Radio 1

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran radio favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet! 

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…! 

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…! 

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****

Author: Harun Malaia

8 thoughts on “Radio

  1. Saya mulai mencoba memulai lagi membaca Cerpen, tapi cerpen di blog ini kata katanya indah tertata. Sastra sekali. Saya suka. Kok beda ya dengan cerpenis yang sudah sering muncul di media, utamanya cara menyajikan dgn kata-katanya lembut lho.

    1. Halo, salam kenal Apin (mudah-mudahan nggak salah panggilan ya). Terima kasih banyak sudah suka dengan tulisan saya di sini. Semoga betah ya. 🙂

Tinggalkan Balasan