Anak itu penurut sekali, sekali dipanggil pasti langsung datang.
Sebenarnya ia sayang padanya. Apalagi itu memang anaknya sendiri. Tapi jika sakit kepalanya kumat ia jadi gampang marah-marah dan sedikit saja anak itu bertingkah, sudah cukup memberi alasan untuk mencubitinya.
Cubitan pertama membuat anak itu berjengit dan beringsut pergi, tapi ia akan segera memberikan cubitan kedua yang lebih keras dan menggigit, membuat pecah tangisnya. Untuk pekikan yang begitu lantang, biasanya ia kembali memberi cubitan terakhir, paling tipis, tapi paling lama meninggalkan bekas.
Jika sudah begitu, anak itu biasanya tergolek takut dengan kepala tertunduk, tangisnya tinggal isakan dan air matanya kental mengalir dari hidung. Dengan jari-jari mungilnya ia akan mengusap bekas cubitan seakan itu bisa menghilangkan sakitnya.
Tapi bisa jadi, karena sejurus kemudian anak itu kembali ceria. Tertawa-tawa memainkan bungkus permen atau kulit bawang yang ditemukan di lantai. Ia sering iri karenanya: betapa cepat anak itu kembali berbahagia?
Jika sakit kepalanya masih bersisa, ia bisa saja mengulangi ritual tiga cubitan di paha.
Ia sengaja mencubit paha, karena biru-biru itu tertutupi celana. Meski tak banyak, semua celananya menutupi paha. Ia tak suka anaknya hanya memakai kolor meski di dalam rumah.
“Ma-ma…”
Ia ingat anak itu pernah bisa memanggilnya ‘mama’, tapi karena seringnya diulang-ulang, bukan lagi terdengar sedap di telinga, malah menulikannya. Sehingga ia kembali marah-marah dan menyuruh anak itu diam. Anak itu penurut sekali, sekarang tak pernah lagi ia bicara ‘mama’. Hanya diam dan tersenyum, seakan apapun tampak lucu di matanya. Tentu sambil sesekali mengusap biru-biru di pahanya.
Hanya dalam tidurnya anak itu sering bersedih. Kadang jika terbangun di tengah malam dan mendapati anak itu sesenggukan, ia merasakan sesak yang merambat naik di dada, tapi kantuk akan segera mengambil alih dan ia tak segan-segan membangunkan anak itu, mengguncangnya. Strategi itu selalu berhasil, bahkan sejak anak itu baru belajar merangkak. Entah insting atau apa, biasanya anak itu akan merangkak menjauh, mengendap di sudut tempat tidur, jauh dari jangkauan tangan — atau kakinya.
Mungkin karena ia pernah menendang anak itu. Tidak keras padahal. Tapi ia memang masih kecil jadi gampang sekali terpelanting. Ia ingat waktu itu sedang kerepotan mengepel lantai yang tergenang banjir setelah hujan turun semalaman; anak itu baru belajar merangkak dan mulai merayap tak tentu arah. Sudah ia peringatkan agar menjauhi air, tapi alih-alih manut, anak itu justru mencelupkan tangan mungilnya di air keruh. Spontan ia menyentil pantat anak itu dengan ujung jari kaki. Anak itu terjerembab dengan wajah dan rambut basah kuyup. Ia tak menangis karena melihat gagang sapunya diangkat. Ajaib sekali. Ia ingat anak itu susah payah merangkak naik dari genangan air dan duduk di lantai, terpekur menyadari kini celana dan bajunya basah.
Tentu ada hadiah untuk itu. Tiga cubitan di paha.
Kadang ia berpikir, apa ia gemar mencubit anak itu karena ia tak pernah tampak melawan? Suaminya yang dulu akan balas menempeleng jika sedikit saja ia mengeluh, padahal yang ia sampaikan benar adanya: uang belanja kurang, atap bocor, atau celana dalamnya robek.
Hingga suatu malam, tak tahan lagi, dibungkusnya beberapa potong pakaian dan pergi.
Sebelum menyadari bahwa ia hamil.
Sialan sekali.
Mencari pekerjaan sangat sulit saat mereka tahu ia sedang berbadan dua. Ada saja alasan untuk menolaknya. Maka ia pulang ke rumah ibunya. Ia diterima di sana. Sampai tiga hari kemudian ia mendapati ibunya menelepon suaminya agar menjemputnya.
Maka ia kabur lagi. Setelah sebelumnya mencuri beberapa lembar uang dan dua kalung emas ibunya. Ia tahu ibunya tak akan mengadu pada polisi. Dari dulu selalu begitu.
Kali ini ia pergi lebih jauh, berharap tak ada yang mencarinya. Nasib baik menghampirinya karena selentingan kabar menyampaikan bahwa suaminya kini membiarkan seorang pelacur mendiami kamarnya yang dulu. Ia ingat sempat bersyukur luar biasa akan berita itu. Tanpa sadar dielus-elusnya perutnya yang mulai membesar.
Melahirkan tak gampang karena tak banyak orang yang mau membantu tanpa bayaran. Jadi ia mengikat janji dengan seorang dukun yang matanya hampir buta, bahwa ia akan mencarikan pengobatan katarak gratis jika dukun itu membantunya mengeluarkan bayi dari dalam perutnya. Perjanjiannya berhasil, meski tentu ia belum berhasil membayar dengan operasi katarak gratis — ia tak benar-benar sempat melakukannya.
Jika melahirkan tak gampang maka mengurus bayi yang keluar setelahnya jauh lebih tak mudah. Ia sempat kebingungan mengapa bayi selalu lapar. Apapun akan segera hilang dalam mulutnya. Suatu ketika, beberapa bulan kemudian, saking jengkelnya, ia mengganti puting susunya dengan jempol yang ia olesi sambal. Bayi itu menjerit luar biasa kencang.
Ia ingat itu pertama kali mencubitnya.
Bayi itu tak mau lagi menyusu. Meski dipaksa. Mungkin trauma. Kini ia tersiksa dengan bengkak sebesar kepala dua buah di dadanya.
Nasib baik karena salah seorang tetangganya juga punya bayi dan mau saja disusukan olehnya. Sekedar berterimakasih, ia diberikan beberapa lembar uang setiap kali melakukannya.
Sampai kini ia melakukannya: menyusui anak tetangga. Sementara anak itu hanya minum teh hampir basi yang ia sediakan di pagi hari. Anak itu menurut saja. Kadang ia lebih memilih air putih. Diminum langsung dari gelas, karena ia trauma puting meski hanya puting palsu. Lebih banyak yang tumpah daripada yang masuk ke dalam mulut kecilnya. Hal itu biasanya berbuah tiga cubitan di paha.
Kabar tentang ia memiliki air susu berlimpah cepat menyebar di kalangan tetangga. Kini ia punya tiga orang langganan — rata-rata ibu muda yang takut payudaranya benyek. Meski awalnya repot karena mereka banyak bertanya tentang status kesehatannya, tapi setelah semuanya beres, ia kini menikmati jerih payah setelah hamil sembilan bulan. Karena ia memang bukan tipe pemboros, kini ia punya tabungan, dan tak perlu membeli pakaian bayi karena pelanggannya akan tersentuh mendengar cerita hidupnya dan memberikan baju bekas pada anaknya dengan cuma-cuma.
Untuk sesaat ia merasa hidupnya akan lebih bahagia.
Sampai pada pagi celaka itu, dadanya tak lagi bengkak. Ia bingung dan segera menyadari air susunya telah habis. Sempat dipaksanya anak itu untuk mengisapnya, guna memancing air susunya keluar. Mungkin karena trauma, anak itu justru menggigitnya.
Ia menjerit kesakitan dan mendorong kepala anak itu. Tidak keras padahal. Tapi ia memang masih kecil jadi gampang sekali terpelanting. Didengarnya suara anak itu jatuh dari tempat tidur dengan kepala lebih dulu membentur lantai. Ditunggunya anak itu untuk merangkak naik. Dipanggilnya.
Tapi tak kunjung anak itu datang.
**** selesai ****
Kisah ini hanya fiktif belaka. Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #StorialGiveaways yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
Originally posted in here
3 Responses
[…] CUBIT […]
[…] 19/05/2018 | 1050 kata Dimaksudkan sebagai sekuel CUBIT oleh Harun Malaia (a.k.a. Aulia Rahman), untuk diikutsertakan dalam giveaway […]
[…] Kisah ini terkait dengan cerpen C U B I T. […]