Arsip Tag: short story

lalu kelindan 1

lalu kelindan

Do you know what is the strongest spell that evil ever casted?” dia bertanya.

Aku menguap lebar, lalu kembali menatap layar ponsel. “Huh?”

“Tahu, nggak?”

Aku menggeliat sampai gigiku gemeletuk. Mataku menangkap baris-baris cahaya lampu yang lolos dari kerai jendela. Aku hapal biasnya. Kukembalikan pandanganku ke layar, memastikan aku tak salah lihat. Masih belum subuh. Kunyalakan lampu di samping tempat tidur. “Kau menghubungiku sepagi ini hanya untuk menanyakan itu?”

Dia tertawa di seberang sana, matanya jadi tinggal segaris. “Come on. Hanya empat huruf.”

Aku menarik selimut sampai batas hidung, lalu berguling miring. Mendengus lemah, aku merasakan hidungku buntu. “Empat huruf?”

In English.

“Beri waktu sejenak,” aku menutup mata dan mengernyitkan kening, berpura-pura berpikir.

Seperti biasa, dia tak termakan muslihatku. “Ayolah. Four letters. Buka matamu.”

Aku membuka mata.

I’ll give you another clue then. You like it. A lot.” dia membisikkan kalimat terakhirnya sambil mengedipkan mata.

Aku sontak merasakan ada yang aneh di bawah sana. Refleks aku meringkukkan tubuh. Wajahku memanas.

“Bukan itu! Hey!” dia menukas cepat sambil tertawa keras.

“Memangnya apa yang barusan aku pikirkan?” aku mencebik menutupi rasa malu.

Senyumnya masih tersisa, dia mendekatkan wajah ke layar hingga aku merasa dia seperti sedang berbaring di sampingku. Dengan suara baritonnya yang serak dia berbisik, “Kau baru saja memikirkan tentang ‘love’.” Dia masih terlihat menahan tawa. “Well, it is almost romantic.

“Lalu, apa yang benar?” aku tak bisa mengelak.

Masih dengan senyumnya, dia kembali berbisik. “It is hope, Dani.” Dia mengedip jahil. “Hope.

Aku di sini dan kau di sana. Kita memandang langit yang sama…1

Aku melepas earphone di telinga. Mendecak pelan.

Kuperiksa deretan playlist yang kumiliki. Menghitung jumlah lagu yang mengisahkan tentang hubungan jarak jauh. Ketika selesai, aku tertawa lemah.

Mungkinkah secara tidak sadar aku menaruh lagu-lagu tersebut? Terkadang, lagu-lagu tersebut memang membuatku merasa tidak sendirian. Aku tahu benar masih banyak pasangan lain bernasib sama, terpisah jarak dan waktu. Mereka juga setengah mati menahan rindu tetapi belum bisa bertemu. Lagu-lagu tersebut memang membantu membuatku sabar menanti hari yang berganti.

Tapi hey, para musisi ini telah mengambil keuntungan atas kondisi yang sedang kualami. Aku mendecak.

Bukankah memang itu yang selalu mereka lakukan? Aku membatin lagi. Mereka, para seniman, menyulap kesedihan hingga tampak tetap mengesankan. Mereka membalut luka dengan rapi agar terasa tak sakit lagi; menyenandungkan kisah-kisah pilu dengan nada-nada sendu hingga hati yang mendengar ikut mengharu-biru. Pada akhirnya, mereka mendapatkan bayaran untuk itu.

That’s brilliant.

Jika dipikir lagi — keningku berkerut, tidak hanya para seniman yang begitu. Manusia pada dasarnya akan melakukan hal yang sama. Manusia akan mengambil keuntungan selagi mereka bisa. Bukankah itu yang akhirnya berakhir pada tiap hubungan? Mutualisme. Parasitisme. Pernikahan. Pacaran. Aku mengernyitkan kening.

Juga hubungan tanpa status. Suara dari dalam benak itu membuatku memutar bola mata.

Aku menggeleng pelan. Kututup lembar kerja di hadapanku, sudah waktunya pulang. Sambil membereskan meja, kupungut surat beramplop coklat dari dalam rak penerimaan dokumen. Aku memang sengaja belum membukanya.

Menghela napas berat, kumatikan sebagian lampu ruangan, mengunci pintu agar tak ada yang tiba-tiba masuk. Aku kembali ke belakang meja kerjaku, bersiap membuka amplop.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk.

Home already?

Aku tersenyum kecil. Mengetik balasannya dengan cepat.

Belum. Sebentar lagi.

Kusisihkan ponsel setelahnya. Berkonsentrasi pada surat di tangan. Yang ada justru bayangan percakapan dua minggu lalu yang kembali muncul. Wajah dokter itu menari-nari.

“Statusmu masih indeterminate. Meski tes pertama reaktif, tes yang kedua menunjukkan hasil sebaliknya yakni non-reaktif.”

“Kapan saya harus melakukan tes ulang?” aku tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya.

“Dua minggu lagi.”

Indeterminate. Aku mengulang-ulang kata itu di dalam hati. Tersenyum kecut. How fit and ironic.

Sebuah percakapan lain yang terjadi jauh sebelumnya ikut berputar. Kali ini mengambil tempat di sebuah kafetaria. Wajah dokter yang sama kembali membayang.

“Kita ini kolega. Meski saya tak mengenal dokter dengan dekat, tetapi saya selalu mendengar laporan yang baik mengenai pekerjaanmu sebagai dokter di rumah sakit ini. Hanya saja, terlalu riskan jika dokter tidak segera melakukan tes. Hampir seluruh pegawai rumah sakit telah mendengar cerita bagaimana dokter tertusuk jarum bekas pasien yang positif HIV.”

Sungguh aku tak menyangka kalau dia akan membicarakan hal tersebut, padahal kami sedang berada di tempat umum. Aku tak tahu alasan kenapa dia tak memanggilku saja ke ruangannya. Lagipula, dia adalah direktur rumah sakit. Mungkin melihat aku tak memberikan respon, dokter itu kemudian kembali berkata. “Saya telah menghubungi beberapa perusahaan yang membutuhkan dokter untuk mengevaluasi aspek keselamatan kerja di tempat mereka. Mereka mengatakan siap mempekerjakan dokter meskipun dengan kondisi seperti ini.”

“Saya belum dinyatakan positif,” aku tak bisa menahan nada tersinggung dalam kalimatku.

“Karena itu dokter harus segera melakukan tes,” dia kemudian menyodorkan sejumlah berkas. “Ini daftar perusahaan yang sudah saya hubungi. Saya akan memberikan rekomendasi buat dokter. Seperti yang saya katakan, dokter telah bekerja dengan baik selama ini. Saya harap dokter mengerti keputusan yang saya ambil.”

Mengapa kita selalu diminta untuk mengerti?

Dering pesan menyadarkanku dari lamunan. Aku mengintip isinya.

This meeting is forever. Tell me when you’re home.

Aku menelan ludah. Mengetik cepat.

Whose home?

Sekelebat kesadaran membuatku segera menghapusnya.

Akan kukabari.

Namaku Dani, aku seorang dokter.

Aku menatap kursor yang berkedip-kedip.

Ide menulis jurnal ini luar biasa menyebalkan. Terlebih ketika pikiranku sama sekali tak bisa diajak bekerja sama seperti sekarang. Sedikit pun aku tak bisa memikirkan apa yang hendak kutulis.

Semua ini berawal ketika hari itu aku bertugas di instalasi gawat darurat. Aku sama sekali tak punya firasat jika akan mengalami suatu kejadian yang mungkin — dan sepertinya memang akan — mengubah drastis jalan hidupku. Sore itu, seperti biasa, hampir setiap tempat tidur terisi pasien; kesibukan yang normal. Pasien berdatangan silih berganti namun tak ada kejadian istimewa.

Aku saat itu sedang bertugas di bagian trauma. Bagian berdarah-darah, begitu biasanya kami para dokter menyebutnya. Karena memang rata-rata pasien yang datang, pasti berlumuran darah atau pun berbalut perban tebal. Sore itu, beberapa saat sebelum waktu Magrib, pintu ruangan terbuka dan seorang pasien masuk, diantar keluarganya.

Aku mengenalnya sebagai pasien rutin di rumah sakit, bukan sebagai pasien trauma. Seorang perawat memberiku kode dan memberikan lembar status khusus. Aku mengerti maksudnya. Pasien infeksius.

“Dia mencoba bunuh diri…” keluarga pasien yang mengantar terisak saat menjelaskan padaku. Aku mengangguk dan mengucapkan beberapa patah kata, berharap mereka tenang. Kuminta mereka untuk masuk di ruangan tunggu.

Pasien itu sepertinya menelan sesuatu — apapun itu, jumlahnya pasti banyak. Aku mencoba membaui aroma yang menguar. Keningku berkerut.

“Dia sadar?”

Salah seorang perawat menggeleng. Aku mendekati pasien tersebut, memastikan informasi yang baru kudapat. Membuka kelopak mata pasien. Seketika aku mengumpat dalam hati.

Pin point pupil.2

Pasien ini kemungkinan menelan obat jenis opioid.

Aku bergegas melakukan primary survey. Memberikan instruksi sementara perawat bergegas melaksanakannya. “Jalan napas terganggu. Suction. Persiapkan intubasi. Bernapas spontan, frekuensi meningkat. Berikan oksigen lima liter per menit. Denyut nadi halus cepat, seratus dua puluh, tolong cek tekanan darah, siapkan cairan. Ambil sampel untuk laboratorium. Kesadaran…”

Saat itulah pasien tersebut menyentak hebat, berguling nyaris jatuh seandainya tidak ada seorang perawat di sampingnya yang menahannya. Beberapa orang perawat lain sigap datang membantu.

“Siapkan antikejang!”

Kembali pasien itu melenting hebat. Untuk kemudian tenang.

Namun justru seorang perawat wanita yang terpekik. Dia menunjuk ke arah lenganku.

Sebatang syringe tertancap di sana. Darah merembes pelan di seragam putihku.

Ding!

Messenger-ku berkedip-kedip.

Aku menutup dokumen jurnal dan membuka Messenger. Mengklik pilihan Camera.

“Hei.”

Jendela di layar itu membesar dan menayangkan wajahnya. Dia melepas kacamatanya. Melambaikan tangan.

As always.

Aku tersenyum, “Hai.”

“Hello, Kak Dani!” seraut wajah tiba-tiba muncul dan memeluk tubuh pria itu dari belakang. Anak itu tertawa saat ayahnya menariknya untuk duduk di hadapannya. Dia lalu melingkarkan tangan di bahu anak tersebut, memijatnya, atau apa pun itu, yang jelas anak laki-laki itu kini kegelian dan tertawa makin lebar.

Aku ikut tersenyum menyaksikannya. “Hei, Ryan,” kulirik jam di tangan. “Kenapa belum tidur?”

Anak itu tersenyum malu, dia lalu mendongak, berharap mendapat pembelaan dari ayahnya.

“Besok libur, jadi dia minta agar bisa tidur lebih larut.”

Sesaat kemudian aku melihat seseorang melintas di belakang mereka. Sosok itu telah melewati camera, untuk kemudian berjalan mundur, memeriksa apa yang suami dan anaknya sedang lakukan. “Bukankah itu Dani?” dia tersenyum lebar. “Kau terlihat kurusan! Jangan-jangan kau sedang sakit?”

Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan menggeleng pelan. “Selera makanku sedang tak baik.”

Wanita itu tertawa mendengar jawabanku. “Jika kau di sini, akan kubuatkan makanan kesukaanmu. Ryan dan ayahnya tak menyukai masakanku! Hanya kau yang selalu memujinya,” dia memberengut lucu. Di sampingnya, Ryan dan ayahnya memasang wajah protes.

“Mereka selalu memuji masakanmu setahuku,” aku membalas sekenanya.

Wanita itu melambaikan tangan jengah meski tetap tersenyum. “Kau selalu membela mereka. Huh. Okay, akan kutinggalkan kalian,” dia lalu menggamit lengan anaknya. “Cokelat hangatmu akan dingin jika kau tak segera menghabiskannya.”

Ryan melompat dan mengekor ibunya dengan riang. Dia tak lupa juga melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sambil tertawa. Kemudian kembali memusatkan perhatian pada sosok yang kini sendirian di dalam layar persegi itu. Pria itu diam sesaat seakan memastikan kami benar-benar tinggal berdua sebelum kemudian berkata, “Kau memang terlihat lebih kurus.”

Aku menghela napas berat, “Beratku masih sama,” tukasku singkat, aku tak berminat membahas kesehatanku.

Seperti biasa, dia menangkap nada tak suka pada suaraku. “Ada yang ingin kau ceritakan?”

Aku melirik jam di sudut layar komputer, kemudian beralih pada wajahnya yang sedang tersenyum. Mereka pasti baru saja selesai makan malam. Aku kembali menghela napas. “Actually, I’m in the middle of something. Kita ngobrol nanti, ya?”

Dia terlihat menimbang-nimbang. Beberapa saat dia diam, kemudian kembali mengenakan kacamatanya. “All right, take care then.”

“Apa yang membuatmu tertarik padanya?”

Okay, mari berpura-pura sedang berada dalam sesi konsultasi dengan seorang psikolog dan itu tadi adalah pertanyaan yang diberikan.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di atas keyboard.

Dia baik.

Detik berikutnya aku menekan tombol backspace.

Pintar.

Hello, Mr. Obvious.

Dia penyayang.

Aku tertawa sendiri membaca tulisanku. Dari sekian banyak karakter yang dia miliki, aku memilihkan ‘penyayang’ untuknya? Sungguh haus kasih sayang. Aku menghapusnya dengan senang hati.

He’s hot.

Wajahku memanas. Aku berbalik cepat, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Kubiarkan tulisan itu selama beberapa saat sebelum kembali menghapusnya.

“Sepertinya pertanyaan tersebut terlalu sulit. Bagaimana jika diganti dengan, apa yang membuatmu seharusnya meninggalkannya?” psikolog khayalan itu kembali bertanya dengan nada mengesalkan.

Aku memutar bola mata.

He’s married.

That’s more than enough. Psikolog itu mengangguk.

Aku mengempaskan punggung di sandaran kursi.

He’s more than enough.

Aku menatap tulisan di layar. That’s exactly why I liked him, bisikku pelan.

Aku bertemu dengannya pertama kali saat dia sedang menulis tentang pilihan metode terbaik penanganan limbah berbahaya di lingkungan rumah sakit. Dia adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Aku saat itu masih seorang mahasiswa yang juga melakukan penelitian untuk skripsi. Topik infeksi nosokomial3 yang kuambil membuatku sering bolak-balik rumah sakit dan kerap menghabiskan waktu di laboratorium untuk memilah hasil pemeriksaan dan kultur pasien rawat inap. Aku ingat telah melihatnya beberapa kali saat berpapasan di laboratorium, namun tidak ada yang menarik perhatianku awalnya.

Suatu ketika, entah bagaimana, dia memergoki aku yang sedang membuang sampah plastik permen yang memang terbiasa kukumpulkan di dalam saku jas putih yang kupakai. Dia tertawa dan memberiku tatapan aneh.

“Ada yang salah?” aku tak tahan untuk tidak bertanya.

Dia lantas menunjuk sampah lain yang tergeletak di sekitar kakiku.

That wasn’t mine,” aku membela diri.

Dia kembali tertawa lebar. “You’re being apathetic?

Aku memikirkan sejenak perkataannya. “No. Aku hanya berusaha untuk mengurusi apa yang aku bisa.”

Pembelaan yang sangat lemah.

Selama setengah jam kemudian aku dan dia bertukar pandangan mengenai kesadaran dan tanggung jawab individu dalam masalah hidup berkelompok. Yang kemudian merembet pada isu pemanasan global yang kutertawakan, hingga akhirnya dia mengajakku makan siang.

“Why?” aku bertanya curiga.

“Because even an antevasin4 needs to eat.”

Kukemasi meja kerjaku. Memasukkan beberapa buku dan pigura foto ke dalam box yang telah kusiapkan. Beberapa lembar jurnal penelitian yang sering kubaca juga kususun rapi ke dalam tempat terpisah.

Mataku menangkap setumpuk berkas yang sepertinya belum kubaca. Setelah kuperiksa, itu adalah daftar perusahaan yang pernah diberikan oleh direktur. Aku menyeringai, menimbang beberapa saat sebelum akhirnya juga memasukkannya ke dalam box.

Another departure.

Aku menelan ludah. Memandang berkeliling dan mencoba mengingat hal-hal menarik yang terjadi di ruangan ini. Duduk di pinggiran meja, kutelusuri tepian kanan kirinya dengan tanganku. How ironic, dari sekian banyak benda, meja ini yang nantinya akan sangat aku rindukan. Untuk alasan tertentu, aku merasa aman jika duduk di belakangnya.

You’re getting too melancholic.

Aku menggeleng pelan. Berdehem kecil, sekali lagi kuputar mata berkeliling, memastikan semua telah terangkut.

Pindah.

“Kau memutuskan untuk pindah kerja?” aku seketika ingat pesan yang dia kirimkan. Aku menerimanya beberapa saat setelah mengiriminya email tentang keputusanku untuk berhenti.

Aku beralasan mengenai kejenuhan yang memuncak serta tawaran gaji yang lebih baik. Dia tertawa mendengarnya.

“Is there something you didn’t tell me?”

As usual. I am an open book for him.

Pintu ruanganku terbuka. Penjaga lantai tempat ruanganku berada tersenyum dan menyapa. “Sudah selesai, Dok? Biar saya bantu antar barangnya.”

Aku membiarkannya. “Saya akan menyusul beberapa saat lagi.”

Dia hanya mengangguk.

Setelah kembali sendirian, aku membuka ponsel dan membaca kembali percakapan kemarin.

Is there something you didn’t tell me?

Ya, dan kuharap kau menghargai keputusanku saat ini untuk tidak berbagi.

‘Saat ini’?

You know I can’t predict tomorrow.

You’re acting weird.

Thank you.

Dan dia tidak lagi membalas.

Sampai sekarang.

Aku menimang-nimang benda itu sebelum kembali memasukkannya ke dalam saku kemeja. Kuambil amplop berwarna cokelat yang telah kupersiapkan sebelumnya dan menuju ruang direktur. Hari ini hari Minggu, namun dia sudah setuju untuk bertemu denganku secara pribadi.

Sampai di depan ruang kerjanya aku mengetuk dan direktur sendiri yang membukakan pintu untukku.

“Selamat sore, Dokter. Bagaimana, sudah selesai beres-beres?”

Aku mengangguk. “Saya ingin berpamitan.”

“Kenapa tidak tunggu besok saja, sih? Kita bisa buat pesta perpisahan kecil-kecilan.”

Aku menahan diri untuk tidak menyeringai sinis.

“Terimakasih. Begini lebih nyaman.”

Direktur mengangguk-angguk. Wajahnya mengesankan dia paham dengan keputusanku. “Dari dulu saya senang dengan dokter karena tidak banyak mengeluh tentang pekerjaan. Sayang sekali kita harus berpisah seperti ini.”

Aku membiarkannya bicara selama beberapa saat.

“Jadi, dokter sudah menghubungi perusahaan yang saya rekomendasikan?”

Aku mengangguk. Direktur tampak senang. Dia bahkan sempat bertepuk tangan kecil, lebih pada puas terhadap dirinya sendiri, kurasa.

“Saya ucapkan selamat bekerja di tempat yang baru.”

Sekali lagi aku mengangguk, “Terima kasih. Saya juga ingin menyerahkan salinan hasil tes yang ketiga. Serta dua tes sebelumnya, saya diminta untuk memberikannya kepada dokter sebagai pimpinan.”

Wanita itu menerimanya dengan hati-hati, seakan amplop itu berisi bom. “Ah. Hasil tes. Baik, terimakasih. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa kita dari manajemen rumah sakit berharap yang terbaik buat semua pihak. Saya senang dokter tidak pernah terlihat terganggu dengan semua mekanisme pemeriksaan yang dilakukan.”

Aku berdehem kecil untuk menutupi senyumku. “Saya permisi.” Di belakang pintu ruang kerjanya yang sudah menutup aku tersenyum lebar. Menyaksikan polah tingkahnya seperti jadi hiburan untuk sesaat.

Menuruni tangga, aku menyempatkan diri singgah di pos penjaga. “Bisakah aku minta tolong. Aku ingin melihat salah satu CCTV ruangan.” Kuselipkan dua lembar proklamator di tangannya.

Di ruangannya, direktur membuka amplop yang tadi kuberikan. Amplop itu berisi hasil tes pemeriksaan HIV/AIDS. Terlihat direktur menarik berkas di dalamnya dengan hati-hati, dia telah mengenakan sarung tangan tipis yang tampaknya telah dia persiapkan sebelumnya. Nanar matanya membaca deretan huruf-huruf yang tertulis. Aku tahu benar apa yang tertulis di sana.

Result: Non Reactive.

Kulihat bibirnya mengerucut. Keningnya berkerut.

Menarik napas dalam, gelombang bahagia yang sejenak kurasakan tiba-tiba menyisakan sedih. Tinggal satu lagi yang harus kulakukan. Kurogoh ponsel dari saku. Mengetik pesan dan mengirimnya pada sebuah nomor yang sudah begitu kuhapal.

Good bye, dear. 

*

  1. penggalan lirik lagu berjudul Dekat di Hati, dari RAN
  2. pin point pupil, kondisi di mana ukuran pupil sangat kecil hampir berupa titik; normalnya pupil manusia berukuran 2-4 mm, membesar dalam gelap dan mengecil saat cahaya berlebih.
  3. nosokomial, jenis infeksi yang didapat pasien dari lingkungan rumah sakit tempat dia sedang dirawat.
  4. antevasin, seseorang yang merasa hidupnya berada di antara batas antara hiruk pikuk dunia dan kesunyian spritual
perempuan gila

perempuan gila dan bayinya yang berusia seminggu

Aku mencintai perempuan gila itu. Perkara itu sudah jelas. Apakah dia membalas perasaanku, tak pernah diketahui. Tak akan pernah.

Karena kini dia sudah mati.

Seorang pengendara mabuk menabraknya saat dia hendak menyeberang jalan. Perempuan itu mati seketika. Peruntungan yang membuat banyak orang ternganga.

Aku juga ternganga.

Terlebih dengan seorang bayi berusia seminggu yang menangis kelaparan dalam pangkuan. Bayi perempuan itu.

Jika dia sedang tak begitu gila, perempuan itu memang cukup pintar untuk sekedar membuat seseorang tertarik pada tutur katanya. Didukung dengan wajah yang manis — dan tentunya peruntungan yang buruk —, seseorang terpesona dan berhasil memperkosanya.

Lalu meninggalkannya begitu saja di tepi jalan.

Jika sebelumnya perempuan itu masih punya sisa kewarasan, maka kejadian tragis itu pasti telah menghapusnya.

Aku bisa melihatnya.

Dalam kunjungan rutin sebelumnya, —perempuan itu adalah pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa tempatku bekerja— meski sendu, masih tampak binar di bola matanya. Setelah kejadian tragis itu, cahayanya padam.

Duduk di ruang tunggu, perempuan itu hanya membisu, merabai perutnya. Mungkin dia tahu kalau dia hamil, bahkan sebelum tes kehamilan memastikannya.

Bajingan itu punya sperma yang gesit sekali.

Maka perempuan itu dijadikan pasien rawat inap, dengan ruangan terpisah dari pasien jiwa lainnya.

Aku lumayan sering memperhatikannya.

Yang membuatku tertarik, seiring membesarnya perutnya, kembali pula kewarasannya. Beberapa minggu sebelum melahirkan, hampir semua orang bahkan yakin dia telah sembuh total. Badannya sintal membengkak, pipinya membulat seperti bakpao, dan senyumnya lebar pada semua orang, sampai anjing pengorek tong sampah yang sering berkeliaran di pekarangan rumah sakit jiwa, tak lupa dia sedekahi dengan senyuman.

Aku ingat, pertama kali meyakini mencintainya, saat melihat senyum itu.

Pekan berganti. Bulan menjelang. Hari persalinannya pun datang, sang bayi disambut dengan sukacita. Untuk sekali waktu yang jarang, rumah sakit jiwa bergembira bukan karena seorang pasien pulang membawa serta kembali kewarasannya.

Bayi mungil itu manis sekali, untunglah tak pernah ada beda yang nyata antara bayi hasil hubungan gelap dan terang. Bayi yang terberkati. Semua orang tahu, tak pernah ada bayi yang terlahir gila. Semua orang berdoa agar peruntungan bayi itu baik, bahkan jika sedikit saja lebih baik daripada ibunya, itu sudah dianggap benar-benar mujur.

Tetapi malang — bagi perempuan itu, begitu keluar isi perutnya, hilang juga aliran listrik otaknya. Mata perempuan itu kembali redup.

Meski begitu dia masih menerima bayinya. Disusuinya sambil sesekali cekikikan. Mungkin kegelian.

Kunjungan rutin berikutnya, aku sedang menyapu seperti biasa saat dokter jiwa datang. Keluar ruangan, wajah suram dokter itu memastikan dugaanku bahwa perempuan itu memang kembali gila. Muncul rencana memindahkan bayinya ke bangsal perawatan lain, untuk memastikan keselamatannya.

Yang terbaik untuk bayinya. Sekarang itu prioritas.

Perempuan itu tentu tak peduli. Dia asyik memilin-milin ujung rambutnya sambil duduk di sudut tempat tidur. Bagian depan bajunya basah.

Dia melihatku sedang bekerja, bangkit dari tempat tidur lalu berjalan mendekat, memanggilku dengan lambaian tangannya.

Aku bertanya, “Kau mau apa?”

Perempuan itu menunjuk boks berisi bayinya.

Yang pertama kali muncul dalam benakku adalah dugaan bahwa anaknya mati dan dia ingin aku menolongnya. Segera aku mengambil kunci serep ruangan dan membukanya. Namun ternyata bayinya baik-baik saja.

Seorang perawat ruangan yang sebelumnya tak kusadari keberadaannya karena mungkin dia sedang di kamar mandi menegurku dan menyuruhku keluar.

“Segera selesaikan pekerjaanmu. Jangan ganggu bayi itu!”

Aku keluar dengan bersungut. Niat baik memang tak selalu mendapat tanggapan serupa. Segera kukemasi sapu dan peralatan kebersihanku. Pergi menjauh.

Namun suara cekikikan di belakangku beberapa saat kemudian membuatku berpaling. Perawat ruangan itu pasti sedang mencret sehingga masuk lagi ke kamar mandi tetapi lupa mengunci pintu ruangan perawatan.

Perempuan gila itu mengikik keluar sambil memeluk bayinya. Aku sigap menyongsongnya karena dia menggendong anaknya bagai seonggok cucian kotor; kepala bayi itu terjuntai-juntai.

“Kenapa kau keluar?”

Dia hanya mengikik dan menarikku pergi ke sudut rumah sakit yang lebih sepi. Sesampai di sana aku melihat anaknya bangun.

“Susui anakmu atau dia segera menjerit.”

Perempuan itu mengangkat bahu dan mengangsurkan bayinya padaku, lalu menyingkap bajunya yang basah.

Aku terperangah.

Kurasa wajah kagetku mengingatkannya pada kejadian tragis saat dia diperkosa karena detik berikutnya dia langsung bangkit dan menjerit histeris layaknya orang gila — dan dia memang gila.

Aku berusaha mengejarnya namun perempuan itu malah berlari lebih kencang.

Melintasi pagar, keluar pekarangan rumah sakit.

Menyeberangi jalan.

*** selesai ***

Terapung 4

Terapung

“Menurutmu, jika kita jatuh, apakah akan mati?”

Anwar menghentikan gerakannya menyuap sup—yang terlalu cair menurutku. Seperti biasa, dia hanya tersenyum, mengerti bahwa itu bukan pertanyaanku sebenarnya.

“Ada banyak teori tentang itu.”

“Tentang mati?”

“Kalau itu cuma satu.” Anwar menegakkan punggung, tiga jam—dan masih terus berlanjut—di perjalanan pasti membebaninya. “Maksudku sebelumnya: apa yang bisa terjadi pada kita—manusia, sesaat setelah pesawat ini jatuh.”

Aku yang tadinya bertanya sekadar membunuh bosan kini tertarik. Meski aku juga sebenarnya tertarik untuk membersihkan bekas sup yang menggaris di sudut kanan bibirnya.

“Ayahku—kau pasti ingat kalau dia seorang dosen; sama sepertimu—dan seorang yang sangat tertarik dengan dunia penerbangan jika boleh kutambahkan. Dia bisa menjelaskan ini lebih baik daripadaku.”

Sesaat pesawat mengalami turbulensi yang cukup kuat. Aku mencoba mengintip di jendela; hanya silau karena kami sedang menembus awan yang berkilau.

“Kita bisa saja jatuh sebentar lagi, dan ayahmu tak di sini, sayangnya,” gumamku.

Anwar tersedak dan tertawa. Atau sebaliknya.

Yang mana saja. Aku senang karena merasakan hangat yang menyeruak di dada saat mendengarnya tertawa. Atau melihatnya.

Yang mana saja.

Anwar tak sering tertawa, seingatku. Terutama sejak diagnosis kanker saluran empedu dia terima. Sulit untuk melihatnya tertawa lepas tanpa harus mengeluh sekali lagi tentang kondisi medisnya. Kuperhatikan sekali lagi saat Anwar menyekakan sudut tisu basah di sela-sela jarinya, berhati-hati memastikan sepotong kertas itu akan cukup untuk kedua tangannya.

Kisah tentang sakitnya Anwar akan sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang daripada perjalanan di pesawat ini. Singkatnya, aku ingat Anwar menutupi rasa jengah yang nyata di air mukanya ketika aku dengan penuh penasaran membahasnya: aku mengakui bahwa gaya hidupku salah—dan kemudian itu menyebabkanku sakit. Aku mengutip kalimat lengkap Anwar di sana.

Tentu saja bukan itu penyebabnya. Gaya hidup yang mana? Aku dan Anwar berteman sejak kecil, berpisah saat masing-masing melanjutkan pendidikan dan bekerja. Menikah dengan pasangan masing-masing. Suamiku meninggal sementara Anwar bercerai. Lima tahun lalu kami bertemu dan Anwar belum dengan diagnosisnya. Jadi aku sendiri masih belum terbiasa dengan kondisi emosi Anwar. Ini semacam versi tambahan darinya. Anwar dan kanker. Penyakit dan Anwar.

Sekali lagi, bukan gaya hidup Anwar penyebabnya, aku yakin itu. Namun kita sebagai manusia (hampir selalu) butuh pelampiasan sebagai alasan untuk menyalahkan diri sendiri bukan?

Terlebih dengan penyakit yang muncul begitu perlahan hingga baru terdeteksi saat sudah terlambat.

“Belum,” tukas Anwar.

Aku tersentak, memalingkan wajah dari gumpalan awan-awan putih yang sepertinya lembut untuk dipegang.

Anwar mengerti kebingunganku, dia mengangkat pergelangan tangannya.

“Aku belum menyetel jam,” kembali diperhatikannya wajahku, sekilas senyum terbit di sudut bibirnya, yang menghilang begitu dia kembali membuka suara,”kau kerap melamun belakangan ini.”

Aku mengambil pergelangan tangannya, memperhatikan posisi jarum yang baru saja dia ubah. “Hanya selisih dua jam,” aku berlama-lama menggenggam tangannya.

Pernah beberapa kali aku memberitahu Anwar betapa jari-jari tangannya terasa besar saat menangkup di tanganku. Namun entah kenapa rasanya pas. Aku ingat kami bisa berjam-jam duduk di teras rumah berpegangan tangan. Anwar membaca buku dan aku mengintip sela-sela halamannya; lebih banyak membebani bahunya yang beraroma lavender—karena aku selalu menyeterika bajunya dengan parfum lavender. Sesekali Anwar terusik dan mengangkat bahunya seakan menyuruhku menjauh. Aku akan bersungut pergi lalu kembali membawa kudapan untuk menemaninya menghabiskan senja.

“Ada alasan kenapa manusia menyematkan cincin pada jari pasangannya,” jawabnya saat itu. Beberapa menit kemudian dia habiskan untuk menceritakan kebiasaan manusia saat mengklaim manusia lain sebagai pasangan hidup: memberi cincin, melukis tato, menusuk bagian tubuh, banyak lagi, beberapa membuatku meringis.

“Tidak semua melakukannya.”

“Kebanyakan melakukannya.”

“Kau tidak.”

Anwar melempar pandangan mencela.

“Aku tidak melakukannya.”

Ada nada bangga saat dia mengucapkannya. Beberapa obrolan kami saat petang kadang berulang layaknya pasangan yang mulai menua. Perdebatan yang terjadi juga tak pernah usai meski kami berjanji untuk tak melakukannya sesering sebelumnya.

Jemarinya jauh lebih kurus sekarang. Aku menepuk-nepuk punggung tangannya sebelum mengembalikannya. “Hanya selisih dua jam,” ujarku sekali lagi.

“Katakan itu pada orang sekarat, mereka akan sangat menghargai detik yang mereka punya.” Anwar mengedip, sekali lagi memeriksa jamnya, “Ini mengasyikkan. Kita harus sering berpindah untuk mengejar waktu yang lebih pagi.”

Aku urung tersenyum. Menahan cekat yang tersendat. Tak pernah nyaman jika Anwar kembali pada mode aku-akan-segera-mati-mari-kita-menyiapkan-kuburan-di-depan-halaman-oh-sebentar-sepertinya-aku-harus-mati-di-tempat-lain-mari-kita-jalan-jalan—yang biasanya akan berakhir pada aktivitas mengunci diri di kamar hingga keesokan hari.

Beruntung tak ada kamar yang bisa dikunci di dalam pesawat.

Mungkin ada, namun Anwar dan aku tak mampu membayar tiketnya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Anwar berdeham, menghabiskan isi gelasnya. “Tentang jatuh dari pesawat?”

Aku mengangguk. Kumiringkan sedikit tubuhku.

Baru kusadari bahwa penumpang yang tadi ada di sisi Anwar telah pergi. Pesawat memang tak penuh jadi bisa saja dia merambah kursi kosong lainnya—untuk tidur, atau sekadar menghindari obrolan kami berdua: pasangan yang tak pernah berhenti bicara. Salah satu tipe teman perjalanan yang harus selalu dihindari.

“Kita akan terapung.”

Aku mengernyitkan kening.

“Kau tahu maksudku.”

Aku menggeleng. “Tentu tidak, kau harus menjelaskannya.”

Seorang pramugari dengan cekatan memungut mangkuk sup dari depan Anwar, tersenyum sopan namun seakan menanyakan apakah dia juga bisa sekalian mengangkut gelas—sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui. Anwar mengangguk paham meski terlihat sedikit enggan menyerahkan gelas kertasnya begitu cepat. Aku sendiri sudah sejak tadi mengembalikan sisa sup dan jusku—tentunya setelah mengisi komentar tentang keduanya pada lembar kuesioner penumpang yang terselip di dalam majalah; kuharap seseorang membacanya. Atau sebaliknya.

Pramugari itu berlalu dengan cepat, kepalanya cekatan berpaling ke dua sisi pada tiap langkah untuk memastikan tak ada gelas atau mangkuk yang terlewat. Senyumnya tetap melekat.

Luar biasa.

Mungkin Anwar perlu belajar tersenyum padanya. Aku tersenyum sendiri memikirkan ide itu.

“Katakanlah pesawat ini meledak,” Anwar membuka suara.

“Meledak?”

“Ya, meledak.”

“Seperti apa maksudmu? Meledak seperti kembang api? Di film selalu digambarkan bagian pesawat yang patah lalu sisanya berkeping-keping jatuh. Meledak tak cukup pas rasanya.”

“Tentunya bukan seperti kembang api.”

“Lalu seperti apa?”

“Apa skenario yang terbayang olehmu? Ini bukan bagian dari tulisan yang kau akan uji logikanya, kan?”

Aku tertawa mendengar nada kesal Anwar.

“Kupikir pesawat tak akan meledak di atas sini?”

“Oh, kau membicarakan tentang risiko yang lebih besar pada pendaratan dan lepas landas?”

Aku mengangguk. “Kupikir kita seharusnya aman di atas sini.”

“Menurutmu apa yang bisa menyebabkan pesawat ini jatuh—dan tidak meledak dalam proses itu?”

Aku terdiam. “Bisakah kita jatuh karena awan-awan?”

Anwar mengangguk. “Kurasa bisa. Kurasa aku pernah membacanya di suatu tempat.” Dia menggaruk lengannya perlahan. Aku bisa melihat warna kekuningan itu menyebar pelan terbagi oleh bekas jari-jari dan kemudian kembali menyatu. Anwar kembali berucap, “Lupakan pertanyaanku tadi. Menurutmu sendiri, apa yang terjadi saat kita jatuh?”

Sesaat yang terbayang olehku adalah tukikan tajam layang-layang yang dulu sekali sering aku mainkan saat kami masih duduk di bangku SD. Barisan awan-awan dengan mudah menampilkan sekelumit memori cengiran nakal Anwar setiap kali dia menarik benang kala angin menguat (di mana seharusnya dia mengulur benang) dan layang-layang akan secara otomatis tersentak mencari keseimbangan baru yang umumnya akan berupa gerakan menukik tajam. Atau putus sama sekali.

“Kita akan terapung,” tanpa sadar aku mengucapkannya. Lebih karena aku membayangkan layang-layang putus. Terayun tenang seakan melambaikan salam perpisahan pada seutas benang yang pernah begitu erat merangkulnya.

Apakah layang-layang bahagia?

Saat aku mengembalikan pandangan pada Anwar, dia sedang bertopang dagu mengamatiku. Tak ada senyum di sana.

“Apakah kau bahagia?” gumamku, setengah bertanya.

Anwar menarik tanganku, menggenggamnya di antara kedua tangannya sendiri. “Itu bukan pertanyaan untuk kita.”

Senyumnya terbit saat mengakhir kalimat itu.

Terdengar pengumuman tentang pesawat yang akan segera mendarat.

Anwar menyorongkan tubuhnya, mengintip. Ini pertama kalinya kami berkunjung di kota K. Raut wajahnya terlihat puas.

Aku turut memastikan. “Aku tak tahu kalau pohon kelapa yang berbaris bisa terlihat begitu menarik dari atas sini.”

Anwar tersenyum—kurasa kami memang harus sering bepergian.

“Kau yakin itu pohon kelapa?”

“Huh?”

Anwar menepuk punggung tanganku lembut. “Semuanya terasa menarik karena ada pembanding.”

Aku mengintip lagi. Tapi tetap tak mengerti.

Anwar menegakkan sandaran kursinya seraya berujar, “Tahu kenapa Tuhan membangun kerajaan-Nya tinggi di atas sana? Karena segalanya menarik dari kejauhan. Terlalu dekat—Dia pasti muak pada kita-manusia.”

Aku tak tersenyum. Guncangan pesawat semakin terasa.

“Sebenarnya sekarang saat yang tepat untuk membahas teori pesawat meledakmu,” balasku.

Anwar terkesima, aku tertawa sampai menutup mulut.

Saat itulah aku merasa terapung.

Kurasa Anwar juga.