Arsip Kategori: CERPEN

(bukan) kereta (mimpi) terakhir 1

(bukan) kereta (mimpi) terakhir

Kau terbangun dengan sentakan yang menyakitkan. Alih-alih beristirahat dengan tenang, belakangan ini tidur telah menjadi momok yang menakutkan.

Dua bulan terakhir, tepatnya.

Ya, kau yakin persis karena sejak mimpi itu berulang, kau telah menandai angka-angka di kalender dengan spidol merah. Silang berarti mimpi buruk; lingkaran berarti tidak adanya mimpi — atau tidak tidur sama sekali. Kau bahkan menandai berapa kali mimpi itu datang setiap malamnya, jika kau mampu untuk tidur lagi tentunya.

Semua berawal sejak kau mengambil keputusan yang salah sore itu. Seandainya bisa memutar waktu, kau pasti akan melakukannya. Kau pasti memilih untuk tetap tinggal di stasiun lalu menunggu kereta berikutnya, alih-alih memaksakan diri menyelinap di himpitan tubuh-tubuh berbau peluh berwajah lusuh.

Tapi bagaimana lagi, petang sudah menjelang dan tidak ada jaminan bahwa kereta berikutnya akan kosong melompong. Berbekal pemikiran itu kau akhirnya menggesekkan kartu perjalananmu.

Kau ingat persis bahwa saat itu hati kecilmu sempat melarangmu naik — jika memang hati kecil itu ada (kau termasuk orang yang tak mempercayai keberadaannya). Kau berpendapat perumpamaan ‘hati kecil’ itu hanya untuk orang-orang yang melankolis dan tidak mampu berpikir dengan otaknya. Hati kecil tahi kucing. Jika benar hati kecil itu penentu benar-salah tindakan seseorang, mengapa tidak jadi hati besar saja sekalian, ketimbang jadi setan penakut di sudut, mencebik tak karuan tapi sigap menyalahkan tiap ada tindak keliru yang kau lakukan.

Tapi sudahlah, kau tak ingin membicarakan tentang hati kecil. Tak ada gunanya. Kau sekadar ingin menegaskan bahwa di sore sialan itu, kau sebenarnya tidak sepenuhnya ingin memaksakan naik kereta yang penuh sesak itu — lagipula siapa orang waras yang mau? Kau sudah merasakan ada yang keliru. Tapi karena kau orang yang rasional seperti yang telah kau utarakan di atas dan kau tak percaya akan firasat ini-itu (apalagi hati kecil!), maka kau tetap melangkah naik.

Maka di sanalah kau, menyempil di antara badan-badan basah berkeringat. Setengah mati kau menahan diri untuk tidak memaki. Baunya saja sudah mencekik bahkan sejak pintu kereta belum tertutup rapat. Tentunya kau tetap senang hati memaki di dalam hati, pada babi-babi bau tak terperi yang mengepungmu, serta siapapun yang mengizinkan keadaan ini terjadi.

Kau ingat bahwa sore itu kereta berjalan sesuai jadwal, sudah hampir separuh rutenya, dan kau nyaris melupakan segala perasaan tak enak yang awalnya kau rasakan. Sebaliknya bahkan mulai merasa nyaman dan terbiasa dengan babi-babi di sekitarmu, kantuk mulai mendera dan kelopak matamu terasa berat. Kau ingat sempat merasa lucu betapa mudahnya kau beradaptasi dengan kehidupan babi-babi. Mungkin memang kau punya bakat untuk jadi salah satunya, atau memang kau punya ambang toleransi yang tinggi. Apapun itu, kau tak terlalu memikirkannya, karena pertimbangan tentang tidak naik kereta mulai kembali mengganggu ketika kau melihatnya.

Mimpi buruk itu.

Entah apa yang menarik matamu untuk melihatnya, kau sampai sekarang tak mengerti. Mungkin itu takdir. Entahlah (kau juga bukan seseorang yang percaya akan takdir). Kau percaya segala sesuatu yang terjadi bisa ditilik dari sudut pandang sebab-akibat.

Mungkin itu pula yang membuatmu terus-menerus bermimpi buruk. Kau masih mencari alasan menaiki kereta sore itu, lalu selanjutnya melihat mimpi buruk itu. Kau terus memutar pikiran, mencari tahu makna di balik kejadian memuakkan itu. Mungkinkah memang takdir? Takdir macam apa yang membiarkan seseorang bermimpi buruk setiap malam selama dua bulan? Bahkan bisa jadi akan lebih lama? 

Takdir tahi kucing.

Apapun yang menyebabkannya, ketidaksengajaan atau takdir semata (ha-ha-ha) atau bahkan kombinasinya, intinya kau melihatnya.

Kau melihat: tangan kekar berambut kasar dalam balutan jaket jeans biru lusuh–jaket itu setengah tergulung di batas siku. Tangan itu bergerak perlahan, lepas dari pegangan kereta yang tergantung terayun-ayun pelan seirama laju kereta sore itu. Tangan itu kemudian berhenti di pundak seseorang yang ada di depannya. Halus sekali gerakannya. Semula kau mengira itu hanya gerakan tak sengaja yang tak memiliki arti saking tak kentaranya. Namun gerakan selanjutnyalah yang membuatmu terus memperhatikan. Tangan itu masih berada di pundak seseorang itu (kau tak bisa melihat wajah seseorang tersebut karena terhalang kerumunan, begitu juga wajah si pemilik tangan kekar berambut kasar dalam balutan jaket jeans biru lusuh setengah tergulung di batas siku). Tapi kau bisa melihatnya menggeser tubuh, jelas tak ingin ada tangan kekar berambut kasar tertahan di bahunya.

Tangan itu terjatuh dari pundak. Kau menahan napas. Entah mengapa, kau seperti tahu tangan itu tak berhenti sampai di situ saja.

Benar saja, kau lantas melihat tangan itu kembali bergerak naik, kali ini bergeser lebih maju. Menangkup dada dari belakang. Ketika itu bertepatan dengan kereta sedikit berguncang karena sambungan rel yang sedikit kasar. Kau tak melihat bagaimana kejadiannya, namun saat matamu kembali tertuju kesana, tangan itu sudah menangkup penuh dada itu.

Kau merasakan getaran aneh yang tak biasa. Napasmu tercekat.

Kau seperti merasakan seseorang itu juga sesak napas.

Tangan itu menggenggam lebih erat.

Meremas.

Kau menahan mual yang tiba-tiba menerjang. Hal terakhir yang ingin kau lakukan adalah muntah di badan babi-babi.

Kau ingat telah berusaha membuang pandang ke arah yang lain. Namun entah mengapa, pandanganmu kembali tertuju padanya. Seakan matamu dan tangannya adalah dua magnet dengan kutub berbeda.

Tangan itu mulai menelusup di sela-sela kemeja dan meraba apa yang ada di baliknya.

Punggungmu meremang.

Kau pikir itu terjadi karena melihat apa yang tangan itu lakukan. Sampai kemudian kau melihat ada mulut dengan bibir tebal-menghitam-kebanyakan-merokok yang mendekat. Berbisik di telinga seseorang itu.

Kau seakan merasakan seseorang itu mengejang. Terlihat dari gerak tubuhnya yang kaku dan janggal.

Kepalamu pusing dan kau mulai memikirkan untuk turun di pemberhentian selanjutnya. Namun sekali lagi magnet itu menarikmu.

Tangan kekar berambut kasar itu lalu bergerak ke bawah. Pelan–seumpama kegelapan turun di senja hari di luar kereta. Lambat–selayaknya kabut jatuh di perbukitan yang sepi. Tangan itu merayap turun, meraba, lalu menelusup. Sementara mulutnya di atas terus berbisik.

Tangan itu tak berhenti saat menemukan hambatan, ia terus menelusup turun ke bawah pinggang. Bibir di atas makin mendekat lekat.

Seseorang itu mengejang. Kau hampir kehabisan napas.

Lalu sontak magnet itu hilang. Kau seperti tersentak. Pandanganmu kosong. Bisa saja kau pingsan saat itu. Namun kau masih mampu menahannya. Pingsan di antara babi-babi jelas bukan pilihan. Menahan rasa mual dan sekeliling yang mulai berputar, kau menutup mata. Mencoba menghalangi gambaran mimpi yang masih terjadi. Meski entah kenapa kau seperti bisa merasakannya: tangan kekar berbulu, dan apa yang dilakukannya di bawah sana; mulut berbibir tebal itu, dan apa yang ia bisikkan di telinga.

Kau membuka mata.

Masih di arah yang sama, seseorang itu menatapmu iba.

Kau kembali menutup mata.

Namun terlanjur mimpi itu sempurna.

***

Torimodosu* 3

Torimodosu*

Hana menghela napas dalam. Disekanya keringat yang mengalir di kening. Siang itu terik. Ditambah lagi ia harus berdesakan di dalam angkot. Seorang bapak separuh baya tampak tenang mengisap rokok, untuk kemudian dengan lebih tenang mengembuskannya keluar.

Hana menghela napas lebih dalam. Dadanya sesak tak tertahankan. Maka ketika ia melihat persimpangan jalan menuju rumahnya, ia buru-buru berkata pada sopir.

“Berhenti kiri, Bang.”

Ia masih harus berjalan sekitar dua ratus meter lagi. Jalan menuju rumahnya tidak termasuk jalur angkutan umum.

Dua orang anak SD berlarian mendahului. Hana tersenyum melihatnya.

Ah… anak-anak.

Mereka masih bebas. Masih bisa tertawa lepas. Tidak seperti dirinya sekarang.

Hari ini pembagian raport SMA semester ganjil. Hana merabai tasnya dari luar. Ada raportnya di dalam. Selain itu ada raport Hani. Adiknya. Adik kembar tepatnya.

Hani masih di sekolah. Ia mendapat juara umum. Lagi. Untuk keempat kalinya sejak kelas satu semester dua. Sekarang mereka sudah kelas tiga.

Hana menelan ludah. Kerongkongannya tiba-tiba terasa sangat kering.

Ia sendiri biasa-biasa saja. Sepuluh besar juga tidak. Kalau tidak salah tadi Bu Hanum mengatakan nilainya urutan enam belas dari tiga puluh siswa.

Rumahnya sudah terlihat. Hana harus mengakui ia sedikit gugup. Apalagi ia melihat sepeda Andi, adik laki-lakinya. Anak itu biasanya juga dapat ranking satu. Hana senang karena adik-adiknya itu pintar. Hanya sayang, Andi masih suka mengejek. Seperti semalam …

“Hani besok tes beasiswa. Doain ya, Yah…”

Waktu itu ia sedang mengupas bawang untuk menggoreng sambal di dapur. Diam-diam ia mendengarkan pembicaraan Hani dan kedua orang tuanya itu.

“Oh ya. Yang kemarin kamu ceritakan itu? Jadi kamu lulus?”

“Alhamdulilah, Yah. Udah lulus tahap pertama. Kalau besok lulus lagi, Hani mewakili sekolah untuk babak selanjutnya.”

“Babak? Kok kayak perlombaan gitu, Han?” Ibunya ikut nimbrung.

“Ya… prosedurnya emang gitu, Bu…”

“Kak Hana ikut tes, nggak?”

Ini dia. Andi mulai ikut-ikutan juga.

“Pasti nggak. Iya kan? Iya kan?! Hahaha … bener nggak? Ah, kak Hani curang. Masa nggak mau jawab. Andi tanya sendiri, ah. Kak Hana mana? Di dapur ya?”

“Kringg… kringg!!”

Hana tersentak dan buru-buru menepi. Membiarkan tukang bakso tadi mendahuluinya. Ia sendiri sudah sampai. Terlihat sepeda Andi tergeletak menutupi pagar. Hana membereskannya sebelum masuk. Memarkirnya dengan baik di teras.

“Dorr!!!”

Astaghfirullahaladzim … Andi …! Ngapain sih?!”

“Hahaha … sorry man … eh … kakak cewek ya? Girl …” Andi masih tergelak. Tangannya membawa sebuah piagam. Ia memamerkannya. “Lihat. Bagus, nggak? Bagus, kan? Bagus … Andi dapat penghargaan. Hebat, kan?”

Hana sedang melepas sepatunya. Ia melirik sekilas. “Bagus. Selamat ya.”

Thank you. Eh, kakak udah terima raport? Gimana? Dapat rangking? Nggak? Dapat, nggak? Kak Hani gimana? Raportnya di mana? Dalam tas ya? Lihat ya?” Andi membuka tas Hana. Hana buru-buru merebutnya.

“Apaan sih? Nanti kakak lihatin! Baru juga nyampe.”

“Sekarang!” Andi balas menarik tas dengan kuat. Hana akhirnya mengalah. Membiarkan tasnya dibuka. Dadanya berdebar tambah keras.

“Wah … juara satu … wuuu … sembilan semua … cuma satu yang dapat delapan … pelajaran olahraga … waw … hebat …” Andi menatap wajah Hana dengan sorot kagum. Hana menelan ludah.

“Itu punya kak Hani.”

“Ha?! Kak Hani? Oh iya … Hani Safitri … hehehe … tadi cuma lihat fotonya sih …. Kak Hani mana? Kok nggak pulang sama-sama?”

“Belum. Masih di sekolah.” Hana menjawab pendek. Diletakkannya sepatunya dengan rapi. Bangkit. “Ibu mana?”

“Ke pasar. Wah, kakak nggak dapat juara lagi, ya? Hehehe … tapi nilai totalnya naik sih … satu angka … hihi ….”

Hana tak menanggapi. Ia sangat haus. Ia ingin minum. Andi masih terus berkomentar tentang nilai raportnya. Anak itu mengekor langkahnya. Ikut ke dapur.

“Kakak malas belajar, sih.”

Hana memeriksa rice-cooker. Ternyata nasi tinggal sedikit. Ia lalu mengambil rantang. Membasuh beras.

“Menurut yang Andi pelajari di Biologi, harusnya anak kembar itu sangat mirip satu sama lain. Apalagi kakak kan kembar identik.”

“Kamu sudah makan?”

“Belum. Gorengin telur, dong? Dadar, ya. Sambal semalam masih ada, kan? Eh, tadi Andi bilang telur apa? Dadar, ya? Ganti deh, mata sapi aja. Setengah matang. Eh, matang aja deh, yang kuningnya diaduk-aduk, ya. Biar gurih.”

Hana menyalakan kompor. Menaruh wajan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku Biologi. Sekelas sama kakak, ya?”

“Nggak. Eh, kakak ganti baju dulu. Kamu tungguin kompornya bentar. Nanti kalau minyaknya udah panas, masukin telurnya, ya.”

Ha? Nggak, ah. Andi kan minta dimasakin.”

“Bentar aja. Kakak mau ganti baju dulu. Ya?

“Nggak. Matiin aja kompornya dulu kalo gitu.”

Hana memberengut. Andi menjulurkan lidah.

“Bentar aja, kok.”

Tapi Andi tetap menggeleng. Kalau sudah begitu tidak ada gunanya lagi menyuruhnya.

Assalamu’alaikum…” terdengar salam dari pintu masuk.

Suara ibunya. Hana kembali merasakan jantungnya berdebar kencang. Andi berlari keluar. Memamerkan piagamnya.

“Hebat kan, Bu. Lihat … Bagus nggak?”

“Iya … Iya … Bagus … Tadi juga kamu udah bilang sama ibu … Bantu ibu angkat belanjaan. Itu di luar … Eh, udah pulang, Na?”

Hana mengangguk. Disekanya keringat yang tiba-tiba mengalir lagi. Ia mengulurkan tangan mengambil bungkusan belanjaan yang tak dipedulikan oleh Andi. Setelah itu menutup pintu dan mengikuti langkah ibunya ke dapur.

“Kamu masak apa? Ibu tadi beli ikan. Sekalian digoreng nanti ya.”

Hana tersadar. Tadi Andi minta dibuatkan telur mata sapi. Ia segera memecahkan telur.

“Sudah masak nasi?”

Hana mengangguk. Ia menatap ibunya. Ada yang ingin ia katakan. Tapi mulutnya seakan terkunci.

“Kuningnya dihancurkan. Dihancurkan.” Andi masuk. Terengah-engah.

Hana memberengut pada adiknya itu. Tapi tetap dituruti permintaannya itu. Setelah selesai ia mengambil piring dan mengambil sisa nasi di rice-cooker, meletakkan di depan Andi yang sudah duduk dengan manis di tepi meja makan. Mata anak itu berbinar-binar.

Thank you ….” Andi menyambut piring berisi telur yang disodorkan Hana. Matanya kemudian mengedip-ngedip nakal.

“Nanti kamu tumis kacang panjang, ya, Na. Ibu tadi ada beli. Mahal sekali, dua ikat sepuluh ribu… Kamu nggak mau nunggu ikannya digoreng dulu, Ndi?”

Hana mengangguk. Diambilnya tas sekolah dari atas meja makan. Andi yang meletakkannya di situ tadi. Ia tidak mendengar jawaban Andi atas pertanyaan ibunya tadi.

Sesampainya di kamar, Hana mengganti seragam. Kerudung putihnya terasa basah. Ia juga melepasnya. Rambutnya terlihat basah. Setelah selesai berganti pakaian ia segera kembali ke dapur

“Ada karet gelang, nggak?”

Andi menoleh. Menggeleng. Mulutnya penuh nasi.

“Itu ada. Dekat rak gelas. Ibu ingat ada satu di situ.” Ibu yang menjawab.

Hana mengambil dan mengikat rambutnya.

“Jangan lupa dibasuh dulu sayurnya, ya.”

“Bu…!” Andi menyela. “Kak Hani juara umum lagi, lho. Andi liat raportnya.”

“Oh, ya?” ibunya berpaling pada Hana. “Benar?”

Hana mengangguk pelan.

Alhamdulillah. Kamu sendiri? Bagus nilaimu?”

Hana memaksa bibirnya tersenyum.

“Naik satu.”

Alhamdulillah. Biar satu kan naik juga. Besok-besok mudah-mudahan lebih baik. Ibu sih senang saja kalau kalian semua dapat nilai yang baik.” Ibunya bicara sambil membersihkan ikan.

Ini dia. Hana merasa dadanya sesak. Ibunya tak pernah membandingkannya dengan Hani. Satu-satunya orang yang tak pernah menyinggung perbedaan antara ia dan saudara kembarnya itu. Hana selalu merasa sedih jika mengingat itu. Jauh di dalam hatinya ia ingin bisa menyamai Hani. Pintar. Pandai bergaul. Selalu membuat bangga keluarga.

“Kak Hani kok belum datang juga? Lama, ya? Andi kan mau kasih selamat.”

“Andi, piringnya dicuci kalau sudah selesai,” Ibu mengingatkan.

“Kak Hana cuciin, ya.”

“Cuci sendiri. Kan cuma satu. Malas jangan dipelihara,” Hana menyahut.

“Cuciin ya ….” Andi menggelitik kakaknya itu. Lalu berlari keluar.

Hana sudah selesai menumis kacang panjang saat ibunya berkata.

“Hani pulang jam berapa?”

Hana menatap ibunya. “Hana kurang tahu, Bu. Tadi katanya ada pertemuan. Mungkin sampai sore.”

“Oh ….”

Tiba-tiba Ibu menghentikan gerakannya membasuh ikan.

“Kamu sekarang kelas tiga ya, Na?”

Hana terdiam. Menduga-duga arah pembicaraan Ibu. “Ya. Masih satu semester lagi.”

“Nanti kalau selesai SMA, mau kuliah di mana?”

Hana terdiam lagi. Diambilnya ikan yang diberikan ibunya. Menggaraminya. Ibu melanjutkan kalimatnya. “Beberapa hari yang lalu Hani cerita kalau ia mau masuk fakultas kedokteran. Hani bilang ia akan berusaha dapat beasiswa agar bisa masuk. Sebab katanya kedokteran itu mahal. Kalau kamu mau masuk apa?”

Hana menggigit bibirnya. Pandangannya mulai terasa kabur. Ia merasa hidungnya juga mulai berair.

“Hana belum tahu …” tanpa bisa ditahan suaranya sedikit tercekat.

“Oh .…”

Hana mengambil asam jawa. Melumurinya pada ikan-ikan.

“Nanti digoreng sampai kering, ya? Ibu mau angkat jemuran. Sepertinya hari akan hujan.”

Sepeninggal ibunya, Hana termenung. Ia teringat saat di sekolah tadi…

Nanti kamu yang ambilin raportku, ya? Aku mau tes beasiswa. Kayaknya bakalan lama.”

“Ah. Apa kamu benar-benar nggak bisa…?”

“Pokoknya Hana tolong, ya. Hari ini kita pakai baju yang sama saja. Pakai bajuku. Pasti nggak ada yang menduga kalau Hana adalah Hani… gimana?”

Dan ia benar-benar gugup saat pengumuman di lapangan upacara. Hani kembali jadi juara umum. Dan itu berarti ia harus maju ke depan. Benar-benar ke barisan paling depan. Hana masih teringat betapa gugupnya ia dipandangi oleh hampir seribu pasang mata. Semuanya akan baik-baik saja jika ia tidak mendengar bisik-bisik dari barisan majelis guru…

“Lho? Bukannya Hani Safitri sedang tes beasiswa? Tadi saya yakin melihat dia sudah pergi diantar kepala sekolah.”

“Masa?”

“Iya. Benar. Apa dia nggak jadi pergi?”

“Mungkin juga, sih. Tapi sayang kalau dia tidak jadi ikut tes beasiswa. Dia itu sangat cerdas. Saya pernah mengajarnya saat kelas satu dulu. Kagum.”

“Benar. Jarang ada anak perempuan yang sudah pintar, baik, alim lagi. Kerudungnya lebar, lho…”

“Saudara kembarnya itu namanya siapa?”

“Siapa?”

“Ah, ada itu. Mereka mirip sekali. Saya pernah pulang bareng mereka. Mirip banget.”

“Masa? Sekolah di sini juga?”

“Lho? Ibu nggak tahu? Aduh, kok bisa nggak tahu?”

“Mungkin karena mirip, ya? Katanya mereka mirip. Mungkin saya kira mereka itu satu orang.”

“Tapi beda lho, Bu.”

“Beda gimana?”

Hana masih ingat ia hampir menangis saat itu. Dadanya benar-benar sesak. Apalagi ternyata kedua ibu guru itu mendekatinya dan menanyakan tentang Hana Safitri.

Lalu saat ia mendatangi kelas Hani untuk mengambil raport. Kelas terbaik. Kelas A. Kumpulan orang pintar.

“Jadi yang tadi itu bukan Hani yang maju?” wali kelas Hani menatapnya tajam.

Padahal ia sudah mengumpulkan seluruh keberanian untuk masuk, namun tetap saja kakinya sampai lemas. Seluruh kelas menontonnya.

“Maksudnya apa itu? Kamu berpura-pura jadi Hani? Begitu?”

“Hani sedang ikut tes. Saya menggantikannya…”

“Lho? Kenapa? Kenapa harus digantikan? Kan bisa dibilang kalau Hani sedang ikut tes. Kenapa malah kamu gantikan? Itu namanya membohongi kami. Saya kira yang maju tadi itu Hani.”

Hana terdiam, menunduk memandangi ujung sepatunya. Ibu wali kelas itu masih menatapnya tajam.

“Kamu Hana, kan? Kamu kira bisa tuker-tukeran gitu? Maksudnya apa coba?”

“Pengen ngerasain jadi Hani tuh…” seorang siswa menyeletuk. Seketika itu kelas gaduh. Penuh dengan tawa. Hana berjuang agar air matanya tidak tumpah.

“Jangan terlalu kering menggoreng ikannya…”

Hana tersentak. Mengangguk pada ibunya.

“Kalau sudah, nanti ditaruh di lemari. Suka ada kucing masuk.” Kata ibunya lagi. “Ibu ada beli mangga. Makan yuk. Sudah lama nggak makan mangga. Kita makan berdua saja.”

Hana menoleh pada ibunya. Mengangguk lagi. Kali ini dengan tersenyum kecil.

“Ibu tunggu di teras belakang, ya?” Ibu mendahului pergi sambil membawa kantung berisi mangga. “Sekalian nanti bawa pisaunya, ya, Na. Jangan lupa dibasuh dulu, tadi habis potong ikan.”

Hana mengangguk mengiyakan.

“Aku tunggu di parkiran, ya?”

Wahid. Betapa ia tidak berani memandangi wajah itu saat di kelas Hani tadi. Setelah mengambil raport Hani ia segera keluar ruangan, ia bisa merasakan pandangan seluruh mata menghujam punggungnya. Buru-buru ia menuju kelasnya, sebelum ia mendengar Wahid memanggilnya. “Aku tunggu di parkiran, ya. Aku sekalian mau mengembalikan buku. Tapi karena tidak membawa tas, bukunya masih kutaruh di mobil saja. Nanti sekalian ikut pulang saja. Kita nggak berdua kok, ada Fatima adikku.”

Ia ingat telah mengangguk sebagai jawaban. Namun ia tidak pernah datang ke parkiran. Setelah mengambil raport, ia buru-buru pulang dengan angkot pertama yang bisa ia masuki.

Assalamu’alaikum.

Hana bisa mendengar itu suara ayahnya. Ia bergegas mematikan kompor dan menuju pintu depan. “Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Yah?”

Ayahnya terlihat kaget saat melihat ia yang membukakan pintu. “Ibumu mana? Iya, Ayah tidak enak badan. Jadi pulang lebih awal.”

“Ibu di teras belakang. Ayah mau makan? Nanti Hana siapkan.”

Ayahnya menggeleng sambil melonggarkan dasinya. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu. Ibu ngapain di belakang?”

“Katanya mau makan mangga. Ayah mau dibuatkan teh?”

Ayahnya kembali menggeleng. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu.” Ia kemudian menuju kamar. Sesaat sebelum membuka pintu ia membalikkan badan dan bertanya. “Hani mana?”

Hana mengulang jawaban yang sama saat menjawab pertanyaan ibunya. Ia kemudian melihat pintu kamar ditutup setelah ayahnya melewatinya. Ia kembali ke dapur dan menyimpan ikan goreng ke dalam lemari. Mengambil pisau dan mencucinya dengan bersih, setelah yakin tidak berbau ikan ia mengeringkannya. Ia baru akan keluar dapur ketika ibunya kembali masuk.

“Kenapa lama sekali?”

“Barusan Ayah datang. Katanya lagi nggak enak badan.”

Raut wajah ibunya berubah, “Sekarang di kamar?”

Hana mengangguk. Ibunya meletakkan kantung berisi mangga yang tadi dibawanya di atas meja, kemudian bergegas ke kamar.

Sejurus kemudian Andi datang dengan terengah-engah. “Ikan tadi udah digoreng? Andi mau makan lagi, dong.”

“Kamu dari mana saja, keringetan banget.” Hana mendorong dahi adiknya dan menyeka rambutnya yang basah. “Cuci tangan dulu.”

“Mau makan lagi.”

Hana menggeleng-geleng, namun diturutinya juga. “Nasinya baru matang jadi masih panas, hati-hati ngambilnya.”

“Ambilin.” Andi sudah duduk dengan manis di tepi meja.

“Kamu itu kenapa sih makan aja mesti diambilin. Kayak anak kecil.” Hana bersungut.

“Hehehe. Mumpung ada kak Hana. Kalau Kak Hani pasti nggak mau disuruh-suruh.” Andi terkekeh. “Lagian kan Andi ranking satu jadi harus dilayani. Ikannya mau dua, ya. Tapi nggak mau kepalanya. Kepalanya nggak mau.”

Hana menghela napas, dengan cepat ia mengambil nasi dan ikan untuk Andi. Ia juga memasukkan tumis kacang panjang dan sambal ke piring tersebut. Andi mengernyit tak suka. “Sayurnya nggak mau.”

“Sudah terlanjur di piring. Harus dimakan.”

Andi mencibir tak suka tapi tetap melanjutkan makan. “Tadi Andi main di rumah Heru. Dia punya game baru di Playstation-nya.”

“Kok sampe keringetan gitu?”

“Habis main PS kami main bola. Lagi asyik main eh berhenti karena ayah Heru pulang.”

Ayah Heru adalah teman sekantor ayahnya. Hana mengernyitkan kening. “Ayahnya Heru sudah pulang kantor?”

Andi mengangguk-angguk. Ia kemudian meludahkan sepotong tulang ikan ke tangannya. “Ayah Heru di-PHK katanya.”

Hana terkesiap. “Siapa yang bilang?”

“Heru. Dia dikasih tahu ibunya kalau game yang baru itu harus awet karena ntar susah buat beli lagi karena ayahnya mau di-PHK.” Andi mendesis kepedasan. “PHK apaan ya?”

Hana menelan ludah. Perasaannya tak enak. “Makannya pelan-pelan. Nanti tersedak.”

Andi mengangguk-angguk. Pandangannya nanar. Ia melihat kantung buah di atas meja.

“Andi mau mangga.”

“Punya Ibu.”

“Kupasin satu.”

“Bilang Ibu dulu.”

Andi menggigitkan giginya dengan gemas. “Minta satu…!”

“Bilang Ibu dulu.” Setelah itu Hana mengemasi kantung mangga tadi ke dalam lemari paling atas, tidak akan terjangkau oleh Andi. Anak itu mendecak kesal namun melanjutkan makan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku.”

“Tadi kamu sudah bilang.” Hana membuka kulkas, mengeluarkan lima butir telur. Andi mengamatinya.

“Kakak bikin apa?”

“Kue.”

“Mau.”

Hana mengacungkan telur mentah di tangannya, membuat Andi tergelak. Mau tak mau Hana ikut tersenyum.

“Bang Wahid bilang bukunya harus dikasih langsung ke Kakak.”

Hana diam saja dan kembali membuka lemari, mencari-cari tepung terigu.

“Katanya mau datang lagi ntar jam lima.”

Hana melirik Andi dengan ekor matanya. Anak itu sedang menjilat-jilati jemarinya.

“Andi mau kalau punya abang seperti bang Wahid.”

“Cuci piringmu kalau sudah selesai.”

“Kak Hani kok belum pulang?”

Hana mengambil mixer dan mulai mengocok telur, bisingnya membuat Andi kalah suara. Namun justru suara di dalam kepalanya yang mulai bergema.

“Wahid bertanya apakah kamu mau mengajar adiknya, si Fatima.”

“Kenapa harus aku?”

“Karena menurutnya kamu bisa nulis cerita dengan baik. Katanya dia tak sengaja baca salah satu cerpen yang kamu tulis di balik buku paket Biologi.”

“Aku nggak bisa, Hani.”

“Kamu bilang sendiri padanya, Hana. Aku sudah bilang kalau kamu pasti nggak mau tapi dia terus maksa.”

“Ya sudah nanti aku coba bilang sendiri.”

“Kakak melamun ya…!”

Hana hampir menumpahkan isi mangkuknya. Andi melonjak-lonjak kegirangan. Ia kemudian berlari ke kamar Ayah dan Ibu. Hana bisa mendengarnya berteriak minta izin mengupas mangga.

Setelah memasukkan adonan kue ke dalam oven, Hana mengambil satu buah mangga. Tidak ada yang bisa menghentikan Andi jika ia sudah bertingkah seperti tadi. Ia sudah setengah selesai mengupas buah ketika Andi masuk sambil tersenyum-senyum kecil, lidahnya melet-melet mengejek.

Beberapa saat kemudian ibu dan ayahnya juga masuk dapur. Hana menoleh dan berkata. “Hana siapin makan siang ya, Bu.”

Ibunya mengangguk dan menarik kursi untuk duduk, diikuti ayahnya.

“Kamu bikin kue, Na?” ibunya melihat oven yang sedang menyala. Hana menoleh dan mengangguk. Ia meletakkan nasi dan piring kosong di atas meja. Kemudian meletakkan lauk yang sudah dimasaknya tadi. Ia juga membuatkan segelas teh untuk ayahnya. Kali ini ayahnya diam saja. Andi yang sudah hampir menghabiskan mangganya kemudian berdiri dan menyorongkan piring kosong.

“Andi mau makan lagi…”

***

取り戻す (Torimodosu): Summed up in one word, it has the same meaning as the famous English saying, “When life knocks you down, dust yourself off and get back up again.” from here

Judulnya selalu tidak terasa pas: Hana; Bayangan di Cermin Itu. Kali ini Torimodosu.

Pupus 5

Pupus

Meltendera Stonia…!!

Dari sekian banyak peruntungan yang ada di dunia Gar, ini nasib terburuk bagi para gargoyle. Sedari awal, pencampuran biji Oak yang tak genap berusia 243 hari membuatku tak sempurna. Alih-alih sayap, sepasang tulang mirip tanduk bergelambir yang justru tumbuh di tempat seharusnya sayapku berada. Jika saja kutemukan kurcaci laknat yang melakukan pencampuran keliru itu, akan kusembur ia dengan bara api. Meski semua sudah terlambat.

Kusaksikan perubahan perlahan tapi pasti yang terjadi. Mantera perusak anyaman batu yang menjadi sisik pelindungku telah bekerja. Sebentar lagi aku akan jadi seonggok batu yang memiliki nyawa. Kulirik kurcaci keperakan yang masih dengan asal-asalan mengayunkan tongkatnya padaku. Ia pasti telah melakukan hal ini pada banyak kasus. Kurasakan kebosanannya dan untuk sesaat aku merasa bahagia.

Gullet Enlargo…!!!

Kupejamkan mata. Prosesi ini masih lama. Lebih baik aku bangun saat aku sudah menempel sempurna di Kastil Town Hall. Semoga banyak anak-anak bermain di sana yang bisa kusemprot dengan air hujan bercampur lumpur untuk mengatasi kebosanan seumur hidup. Dalam hati aku terkekeh membayangkannya.

Belum sempat aku tertidur saat kudengar pintu membuka dan derap langkah masuk mendekat. Kelopak mataku terlanjur berat, maka hanya kuintip siapa yang datang.

“Kolam pemandian putri butuh hiasan gargoyle baru. Bisa kau sediakan segera?”

“Kebetulan aku sedang menyiapkan satu. Semula untuk Town Hall, tapi bisa kupermak sedikit agar pantas dipasang di La Princesse,” jawab kurcaci bertongkat sihir.

La Princesse? Aku membuka mata ternganga. Benarkah yang kudengar? Kolam pemandian putri? Ah! Ternyata nasib baik akhirnya datang juga berkunjung. Bisa kubayangkan menghabiskan hari menyaksikan para putri mandi. Belum-belum aku sudah mencium aroma wangi air pegunungan bercampur susu yang selama ini hanya pernah kudengar desas-desusnya. Jauh lebih baik daripada air hujan bercampur lumpur di Town Hall pastinya.

Liurku sampai menetes.

“Kalau begitu, segera selesaikan. Akan kutunggu dan langsung dibawa.”

Derap langkah itu kembali menjauh.

Kurcaci keperakan mendekat dan mengamatiku seksama. Komat-kamit ia merapal mantera yang lebih rumit dari sebelumnya. Kibasan tongkatnya yang berkilau menyilaukan mata.

Aku tak tahu apa yang terjadi namun jelas kini penampilanku sudah jauh lebih baik. Tak bisa kutahan senyumku mengembang. Kurasa kurcaci perak melihatnya. Ia segera mengibas tongkatnya dan sekejap saja wajahku langsung kaku membatu.

Tak apa, ucapku dalam hati. Yang penting aku akan bersemayam di kolam para putri mandi.

Entah mengapa, seakan bisa membaca pikiranku, mata kurcaci penyihir itu menyipit dan ia berjengit tak suka. Dihunusnya tongkat tepat di antara kedua mataku.

“BLINDA VISIONA!!”

Oi! Oi! Oi!

Sekejap kemudian gelap gulita.

Sebelumnya pernah ditulis di sini.

Jika tertarik tentang gargoyle, bisa dibaca di sini.

Dawai Terakhir 7

Dawai Terakhir

Jika normalnya seorang bayi lahir akan menangis dan beberapa menit kemudian tembuninya keluar, maka tidak dengan Kakek. Setidaknya begitu yang kudengar dari cerita turun-temurun keluarga yang kerap diulang Ibu padaku.

“Kakek lahir, dan langsung bernyanyi bersama gitarnya.”

Dulu, aku selalu mencibir dan mencemooh cerita itu, sampai kemudian kakek tinggal bersama kami, tepatnya dua bulan yang lalu. Setelah kematian Nenek, usianya yang sudah lanjut tak mengizinkannya lagi untuk tinggal sendiri (bagaimana Nenek tetap waras sampai ia dikebumikan sedangkan Kakek malah sebaliknya tetap merupakan misteri bagiku). Sebagai anak bungsu yang baru menginjak remaja, aku dianggap masih tak perlu kamar sendiri sebagai ruang privasi, sehingga harus rela berbagi.

“Yang penting Kakek nggak ngelindur, ya…” aku bersungut-sungut.

Semakin tua Kakek justru semakin seperti anak kecil. Hanya sesekali kujumpai ia mengatakan sesuatu yang tak mencerminkan kepikunan. Sisanya, ia akan menghabiskan hari memetik gitar kesayangannya yang senarnya tinggal satu.

“Ini sisa umurku,” jelasnya suatu sore, ketika dilihatnya aku memasang tampang iba pada gitarnya. Ia kemudian melanjutkan memetik sambil sesekali berucap. Kalimatnya pendek-pendek. Terputus-putus. Ditingkahi petikan. “Pertama putus usia duapuluh. Lalu tiga tujuh. Lalu entah usia berapa. Yang terakhir waktu nenekmu meninggal.”

Sudah dua bulan ini pula malam hari yang kulalui terasa begitu menyiksa. Bagaimana tidak, Kakek bisa memetik gitarnya sampai lewat tengah malam. Telah kusampaikan keluhanku pada Ibu namun ia hanya menggeleng sambil menggumamkan sesuatu yang tak bisa kumengerti hingga akhirnya aku menyerah.

“Setiap manusia lahir dengan gitarnya,” Kakek membuka suara untuk pertama kalinya malam ini. Aku melirik jam dinding. Setengah sebelas. “Gitarmu di mana?”

Aku terbiasa mendiamkan Kakek, karena biasanya ia juga tak butuh jawaban. Tapi saat kupalingkan wajah padanya, ia sedang menatapku, seakan menunggu.

Aku menggeleng tak acuh, “Nggak punya.”

“Pasti disimpan ibumu. Ia tak mau kamu seperti ayahmu.”

Obrolan tentang ayah merupakan hal tabu di rumah. Darahku berdesir cepat saat mendengar kakek menyinggungnya. Baru aku membuka mulut untuk lebih lanjut bertanya, kakek sudah membalikkan badan memunggungiku.

Ayah seorang wartawan politik. Tabiatnya yang keras kerap membuatnya terlibat dalam kesulitan. Dari cerita yang secara sembunyi-sembunyi disampaikan kerabat padaku, Ibu sudah sering mengingatkan Ayah untuk berhati-hati dalam tulisannya namun hal itu justru membuat Ayah marah dan merasa tidak didukung.

Kemudian suatu pagi, Ayah pergi dan tak pernah kembali.

Aku baru berumur tiga tahun saat itu.

Satu-satunya ingatan samar tentang Ayah adalah bau kerah bajunya yang manis dan membuatku mengantuk. Ia biasa menggendongku sampai tertidur, kadang ia membiarkanku terlelap di sampingnya, ketika ia sedang mengetik dengan mesin ketik tuanya.

Suara mesin itu jauh lebih baik daripada gitar berdawai satu. Aku mengeluh dalam hati. Kulirik Kakek yang sedang tertidur pulas. Pelan kucoba untuk membangunkannya. Ia tak bereaksi saat kusentuh bahunya.

Sebuah pikiran usil melintas di benakku.

Kutarik pelan gitar yang dipeluknya. Seutas benang melilit benda itu dan tampaknya terikat erat pada tubuh Kakek. Keningku berkerut. Orang tua aneh, ia pasti tak mau gitarnya hilang.

Tak putus asa, kugunting benang pengikat gitar.

Kusurukkan benda itu jauh ke bawah tumpukan baju kotor.

Malam itu aku tertidur dengan lelap kembali.

Keesokan harinya aku bangun dengan kepala berdenyut. Samar kudengar isak tangis dan suara membaca Yasin. Ranjang di sebelahku kosong.

Setiap manusia lahir dengan gitarnya…

Maka kutuliskan kisah ini.

Kisah Kasih Kotek-Kotek 9

Kisah Kasih Kotek-Kotek

Astaga, kau lihat si Petunia? Dia sudah berkotek-kotek lagi!”

Oklahoma berhenti mengais-ngais dan memiringkan kepalanya. Mempertimbangkan kata-katanya sebelum berucap; dia tahu Esther hanya sedang ingin bergosip, “Bukankah baru minggu lalu dia selesai mengeram?”

“Itu maksudku! Betina itu hanya pandai berbuat tapi coba kau lihat apa hasilnya. Hampir semua anaknya mati lumpuh layu!”

“Saat itu sebenarnya memang sedang ada wabah, kan?” Tak ingin terlalu terpancing, Oklahoma beralih mengutak-atik sisi sayapnya yang dirasa gatal.

“Tapi kau paham maksudku, Okla.”

“Jangan katakan kau cemburu padanya, Esther.”

“Amit-amit kuning telur,” Esther menggeleng lalu berlenggang menjauh. Meski sebenarnya di dalam hati dia mengakui kalau cemburu besar pada Petunia, betina bertubuh montok dengan bulu-bulu mengkilap yang tersusun simetris seakan dibuat dari cetakan spesial, beda dengan ayam-ayam lainnya.

Esther sendiri juga sudah rindu ingin mengasuh telur-telurnya sendiri hingga menetas. Dia senang saat membayangkan bulu-bulu kuning itu berlarian namun apa daya hingga kini tak ada pejantan yang mendekatinya.

“Apa aku kurang menarik?” pernah dia bertanya demikian saat mereka sedang berburu cacing di pinggir empang. Lehernya sampai terpuntir karena asyik mematut diri di permukaan air.

“Diamlah, Esther. Apa perlu kucarikan pejantan buta?

Jawaban ketus Oklahoma membuat Esther tersentak. Tidak. Dia tidak tersinggung. Okla hanya bercanda, tetapi perkataannya benar adanya. Esther seakan mendapat suntikan semangat baru hingga bulu-bulunya bergetar hebat dan dia seperti terserang demam.

Tak apa buta, yang aku perlukan hanya supaya telurku dibuahi, Esther membatin.

Maka Esther menyusun rencana untuk mendapatkan pejantan buta. Semula, dia sempat kesusahan ketika menanyai tentang hal itu pada para pejantan. Mereka tak suka ditanya tentang ayam lain.

“Kau pikir aku petugas klinik mata?”

“Apa tadi yang kau tanyakan? Telingaku kurang mendengar. Apa kau tak mencari ayam tuli juga?”

“Hey, Nona, apa kau membawa undangan gratis operasi katarak?”

“Lihat saja yang jalannya sering terantuk-antuk. Lagian, apa yang kau cari dengan seekor buta, Manis?”

Esther mungkin rindu punya gumpalan bulu kuning yang berlarian, tapi dia cukup pemilih untuk tidak menanggapi godaan dari pejantan yang tak jelas asal-usulnya. Okla yang mengetahui rencananya sampai berdecak gemas.

“Kalau perlu kutarik lagi ucapanku agar reda obsesimu pada ayam tuna netra. Mengapa tak kau ladeni saja si Karem? Dia mengagumimu, tahu.

Esther menirukan gaya muntah saat kapan hari dia tersedak kerikil. “Karem itu entah dari mana asalnya, Okla. Jika dia berkokok, kepalaku pening karena tak ada nada yang pas. Lalu kau lihat tajinya? Astaga, pantas saja dia tak pernah mau berkelahi. Atau lebih parah, tak ada yang ingin mengajaknya duel karena cuma buang-buang tenaga.”

“Ooh, kau mencari yang bengal, sekarang?”

“Kau paham maksudku, Okla. Genetik Karem itu mengecewakan. Aku tak ingin telurku ternoda olehnya.”

Oklahoma kembali berdecak gemas. “Baiklah, kalau itu maumu. Dengarkan ceritaku ini, beberapa hari yang lalu, aku mendapat kabar kalau Jakob terluka parah saat berkelahi dengan Thor. Dia menang, sih. Tapi dengan harga yang pantas.”

Jakob? Pejantan dari kampung seberang? Yang suaranya tegap dan lantang? Yang ekornya indah dan bulu lehernya jenjang mengembang? Esther merasakan jantungnya bertalu-talu. “Apa maksudmu, Okla?”

“Maksudku adalah, kabar angin menyampaikan kalau sekarang dia buta. Tidak sepenuhnya buta, sih. Tapi kau tahu maksudku,” Okla menjawab malas-malasan.

Esther tak menunggu lama, setengah hari dia habiskan untuk berkeliaran mencari tahu di mana Jakob berada. Di persimpangan jalan tak diduga dia bertemu dengan Petunia. Dia sudah bersiap membuang muka ketika didengarnya Petunia menyapa, “Apa kabarmu, Perawan Tua?

Esther membelalak dan spontan menerjang Petunia yang sigap menghindar lari sambil tertawa-tawa. Ayam itu mengikik geli dan berteriak-teriak genit di sela-sela langkahnya, “Kau terlalu emosian, Esther. Percuma kita bertetangga tapi tak ada ilmu yang bertambah darimu. Betina itu harus pandai bersikap centil…!

“Astaga. Berhentilah membanggakan diri! Tak sedikit pun aku iri padamu yang hanya sukarela merendahkan badan dan membiarkan kepalamu dipatuk seakan itu menambah kehormatanmu. Bahkan bebek saja akan berlagak meronta jika mereka melakukannya.”

Petunia masih berlari-lari sambil tertawa,”Bicaramu seakan kau sudah pernah merasakannya. Aku penasaran dengan kitab kamasutra mana yang selesai kau baca.”

Esther geram setengah mati namun Petunia terlalu lincah dan liar untuk dikejar. Jadi dia berhenti dan membalikkan diri. Di bawah rindang pohon dirapikannya bulu-bulu yang kini lengket dan penuh debu.

Saat itulah dia melihatnya.

Jakob.

Astaga.

Esther hampir menetaskan telur jika dia tak segera merapatkan sepasang kakinya. Dia sibuk mematut diri sebelum teringat tentang apa yang disampaikan oleh Oklahoma. Merasa Jakob tak akan terlalu menilai penampilannya, Esther mendekat dan menyapa.

“Hai, Jakob.”

Jakob memiringkan kepala, menatap dengan sebelah matanya yang sepertinya masih berfungsi; setidaknya begitu dugaan Esther.

“Perkenalkan… namaku: Esther.”

Jakob hanya mengangguk pelan. “Apa maumu?”

Astaga, dia ini tak pandai berbasa-basi, ya? Esther membatin.

“Aku… aku… begini… aduh, aku harus mulai dari mana, ya?” Esther bingung.

Jakob terlihat bosan dan melangkah pergi. “Jangan buang waktuku kalau begitu.”

Esther panik dan menyusulnya. “Oh, tidak, jangan pergi dulu, Jakob.”

Jakob kembali memiringkan kepala.

“Aku… aku ingin kalau kau bisa melihat lagi,” cetus Esther.

Jakob langsung menegakkan leher tinggi-tinggi. Refleks berkokok.

Esther memalingkan wajah dan menelan lidahnya sendiri. Aduh, apa yang barusan kukatakan?

“Kau tidak sedang meledekku, kan?

Esther gugup dan menggeleng. “Tentu tidak. Aku, aku tahu siapa yang bisa mengobati matamu. Itu sebabnya aku mencarimu.”

“Benarkah? Luar biasa!! Aku tak mengira akan mendapat kabar baik di sore hari seperti ini!”

Maka pergilah Esther dengan penuh kebimbangan setelah dia bertukar janji dengan Jakob untuk kembali bertemu dalam dua hari.

“Matilah, kau, Esther! Apa kau tak bisa berbohong yang lebih dahsyat lagi? Mencarikannya ramuan supaya bisa terbang, mungkin?!” Oklahoma geleng-geleng tak percaya saat diceritakan runut kejadiannya.

“Ayolah, Okla. Carikan aku ayam penyembuh.

Bukan Oklahoma namanya jika tak kenal seisi kampung dan seberang-seberangnya. Dia kemudian memberikan sebuah nama.

“Pergilah cepat, perjalananmu sendiri sudah akan menghabiskan waktu lama. Tapi jangan lupa, jangan lagi kau banyak bicara.”

Esther mengangguk dan bergegas, penuh harap dan cemas, menemui dukun yang dimaksud. Sehari penuh dia habiskan namun beruntung pada akhirnya berhasil menemui ayam penyembuh itu dan menceritakan maksud kedatangannya tanpa keliru. Entah memang nasib mujur sedang menghampirinya, atau memang sudah itu takdir baginya, dukun itu memiliki ramuan mujarab untuk tuna netra.

“Dengarkan aku, Nak, ini cara pakainya, kau harus…”

Esther mendengarkannya setengah-setengah dengan pikiran gelisah, saat itu matahari sudah mulai rebah. Dia tak ingin terlambat dan Jakob marah padanya. Jadi dia memotong ucapan nenek itu dengan sopan dan segera meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan. “Berikan saja padaku instruksinya dalam bentuk catatan, Nenek Penyembuh. Aku sedang diburu waktu.”

Nenek itu tampak ragu, namun melihat kesungguhan hati Esther dia jadi tak tega dan memberikan catatan yang dimaksud. “Semoga tercapai apa yang kau inginkan, Nak.”

Esther berlari sambil sesekali membaca catatan yang diberikan, “Astaga, tulisan nenek ini sungguh seperti cakar ayam. Aku tak bisa membacanya dengan baik.”

Di tempat janji bertemu, Jakob telah menunggu. Wajahnya cerah saat melihat Esther datang terengah-engah.

“Apakah kau membawakan ramuanku?”

“Tentu. Aku tak akan mengecewakanmu, Jakob.” Esther menjawab di sela deru napasnya.

Maka Jakob menggunakan ramuan tersebut sesuai instruksi. Beberapa saat mereka menanti. Kesunyian mulai melanda, masing-masing dengan pikirannya.

“Berapa lama lagi aku baru bisa membuka mata?”

Esther meneliti catatannya, “Sebentar lagi. Dikatakan sampai kotoran encer mengering. Berarti tak lama lagi.”

Sementara menunggu, Esther mencuri pandang pada Jakob yang berdiri tegap di hadapannya. Dia sungguh terpesona.

“Apa kau sedang memandangiku, Nona?”

Esther gelagapan dan mengalihkan pandangan pada catatan yang dibawanya. “Tidak, aku hanya memastikan. Bagaimana bisa kau melihat aku sedang memandangimu?”

Jakob tak menjawab, hanya mengangguk-angguk pelan.

Waktu berlalu, sebentar lagi tiba saat yang dinantikan. Esther kembali memastikan catatan yang diberikan oleh ayam penyembuh.

Waktu reaksi obat: sampai kotoran encer mengering.

Lalu ada sebaris tulisan yang tak mampu dibaca olehnya. Diangsurkannya kepada Jakob.

“Hei, Jakob, kurasa sudah saatnya. Coba buka matamu dan baca catatan ini. Sebagai bukti kalau kau sudah bisa melihat lagi.”

Jakob membuka matanya. Luar biasa. Dia benar-benar sudah bisa melihat lagi! Dikepakkannya sayap dan berkokok lantang. Diambilnya catatan yang diangsurkan Esther, membaca dengan antusias.

Ramuan penyembuh mata buta.

Terbuat dari akar alang-alang berumur dua hari tiga malam, campuran sayap kepik bertotol hitam-ungu, seruas cacing tanah berkaki ganjil, dan dua puluh tetes embun subuh saat matahari berkilauan di ufuk timur.

Cara pakai: lumurkan ramuan pada mata yang sakit, tidak membuka mata sampai waktu yang telah ditentukan.

Waktu reaksi obat: sampai kotoran encer mengering.

Efek samping obat: berubah haluan.

“Bagaimana?? Aku sudah bisa melihat lagi!” Jakob melonjak-lonjak kegirangan.

Esther memiringkan wajah. “Sebentar. Coba kau ulangi. Baris terakhir. Aku tak salah dengar, kan?

“Oh, tentu tidak! Aku sudah bisa membaca dan tidak lagi buta!” Jakob mengedip genit dan mulai berkotek-kotek.

*****