Arsip Tag: harun malaia

Mengubur Kesedihan 1

Mengubur Kesedihan

Aku sangat senang karena beberapa hari menjelang akhir tenggat #nulisbareng kali ini, ada yang mengirimkan tulisannya, hence the title ‘mengubur kesedihan’, hehe. Harus kuakui, kali ini aku sedikit keteteran promosi event, ahahaha. Kupikir akan lowong (dan memang seharusnya lowong), tetapi ternyata ada beberapa hal yang sempat aku tunda di waktu lalu, ndilalah muncul sebagai hal yang harus diselesaikan dalam minggu-minggu ini.

Toyor kepala sendiri.

Tapi ya, aku senang sekali karena tiga tulisan yang masuk kali ini, terasa lepas dan jujur. Mungkin batasan kata yang sebelumnya ada, membuat tantangan kali ini bisa dijadikan tempat meluahkan keluh-kesah. Terima kasih banyak untuk Nara Lahmusi, Putri Brilliany, dan Din Jagga yang sudah berbagi kisah-kisahnya, ya! Semoga sesuai judul post, tulisan ini juga bisa buat kalian mengubur kesedihan yang kalian punya!

Seperti biasa, aku akan berikan ulasan pribadi untuk ketiga kisah ini.

1. Batuk. Dari sisi gaya menulis, aku melihat banyak kemiripan antara tulisan Putri dan tulisanku sendiri (dalam beberapa cerpen). Cara kami bertutur, dan menggelindingkan kisah dengan menggunakan simpul-simpul pikiran. Hal ini membuatku sedikit mengerutkan kening ketika menurutku kisahnya bisa dibawa ke arah lain, saat penulis membawanya ke arah yang berbeda. Tentu saja, itu tidak mengurangi kesenanganku membaca kisah kontemplasi berjudul Batuk ini.

Lewat kejadian super singkat (seharusnya), kita bisa menyaksikan puntiran balik dalam hidup tokoh utama, dan meski banyak hal menyedihkan yang terjadi di sana, aku merasa senang dengan penutup kisah. Terkesan klise, tapi setidaknya ada closure yang jelas, bahwa di balik kejadian sederhana ada lapisan trauma, rasa malu, dan ketidakadilan sosial yang tak seharusnya dialami siapa pun. Hal-hal kecil seperti batuk yang menjadi simbol penderitaan (lahir dan batin) menunjukkan bagaimana sesuatu yang terlihat sepele bisa menjadi cermin dari luka yang lebih besar.

Jika aku harus memberi masukan, aku akan mempreteli beberapa kiasan yang kerap berkelindan saat penulis menguraikan cerita. Tidak semua, tentu saja, tapi ada beberapa yang menurutku sedikit jadi rem saat cerita harusnya sudah bergulir lancar. Tentu saja aku pikir ini gaya khas penulis sih. Seru ceritanya!

2. Fasad. Bertolak belakang dengan Batuk, cerpen ini hampir tak menggunakan kiasan dalam penuturannya, cenderung lurus dengan pemaparan yang apa adanya. Penulis menggunakan permainan kata yang aman karena kisah yang ditawarkan sebenarnya adalah kisah yang sangat alami. Aku tentu saja berharap cerpen ini memberi ruang untuk bertanya lebih, tentang kenapa kisah ini harus dituliskan, atau apa yang menjadi motivasi tokoh utama, atau pergolakan batin yang mendasari kisah terjadi. Cerpen ini juga lebih terasa seperti kritik sosial tentang keserakahan dan ambisi pribadi daripada eksplorasi mendalam tentang hal-hal yang “tak seharusnya terjadi.” Terlepas dari itu semua, cerpen ini salah satu yang jujur sekali dalam memberi nasihat. Well done!

3. Mencuri Wajah Bapak. Dari judulnya saja, aku sudah menduga akan segelap apa cerpen ini, dan aku tak kecewa. Terlepas dari mungkin di luar sana ada beberapa cerpen yang sudah mengangkat tema serupa, kisah-kisah semacam ini tak akan pernah hilang dari peredaran, dan kita perlu mengapresiasi berbagai sudut pandang yang terus ditawarkan. Aku bisa merasakan apa yang dialami oleh tokoh dalam cerpen, dan aku yakin banyak yang seperti itu. Penulis mampu menyusun cerita dengan rapi dan hati-hati agar rentetan kisah yang terjadi tak terkesan dipaksakan.

Cerpen ini sangat kuat dalam menggambarkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi: seorang anak yang ingin mencuri wajah ayahnya, baik secara simbolis maupun literal. Ada unsur ironi yang gelap— yang melibatkan keajaiban dan pengkhianatan terhadap orang yang mencintainya. Twist tentang wajah asli Bapak juga memperkuat gagasan bahwa dunia penuh dengan “topeng” yang seharusnya tak ada. Cerpen ini menonjol karena tidak hanya bermain di ranah fantasi, tetapi juga menyoroti moralitas manusia secara mendalam. Semoga yang sedang ‘luka-luka’ segera disembuhkan oleh dunia. Ayoo, mari kita kubur kesedihan itu!

Semoga berkenan dengan komentar dariku, ya! Semangat terus menulis!

Tentu saja sesuai janji, ada dua orang yang beruntung dalam event kali ini yaitu Putri dan Nara. Selamat! Sementara untuk Dina, jika berkenan I have 75k for you too! Semua nanti boleh japri (DM Twitter/Whatsapp/IG) untuk klaim insentif nulisnya, ya. 🙂 Sampai ketemu lagi bulan-bulan mendatang. Dan semoga topiknya bisa jauh dari mengubur kesedihan, hehe.

mengubur kesedihan
menuju akhir

Menuju Akhir!

Hei, hei! Beberapa hari lagi menuju akhir 2024, dan meski aku nggak berhasil benar-benar nulis tahun ini, aku senang bisa mempelajari beberapa hal baru, salah satunya Bahasa Arab! Aku memang belum bisa bicara lancar seperti yang aku inginkan, tapi aku cukup senang karena setidaknya tahun depan aku punya tujuan memperbaikinya, ehehe.

Postingan kali ini, untuk kembali ngajak #nulisbareng ya. Mirip dengan event-event sebelumnya, sederhana aja sih: silakan nulis cerpen, share laman yang bisa aku akses, dan kalau berkenan akan aku pertimbangkan untuk dapat insentif nulis. Kalau di flyer aku tulis ‘kalau beruntung’ sih, karena kadang semua entry bagus-bagus, sehingga aku tutup mata terus hitung kancing (becanda).

Info event kali ini ada di gambar ya. Silakan masukkan pranala/link tulisan kalian via komen, biar aku (dan yang lain, sekiranya mereka mau ikutan baca) bisa baca sebelum tenggat berakhir. Kalau ada yang kurang jelas, langsung ditanyakan saja, ya! Selamat bersenang-senang menulis, selamat menuju akhir tahun, kawan!

*btw Ambon hujan lagi beberapa hari ini, hiks.

menuju akhir
Maut Melengking di Gang Buntu 6

Maut Melengking di Gang Buntu

“Kau tahu mengapa mereka menyebutnya ‘gang buntu’?”

Huh?

“Karena sesuatu yang buntu dijajakan di sana.”

“Pasien itu datang mengeluhkan rasa sakit di pinggangnya. Katanya dia mau melahirkan. Saat diperiksa tekanan darahnya tinggi. Saya sebenarnya sempat merasa curiga, ketika dia dan temannya memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama.”

“Pertanyaan apa?”

“Suaminya di mana.”

“Pasien itu pre-eklampsia1. Saya sudah konsultasikan kepada dokter kandungan yang bertanggung jawab. Beliau putuskan untuk di-ter-mi-nasi.”

“Apanya?”

“Apanya?”

“Yang diterminasi.”

“Kehamilannya.”

Polisi itu terlihat malu.

“Saya pikir pasiennya.”

“Salah satu risiko dari pre-eklampsia berat terhadap janin memang seperti itu. Kita sudah memutuskan untuk merujuk bayinya ke rumah sakit yang lebih lengkap, tapi keluarganya menolak.”

Lha, katanya dia tak punya keluarga di sini?”

“Temannya itu mengaku keluarganya. Ternyata bukan.”

“Lalu siapa?”

“Ternyata ibu kosnya.”

“Warga menolak karena ibunya tidak punya identitas yang jelas. Bahkan katanya belum lapor dengan RT. Mereka tidak mau memakamkan bayinya sampai identitasnya jelas.”

“Jelas bagaimana?”

“Ya, pokoknya jelas. Mereka takut aib.”

“Yang aib itu kalau menolak memakamkan bayi yang tidak tahu apa-apa tentang identitas kita semua.”

“Jadi sebenarnya dia punya suami apa tidak?”

“Menurutmu?”

“Buktinya dia hamil.”

“Dayang Sumbi hamil dengan seekor anjing.”

“Itu kan cerita.”

“Itu sindiran.”

“Sekarang yang jadi masalah sebenarnya apa? Masalah pemakaman? Identitas pasien? Yang bertanggung jawab membayar? Aku bingung.”

“Semua juga bingung.”

“Bisakah kau periksa tekanan darahku?”

“Bisakah aku memeriksanya di lehermu?”

“Dokter bisa membantu untuk memimpin sholat?”

“Sudah bisa dimakamkan?”

“Sudah. Tapi bayinya baru dimandikan.”

Oh.

“Bisa?”

“Bisa. Umh. Lima menit. Saya google dulu.”

“Intinya, rumah sakit ditegur karena memberikan persetujuan penolakan tindakan rujuk padahal yang menandatangani bukan keluarga inti pasien.”

“Kan tadi sudah dijelaskan kalau terjadi salah paham.”

“Iya, itu bukan pembenaran, tapi bisa dijadikan pembelajaran.”

“Lalu kalau benar-benar tidak ada yang bisa bertanggung jawab?”

“Menurutmu?”

“Kau pernah ke Gang Buntu itu?”

“Menurutmu?”

“Kau tersinggung ya?”

Semua orang tersinggung pagi ini.”

“Aku tidak.”

“Itu menjelaskan semuanya.”

“Lalu mengapa warga membiarkan mereka tetap jualan?”

“Menurutmu?”

“Karena masih ada yang beli?”

“Menurutmu?”

“Menurutku, kau tak pernah suka padaku.”

“Menurutmu?”

— 

Kasih Bersemi di Bulan Mei

I LOOVE this month. As always. Ahahaha.

I’m going to have my birthday in few more days, dan meski nggak merayakannya secara spesial (you knew it already, old reader), ku selalu merasa hari itu spesial. Seumpama cerita, ada kasih yang selalu bersemi di bulan ini. It belongs to me, ehehe. (jijik sendiri T_T)

Terus, anak-anak kan sudah pada belajar baca kalender, naah, mereka juga diajarin ibunya menandai tanggal kelahiran, haha, jadilah mereka tahu kalau saya lahir di bulan ini. Anwar juga di bulan ini. Alhamdulillah.

Singkat cerita, menindaklanjuti (halah) keseruan nulis sebelum Lebaran kemarin, kali ini mari kembali menulis. Yaa, nggak jauh bedalah dengan kemarin. Tetap nulis cerpen, cuma kali ini tenggatnya sedikit lebih lama, jadi mungkin punya banyak waktu untuk menulis lebih matang. Informasinya sudah tak rangkum dalam poster berikut. Kalaupun ada yang kurang jelas, silakan ditanyakan yak! Semangat menulis! 🙂

Kasih Bersemi di Bulan Mei 8
Arwah 10

Arwah

Kurang lebih sejak tiga bulan yang lalu, arwah istri saya datang berkunjung ke rumah. Saya mengenalinya karena dia mengenakan pakaian kesukaannya. Terusan warna krem yang jatuh tepat di bawah lutut, bermotif bunga bakung. Entah dari mana dia mendapatkannya, seingat saya semua pakaiannya sudah saya sumbangkan karena saya tidak sanggup mengenang kepergiannya yang begitu tiba-tiba.

Awalnya, saya sedikit takut karena biar bagaimanapun dia adalah arwah, bukan manusia. Saya kemudian menceritakan hal tersebut pada Ibu saya yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Ibu menasihati agar saya segera mengikhlaskan kepergian istri saya, mungkin beliau berpikir saya hanya mengada-ada atau berhalusinasi. Saya tidak memaksa Ibu untuk percaya karena memang dia tidak terlalu senang mengurusi hal-hal semacam itu. 

Kembali kepada arwah istri saya, di permulaan kedatangannya, dia hanya lewat-lewat di teras. Memeriksa pot-pot bunga yang terlihat kering. Beberapa saat kemudian dia menghilang. Saya yang menyadari hal itu segera menyiram deretan bunga itu. Beberapa hari kemudian, arwah istri saya datang lagi, kali ini dia terlihat bolak-balik di sekitar tumpukan pakaian kotor berjamur, di ruang pencucian. Tak menunggu lama setelah arwah itu pergi, saya membeli deterjen dan menyalakan mesin cuci. 

**

Demikianlah permulaan rutin arwah itu berkunjung. Sempat saya berpikir apakah saya sedang bermimpi, karena tak ada tanda-tanda nyata kehadirannya. Sampai kemudian saya mendapati arwah istri saya itu mulai berani masuk ke rumah, dan mulai menyenggol barang-barang. Jika di awal kedatangannya dia hanya duduk-duduk sebentar, baik di teras, atau berkeliling di dapur, belakangan dia tinggal lebih lama. Kadang, saya terkaget-kaget sendiri karena tiba-tiba sudah ada dia di dalam kamar, tergolek di atas tempat tidur. Atau di kamar mandi, menyalakan keran air sampai tak ada yang tersisa untuk saya mandi di pagi hari. Kalau sudah begitu, saya memilih menyingkir ke ruangan lain, berpura-pura tak menyadari keberadaannya, sampai akhirnya dia pergi.

Lambat laun, saya pun terbiasa dengan kehadirannya. Meski kami tak saling menyapa, saya cukup terhibur dengan pengetahuan kalau arwah itu sedang ada di suatu sudut rumah. Misal di malam hari, jika saya terbangun untuk kencing, atau sekadar minum air, saya tidak lagi merasa aneh jika mendapati arwah itu mondar-mandir di ruang tamu, melihat-lihat foto-foto berpigura di dinding, atau album yang saya simpan di dalam laci. 

Suatu kali, ketika dia pergi dan tidak mengembalikan album itu ke tempat semula, saya mengintip apa yang lama dia pandangi. Ternyata, dia sedang melihat-lihat album anak kami satu-satunya, yang sedang kuliah di luar kota. Saya sedikit terenyuh menyadari hal itu. Mungkin, arwah istri saya merasa rindu. Sempat tercetus niat untuk menelepon anak saya, atau video call saat arwah itu datang bertandang, tapi saya khawatir jika anak saya mengira saya sudah gila. Sama seperti Ibu saya, yang tetap mengira, saya hanya terlalu rindu pada mendiang istri saya itu. 

Memang saya akui kalau saya sangat rindu pada istri saya, tapi saya juga sangat sadar bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia, tak mungkin hidup lagi. Kecuali istri saya penganut ilmu hitam yang membikinnya tidak bisa mati, dan saya yakin istri saya tidak begitu. Lagipula, saya tidak menginginkan hal-hal lebih pada arwah istri saya ini, seperti yang sudah saya sampaikan, saya sudah cukup bahagia dengan perasaan bahwa saya tak lagi sendirian di rumah sebesar ini. 

**

Namun, ada beberapa hal yang mulai mengusik rasa tenteram di hati saya. 

Yang pertama, sekitar satu minggu lalu, seseorang berpakaian hitam-hitam, melintas di depan rumah saat saya sedang duduk-duduk minum kopi di teras. Dia menggunakan sepeda motor tua, yang tiba-tiba saja dia rem, lalu berhenti tepat di depan rumah saya. Pekarangan saya cukup luas dan ditumbuhi bunga-bunga dan pohon tinggi, jadi dia tak melihat keberadaan saya, tapi saya cukup jelas melihatnya. Laki-laki berbaju hitam itu turun dari sepeda motornya, berdiri di depan pagar, wajahnya tampak tak senang. Keningnya berkerut, lama-lama makin dalam. Matanya nanar memandang rumah saya secara keseluruhan. Paling lama dia menatap daerah sebelah kanan rumah saya, yang setelah laki-laki itu pergi, baru saya sadari, ada arwah istri saya sedang berdiri di sana. 

Arwah istri saya tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki berbaju hitam itu, karena dia hanya tegak berdiri, dengan pandangan lurus ke jalan. Barulah setelah laki-laki itu benar-benar lama pergi, dia menundukkan pandangan. 

Lalu menoleh pada saya. 

Itu kali pertama, saya dan arwah itu bertukar pandang sejak berbulan-bulan ini. 

Dan untuk pertama kali juga, saya baru menyadari, bahwa parasnya sama sekali tak menyerupai istri saya. Secara keseluruhan, penampakan tubuhnya memang seperti istri saya, rambut tergerai sebahu, punggung yang sedikit membungkuk, dan ditambah pakaian kesukaannya yang secara otomatis langsung membentuk gambaran lengkap istri saya. 

Namun wajahnya, terlihat berbeda. Jauh lebih tirus dan terutama matanya yang sangat cekung sehingga bola mata arwah istri saya itu terlihat sedikit membelalak. 

Saya buru-buru menurunkan pandangan saat itu. Menghabiskan kopi, lalu pindah ke ruang tamu. 

**

Kejadian berikutnya, yang lebih mengganggu pikiran saya, adalah ketika rumah saya kedatangan tamu. Beliau adalah imam masjid yang tinggal beberapa blok dari rumah saya. Sore itu datang terkait sumbangan masjid yang saya berikan saat istri saya meninggal. Saya memang menyedekahkan banyak hal atas nama istri saya untuk masjid, berharap itu mempermudahnya di alam sana.

Jadi, saya sedang sendirian di rumah, perlu saya jelaskan hal ini karena memang belakangan, arwah istri saya datang hampir setiap hari dan bertahan sepanjang hari. Khusus sore itu, hanya ada Pak Imam dan saya yang berbincang di ruang tamu. Saat datang, wajah Pak Imam tampak tak sehat. Memang beliau setahu saya sudah lama sakit kencing manis, tapi sore itu, beliau lebih pucat dari yang pernah saya ingat. Namun, bukan itu yang meresahkan saya—tentu saja saya khawatir pada kesehatan Pak Imam, tapi tak sampai masuk terlalu dalam ke benak saya, setidaknya belum. Pak Imam sedang menyampaikan beberapa hal, termasuk ucapan terima kasih dari ibu-ibu pengajian yang sudah saya berikan banyak hal, ketika terdengar ribut-ribut. 

Sumbernya dari arah dapur. Kami berdua tentu terkaget. Pak Imam sempat berseloroh bahwa kucing saya sedang mengamuk, karena memang ramai sekali bunyinya, seperti piring beradu dan kuali dihempaskan. Namun, karena saya tidak punya kucing, saya menunggu sejenak suara itu berhenti. Karena firasat saya, itu hanya angin. Memang pintu belakang saya biarkan terbuka lebar. 

Ternyata bukan angin. Ketika suara ramai itu tak kunjung berhenti, saya beranjak memeriksanya di dapur. Pak Imam menunggu di ruang tamu. Saat itulah saya melihat kalau arwah istri saya sedang bertengger di atas dinding. Kedua kaki dan tangannya menempel laksana cecak besar, dan sesungguhnya saya sangat kaget. Hampir pingsan rasanya. Arwah itu terus berdiam diri di sudut langit-langit rumah, memunggungi saya. Dapur berantakan, kompor menyala, dan saya duga arwah itu yang melakukannya. Entah dengan alasan apa. 

Saya buru-buru mematikan kompor, mengambil minuman dari kulkas lalu membawanya ke ruang tamu. Saya bilang hanya angin, sebagai penjelasan pada Pak Imam. Dan memang suara itu sudah berhenti saat saya meletakkan gelas di atas meja.

Kami berdua kembali berbincang, meski pikiran saya sudah tidak penuh lagi pada apa-apa yang dikatakan Pak Imam. Saya hanya mengangguk-angguk seperlunya, dan berbasa-basi di sana-sini. Lalu sejurus kemudian, tiba-tiba arwah istri saya keluar dari dapur, menuju pintu depan. Melintasi kami berdua. Saya hanya melihatnya dari ekor mata karena arwah istri saya itu melesat seperti kecepatan kucing yang diburu saat mencuri sesuatu. Tapi yang saya tidak duga, Pak Imam sepertinya juga melihat arwah itu, karena wajahnya langsung seperti kehilangan darah. Dan saat memegang gelas untuk minum air yang saya suguhkan, tangannya gemetar hebat. 

Pak Imam buru-buru pulang, tidak mengatakan banyak hal. Di malam hari, saya mendapati pesan darinya di ponsel saya, menyuruh saya agar berhati-hati. Dia bilang, dia melihat ada jin yang mondar-mandir di rumah saya. Dan dari apa yang beliau pahami, jin itu bukan jenis jin yang baik perangainya. Saya bimbang harus membalas apa, tapi pada akhirnya saya hanya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan saya berjanji untuk berhati-hati.

**

Keesokan paginya saya kembali mendapat pesan di ponsel, tapi kali ini dari grup rukun tetangga. Mengabarkan kalau Pak Imam sudah meninggal dunia, kepalanya terbentur keras saat terpeleset di kamar mandi. Sudah meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Tentu saja itu menyedihkan, dan mengagetkan buat saya, karena kami baru berjumpa sehari sebelumnya. Saya sempat sampaikan perihal itu di grup, menyatakan bahwa hidup memang kadang seperti itu. Kita harus banyak mempersiapkan diri, semoga diberikan kemudahan dalam kehidupan dan kematian, dan banyak anggota grup yang mengamini apa yang saya katakan.

Saya sudah berniat untuk mengunjungi rumah Pak Imam pagi itu. Saya kirimkan pesan ke kantor, bahwa akan sedikit terlambat. Namun, hal berikutnya, yang membuat darah saya berdesir sangat kencang, adalah saat saya menyadari, bahwa di depan pintu kamar saya, sudah berdiri arwah itu. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak memang sengaja menunggui saya tidur. Saya tidak tahu dia sudah berapa lama di sana. Saat itu, kali kedua kami berpandangan.

Saya semakin yakin, kalau raut wajahnya, semakin tidak mirip istri saya. 

Perasaan takut yang muncul di awal-awal kedatangannya beberapa bulan lalu, kini datang kembali. Kali ini, saya merasa tak tenang dengan kehadirannya. 

Saya menunggu beberapa saat sebelum bangkit dari kasur, biasanya arwah itu akan segera pergi dengan sendirinya. 

Namun, tidak, kali ini, dia tak kunjung pergi. 

Malah, dia berjalan mendekat. 

Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur. Berjalan memutarinya, dan segera mandi, membersihkan diri. Saat itulah terpikir dalam benak saya, apakah Pak Imam terpeleset karena sakitnya, atau ada sebab lain. Pikiran itu mengganggu saya sampai sedikit sakit kepala. Saya memutuskan untuk benar-benar berhati-hati pada arwah itu. Saat keluar dari kamar mandi, saya tidak menemukannya lagi. 

Di rumah Pak Imam, saya kemudian bertanya-tanya dengan nada ringan pada tetangga yang sedang bertakziah, adakah yang berpengalaman mengusir jin dari rumahnya. Ternyata banyak juga yang punya cerita tentang jin dan arwah, walau rata-rata hanya dari mulut ke mulut. Tak ada yang mengalaminya langsung. Meski demikian, saya tetap mencatat beberapa nomor telepon yang mereka berikan, siapa tahu ada yang bisa saya hubungi nantinya. 

Dari rumah Pak Imam, saya berniat kembali untuk berganti pakaian kerja. Di depan gerbang rumah saya, terlihat sesosok berbaju hitam yang dulu pernah mampir dan melihat-lihat. Saya ingat padanya karena dari kejauhan, gelagatnya sama. Celingak-celinguk dari depan pagar. Dan saat melihat kedatangan saya, orang itu segera menyalakan motornya dan seperti bersiap akan pergi. Namun, entah apa yang menyebabkannya mengurungkan niat, karena saya lihat dia turun kembali dari motornya. 

Saya ragu-ragu untuk pulang. 

Laki-laki berbaju hitam itu tetap di sana, memandang lurus pada saya. Wajahnya terlihat menyeramkan. 

Saya menghentikan langkah dan menimbang-nimbang. Mungkin, laki-laki itu paham dengan ketakutan saya. Karena kemudian dia menuntun motornya, mendekat pada saya. Saya pikir dia akan berhenti namun tidak, dia terus berjalan melewati saya. Sepintas lalu, saya mendengarnya berucap saat badan kami bersisian. 

“Hati-hati.”

Hanya itu. Lalu sosok berbaju hitam itu melaju kencang.

Saya lantas mencoba berdiri di tempatnya melihat-lihat tadi, meski saya tak bisa melihat ada apa-apa yang aneh pada rumah saya. Kecuali kemudian, saya melihat ada yang bergerak-gerak di atas pohon, dan saat saya mengangkat wajah, arwah itu sedang bertengger di salah satu cabangnya. Matanya tajam menatap pada saya. Entah karena dia sedang menaiki pohon, atau karena masih pagi dan cahaya matahari membelakanginya, saya melihatnya sedikit tak terlampau jelas, tapi saya yakini penampilannya tidak seperti dulu lagi. Dia memang masih memakai pakaian istri saya, tapi rambutnya sudah semakin kasar dan awut-awutan, wajahnya juga semakin tirus, dan yang paling membuat leher dan punggung saya mendingin, adalah matanya yang seperti sumur gelap nan hitam. 

Saya buru-buru masuk ke rumah. Hanya untuk mendapati arwah itu sudah berada di sana duluan. Dia berdiri tepat di tengah-tengah ruang tamu, lekat-lekat memandangi saya. 

Seperti tadi pagi, saya berjalan memutarinya. Namun, ekor mata saya dapat melihat kalau kali ini dia terus mengikuti langkah-langkah yang saya ambil. Saya masuk kamar dan berganti baju. Baru saya sadari saya berkeringat banyak dan rasanya sesak napas. Tapi saya berusaha tetap tenang dan bersikap biasa saat keluar kamar, bersiap pergi kerja.

Arwah itu menghalangi pintu dan tak ada tanda-tanda dia akan menjauhinya. Saya mencoba keluar lewat pintu samping, tapi lagi-lagi dia menunggu di sana.

Kemudian, secara serempak semua daun jendela dan tirai menutup sempurna. 

Saya menelan ludah. Masih berpura-pura tak menyadari apa yang sedang arwah itu coba lakukan, saya lalu membuka laptop di ruang tamu. Menunjukkan kalau saya sedang bekerja, meski sebenarnya saya berusaha mencari-cari di mana saya menyimpan daftar doa-doa. 

Arwah itu berjalan mendekati saya. Mau tak mau saya memandanginya. Kali ini saya sangat yakin, jika arwah itu bukan arwah istri saya. Mukanya sudah tak ada mirip-miripnya. 

Bagaimana bisa saya terpedaya olehnya?

Saya jadi bertanya-tanya, perlukah saya benar-benar menghubungi nomor orang-orang pintar yang sempat saya simpan barusan?

***** selesai *****