhaler.

Adam tidak tahu sejak kapan air hujan yang mengalir di wajahnya bisa terasa begitu hangat. Dia juga tidak tahu kenapa sekitarnya berubah jadi pelataran parkiran.

*****

(4401)

“Aku tidak menyangka kalau kau masih menyimpan buku itu.”

Rani mengangkat wajah. “Kupikir kau ingin aku menyimpannya.”

Adam tersenyum, tapi wajahnya seperti menyesali sesuatu. Dia masih menimang-nimang buku yang diberikan Rani padanya barusan. 

 “Kau tahu,” Rani menelusuri pinggiran buku itu, “Aku punya beberapa bagian yang selalu aku baca berulang kali.”

“Aku minta maaf.”

“Diamlah, Adam. Perceraian kita bukan sesuatu yang perlu disesali. Aku memang tidak akan pernah sepenuhnya mengerti bagaimana bisa Ana memiliki hatimu sebanyak itu, dalam waktu sesedikit itu. Aku tidak akan menutupi rasa iriku padanya, tetapi itu adalah kenyataan yang tidak bisa kutolak. Aku juga pernah bersamamu dan bagiku itu adalah kenangan yang tidak bisa kutukar dengan apa pun.” 

Adam terdiam. Dia mengerutkan kening. Rani meneruskan kalimatnya.  

“Mungkin benar bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Kalian saling menyukai, tapi tak pernah bisa bersama. Kita pernah bersama, tapi tak lagi menyimpan rasa yang sama. Jika boleh aku memberi nasihat, hiduplah dengan berterus terang. Mungkin hatimu akan terluka lagi. Mungkin ada hati yang akan terluka lagi. Namun begitulah hidup. Aku pernah kecewa, dan aku memaafkanmu. Kuharap kita bisa meneruskan hidup masing-masing.” 

Rani merapikan syal hitam yang melilit di leher dan bahunya. Dia menepuk pundak Adam pelan sebelum akhirnya membalikkan badan. Meninggalkan Adam sendirian.

***** selesai *****

Seminggu 5

Seminggu

“Kau memakai sendalku.” 

Itu bukan pertanyaan.

Aku memutar badan dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Citra kemudian pergi melengos dengan gaya yang berlebihan. Aku bergegas, setengah berlari kembali ke ‘ruko’,—singkatan untuk ruang koas1—mencari sendal milikku sendiri; hampir tak bisa kupercaya tadi Citra tidak memakai alas kaki sama sekali. 

Membuka pintu, kudapati Iqbal yang sedang bercukur, handuk menutupi bahu dari rambutnya yang terlihat masih meneteskan air. 

“Apa yang kau lakukan?!” jeritku. 

Koas memiliki ruang istirahat terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Iqbal memalingkan wajah dengan raut tak berdosa, “Kamar mandi kami sedang tidak ada air.” Bisingnya alat cukur memenuhi ruangan, sesaat aku terpaku melihat alat yang sedang bergerak-gerak di dagunya. “Berapa pasienmu? Sepertinya banyak.” 

Aku tak menggubris pertanyaan retorisnya dan buru-buru mencari sendal. “Kau melihat sendal warna merah? Yang ujungnya robek?” 

Iqbal memiringkan wajahnya sedikit, seperti mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dipakai Lia.” 

“Oh, demi Tuhan.” Hanya tinggal dua pasang sendal di ruangan itu. “Sendalmu yang mana?” 

“Yang hitam.” 

Aku buru-buru mengenakan sisanya dan secepat kilat menutup pintu. Mood-ku sedikit rusak karena Citra yang sudah repot-repot minta ganti sendal di pagi buta di saat pasien melimpah ruah dan aku belum tidur sepicing pun sejak jam delapan malam! 

Menggeretakkan gigi, kutarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi membaca daftar pasien yang belum kuselesaikan laporan visite2-nya untuk pagi ini. 

Tujuh pasien baru. Tujuh. 

Kupejamkan mata. 

Dan delapan pasien lama. 

Aku mencoba memetakan denah ruangan masing-masing pasien tersebut dalam kepalaku dan menetapkan rute visite yang paling efisien. Kulirik jam di pergelangan tangan. Seharusnya waktunya cukup. 

Baru aku akan melangkah saat kurasakan seseorang menggamit bahuku.

“Apakah kau menggunakan penaku?” 

Astaga, Citra!

***

Aku menarik napas lega memasuki ruang perawatan III-D karena tidak satu pun pasien di ruangan ini merupakan tanggung jawabku, yang artinya aku bisa bersandar di dinding dan memejamkan mata sembunyi-sembunyi. Telingaku menangkap sayup-sayup gumaman Pedro yang sedang menyampaikan laporannya di depan konsulen3 pagi ini, dokter Wahid. Mataku nyaris terkatup sepenuhnya ketika kurasakan seseorang menggamit sikuku. 

“Kau belum mandi?” bisiknya.  

Aku membuka mata. Daniel seperti menahan senyum memandangiku. Aku membelalakkan mata padanya—bukan urusanmu, kataku tanpa suara. Ia hanya meneruskan senyum terkulumnya. Kemudian ia mengedikkan kepala ke arah tempat tidur di sampingku, masih berbisik. “Itu pasien siapa?” 

Seorang kakek. 

Aku mengingat-ingat. “Pasien titipan, dari ruang saraf. Mereka juga kebanjiran pasien tadi malam,” jawabku sambil memanjangkan leher, berbisik di samping telinga Daniel. Meskipun begitu aku hanya mencapai lehernya karena keterbatasan tinggi badanku. Tak sengaja kuhirup parfum yang ia gunakan. 

Bagus sekali, aku merasa kotor berdiri di sampingnya. 

Kami baru mencapai tempat tidur pasien terakhir di ruangan III D ketika sekelompok koas bagian saraf memasuki ruangan diiringi Dokter Suki, konsulen visite mereka, dari ekor mataku kulihat Lovina yang menjelaskan kondisi kakek itu. 

Sepertinya kakek itu stroke4. Tapi sudah membaik. Di samping tempat tidur kulihat seorang nenek sedang duduk; kentara sekali ia kurang tidur, kepalanya terangguk-angguk saat mendengarkan dokter Suki bicara pada si kakek. Tepat di samping kakinya, tersuruk di bawah tempat tidur, kulihat satu tas kain jinjing kecil berisi pakaian yang menyembul-nyembul keluar. Selain dari tas itu, tidak kulihat ada barang lain kecuali setumpuk kecil pakaian lain di atas pangkuan si nenek. Baru kusadari bahwa sambil mengangguk-angguk tadi si nenek ternyata sedang melipat pakaian. 

Aku jadi lebih memerhatikan mereka dibanding pasien sesak-napas yang sedang dijelaskan Iqbal pada dokter Wahid. Kulihat dokter Suki menepuk-nepuk pundak si kakek dan mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang. Si nenek tampak tersenyum, masih dengan anggukan kecilnya. Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas air minum yang diminta oleh si kakek. Saat membantu si kakek minum, tangannya terlihat gemetar. Keningku berkerut, memperkirakan umur pasangan tersebut. 

Sikuku kembali digamit Daniel, kali ini ia melirikku dengan tatapan tajam. Ketika kualihkan pandangan darinya, kulihat dokter Wahid sedang memberiku tatapan tak sabar. Tanpa sadar aku menganga. 

“Berapa-urine-output5pak-Sanusi.” Daniel berdesis di telingaku. Aku bisa merasakan di balik kerudungku telingaku panas, separuh karena malu dan separuh karena Daniel yang melakukannya. Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaan tersebut sambil melirik pada Iqbal yang meringis meminta maaf karena tidak mencatat data yang telah kuberikan sebelumnya padanya. Aku hanya memutar mata dan terus menjelaskan. 

Sebelum keluar ruangan sejenak aku kembali memerhatikan pasangan renta tadi. Si nenek berusaha menyelipkan sisa pakaian yang belum ia masukkan ke dalam tas kemudian memberesi beberapa gelas dan piring plastik ke dalam kantong kresek hitam, sementara si kakek tampak kembali tidur. 

*

Sehabis visite aku bergegas mandi—ini satu-satunya waktu yang paling aman karena seusai visite seluruh perawat akan sibuk menyiapkan tambahan terapi dari masukan para konsulen, mengisi chart-chart setiap penghuni tempat tidur, hingga memastikan seluruh permintaan pemeriksaan tambahan laboratorium ataupun radiologi sudah dikirimkan; dan kami para koas akan seperti kasat mata oleh semua orang di waktu ini (yang sesungguhnya merupakan anugerah terindah). Sebelum mandi kukirim SMS kepada Lovina mengatakan ada yang ingin kutanyakan padanya, memintanya untuk bertemu di lantai satu rumah sakit saat pulang nanti. Usai mandi aku mendapati pesanku telah dibalas dan ada dua missed calls

Daniel dan Ibu. 

Aku masuk ke kamar ganti sambil membawa handphone, mendapati Citra dan Lia sedang berbagi mie goreng, bibir mereka tampak berminyak. Ruang ganti sempit itu penuh aroma makanan sekarang. 

“Kita tidak punya jadwal sampai jam 12, kan? Bisakah aku skip jadwal di poliklinik? Aku ingin tidur sebentar saja.” Kutekankan nada bicaraku pada kata sebentar. 

Citra menggeleng cepat. “Hari ini jadwal poliklinik dokter Nurul. Akan rame sekali. Kau tidak bisa skip.”

Aku memicingkan mata, otakku memikirkan bagaimana bisa ia terus mengunyah sambil mengeluarkan kalimat barusan tanpa ada kesan tersedak. Diam-diam aku memikirkan melakukan Heimlich Manuver6 pada Citra, dengan sedikit beringas tentunya.

“Tadi Daniel kemari saat kau mandi.” Lia mengulurkan sebuah kotak. Aku menerimanya. Membukanya. 

Oh. Daniel. Hatiku seperti meleleh. 

“Bagaimana kau bisa belum mandi dan belum sarapan? Apa saja kerjamu semalaman? Pasien ramai sekali?” Citra bertanya sambil menjilati sendok dan garpunya. Aku memilih tidak menjawab demi menjaga kesehatan mental. Cepat kuambil handphone dan mengirim SMS pada Daniel. 

Thanks for the breakfast. Ha-ha.

Sejurus kemudian balasannya datang. 

Baru dimakan? It’s brunch then. Nanti ke poliklinik?

Tanpa bisa kutahan wajahku memanas. Kupalingkan wajah dari Citra dan Lia.

Poliklinik. Tidak. Poliklinik. Tidak. Aduh, aku mengantuk sekali. 

Tidak. Kukirim pesan itu dengan cepat. 

*

“Kau menunggu siapa?” 

Aku tersentak bangun. Daniel memamerkan senyumnya yang bertebarkan barisan gigi nan rapi. Jasnya dipeluk di depan dada. Kuintip jam di pergelangan tanganku. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini selalu rapi dan wangi?

Aku mendengus, mencoba menarik napas dari kedua hidungku yang nyaris buntu. “Aku? Aku menunggu Lovina.”

“Kau bisa tidur di mana saja. Luar biasa.” 

Aku mengangguk-angguk pelan. “Kau tahu, Daniel, aku hanya memejamkan mata,” kemudian menggeleng, “bukan tidur.”

Daniel kembali tersenyum. Ia kemudian mengambil tempat di sampingku. “Aku melihatmu tidur selama sepuluh menit penuh. You’re lucky I didn’t take picture of this.” Dia memperagakan wajah bodoh dengan mata terpejam, jarinya mengisyaratkan lelehan liur dari satu sudut mulut. 

Wajahku terasa panas sekali. Dengan salah tingkah aku memeriksa isi tasku. “Oh. Ha-ha. Kau pasti melebih-lebihkan saja. Bagaimana bisa aku tidur selama itu. Haha.” Setelah tidak berhasil menemukan sesuatu yang pantas untuk kucari dari dalam tas, aku menarik selembar tisu dan mengembuskannya kuat-kuat menutupi hidung, sekalian mengusap sudut bibir. “Kau dari mana?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Tadi baru selesai bimbingan referat5 dengan dokter Liliana.”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Oh, hei. Terimakasih tadi untuk sarapannya!” 

Daniel tidak menjawabku. Aku kemudian berpaling kepadanya. Ia kemudian berkata. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku hanya seseorang yang kebetulan menyukaimu. Kau tidak perlu membuatku merasa tidak enak.” 

Oh, Tuhan. 

Kurasakan darah mengalir deras dalam jumlah yang tak wajar ke kepalaku, berkumpul di wajah. Jantungku memukul-mukul keras dinding dada.

“Kau sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari hubungan kita. We’re still friend. I accepted it. You don’t like me. I am cool with that.” 

Aku memandangi jari-jariku, seperti pesakitan menunggu putusan. “Ya, but for the record, aku nggak pernah bilang ‘i don’t like you’, ya.” 

Daniel terkekeh, “Bisakah kau bersikap biasa saja? Jika kau terus seperti ini, aku akan salah mengerti.” 

Aku menghela napas panjang kemudian memiringkan tubuh padanya, tidak menatapnya secara langsung, hanya memperhatikan kedua pergelangan tangannya yang entah mengapa menurutku kokoh sekali. 

Oh Tuhan. Ampuni pikiranku. 

Kukumpulkan lagi segenap hal yang tadi ingin kukatakan. 

Aku berdeham satu kali. “Daniel. Maafkan aku. Aku mengantuk sekali.” Sialan. Aku menggeleng kuat. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Maksudku…”  

Daniel mendorong dahiku pelan-pelan dengan pena di tangannya. Membuatku berhenti menggeleng. Ia kemudian bersandar. “Sudahlah. Kau tidak usah menjelaskan. Nanti saja.” 

Aku terdiam. Perlahan aku meliriknya. Demi Tuhan, bagaimana bisa suasananya jadi serupa dengan seminggu yang lalu?  

*

Aku baru pulang dari poliklinik dan mendapat SMS dari Ibu kalau tante Mia, tetangga sebelah rumah—dirawat di rumah sakit karena akan operasi batu kandung empedu, jadi sepulangnya dari poli aku menyempatkan diri untuk menjenguknya, ujung-ujungnya aku malah ketiduran di sofa penunggu pasien dan baru tersadar ketika sudah hampir senja. Tante Mia mengatakan ia sengaja tak membangunkanku karena sepertinya aku kecapean.

Ketika turun aku sudah kelaparan setengah mati jadi aku membeli roti sobek di cafe rumah sakit dan duduk di bangku lobi—tentunya setelah memastikan tidak ada atribut koas yang masih melekat di tubuhku. Bisa mati kalau kedapatan leyeh-leyeh makan roti di lobi saat sedang jam dinas. Meskipun tentu saja petang itu aku memang sudah lepas dari tanggung jawab. 

Saat itulah aku melihat Daniel, ia belum melihatku sampai aku meneriaki namanya dan mengacungkan roti seakan-akan itu umpan. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Makan roti lebih banyak dari yang kutawarkan padanya. Saat kuprotes ia mengatakan bahwa ia sedang sangat kelaparan dan sedang tidak membawa uang. Aku menertawainya karena bagiku itu lucu sekali.

Seorang Daniel kelaparan dan tidak punya uang.

Daniel tentu saja protes. Tapi aku menjelaskan pendapatku, “Menurutku kau orang terakhir yang mungkin akan kelaparan. Kau bisa mengubah apa saja menjadi makanan.” 

“Menurutmu begitu?” mata Daniel terlihat bersinar. Ia menepuk-nepuk remah roti dari sela-sela jarinya. 

“Menurutku kau bisa membuatkanku sarapan setiap hari sampai aku mati. Aku tidak akan menolak.” 

“Kalau makan siang dan makan malam?”

“Untuk makan siang, kurasa selera kita sedikit berbeda, kau terlalu simpel untuk makan siangmu dan aku akan kelaparan jika makan makanan seperti itu. Tapi untuk makan malam, kurasa sudah tepat sekali, meski aku baru sekali makan masakanmu saat buka puasa bersama tahun lalu. Bisa saja kau membelinya di restoran.” Aku mengikik, hampir saja tersedak. Cepat kutenggak air minum yang sempat kubeli. 

Daniel tampak tersenyum melihatku. Aku membelalak padanya. “Kau senang aku mati tercekik roti?” 

“Aku bisa saja membuatkanmu sarapan setiap hari.” 

Aku tergelak. Mengangguk-angguk penuh semangat. “Oke-oke. Bagus sekali. Katakan saja berapa biayanya.” 

“Aku juga bisa saja masak makan siang yang cocok untuk seleramu. Dan jika makan malam sudah pas, aku rasa tidak terlalu banyak masalah.” 

Kurasa saat itu aku tertawa sampai keluar air mata. “Kau baik sekali. Aku bisa dimarahi ibumu jika sampai ketahuan membuatmu harus memasak sebanyak itu setiap hari.” 

Ibu Daniel adalah Tante Mia. Aku jadi teringat tentangnya, “Hei, kau tidak pernah cerita tentang sakit ibumu.”

Daniel hanya menggeleng-geleng pelan. “You know her. Tidak akan bilang sakit sampai benar-benar tumbang. Aku sudah curiga beberapa hari sebelum ini, tapi Ibu tidak mau disuruh periksa. Jadi ya… begitulah.” Dia mengangkat bahu, kemudian duduk bersandar. Dengan punggung tangan disekanya pinggiran bibirnya. “Tadi dia sms kalau kau baru menjenguknya. Thanks, ya.”

Aku mendengus, mengangkat bahu pelan. “Yah, semoga semuanya berjalan baik dan lancar.”

“Hei, aku bisa meminta airmu?” Daniel menghabiskan sisa roti, mengangsurkan plastik pembungkusnya padaku. Mulutnya penuh.

Aku memicingkan mata padanya. “Aku cuma punya sebotol ini.” 

“Kau harus bisa berbagi pada orang yang akan mendampingimu seumur hidupmu.” Selepas itu ia dengan enteng mengambil botol air mineral yang ada di sampingku dan menenggaknya sampai separuh habis.

Aku menatap jakunnya yang bergerak-gerak saat minum, sampai kemudian kalimatnya yang terakhir itu tercerna oleh otakku. Detik itu juga ia berhenti minum dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. 

“Kau melihat hantu?” ia mendorong penanya ke depan dahiku. 

Aku menarik botol air mineral dari tangannya. “Jangan katakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah berpikir tentangmu.” 

Ia tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

*

“Apakah suasana ini membuatmu mengingat minggu lalu?”  

Aku memalingkan wajah padanya. “Kau sekarang bisa membaca pikiran?” tanpa bisa kutahan nada bicaraku jadi sinis. 

Daniel mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi?”

Aku sampai terkesiap. Alasan aku menunggu Lovina sampai sesore ini adalah untuk menanyakan pasien tersebut. Entah mengapa, hatiku seperti tertambat pada mereka. Dua orang yang terlihat begitu sendiri. Namun saling memiliki. 

“Aku pernah merawat si nenek saat di bagian Jantung.” Daniel menunggu beberapa saat untuk kemudian kembali bicara. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi tidak?”

“Teruslah bicara.” Aku memberengut padanya. Ia terkekeh. 

“Saat itu beberapa bulan lalu, aku sedang visite pagi, dan nenek itu sedang dalam kondisi sesak sekali. Ia tidak bisa berbaring. Hanya bersandar. Kutanyakan apakah ia bisa tidur tadi malam. Ia berkata bahwa ia masih bisa tidur meski hanya sebentar. Aku melihat mereka hanya punya bantal sepotong, sedangkan tempat tidur yang nenek itu gunakan tidak sepenuhnya bisa dinaikkan posisi sandarannya, sehingga jika nenek itu harus bersandar, ia tetap merasa sesak. Saat itu aku sempat bercanda pada si kakek bahwa sebagai suami yang baik, harusnya kakek berkorban meminjamkan bahunya sebagai bantal nenek. Kau tahu apa yang dijawab oleh kakek itu?”

Aku diam. Daniel menghela napas, berdeham kecil. “Kakek itu mengatakan bahwa ia bisa menahan tubuh nenek untuk bersandar, tapi tidak untuk waktu yang lama.” Daniel mendengus pelan, hidungnya seperti beringus. “Karena ia pernah kena stroke—jadi jika dia kembali dirawat saat ini, berarti stroke berulang atau semacam itu—, intinya tubuhnya tidak kuat untuk menahan tubuh si nenek terlalu lama.” 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Juga masih menerka-nerka arah pembicaraannya.

Daniel kemudian berkata lirih, “Aku serius saat mengatakan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Saat melihatmu, aku bisa melihat masa depanku. Aku kenal denganmu sudah cukup lama. Aku ingin menjagamu saat kau sakit. Aku ingin kau yang menjagaku saat aku sakit. Meskipun tentu akan lebih baik jika tidak ada yang sakit.” Daniel cepat-cepat menambahkan kalimatnya, senyumnya tertahan, kemudian ia menggeleng. Suaranya terdengar parau saat kembali berucap, “Ketika pagi ini kembali melihat pasangan kakek-nenek itu, aku hampir menangis. Hidup mereka mungkin terlihat menyedihkan di mata orang, tapi sepenuh hati aku iri pada mereka yang saling menguatkan. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jadi jika kau benar-benar tidak bisa, katakan sekarang dan aku akan menerimanya sebagai suatu kenyataan.” 

*

… 

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

“Daniel… kau jangan menakutiku.” 

“Kau tidak seharusnya takut akan cinta.”

Aku menggeleng pelan dan perlahan senyumku mengembang. “Kau terlalu banyak makan roti dan sekarang bicaramu melantur. Kurasa aku harus pulang sekarang. Dan kau juga sebaiknya kembali ke kamar ibumu. Atau jaga malam. Kau sedang jaga, kan?”

Is it a ‘no’?

Aku sampai ternganga. “Demi Tuhan, Daniel. You’re my friend. One of the best. Aku tidak ingin lelucon seperti ini membuat kita jadi tidak nyaman satu sama lain.”

So now my confession is a joke?

Aku bangkit dan mengemasi jasku. Kujejalkan sisa bungkusan roti dan air mineral ke dalam tas sandangku. “Okay, kuberikan satu minggu padamu dan tunjukkan padaku bahwa ini bukan lelucon.” 

Daniel tersenyum. “Fine. One week.” Ia mengulurkan tangannya padaku. 

Aku balas tersenyum. “Oh. Please.” Kemudian bergegas pergi. Sejurus kemudian aku berbalik dan berteriak padanya. “Kau bisa memulainya dengan membuatkanku sarapan.” 

***selesai***

  1. koas; co-ass, dokter muda, sarjana kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. 
  2. visite; kegiatan mengunjungi pasien rawat inap, meliputi pemeriksaan mendalam mengenai keluhan subjektif dan objektif pasien, serta penatalaksanaan yang sesuai untuk saat itu.
  3. konsulen; konsultan, dokter spesialis/sub-spesialis.
  4. stroke; cerebrovascular accident, cva, kondisi di mana otak mengalami gangguan suplai darah bisa karena pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh darah di otak, manifestasinya sesuai fungsi otak yg terganggu suplainya.
  5. urine output; buangan/produksi urine, salah satu komponen yang diukur saat mengukur keseimbangan cairan pasien.
  6. Heimlich Manuver; prosedur pertolongan pertama pada kondisi sumbatan jalan napas dengan memberikan tekanan tiba-tiba pada area antara pusar dan ulu hati.
  7. referat; salah satu jenis tulisan/laporan, membahas topik tertentu yang disadur dari banyak referensi. 
Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini 7

Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini

Mia mematikan laptop dan menutup buku di depannya dengan perasaan lelah. Diliriknya jam tangan. Lewat lima belas menit dari tengah malam. Terdengar suara ketukan kaca. Mia membalikkan badan, dilihatnya residen Hana — residen adalah istilah yang digunakan untuk dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi —, sedang menjulurkan kepala dari balik pintu.  “Kau akan ke tempat Lily?”

“Oh.” Mia kemudian bangkit dan menarik jas putihnya yang tersampir di sandaran kursi. “Aku belum memutuskan.”

Hana mengangkat sebelah alisnya, membuat Mia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak pergi.”

“Ayolah. Aku tahu kau sudah menyelesaikan laporan kasusmu. Kenapa tidak pergi?”

Mia lagi-lagi hanya tersenyum, setelah menyampirkan jas putih tadi di belakang pintu dan menukarnya dengan jaket berleher tinggi yang ia rasa pas sekali di malam bercuaca dingin ini, ia kemudian mengajak Hana melangkah keluar ruangan. “Entahlah, sedari siang aku terbayang duduk di sofa dan minum coklat hangat sebelum tidur.”

Mereka berjalan bersisian menembus lorong-lorong di penuhi brankar berisi pasien yang didorong oleh kurir, beberapa di antara mereka sempat melempar senyum saat berpapasan namun tak sedikit yang hanya memberikan wajah datar penuh kelelahan khas rumah sakit pusat rujukan. Mereka kemudian melewati ruangan setengah lingkaran dengan dinding-dinding kaca penuh tempelan kertas pengumuman di mana di dalamnya beberapa perawat shift malam sedang memeriksa catatan pasien, salah seorang dari mereka keluar dari bilik itu dengan tergesa dan memanggil. Mia mendekatinya, mengenalinya sebagai perawat yang biasa ia jumpai saat visite — kegiatan memeriksa pasien rawat inap, di ruangan perinatologi, ruangan khusus bayi.

“Tadi ada yang mencari dokter.”

“Siapa?”

Hana ikut mendekat. “Ada apa?”

Perawat itu menggeleng. “Dia menunggu di luar setelah saya katakan bahwa dokter akan selesai sebentar lagi.”

“Keluarga pasien?”

“Saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Sepertinya bukan.”

“Pria?”

Perawat itu mengangguk.

Mia mengerutkan kening. Mengingat-ingat. Hana menggamitnya. “Kita lihat siapa yang menunggumu lalu kita ke tempat Lily, okay?”

Mia memberengut.

“Kita di sana tidak akan lebih dari satu jam. Aku janji.” Hana kemudian mempercepat langkahnya. “Aku benar-benar ingin melewati semester ini secepat mungkin. Rasanya aku bisa gila.”

Mia hanya tertawa mendengarnya. Ya, semester ini benar-benar melelahkan. Ia membenarkannya dalam hati.

“Kau tahu Yoda, junior semester dua? Tingkahnya benar-benar menyebalkan. Aku sama sekali bukan senior gila hormat tapi kurasa anak itu benar-benar tidak tahu adat. Satu kali lagi kudapati ia bersikap seperti kemarin, akan kuhabisi ia saat laporan jaga.”

“Memang menyebalkan. Tapi dia lumayan.” Mia cepat-cepat menambahkan kalimatnya.

“Justru itu. Kurasa dia lumayan karena dia bisa mendapat kuliah ekstra dari ibunya. Aku pernah mengintip isi catatannya, penuh dengan tips-tips jitu. Sialan. Ingin aku memilikinya.”

Mia tergelak. Separuh karena menyadari betapa ambigunya kalimat Hana barusan, separuh lagi karena faktanya ibu dari junior Yoda yang baru mereka bicarakan adalah memang salah satu profesor yang paling disegani di kampusnya. “Oh, sial. Kautunggu di sini sebentar. Buku catatanku ketinggalan di ruangan.”

Hana mendecak kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Setengah berlari Mia meninggalkannya.

*****

Sebelum Mia berhasil sampai ke ruangan jaga residen, seorang perawat kembali menghampirinya, memberikannya beberapa lembar status pasien rawat inap yang ternyata belum selesai ia lengkapi.

“Oh!” Mia setengah mengumpat dan bersyukur, kelalaian seperti ini bisa saja membuatnya layak digantung esok hari. Dikerjakannya status itu sambil berdiri di gang, diawasi perawat yang hanya menggeleng-geleng maklum. Setelah yakin tidak melewatkan detail-detail penting, ia bergegas pergi ke ruangan, setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada perawat yang mencegatnya tadi.

Ruangan tampak gelap, Mia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dengan tergesa. Lampu otomatis menyala setelah pintu membuka.

“Kau akan ke rumah Lily kan?”

Mia terkesiap, lalu berbalik. Agus, salah satu residen bedah anak, yang menyapanya. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Kau akan pergi sendirian? Kita bisa pergi bersama, aku baru saja selesai.” Sosok tinggi itu mendekat. Mia bisa mencium parfumnya yang khas, para perawat sering membicarakan pria di depannya ini karenanya, mereka menjulukinya residen bau surga.

“Aku bersama Hana, ia sedang menunggu di lobby.” Mia memaksa untuk tersenyum. Buru-buru ia membuka laci dan benar saja, buku catatannya ada di sana. “Aku duluan.”

“Hei.” Agus mengitari meja dan mensejajari langkahnya. “Kau tidak sedang menghindariku kan?”

Mia mengibaskan jemarinya yang dilingkari cincin.

Agus tertawa pelan. Memperlihatkan deretan giginya yang bagus. “Kau tahu itu tidak akan mengubah perasaanku padamu.”

“Katakan padaku apa yang akan mengubahnya.”

“Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau menerimaku.”

Mia membenarkan letak tas di bahunya. Berdehem kecil. “Agus, kurasa kita sudah membahas ini. Aku sudah menikah.” Ia menekankan setiap kata pada kalimat terakhirnya.

“Tapi kita memiliki waktu yang menyenangkan. Jangan katakan kau tidak senang saat kita bersama.”

Mia menggeleng. “Jangan membuatku makin tidak nyaman. Aku sudah merasa tidak nyaman. Kita tidak pernah bersama. Kau dan aku pernah makan malam satu kali dan maafkan aku, itu adalah kesalahan. Aku tidak semestinya melakukannya.”

“Tapi kita melakukannya.”

“Itu adalah kesalahan.”

Agus menatap lurus pada Mia. Ia terlihat menggaruk dagunya yang berbintik-bintik halus, “Katakan di mana kurangku.”

“Kau benar-benar keras kepala.”

Agus memamerkan senyumnya yang menawan. “Mia, aku benar-benar ingin bersamamu. Memiliki perasaan sekuat ini padamu membuatku hampir gila.”

“Katakan jika kau sudah merasakan gejalanya, aku bisa membuatkan resep yang baik.” Mia memaksakan tersenyum dan berlalu. Saat melewatinya, Agus menarik tangannya dan menggenggamnya.

“Maafkan sikapku. Tapi jika kau akan berpisah dari suamimu — dan kau tahu aku selalu berdoa untuk itu — aku akan berusaha keras untuk membahagiakanmu.” Agus menatap matanya dan sejenak Mia bisa merasakan lututnya melemah. Ia menggeleng pelan dan meminta Agus melepaskan tangannya.

“Aku ingin kau tetap sopan padaku.” Mia berdehem kecil. “Seperti aku yang akan tetap sopan padamu, selama kau berjanji untuk tidak seperti ini lagi.”

Agus mengangguk pelan. Wajahnya terlihat menyesal. “Aku minta maaf.”

Mia balas mengangguk pelan sebelum berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat marah.

*****

Saat melewati pintu keluar Mia melihat Hana sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin mendengar langkah kakinya yang memang terdengar jelas di lantai berbatu ini, kedua orang itu membalikkan badan.

Mia merasa jantungnya seakan meloncat keluar dari rongga dada.

Hana melambai dan tersenyum. “Aku sudah bertemu Imran.” Ia menunjuk sosok di sampingnya.

Pria itu juga tersenyum. Ia kemudian berjalan mendekati Mia yang mematung. Memberinya pelukan. “Hai.”

Masih bau yang sama. Mia menutup mata dan merasakan Imran mempererat dekapannya. Memaksanya membenamkan wajah di lehernya, merasakan rahangnya yang kasar.

Mia juga bisa merasakan tangan Imran di pundaknya. Memberinya tepukan ringan. Lehernya meremang. Segera ia melepaskan diri.

“Kapan kau tiba?”

Imran tersenyum. “Baru saja.”

“Aku dan Hana… kami akan keluar.”

Hana terlihat kaget. “Aku baru saja mengatakan pada Imran bahwa kau pasti senang bisa menemukan alasan untuk tidak jadi pergi.” Wajahnya kemudian terlihat bingung.

“Kau mengatakan bahwa kita hanya akan satu jam. Aku rasa aku bisa kalau hanya satu jam.”

Imran memandangi Mia yang balas menatapnya. Mia berkata, “Jangan melihatku seperti itu.”

Hana jelas terlihat tidak nyaman. “Mia, aku rasa aku akan pergi sendiri.” ia bergegas pergi setelah mengangguk pelan pada Imran. Ia kemudian memberi isyarat pada Mia bahwa ia akan menelepon nanti.

Mia merapatkan jaketnya, melangkah menuruni undakan tangga batu yang melingkar. Pelan dirasakannya lehernya mendingin dan hidungnya sakit, separuh karena udara malam yang memang sudah menusuk, sisanya lebih karena pikirannya yang kacau. Ia bisa melihat dari sudut matanya bahwa Imran melangkah di belakangnya sambil menyeret travel-bag-nya. Beberapa saat kemudian pria itu sudah menyusul langkahnya dan mensejajarinya.

Lama mereka berjalan dalam diam.

Sampai akhirnya Mia membuka suara. “Kapan kau tiba?”

Imran mengangguk pelan. “Baru saja.”

Mia ikut mengangguk-angguk. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Imran mengangguk membenarkan. “Aku sudah mengatakannya.”

Kemudian Mia tergelak. Perlahan tawanya makin keras. Ia berbalik, mendapati wajah seorang pria yang pernah begitu mengisi pikirannya. Menyebalkan sekali, hanya melihatnya beberapa detik dan ia bisa merasakan seluruh rasa itu kembali lagi.

Imran tersenyum. “Kau melupakan sesuatu?”

Mia masih tertawa. Ia kemudian mengangguk.

“Buku catatanmu?”

Mia menggeleng. Tawanya masih tersisa sedikit.

Imran berdiri tegak. Menunggu.

“Mobilku. Aku memarkirnya di halaman belakang. Mestinya tadi kita tidak memutar.”

*****

“Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini.”

Imran mengangkat wajahnya, menatap Mia. Wajah istrinya itu tampak sedih.

Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman, setelah beberapa saat berkeliling mereka akhirnya menemukan ayunan berupa kursi yang dipasang berhadapan. Jadilah sekarang mereka di sana.

“Aku baru menerima emailmu.”

Mia menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir. Ia kemudian menangkupkan kedua tangannya. “Aku bisa menjelaskan semuanya.”

Imran mengangguk. “Aku memang butuh penjelasan mengapa kau ingin bercerai dariku.”

Mia mengangkat wajahnya. Kemudian menangis lagi.

Imran menarik nafas panjang. Ia merentangkan tangannya di sandaran kursi, dijejakkannya kaki ke tanah, mendorong sedikit, membuat mereka berdua berayun.

Sepi sekali.

Ia bisa melihat kilau bekas tetesan hujan di daun-daun yang tertimpa sinar bulan dan lampu taman. Tanah di bawah sepatunya juga masih lengket. Ia membuat dorongan yang lebih kencang, membuatnya bisa merasakan udara yang basah melewati leher dan wajahnya saat ayunan naik lebih tinggi.

“Kau bisa membuatku muntah.”

Tak ayal lagi ia tertawa.

“Paling tidak kau jadi berhenti menangis.”

Mia mengusap matanya dengan jari. “Oh Imran. Aku benar-benar membencimu.”

Imran menjejakkan kakinya lagi. Kali ini lebih pelan. Ayunan naik dan turun dengan lebih teratur. Biasanya ayunan besi seperti ini akan berbunyi jika diduduki namun mungkin karena sedang basah pada engsel-engselnya, gerakannya kini terasa mulus dan menyenangkan.

“Kau selalu membenciku.”

Mia ikut mendorong dengan kakinya. Sekali waktu kaki mereka bersenggolan dan ia membiarkannya. Mia menendang sepatu suaminya itu pelan-pelan. Melumurinya dengan tanah yang lengket.

“Aku benci karena kau tidak ada.”

Imran mendengus pelan, merapatkan jaketnya. Ia kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya, memeluk dirinya sendiri.

“Kita sudah membicarakan ini.”

“Kita belum selesai membicarakan ini.” Mia mengangkat wajah.

Imran mengangguk pelan, ia kemudian seperti akan mengatakan sesuatu, namun batal melakukannya. Lama sekali ia hanya diam dan menatap Mia yang menanti ia membuka suara. Pada akhirnya ketika ia berkata, kalimat ini yang keluar dari mulutnya. “Kita akan membicarakannya lagi.”

Mia menarik nafas panjang. Menyusun kalimat dalam kepalanya.

“Aku harus akui bahwa beberapa minggu terakhir ini, kuliahku benar-benar menyiksa. Semua tugas. Dosen. Teman sekelompok. Junior. Staf rumah sakit. Pasien. Terlebih lagi pasien. Mereka semua membuatku tertekan. Aku pulang ke rumah dan menemukan kau tidak ada. Kau tidak pernah ada. Kau tahu aku selalu ingin bercerita padamu. Jangan memotongku dulu.” Mia menarik selembar tisu dari dalam tasnya. “Aku menyalahkanmu atas semuanya.”

Imran membungkuk dan menarik kedua tangan Mia. Menggenggamnya. Istrinya itu menangis lagi.

“Kau mengatakan akan mendukungku saat aku melanjutkan spesialisasi. Tapi kau malah tidak ada saat semua orang membuatku gila.”

“Mia…”

“Kemudian dua hari yang lalu aku membuat catatan yang panjang sekali. Aku tidak bisa tidur. Aku menatap bantal kosong di sebelahku sepanjang malam. Aku melihatmu hilir mudik di rumah, aku seperti melihatmu hilir mudik di rumah. Menyebalkan sekali. Aku lalu membuat semua alasan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu. Kau tahu bahwa aku bisa hidup tanpamu dengan baik sebelum ini. Baik sekali bahkan. Kau tahu benar itu.”

“Aku tahu itu.”

Mia menarik ingus dari hidungnya. “Sampai kau masuk dalam hidupku.”

Imran menunggu lanjutan kalimat Mia.

“Bisakah kita berpisah sementara?”

Imran diam. Dirasakannya Mia mencoba menarik tangannya, namun ditahannya. Mia tidak mencoba lebih jauh.

“Kau tahu kita tidak bisa berpisah sementara.”

“Mengapa kita tidak bisa suit saja, untuk memutuskan siapa yang akan mengalah dan tinggal di rumah?”

Imran tertawa pelan. Ia menarik tangan di genggamannya dan membawanya ke depan wajahnya, menciuminya.

“Kau tahu kalau aku tidak bisa meninggalkan tugas saat ini.”

Mia menarik nafas panjang. Tersenyum pelan. “Bagaimana keadaan di sana?”

“Biasa saja. Maksudku, selayaknya daerah bencana. Semua orang berduka. Semua orang tidak bicara. Lalu semua orang bicara. Tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Sekejap kau merasa mengenal mereka lalu kemudian mungkin kau akan merasa terlempar ke dunia yang benar-benar asing, padahal yang ada di sekitarmu adalah manusia, tapi entah kenapa semua jadi begitu berbeda. Beberapa pasien yang selamat menyembunyikan perasaannya, membisu berhari-hari, menangisi yang tlah pergi. Kurasa kau lebih cocok untuk kesana.”

Mia tertawa. “Mungkin aku akan lebih menikmatinya.”

Imran mengangguk pelan. Kembali mencium tangan istrinya. “Aku akan senang jika bisa bersamamu di sana.”

Mia menatap wajah di hadapannya dengan wajah sedih. Imran masih menciumi tangannya.

“Temanmu tadi, ia tidak tahu kalau aku adalah suamimu.”

Mia tersenyum, ia lalu berkata. “Aku memang tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu kalau aku telah menikah.”

“Mengapa?”

“Karena aku memiliki suami yang tak pernah ada.”

Imran mengangkat wajah. “Kupikir kita sudah pernah membahasnya.”

Mia mengangguk. “Kita sudah pernah membahasnya.”

Imran menepuk bagian kursi di sebelahnya, meminta Mia pindah. “Ironis sekali bukan? Kita mengurusi orang lain, namun kadang tak sempat mengurusi diri sendiri. Atau keluarga.”

Mia menyandarkan kepalanya di bahu Imran. Mendengarkan.

“Aku benar-benar takut saat menerima emailmu.”

“Aku tidak tahu bagaimana cara membatalkan email yang telah dikirim.”

Imran tertawa, bahunya sampai berguncang. Mia mengangkat wajahnya dan memeluk tubuh di sebelahnya itu erat-erat. Menghirup aromanya lekat-lekat. “Aku minta maaf telah membuatmu datang malam ini.”

“Aku sudah memesan tiket untuk pergi besok. Kau tenang saja.”

Mia kemudian menggigit lengan suaminya itu sampai ia mengaduh kesakitan. Ayunan sampai berguncang.

*****

Pintu keluar terbuka dan Agus melewatinya. Ia tampak terkejut saat melihat Mia masih ada. Sesaat ia seperti tersenyum namun kemudian wajahnya berubah saat melihat Imran.

“Kupikir kau bersama Hana.”

“Aku tadi memang bersama Hana.” Mia mengangguk pelan. “Ia baru saja pergi. Kenalkan, ini Imran.”

“Oh.” Agus melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Kapan kau tiba?”

Imran menjabat tangan Agus. “Baru saja.”

“Mia beberapa kali bercerita tentangmu. Saat kami, maksudku, kami para dokter berbincang, kadang kami membicarakan keluarga.”

“Oh. Kuharap kau mendengar yang baik-baik saja.” Imran berpaling pada Mia yang bisa merasakan wajahnya panas. “Aku terlalu banyak berbuat tidak baik belakangan.” Ia kemudian merangkul bahu Mia dan menepuknya. “Kita pulang?”

Mia mengangguk, diikutinya langkah Imran menuruni undakan batu yang tampak menghitam karena basah. Kali ini ia tidak mengambil jalan memutar. Dirasakannya dorongan kuat untuk melihat ke belakang. Namun genggaman tangan pria di sampingnya itu membuatnya terus melangkah ke depan.

***** selesai *****