Arsip Kategori: CERPEN

lalu kelindan 1

lalu kelindan

Do you know what is the strongest spell that evil ever casted?” dia bertanya.

Aku menguap lebar, lalu kembali menatap layar ponsel. “Huh?”

“Tahu, nggak?”

Aku menggeliat sampai gigiku gemeletuk. Mataku menangkap baris-baris cahaya lampu yang lolos dari kerai jendela. Aku hapal biasnya. Kukembalikan pandanganku ke layar, memastikan aku tak salah lihat. Masih belum subuh. Kunyalakan lampu di samping tempat tidur. “Kau menghubungiku sepagi ini hanya untuk menanyakan itu?”

Dia tertawa di seberang sana, matanya jadi tinggal segaris. “Come on. Hanya empat huruf.”

Aku menarik selimut sampai batas hidung, lalu berguling miring. Mendengus lemah, aku merasakan hidungku buntu. “Empat huruf?”

In English.

“Beri waktu sejenak,” aku menutup mata dan mengernyitkan kening, berpura-pura berpikir.

Seperti biasa, dia tak termakan muslihatku. “Ayolah. Four letters. Buka matamu.”

Aku membuka mata.

I’ll give you another clue then. You like it. A lot.” dia membisikkan kalimat terakhirnya sambil mengedipkan mata.

Aku sontak merasakan ada yang aneh di bawah sana. Refleks aku meringkukkan tubuh. Wajahku memanas.

“Bukan itu! Hey!” dia menukas cepat sambil tertawa keras.

“Memangnya apa yang barusan aku pikirkan?” aku mencebik menutupi rasa malu.

Senyumnya masih tersisa, dia mendekatkan wajah ke layar hingga aku merasa dia seperti sedang berbaring di sampingku. Dengan suara baritonnya yang serak dia berbisik, “Kau baru saja memikirkan tentang ‘love’.” Dia masih terlihat menahan tawa. “Well, it is almost romantic.

“Lalu, apa yang benar?” aku tak bisa mengelak.

Masih dengan senyumnya, dia kembali berbisik. “It is hope, Dani.” Dia mengedip jahil. “Hope.

Aku di sini dan kau di sana. Kita memandang langit yang sama…1

Aku melepas earphone di telinga. Mendecak pelan.

Kuperiksa deretan playlist yang kumiliki. Menghitung jumlah lagu yang mengisahkan tentang hubungan jarak jauh. Ketika selesai, aku tertawa lemah.

Mungkinkah secara tidak sadar aku menaruh lagu-lagu tersebut? Terkadang, lagu-lagu tersebut memang membuatku merasa tidak sendirian. Aku tahu benar masih banyak pasangan lain bernasib sama, terpisah jarak dan waktu. Mereka juga setengah mati menahan rindu tetapi belum bisa bertemu. Lagu-lagu tersebut memang membantu membuatku sabar menanti hari yang berganti.

Tapi hey, para musisi ini telah mengambil keuntungan atas kondisi yang sedang kualami. Aku mendecak.

Bukankah memang itu yang selalu mereka lakukan? Aku membatin lagi. Mereka, para seniman, menyulap kesedihan hingga tampak tetap mengesankan. Mereka membalut luka dengan rapi agar terasa tak sakit lagi; menyenandungkan kisah-kisah pilu dengan nada-nada sendu hingga hati yang mendengar ikut mengharu-biru. Pada akhirnya, mereka mendapatkan bayaran untuk itu.

That’s brilliant.

Jika dipikir lagi — keningku berkerut, tidak hanya para seniman yang begitu. Manusia pada dasarnya akan melakukan hal yang sama. Manusia akan mengambil keuntungan selagi mereka bisa. Bukankah itu yang akhirnya berakhir pada tiap hubungan? Mutualisme. Parasitisme. Pernikahan. Pacaran. Aku mengernyitkan kening.

Juga hubungan tanpa status. Suara dari dalam benak itu membuatku memutar bola mata.

Aku menggeleng pelan. Kututup lembar kerja di hadapanku, sudah waktunya pulang. Sambil membereskan meja, kupungut surat beramplop coklat dari dalam rak penerimaan dokumen. Aku memang sengaja belum membukanya.

Menghela napas berat, kumatikan sebagian lampu ruangan, mengunci pintu agar tak ada yang tiba-tiba masuk. Aku kembali ke belakang meja kerjaku, bersiap membuka amplop.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk.

Home already?

Aku tersenyum kecil. Mengetik balasannya dengan cepat.

Belum. Sebentar lagi.

Kusisihkan ponsel setelahnya. Berkonsentrasi pada surat di tangan. Yang ada justru bayangan percakapan dua minggu lalu yang kembali muncul. Wajah dokter itu menari-nari.

“Statusmu masih indeterminate. Meski tes pertama reaktif, tes yang kedua menunjukkan hasil sebaliknya yakni non-reaktif.”

“Kapan saya harus melakukan tes ulang?” aku tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya.

“Dua minggu lagi.”

Indeterminate. Aku mengulang-ulang kata itu di dalam hati. Tersenyum kecut. How fit and ironic.

Sebuah percakapan lain yang terjadi jauh sebelumnya ikut berputar. Kali ini mengambil tempat di sebuah kafetaria. Wajah dokter yang sama kembali membayang.

“Kita ini kolega. Meski saya tak mengenal dokter dengan dekat, tetapi saya selalu mendengar laporan yang baik mengenai pekerjaanmu sebagai dokter di rumah sakit ini. Hanya saja, terlalu riskan jika dokter tidak segera melakukan tes. Hampir seluruh pegawai rumah sakit telah mendengar cerita bagaimana dokter tertusuk jarum bekas pasien yang positif HIV.”

Sungguh aku tak menyangka kalau dia akan membicarakan hal tersebut, padahal kami sedang berada di tempat umum. Aku tak tahu alasan kenapa dia tak memanggilku saja ke ruangannya. Lagipula, dia adalah direktur rumah sakit. Mungkin melihat aku tak memberikan respon, dokter itu kemudian kembali berkata. “Saya telah menghubungi beberapa perusahaan yang membutuhkan dokter untuk mengevaluasi aspek keselamatan kerja di tempat mereka. Mereka mengatakan siap mempekerjakan dokter meskipun dengan kondisi seperti ini.”

“Saya belum dinyatakan positif,” aku tak bisa menahan nada tersinggung dalam kalimatku.

“Karena itu dokter harus segera melakukan tes,” dia kemudian menyodorkan sejumlah berkas. “Ini daftar perusahaan yang sudah saya hubungi. Saya akan memberikan rekomendasi buat dokter. Seperti yang saya katakan, dokter telah bekerja dengan baik selama ini. Saya harap dokter mengerti keputusan yang saya ambil.”

Mengapa kita selalu diminta untuk mengerti?

Dering pesan menyadarkanku dari lamunan. Aku mengintip isinya.

This meeting is forever. Tell me when you’re home.

Aku menelan ludah. Mengetik cepat.

Whose home?

Sekelebat kesadaran membuatku segera menghapusnya.

Akan kukabari.

Namaku Dani, aku seorang dokter.

Aku menatap kursor yang berkedip-kedip.

Ide menulis jurnal ini luar biasa menyebalkan. Terlebih ketika pikiranku sama sekali tak bisa diajak bekerja sama seperti sekarang. Sedikit pun aku tak bisa memikirkan apa yang hendak kutulis.

Semua ini berawal ketika hari itu aku bertugas di instalasi gawat darurat. Aku sama sekali tak punya firasat jika akan mengalami suatu kejadian yang mungkin — dan sepertinya memang akan — mengubah drastis jalan hidupku. Sore itu, seperti biasa, hampir setiap tempat tidur terisi pasien; kesibukan yang normal. Pasien berdatangan silih berganti namun tak ada kejadian istimewa.

Aku saat itu sedang bertugas di bagian trauma. Bagian berdarah-darah, begitu biasanya kami para dokter menyebutnya. Karena memang rata-rata pasien yang datang, pasti berlumuran darah atau pun berbalut perban tebal. Sore itu, beberapa saat sebelum waktu Magrib, pintu ruangan terbuka dan seorang pasien masuk, diantar keluarganya.

Aku mengenalnya sebagai pasien rutin di rumah sakit, bukan sebagai pasien trauma. Seorang perawat memberiku kode dan memberikan lembar status khusus. Aku mengerti maksudnya. Pasien infeksius.

“Dia mencoba bunuh diri…” keluarga pasien yang mengantar terisak saat menjelaskan padaku. Aku mengangguk dan mengucapkan beberapa patah kata, berharap mereka tenang. Kuminta mereka untuk masuk di ruangan tunggu.

Pasien itu sepertinya menelan sesuatu — apapun itu, jumlahnya pasti banyak. Aku mencoba membaui aroma yang menguar. Keningku berkerut.

“Dia sadar?”

Salah seorang perawat menggeleng. Aku mendekati pasien tersebut, memastikan informasi yang baru kudapat. Membuka kelopak mata pasien. Seketika aku mengumpat dalam hati.

Pin point pupil.2

Pasien ini kemungkinan menelan obat jenis opioid.

Aku bergegas melakukan primary survey. Memberikan instruksi sementara perawat bergegas melaksanakannya. “Jalan napas terganggu. Suction. Persiapkan intubasi. Bernapas spontan, frekuensi meningkat. Berikan oksigen lima liter per menit. Denyut nadi halus cepat, seratus dua puluh, tolong cek tekanan darah, siapkan cairan. Ambil sampel untuk laboratorium. Kesadaran…”

Saat itulah pasien tersebut menyentak hebat, berguling nyaris jatuh seandainya tidak ada seorang perawat di sampingnya yang menahannya. Beberapa orang perawat lain sigap datang membantu.

“Siapkan antikejang!”

Kembali pasien itu melenting hebat. Untuk kemudian tenang.

Namun justru seorang perawat wanita yang terpekik. Dia menunjuk ke arah lenganku.

Sebatang syringe tertancap di sana. Darah merembes pelan di seragam putihku.

Ding!

Messenger-ku berkedip-kedip.

Aku menutup dokumen jurnal dan membuka Messenger. Mengklik pilihan Camera.

“Hei.”

Jendela di layar itu membesar dan menayangkan wajahnya. Dia melepas kacamatanya. Melambaikan tangan.

As always.

Aku tersenyum, “Hai.”

“Hello, Kak Dani!” seraut wajah tiba-tiba muncul dan memeluk tubuh pria itu dari belakang. Anak itu tertawa saat ayahnya menariknya untuk duduk di hadapannya. Dia lalu melingkarkan tangan di bahu anak tersebut, memijatnya, atau apa pun itu, yang jelas anak laki-laki itu kini kegelian dan tertawa makin lebar.

Aku ikut tersenyum menyaksikannya. “Hei, Ryan,” kulirik jam di tangan. “Kenapa belum tidur?”

Anak itu tersenyum malu, dia lalu mendongak, berharap mendapat pembelaan dari ayahnya.

“Besok libur, jadi dia minta agar bisa tidur lebih larut.”

Sesaat kemudian aku melihat seseorang melintas di belakang mereka. Sosok itu telah melewati camera, untuk kemudian berjalan mundur, memeriksa apa yang suami dan anaknya sedang lakukan. “Bukankah itu Dani?” dia tersenyum lebar. “Kau terlihat kurusan! Jangan-jangan kau sedang sakit?”

Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan menggeleng pelan. “Selera makanku sedang tak baik.”

Wanita itu tertawa mendengar jawabanku. “Jika kau di sini, akan kubuatkan makanan kesukaanmu. Ryan dan ayahnya tak menyukai masakanku! Hanya kau yang selalu memujinya,” dia memberengut lucu. Di sampingnya, Ryan dan ayahnya memasang wajah protes.

“Mereka selalu memuji masakanmu setahuku,” aku membalas sekenanya.

Wanita itu melambaikan tangan jengah meski tetap tersenyum. “Kau selalu membela mereka. Huh. Okay, akan kutinggalkan kalian,” dia lalu menggamit lengan anaknya. “Cokelat hangatmu akan dingin jika kau tak segera menghabiskannya.”

Ryan melompat dan mengekor ibunya dengan riang. Dia tak lupa juga melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sambil tertawa. Kemudian kembali memusatkan perhatian pada sosok yang kini sendirian di dalam layar persegi itu. Pria itu diam sesaat seakan memastikan kami benar-benar tinggal berdua sebelum kemudian berkata, “Kau memang terlihat lebih kurus.”

Aku menghela napas berat, “Beratku masih sama,” tukasku singkat, aku tak berminat membahas kesehatanku.

Seperti biasa, dia menangkap nada tak suka pada suaraku. “Ada yang ingin kau ceritakan?”

Aku melirik jam di sudut layar komputer, kemudian beralih pada wajahnya yang sedang tersenyum. Mereka pasti baru saja selesai makan malam. Aku kembali menghela napas. “Actually, I’m in the middle of something. Kita ngobrol nanti, ya?”

Dia terlihat menimbang-nimbang. Beberapa saat dia diam, kemudian kembali mengenakan kacamatanya. “All right, take care then.”

“Apa yang membuatmu tertarik padanya?”

Okay, mari berpura-pura sedang berada dalam sesi konsultasi dengan seorang psikolog dan itu tadi adalah pertanyaan yang diberikan.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di atas keyboard.

Dia baik.

Detik berikutnya aku menekan tombol backspace.

Pintar.

Hello, Mr. Obvious.

Dia penyayang.

Aku tertawa sendiri membaca tulisanku. Dari sekian banyak karakter yang dia miliki, aku memilihkan ‘penyayang’ untuknya? Sungguh haus kasih sayang. Aku menghapusnya dengan senang hati.

He’s hot.

Wajahku memanas. Aku berbalik cepat, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Kubiarkan tulisan itu selama beberapa saat sebelum kembali menghapusnya.

“Sepertinya pertanyaan tersebut terlalu sulit. Bagaimana jika diganti dengan, apa yang membuatmu seharusnya meninggalkannya?” psikolog khayalan itu kembali bertanya dengan nada mengesalkan.

Aku memutar bola mata.

He’s married.

That’s more than enough. Psikolog itu mengangguk.

Aku mengempaskan punggung di sandaran kursi.

He’s more than enough.

Aku menatap tulisan di layar. That’s exactly why I liked him, bisikku pelan.

Aku bertemu dengannya pertama kali saat dia sedang menulis tentang pilihan metode terbaik penanganan limbah berbahaya di lingkungan rumah sakit. Dia adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Aku saat itu masih seorang mahasiswa yang juga melakukan penelitian untuk skripsi. Topik infeksi nosokomial3 yang kuambil membuatku sering bolak-balik rumah sakit dan kerap menghabiskan waktu di laboratorium untuk memilah hasil pemeriksaan dan kultur pasien rawat inap. Aku ingat telah melihatnya beberapa kali saat berpapasan di laboratorium, namun tidak ada yang menarik perhatianku awalnya.

Suatu ketika, entah bagaimana, dia memergoki aku yang sedang membuang sampah plastik permen yang memang terbiasa kukumpulkan di dalam saku jas putih yang kupakai. Dia tertawa dan memberiku tatapan aneh.

“Ada yang salah?” aku tak tahan untuk tidak bertanya.

Dia lantas menunjuk sampah lain yang tergeletak di sekitar kakiku.

That wasn’t mine,” aku membela diri.

Dia kembali tertawa lebar. “You’re being apathetic?

Aku memikirkan sejenak perkataannya. “No. Aku hanya berusaha untuk mengurusi apa yang aku bisa.”

Pembelaan yang sangat lemah.

Selama setengah jam kemudian aku dan dia bertukar pandangan mengenai kesadaran dan tanggung jawab individu dalam masalah hidup berkelompok. Yang kemudian merembet pada isu pemanasan global yang kutertawakan, hingga akhirnya dia mengajakku makan siang.

“Why?” aku bertanya curiga.

“Because even an antevasin4 needs to eat.”

Kukemasi meja kerjaku. Memasukkan beberapa buku dan pigura foto ke dalam box yang telah kusiapkan. Beberapa lembar jurnal penelitian yang sering kubaca juga kususun rapi ke dalam tempat terpisah.

Mataku menangkap setumpuk berkas yang sepertinya belum kubaca. Setelah kuperiksa, itu adalah daftar perusahaan yang pernah diberikan oleh direktur. Aku menyeringai, menimbang beberapa saat sebelum akhirnya juga memasukkannya ke dalam box.

Another departure.

Aku menelan ludah. Memandang berkeliling dan mencoba mengingat hal-hal menarik yang terjadi di ruangan ini. Duduk di pinggiran meja, kutelusuri tepian kanan kirinya dengan tanganku. How ironic, dari sekian banyak benda, meja ini yang nantinya akan sangat aku rindukan. Untuk alasan tertentu, aku merasa aman jika duduk di belakangnya.

You’re getting too melancholic.

Aku menggeleng pelan. Berdehem kecil, sekali lagi kuputar mata berkeliling, memastikan semua telah terangkut.

Pindah.

“Kau memutuskan untuk pindah kerja?” aku seketika ingat pesan yang dia kirimkan. Aku menerimanya beberapa saat setelah mengiriminya email tentang keputusanku untuk berhenti.

Aku beralasan mengenai kejenuhan yang memuncak serta tawaran gaji yang lebih baik. Dia tertawa mendengarnya.

“Is there something you didn’t tell me?”

As usual. I am an open book for him.

Pintu ruanganku terbuka. Penjaga lantai tempat ruanganku berada tersenyum dan menyapa. “Sudah selesai, Dok? Biar saya bantu antar barangnya.”

Aku membiarkannya. “Saya akan menyusul beberapa saat lagi.”

Dia hanya mengangguk.

Setelah kembali sendirian, aku membuka ponsel dan membaca kembali percakapan kemarin.

Is there something you didn’t tell me?

Ya, dan kuharap kau menghargai keputusanku saat ini untuk tidak berbagi.

‘Saat ini’?

You know I can’t predict tomorrow.

You’re acting weird.

Thank you.

Dan dia tidak lagi membalas.

Sampai sekarang.

Aku menimang-nimang benda itu sebelum kembali memasukkannya ke dalam saku kemeja. Kuambil amplop berwarna cokelat yang telah kupersiapkan sebelumnya dan menuju ruang direktur. Hari ini hari Minggu, namun dia sudah setuju untuk bertemu denganku secara pribadi.

Sampai di depan ruang kerjanya aku mengetuk dan direktur sendiri yang membukakan pintu untukku.

“Selamat sore, Dokter. Bagaimana, sudah selesai beres-beres?”

Aku mengangguk. “Saya ingin berpamitan.”

“Kenapa tidak tunggu besok saja, sih? Kita bisa buat pesta perpisahan kecil-kecilan.”

Aku menahan diri untuk tidak menyeringai sinis.

“Terimakasih. Begini lebih nyaman.”

Direktur mengangguk-angguk. Wajahnya mengesankan dia paham dengan keputusanku. “Dari dulu saya senang dengan dokter karena tidak banyak mengeluh tentang pekerjaan. Sayang sekali kita harus berpisah seperti ini.”

Aku membiarkannya bicara selama beberapa saat.

“Jadi, dokter sudah menghubungi perusahaan yang saya rekomendasikan?”

Aku mengangguk. Direktur tampak senang. Dia bahkan sempat bertepuk tangan kecil, lebih pada puas terhadap dirinya sendiri, kurasa.

“Saya ucapkan selamat bekerja di tempat yang baru.”

Sekali lagi aku mengangguk, “Terima kasih. Saya juga ingin menyerahkan salinan hasil tes yang ketiga. Serta dua tes sebelumnya, saya diminta untuk memberikannya kepada dokter sebagai pimpinan.”

Wanita itu menerimanya dengan hati-hati, seakan amplop itu berisi bom. “Ah. Hasil tes. Baik, terimakasih. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa kita dari manajemen rumah sakit berharap yang terbaik buat semua pihak. Saya senang dokter tidak pernah terlihat terganggu dengan semua mekanisme pemeriksaan yang dilakukan.”

Aku berdehem kecil untuk menutupi senyumku. “Saya permisi.” Di belakang pintu ruang kerjanya yang sudah menutup aku tersenyum lebar. Menyaksikan polah tingkahnya seperti jadi hiburan untuk sesaat.

Menuruni tangga, aku menyempatkan diri singgah di pos penjaga. “Bisakah aku minta tolong. Aku ingin melihat salah satu CCTV ruangan.” Kuselipkan dua lembar proklamator di tangannya.

Di ruangannya, direktur membuka amplop yang tadi kuberikan. Amplop itu berisi hasil tes pemeriksaan HIV/AIDS. Terlihat direktur menarik berkas di dalamnya dengan hati-hati, dia telah mengenakan sarung tangan tipis yang tampaknya telah dia persiapkan sebelumnya. Nanar matanya membaca deretan huruf-huruf yang tertulis. Aku tahu benar apa yang tertulis di sana.

Result: Non Reactive.

Kulihat bibirnya mengerucut. Keningnya berkerut.

Menarik napas dalam, gelombang bahagia yang sejenak kurasakan tiba-tiba menyisakan sedih. Tinggal satu lagi yang harus kulakukan. Kurogoh ponsel dari saku. Mengetik pesan dan mengirimnya pada sebuah nomor yang sudah begitu kuhapal.

Good bye, dear. 

*

  1. penggalan lirik lagu berjudul Dekat di Hati, dari RAN
  2. pin point pupil, kondisi di mana ukuran pupil sangat kecil hampir berupa titik; normalnya pupil manusia berukuran 2-4 mm, membesar dalam gelap dan mengecil saat cahaya berlebih.
  3. nosokomial, jenis infeksi yang didapat pasien dari lingkungan rumah sakit tempat dia sedang dirawat.
  4. antevasin, seseorang yang merasa hidupnya berada di antara batas antara hiruk pikuk dunia dan kesunyian spritual
perempuan gila

perempuan gila dan bayinya yang berusia seminggu

Aku mencintai perempuan gila itu. Perkara itu sudah jelas. Apakah dia membalas perasaanku, tak pernah diketahui. Tak akan pernah.

Karena kini dia sudah mati.

Seorang pengendara mabuk menabraknya saat dia hendak menyeberang jalan. Perempuan itu mati seketika. Peruntungan yang membuat banyak orang ternganga.

Aku juga ternganga.

Terlebih dengan seorang bayi berusia seminggu yang menangis kelaparan dalam pangkuan. Bayi perempuan itu.

Jika dia sedang tak begitu gila, perempuan itu memang cukup pintar untuk sekedar membuat seseorang tertarik pada tutur katanya. Didukung dengan wajah yang manis — dan tentunya peruntungan yang buruk —, seseorang terpesona dan berhasil memperkosanya.

Lalu meninggalkannya begitu saja di tepi jalan.

Jika sebelumnya perempuan itu masih punya sisa kewarasan, maka kejadian tragis itu pasti telah menghapusnya.

Aku bisa melihatnya.

Dalam kunjungan rutin sebelumnya, —perempuan itu adalah pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa tempatku bekerja— meski sendu, masih tampak binar di bola matanya. Setelah kejadian tragis itu, cahayanya padam.

Duduk di ruang tunggu, perempuan itu hanya membisu, merabai perutnya. Mungkin dia tahu kalau dia hamil, bahkan sebelum tes kehamilan memastikannya.

Bajingan itu punya sperma yang gesit sekali.

Maka perempuan itu dijadikan pasien rawat inap, dengan ruangan terpisah dari pasien jiwa lainnya.

Aku lumayan sering memperhatikannya.

Yang membuatku tertarik, seiring membesarnya perutnya, kembali pula kewarasannya. Beberapa minggu sebelum melahirkan, hampir semua orang bahkan yakin dia telah sembuh total. Badannya sintal membengkak, pipinya membulat seperti bakpao, dan senyumnya lebar pada semua orang, sampai anjing pengorek tong sampah yang sering berkeliaran di pekarangan rumah sakit jiwa, tak lupa dia sedekahi dengan senyuman.

Aku ingat, pertama kali meyakini mencintainya, saat melihat senyum itu.

Pekan berganti. Bulan menjelang. Hari persalinannya pun datang, sang bayi disambut dengan sukacita. Untuk sekali waktu yang jarang, rumah sakit jiwa bergembira bukan karena seorang pasien pulang membawa serta kembali kewarasannya.

Bayi mungil itu manis sekali, untunglah tak pernah ada beda yang nyata antara bayi hasil hubungan gelap dan terang. Bayi yang terberkati. Semua orang tahu, tak pernah ada bayi yang terlahir gila. Semua orang berdoa agar peruntungan bayi itu baik, bahkan jika sedikit saja lebih baik daripada ibunya, itu sudah dianggap benar-benar mujur.

Tetapi malang — bagi perempuan itu, begitu keluar isi perutnya, hilang juga aliran listrik otaknya. Mata perempuan itu kembali redup.

Meski begitu dia masih menerima bayinya. Disusuinya sambil sesekali cekikikan. Mungkin kegelian.

Kunjungan rutin berikutnya, aku sedang menyapu seperti biasa saat dokter jiwa datang. Keluar ruangan, wajah suram dokter itu memastikan dugaanku bahwa perempuan itu memang kembali gila. Muncul rencana memindahkan bayinya ke bangsal perawatan lain, untuk memastikan keselamatannya.

Yang terbaik untuk bayinya. Sekarang itu prioritas.

Perempuan itu tentu tak peduli. Dia asyik memilin-milin ujung rambutnya sambil duduk di sudut tempat tidur. Bagian depan bajunya basah.

Dia melihatku sedang bekerja, bangkit dari tempat tidur lalu berjalan mendekat, memanggilku dengan lambaian tangannya.

Aku bertanya, “Kau mau apa?”

Perempuan itu menunjuk boks berisi bayinya.

Yang pertama kali muncul dalam benakku adalah dugaan bahwa anaknya mati dan dia ingin aku menolongnya. Segera aku mengambil kunci serep ruangan dan membukanya. Namun ternyata bayinya baik-baik saja.

Seorang perawat ruangan yang sebelumnya tak kusadari keberadaannya karena mungkin dia sedang di kamar mandi menegurku dan menyuruhku keluar.

“Segera selesaikan pekerjaanmu. Jangan ganggu bayi itu!”

Aku keluar dengan bersungut. Niat baik memang tak selalu mendapat tanggapan serupa. Segera kukemasi sapu dan peralatan kebersihanku. Pergi menjauh.

Namun suara cekikikan di belakangku beberapa saat kemudian membuatku berpaling. Perawat ruangan itu pasti sedang mencret sehingga masuk lagi ke kamar mandi tetapi lupa mengunci pintu ruangan perawatan.

Perempuan gila itu mengikik keluar sambil memeluk bayinya. Aku sigap menyongsongnya karena dia menggendong anaknya bagai seonggok cucian kotor; kepala bayi itu terjuntai-juntai.

“Kenapa kau keluar?”

Dia hanya mengikik dan menarikku pergi ke sudut rumah sakit yang lebih sepi. Sesampai di sana aku melihat anaknya bangun.

“Susui anakmu atau dia segera menjerit.”

Perempuan itu mengangkat bahu dan mengangsurkan bayinya padaku, lalu menyingkap bajunya yang basah.

Aku terperangah.

Kurasa wajah kagetku mengingatkannya pada kejadian tragis saat dia diperkosa karena detik berikutnya dia langsung bangkit dan menjerit histeris layaknya orang gila — dan dia memang gila.

Aku berusaha mengejarnya namun perempuan itu malah berlari lebih kencang.

Melintasi pagar, keluar pekarangan rumah sakit.

Menyeberangi jalan.

*** selesai ***

sang sejuk 4

sang sejuk

“Apakah akan berbekas?”

Eliana menggeleng pelan, melirik sekilas pada kerutan di antara kedua alis putrinya.

“Kuharap tidak.”

Dengan hati-hati dimasukkannya gunting, plester, serta sisa kasa ke dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.

“Kau masih belum boleh membasahinya. Harus berapa kali kukatakan.”

“Apakah masih boleh naik sepeda?” tanya Lily tak sabar.

Belum sempat Eliana memberikan jawaban, Lily sudah turun; melompat dari tempat tidur. Gerakannya yang tiba-tiba membangunkan Elio, adiknya yang sedang terlelap—tidak lagi kini. Anak perempuan itu buru-buru menghilang di balik pintu, suara langkahnya berdebam menuruni tangga.

Eliana memungut Elio dari ayunan, menimangnya dengan gerakan otomatis yang entah kapan pernah dia pelajari—dia tak ingat pernah memasuki kelas Menimang Bayi, bahkan sampai menamatkan gelar S2-nya. Disibaknya kerai jendela, mengamati putrinya tadi membuka pagar kayu tanpa repot-repot turun dari sepeda.

“Pulang sebelum ayahmu datang!” teriaknya.

Yang segera disesali karena kini Elio tak hanya terbangun namun juga memekik keras.

Gerakan menimang Eliana semakin bersemangat. Didekapnya anak itu. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubun Elio yang bernapas. Tak juga diam, Eliana memberinya susu.

Sedikit panik, diliriknya jam dinding. Mengerjap-ngerjap. Mengukur masa.

Seharusnya Elio belum terbangun.

Seharusnya dia masih sempat menyeterika.

Seharusnya dia bisa memasak dengan tenang.

Seharusnya….

Eliana menutup kerai jendela, mengunci daunnya dengan rapat. Sore hari kerap burung singgah dan membuang kotoran; dia sedang tak ingin menambah daftar pekerjaan.

“Kau tak bekerja?”

Isapan Elio yang tiba-tiba kencang mengagetkannya. Membuatnya terdiam. Dengan ujung jarinya yang bebas Eliana menekan lekukan di depan lehernya sendiri, mencoba mengusir kering yang tiba-tiba melekat erat.

Kembali diperiksanya jam dinding. Elio butuh setidaknya sepuluh menit lagi agar benar-benar pulas. Puluhan Eliana di dalam kepalanya sedang memutuskan perubahan menu dari yang tadi pagi dia susun menjadi yang jauh lebih sederhana; mengutak-atik layar handphone, Eliana menelusuri laman resep masakan.

Dia bukan seorang kidal, namun kini dirasanya semakin mahir berselancar dengan tangan kiri. Elio masih harus ditimang. Dengan kaki kanannya Eliana menarik kursi mendekat. Duduk sejenak akan membuat pinggangnya berterima kasih.

Lampu di atas kepalanya tiba-tiba padam. Eliana mengeluh pelan, mengangkat kepala menyalahkan.

“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”

Dia tak memasak dengan listrik, kulkas juga masih tetap dingin sampai beberapa jam ke depan.

Elio yang tak bisa kepanasan.

Menimbang sejenak, Eliana menarik bantal kecil yang biasa Elio pakai. Membawanya serta ke dapur. Matanya melirik jejeran buku-buku tebal di dalam lemari kaca. Terpampang jemawa di antara piagam dan piala.

Tak sering listrik mati, namun ini bukan pertama kali Elio menemaninya di dapur. Dia hanya harus memasak sesuatu yang sunyi senyap.

Tumis? Lupakan.

Goreng? Nanti dulu.

Eliana merasakan isapan Elio melonggar, namun belum tepat waktu untuk melepaskan. Ditimangnya Elio sesekali. Memeriksa isi rice-cooker. Menjumput beberapa butir, memastikannya tidak mendekati basi.

Handphone-nya bergetar.

Kalian sampai selamat?

Dia berhasil menghindari memikirkan orang itu. Kalimat-kalimat orang itu. Sebelumnya.

“Apa yang dipikirkan anak-anak saat berjalan sambil menengadah?”

Dalam perjalanan pagi ini, Lily tersandung saat sedang mengamati lubang-lubang cahaya lolos di dedaunan-pepohonan. Luka di lututnya tak berhenti berdarah. Eliana menelepon sekolahnya meminta libur, lalu membawa Lily ke klinik terdekat.

“Kau tak bekerja?”

Berapa peluang dia akan bertemu teman masa kecilnya di klinik pertama yang dia temui? Mestinya hampir mustahil. Eliana ingat menggeleng pelan atas pertanyaan itu, menunduk, mencari-cari sesuatu dari dalam tas besarnya yang dia ingat benar apa saja isinya: tisu basah, popok sekali pakai, minyak telon, dua pasang baju Elio, dompet, botol air minum, sepenggal roti lapis.

Dia menunduk karena tak ingin terlihat wajahnya yang memerah.

“Kau melakukannya baik sekali. Mereka berdua terlihat sehat.”

Keluar dari mulut seorang dokter anak.

Seharusnya dia bangga.

“Aku belum melihatmu di grup Whatsapp angkatan kita,” pria itu mengeluarkan handphone-nya, bersiap mencatat.

Kalian sampai selamat?

Eliana meletakkan handphone-nya.

Dengan hati-hati dibaringkannya Elio di atas bantal. Sekejap kemudian dia menyangga kedua sisi tubuh bayi itu dengan barisan tebal buku teori ekonomi yang ditariknya dari dalam lemari kaca. Tergelitik, Eliana tersenyum geli.

“Kau adalah orang yang selalu mampu menyeimbangkan hidup. Sungguh. Kau tahu aku selalu mengagumimu karenanya. Sesekali, kau harus memberitahuku rahasianya.”

Eliana merenung. Mengamati foto pernikahan yang terpajang rapi di lemari samping meja makan. Buku. Piagam. Piala. Pigura.

Mengerjap-ngerjap.

Eliana membawa jarinya menelusuri huruf-huruf yang tertera di sana.

Pekikan anak-anak membawa pandangannya keluar jendela.

Memanjangkan leher, matanya menangkap Lily terjerembab dari sepeda. Namun anak itu sudah keburu bangkit dan menepuk-nepuk sisa tanah lembab dari telapak tangan dan betisnya. Seakan tahu diawasi, Lily mendongak dan memamerkan barisan giginya yang sedang tumbuh.

Eliana berteriak HATI-HATI tanpa suara.

Lily mengangguk paham. Mengayuh sepeda dengan tak kurang cepatnya.

Eliana membuka laci perlahan. Menarik pisau dan bahan masakan.

Teriakan Lily terdengar sesekali.

Bawang kupas membuat mata Eliana pedih.

Jemarinya teriris.

Eliana meletakkan pisaunya perlahan. Tak ingin Elio kembali mengamuk. Dibukanya keran air sekecil mungkin.

Tak membantu.

Dibawanya telunjuk kiri itu ke dalam mulut.

Asin.

Sembari menunggu, ditatanya meja makan, memastikan piring gelas yang digunakan kering dan tak retak di pinggiran.

Dikeluarkannya jari. Masih berdarah.

Asin.

Memungut handphone, Eliana menarik kursi dari bawah meja makan, menimbang informasi apa yang dia butuhkan.

Cara menghentikan darah.

Bolehkah mengisap darah.

Beberapa pencarian membuatnya tersenyum dan terus mengisap.

Asin.

Diketiknya pencarian baru.

Mengapa darah asin?

Sebuah notifikasi masuk. Seseorang memasukkannya ke dalam grup Whatsapp.

Beberapa pesan di sana menyambutnya ramah.

Eliana menimbang-nimbang.

Seseorang mengirimkan foto.

Dirinya. Berdua dengan dokter anak itu— sebenarnya bertiga, namun Elio tak terlihat dalam pelukannya.

Lihat, siapa yang kutemukan pagi ini?

Grup itu mendadak riuh.

Eliana menutup handphone-nya.

Memeriksa jarinya.

Masih berdarah.

Asin.

Entah sejak kapan air matanya mengalir.

Juga asin.

Eliana bangkit dari duduknya, untuk kemudian kembali duduk. Memeriksa handphone. Memastikan pengaturan tak ada notifikasi dari grup tersebut. Kuat keinginannya untuk mengintip lebih jauh. Namun asin di mulutnya membuatnya tersadar.

Dibawanya langkah menuju kamar, seharusnya masih ada sisa plester yang tadi Lily gunakan. Kemudian dia ingat Elio masih ditinggalkan di atas meja dapur.

Menimang anak itu, dipungutnya handphone, mengirim pesan pada sebuah nomor yang dia hapal di luar kepala.

Belikan makan malam saat kau pulang. Aku tak masak hari ini.

Sent.

Diintipnya garis dua yang berubah warna. Suaminya sedang mengetik.

Eliana tersenyum. Selepas itu ringan langkahnya menuju kamar. Elio masih terlelap dalam dekapan. Diciumnya bayi itu sekilas. Disesapnya aroma daging-rambut-keringat-entah apa hanya Tuhan yang tahu-yang manis di ubun-ubunnya yang bernapas.

Handphonenya kembali menyala.

Tak masalah. Seperti biasa? 

Eliana mengangguk. Lalu sadar suaminya tak bisa melihat. Dikirimnya sederet emoji makanan.

Yang dibalas emoji tertawa.

Eliana meletakkan handphone-nya, serta Elio yang kini sudah pulas kembali.

Berdehem pelan, Eliana mengambil gunting, plester, serta sisa kasa dari dalam kotak plastik yang tadinya adalah kotak makan. Paling tidak benda itu masih berfungsi.

Dia tahu dia hanya perlu membalut jarinya.

Itu saja.

Mayat, Mima 6

Mayat, Mima

Seumpama bukan karena dua ekor kucing hitam berekor putih yang bertengkar di atap rumah, belum tentu mayat Tuk Hasan sudah ditemukan.

Hari itu, seperti biasa Mima masuk lewat pintu samping; dia memang diperkenankan membawa kuncinya, karena baik Tuk Hasan apalagi Cik Loya tak pernah lagi lewat sana. Yang satu sudah tak cukup awas untuk melewati celah remang-remang dengan paving block yang mulai berlumut itu, sedang satunya terlalu berat badannya untuk sekedar berpindah dari ruang tamu tempatnya menonton televisi sepanjang siang.

“Sudah kubelikan sarapan yang biasa,” Mima berucap datar saat Cik Loya berpaling melihatnya masuk. Ucapannya dibalas anggukan dan semacam lenguhan pelan.

Mima tak pernah ambil pusing, dia bekerja untuk dibayar, dan selama tak ada masalah tentang hal itu, dia tak berkeluh kesah tentang perangai acuh tak acuh majikannya. Pekerjaannya pun tak begitu berat.

Pagi hari, setelah menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anaknya, Mima akan pergi ke pasar, membeli belanja untuk tiga hari—bukan dapurnya, karena untuk yang itu, suaminya yang punya tugas—untuk dapur Cik Loya. Dia juga akan membeli sarapan yang banyak dijual di pasar: Cik Loya sarapan lontong sayur, Tuk Hasan makan nasi kuning dengan lauk sepotong ikan yang diberi sambal. Sesekali di awal masa kerjanya, Mima membelikan kerupuk untuk teman mengunyah sepasang majikannya itu, tetapi karena tak pernah disentuh dia berhenti melakukannya.

Menjelang matahari meninggi, Mima biasanya sudah selesai dengan urusan dapur. Tinggal mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin pencuci. Mima biasa meninggalkannya dalam mode otomatis lalu keluar rumah sebentar untuk menjemput anaknya pulang sekolah. Saat kembali, pakaian itu sudah siap untuk dijemur. Cik Loya punya ruangan khusus menjemur di lantai atas.

Ketika itulah Mima melihat dua ekor kucing hitam dengan ekor putih berkelahi begitu sengit. Dia tak ambil pusing sebagaimana sudah tabiatnya. Akan tetapi kucing-kucing itu berlari dan menabrak keranjang cuciannya yang tinggal berisi air sisa perasan cucian. Kucing malang itu tak sanggup menahan laju larinya dengan bantalan air sabun di bawah cakarnya, terpelanting menabrak dinding. Kucing yang lain tak kalah bodohnya ikut meluncur dan bertemu di dinding yang sama. Mima bergidik, dia tak pernah suka kucing. Apalagi kucing bodoh yang senang berkelahi. Maka diambilnya sapu yang tergeletak di sudut ruangan, berlagak hendak memukul kucing-kucing itu.

Keduanya menggeram lalu lari secepat mereka datang, satu ekor sempat terpeleset kembali tetapi tak dihiraukan oleh yang satunya. Mima berdecak kesal namun tak urung senyumnya tersungging.

Senyum itu segera menghilang saat menyadari ada yang aneh dengan aliran air di lantai. Biasanya air bekas cuciannya segera mengalir ke lubang pembuangan di sudut ruangan. Kali ini tidak. Mima mengutuk dalam hati, pasti kucing tadi sempat berak lalu kotorannya menyumbat lubang pembuangan. Itu sering terjadi. Kucing-kucing itu senang buang hajat di sudut ruangan yang gelap dengan kardus bertumpuk itu. Dia benci membersihkan berak kucing, dan itu salah satu alasan untuk tak suka kucing.

Tentu saja hari itu bukan berak kucing yang dia temukan.

*****

 

Cik Loya tampak terlalu kaget untuk terlihat sedih. Dia menganga saja dengan pandangan hampa di atas kursinya. Televisi tak lagi menyala tetapi dia tetap memandanginya. Satu dua polisi yang berusaha menanyainya akhirnya menyerah. Mereka bergumam tentang shock yang begitu hebat dan pada akhirnya saling mengangguk mengasihani Cik Loya. Mima yang pada akhirnya berhasil menguasai dirilah yang kemudian harus menjawab pelbagai pertanyaan. Tak banyak yang bisa dia jelaskan, karena memang dia tak tinggal di rumah itu.

“Kapan terakhir kali melihat Tuk Hasan?”

Dua hari yang lalu, saat dia membuang sisa sarapan yang setengahnya tak tersentuh; Tuk Hasan beralasan giginya sakit jadi dia tak mau makan. Mima ingat sempat menawarkan diri untuk membelikan obat penghilang nyeri tetapi kembali menemukan obat tersebut utuh tak tersentuh.

“Kira-kira apa yang dilakukan Tuk Hasan di lantai atas?”

Mima menjawab tak tahu. Polisi terus menanyakan pendapatnya. Tak peduli benar atau salah, yang penting dijawab.

“Mungkin ada yang ingin dicari. Gudang berisi barang-barang bekas ada di atas,” bahkan Mima sendiri tak yakin dengan pendapatnya itu. Selama dia bekerja di rumah, sekali dua dia memang pernah melihat Tuk Hasan menaiki lantai atas, tetapi tak pernah lagi terutama sejak matanya semakin senja.

Lalu apa gerangan yang membuat Tuk Hasan yang hampir buta naik ke sana?

Di luar para tetangga mulai kasak-kusuk, masing-masing dengan teorinya. Satu orang berhasil mengajak polisi berbicara. Pak Imam. Beliau menanyakan perihal pengurusan jenazah. Tuk Hasan memang telah lama tak nampak di masjid, tapi karena tak pernah terdengar kabar dia berpindah agama, Pak Imam merasa perlu mengurusi mayatnya.

“Coba tanyakan istrinya.”

Cik Loya masih belum mampu mengatup mulutnya. Hanya erangan tak jelas yang berhasil keluar.

“Tak adakah anak atau kerabat dekat?”

Lagi-lagi Mima yang harus menjelaskan. Dicarinya album foto keluarga lama yang biasa disurukkan di laci lemari ruang tengah. Di foto itu Tuk Hasan dan Cik Loya mengapit anak perempuan.

“Anak mereka hanya satu. Aziza. Sudah lama tak tinggal bersama. Kini tinggal di Jawa. Sudah berkeluarga, punya anak dua.”

Mima lalu menyampaikan kalau dia sudah sempat mencari-cari nomor telepon Aziza ketika berhasil menghubungi polisi. Urutannya: dia meminjam celana dalam Cik Loya karena sempat terkencing saat melihat mayat Tuk Hasan, setelah itu dia mencari Cik Loya untuk mengabarkan perihal suaminya. Mencari Cik Loya tak susah karena posisinya jarang berpindah, hanya saja menyampaikan berita kematian suaminya yang ternyata cukup payah.

“Tuk Hasan mati di atas.”

Cik Loya masih memandang televisi.

“Ada mayat Tuk Hasan di lantai atas.”

Cik Loya mengangguk pelan pada iklan sinetron India di depannya.

Mima mendekatkan mulut pada telinga perempuan gemuk itu. Membisikkan innalillahiwainnailaihirajiun.

Barulah Cik Loya tersentak.

Selepas itu Mima memberitahu tetangga. Tetapi saat itu jam makan siang. Jalanan sepi dan beberapa pintu terdekat tak kunjung membuka saat diketuk, jadi Mima menelepon suaminya. Dia hapal deretan nomor itu di luar kepala.

Suaminya yang menyuruhnya melapor polisi.

“Untuk apa?” Mima mencicit.

Suaminya mengatakan bahwa jaman sekarang menemukan mayat seperti itu harus lapor polisi.

Dia sempat menunggu lama karena suaminya juga tak hapal nomor telepon polisi.

Setelahnya barulah dia terpikir untuk mencari tahu nomor Aziza.

“Tapi nomor itu tak aktif lagi.” Mima menunjukkan buku telepon yang tadi dia pakai.

Pada akhirnya kedatangan polisi yang membuat para tetangga tahu perihal penemuan mayat Tuk Hasan. Beberapa orang memaksa masuk namun segera terhalau keluar oleh garis kuning hitam yang telanjur dipasang. Kini mustahil untuk Mima bisa pulang, jalan sempit di depan rumah itu sudah buntu total.

Selepas mengambil beberapa gambar dan mencatat keadaan sekitar, mayat Tuk Hasan diizinkan untuk dipindahkan. Beberapa orang warga antusias terpilih untuk membantu mengangkat mayat meski pada akhirnya terbatuk-batuk menahan napas.

“Sudah berapa hari agaknya jenazah ini?”

“Bukankah perlu berminggu-minggu untuk mayat bisa berbau?”

Sekejap saja lorong depan rumah itu penuh teori tentang pembusukan mayat. Pak Imam sampai membawa pengeras suara dari masjid dan menyampaikan ceramah singkat tentang kewajiban menjaga rahasia jenazah. Suasana langsung senyap meski jelas dari berpuluh pasang mata yang saling tatap itu, benak mereka bergemuruh.

Demi memenuhi rasa penasaran akan sebab kematian, seorang anggota polisi ikut memandikan mayat. Memeriksa dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Matanya yang tajam berhasil melihat luka di sana.

“Oh, ini luka bakar listrik. Mestinya ada luka keluar di bagian lain.”

Ketika mereka menemukannya, maka terpecahkanlah misteri kematian Tuk Hasan. Tak bisa dipungkiri, wajah mereka jadi berseri-seri.

“Tuk Hasan mati kesetrum.”

Demikianlah kabar itu segera menyebar.

Menjelang Ashar Mima berhasil menyeret deretan sofa berdebu dari ruang tamu, dibantu beberapa orang tetangga. Cik Loya berbaring di kamarnya. Satu demi satu warga yang sudah berganti pakaian datang membaca doa dan membawa makanan.

Mima ingin menyediakan suguhan tapi ditolak oleh Pak Imam.

“Tak boleh. Keluarga yang berduka justru sepantasnya menerima.”

Maka Mima menelepon suaminya, minta dijemput segera.

“Mungkin malam ini akan menginap menemani Cik Loya. Setidaknya aku pulang dulu untuk mandi dan berganti baju.”

*****

 

Karena nomor Aziza masih tak dapat dihubungi, diputuskan untuk segera menguburkan Tuk Hasan. Batas waktu adalah dua hari tiga malam, demikian ujar Pak Imam. Semakin disegerakan semakin dianjurkan. Hanya perkara memilih pemimpin rakyat yang bisa mengalahkan pemakaman mayat.

Cik Loya hanya mengangguk lemah saat ditanya persetujuannya.

“Ambilkan aku air gula,” bisiknya pada Mima.

Pelan tapi pasti kesadaran wanita tua itu kembali. Sekarang sesekali terdengar dia terisak sambil mengeringkan sudut-sudut matanya. Beberapa orang tetangga yang seusia dengannya diizinkan masuk menjenguk di dalam kamar.

“Kau bersabarlah, Loya. Pasti akan ada gantinya.”

Mima yang sempat mendengar ucapan itu menahan diri untuk tidak mencebik. Apa pula urusan doa tetangga ini? Ketika satu dua orang berikutnya mulai mengajak Cik Loya membahas kelanjutan sinetron India, Mima bertindak cepat dengan menumpahkan segelas air di lantai dan berkilah tak sengaja.

“Ada baiknya Makcik semua menunggu dulu di ruang tamu. Di dalam kamar tak cukup terang untuk membaca Yasin.”

Menjelang tengah malam pelayat yang datang hampir semua sudah pulang. Mima menutup pintu dan jendela. Dia belum pernah bermalam pada rumah yang sedang berduka. Ayah ibunya masih hidup dan dia tak sempat melihat kakek neneknya. Begitu juga dari pihak suaminya. Tamu terakhir adalah tetangga persis sebelah rumah, wanita itu menitipkan nomor telepon padanya.

“Seandainya ada yang kau perlukan di malam ini, Mima.”

Mima mengangguk. Sepenuh hati bersyukur. Ingin rasanya meminta Makcik tua itu ikut menginap tapi tak tahu bagaimana menyampaikannya.

Cik Loya sedang berbaring di dalam kamar ketika Mima mengetuk pintu dan membawakan sepiring nasi.

“Makanlah.”

Kemudian Mima teringat perihal Aziza. Ditanyakannya. Cik Loya menjawab di sela kunyahannya.

“Dia masih mengirim uang. Bagaimana mungkin aku membayarmu sedang kau tahu aku dan suamiku tak bekerja?”

Mima mengulangi pertanyaannya. Adakah cara menghubungi Aziza.

Cik Loya menggeleng.

“Suamiku. Aku tak bicara pada Aziza. Dia kawin dengan lelaki yang tak kusuka.”

Mima keluar kamar setelah mengingatkan Cik Loya untuk menaruh saja piring bekas di atas meja di samping tempat tidur. Dipandanginya ruang tamu yang sepi. Rasanya berbeda sekali. Temaram seakan semua cahaya yang ada telah tenggelam. Dalam benaknya, terlintas pikiran bisa saja sewaktu-waktu Tuk Hasan muncul dan menanyakan sarapannya.

“Ikan yang kemarin terasa hambar sekali.”

Atau,

“Tak bisakah dia mengingat seperti apa masakan yang kemarin dia buat?”

Dia teringat pertama kali bekerja karena Tuk Hasan yang memintanya. Mereka bertemu di pasar. Mima sedang berjualan nasi kuning. Tinggal sebungkus ketika lelaki tua itu datang membelinya. Lalu dimakan langsung di tempat.

“Kau yang membuatnya?”

Bukan, jawab Mima. Dia hanya menjualkan. Beberapa menit dia habiskan untuk menjelaskan tentang tetangganya yang pandai memasak nasi kuning.

“Kau sendiri, pandai membersihkan rumah?”

Bisa saja, jawab Mima. Tentu saja masih merasa heran karena dia pikir lelaki tua itu ingin memesan nasi kuning.

“Kerjalah di rumahku. Nanti kau belikan sarapan untukku dan istriku setiap hari. Yang seperti ini aku suka.”

Mima mendengarkan alamat yang diberikan laki-laki itu. Tak jauh dari pasar. Tak jauh dari rumahnya sendiri. Seorang penjual sarapan lain mengenal Tuk Hasan dan menganjurkan agar dia menerima saja tawarannya.

“Keduanya sudah tua. Jika tak cocok kau bisa berhenti kapan saja,” penjual itu berbisik begitu ketika Tuk Hasan sudah cukup jauh berlalu.

Sudah menjalani tahun kedua. Mima baru menyadarinya. Dia merasa tak berguna.

Bahkan menghubungi Aziza saja dia tak bisa.

*****

 

Hari ketujuh tiba ketika akhirnya telepon rumah berdering. Mima mengangkatnya. Dia menekan kuat benda itu ke telinganya karena beberapa orang tamu masih datang dan membaca ayat suci.

“Aziza,” kata suara di seberang sana.

Mima hampir tersungkur, bersujud syukur. Lalu tangisnya pecah.

Aziza sempat mengira yang bicara adalah Cik Loya, maka dia ikut menangis karena bahagia dan terharu. Sampai kemudian berita duka itu dikabarkan.

“Aku akan mengunjungi Ibu secepatnya,” demikian katanya, terdengar mengisak.

Cik Loya tak bahagia ketika Mima menyampaikan pesan Aziza. Dia membalik badan beradu pandang dengan dinding. Mima serba salah.

“Biar bagaimana pun, dia bilang akan mengurusmu.”

“Tahu apa kau tentang diriku.” Cik Loya membalas ketus.

Mima keluar kamar, sudah jadi tabiatnya untuk tak bicara panjang lebar. Yang jelas, dia kini lebih tenang. Cik Loya memang keras kepala, tetapi tak mungkin pula dia akan menolak Aziza datang ke rumahnya.

Esok berganti tanpa kejadian berarti kecuali Aziza yang mengabarkan bahwa kemungkinan dia akan tiba menjelang senja. Mima hampir merasa terbiasa dengan satu dua orang tetangga yang kini rutin berkunjung sekedar menyambung cerita dengan Cik Loya. Mereka penasaran dengan akhir kisah jandanya.

Seorang tetangga yang cukup rajin ikut mencuci pinggan dan gelas kotor sisa penganan tamu menggamit Mima. “Jika memang wanita itu tak ingin diurus anaknya, bagaimana bisa dia membayarmu nantinya?”

Sedikit pun prasangka tentang hal itu tak pernah terlintas di benak Mima tetapi kini dia jadi memikirkannya. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut. “Entahlah. Akan kutanya langsung pada anaknya ketika dia tiba.” Selepas itu dia kembali pergi, mengurus apa yang memang sudah jadi pekerjaannya.

Menjelang petang Mima naik ke lantai atas, membawa keranjang kosong. Dia teringat sudah hampir seminggu dia tak pernah menginjak tangga itu lagi. Pakaian kotor sudah menumpuk di sudut kamar dan itu sudah dia kumpulkan. Tinggal memetik jemuran yang telanjur dia abaikan.

Saat itulah dia kembali terpikir, apa penyebab Tuk Hasan naik ke lantai atas?

Selesai memasukkan jemuran yang kini setengahnya mengeras kaku karena terpanggang sinar matahari dan terendam embun seminggu, Mima menyempatkan diri menilik sudut ruangan yang penuh tumpukan kardus.

Polisi telah memeriksa tempat itu dan memperbaiki kabel yang diduga menyebabkan Tuk Hasan tersetrum.

“Ada bagian yang terbuka, tersambung ke dinding, kita tak akan pernah tahu bagaimana peristiwa aslinya.” Demikian polisi berkata saat itu.

Tetapi tetap saja Mima berhati-hati. Dilihatnya sekeliling paling tidak dua kali.

Dengkur kucing menarik perhatiannya. Berjinjit mencari asal suara, dia memanjangkan leher. Dengan kaki didorongnya kardus yang jadi sumber bunyi.

Seekor kucing melompat keluar dan menggeram marah. Perutnya bengkak.

Kucing bunting. Mima memberengut karena kaget. Dipastikannya kucing itu tidak sempat berak. Untunglah tidak. Sepertinya hanya sedang ingin beranak.

Matanya menangkap sudut pigura itu.

Lukisan?

Oh. Mima mendekatinya.

Menariknya dengan sedikit bertenaga.

Itu ternyata foto keluarga, jauh lebih baru dari yang pernah dilihatnya.

Mima hampir terpana dan tak menyangka, dalam pandangannya, di foto tersebut Aziza sangat mirip dengan dirinya.

Terdengar ribut-ribut dari lantai bawah. Asal suaranya seperti dari ruang tengah. Cik Loya berteriak histeris. “Anakku Aziza…!! Kau telah datang…!!”

Mima merasa darahnya naik ke kepala. Tak tahu kenapa tapi dia jadi sangat bahagia. Buru-buru diletakkannya pigura itu. Memungut keranjang berisi pakaian. Menuruni tangga dengan tergesa.

Betisnya menginjak gumpalan kenyal yang bersuara.

Mima segera menyadari dia telah menginjak kucing bunting. Hanya saja, kesadaran itu segera disusul dengan kelabatan dunia yang berguling.

Hal terakhir yang diingatnya adalah wajah-wajah penghuni rumah. Di matanya, mereka kini tampak bahagia.

Tuk Hasan, tersenyum menemukan foto keluarganya.

Cik Loya, memeluk anak yang diakunya durhaka.

Aziza. Jelas tak mampu berkata-kata.

Maka Mima memejam. Dalam diam.

Seumpama bukan karena seekor kucing hitam berekor putih yang siap sedia untuk beranak lalu mondar-mandir dan kemudian membuat bising di atap rumah, belum tentu…

*****

Terapung 8

Terapung

“Menurutmu, jika kita jatuh, apakah akan mati?”

Anwar menghentikan gerakannya menyuap sup—yang terlalu cair menurutku. Seperti biasa, dia hanya tersenyum, mengerti bahwa itu bukan pertanyaanku sebenarnya.

“Ada banyak teori tentang itu.”

“Tentang mati?”

“Kalau itu cuma satu.” Anwar menegakkan punggung, tiga jam—dan masih terus berlanjut—di perjalanan pasti membebaninya. “Maksudku sebelumnya: apa yang bisa terjadi pada kita—manusia, sesaat setelah pesawat ini jatuh.”

Aku yang tadinya bertanya sekadar membunuh bosan kini tertarik. Meski aku juga sebenarnya tertarik untuk membersihkan bekas sup yang menggaris di sudut kanan bibirnya.

“Ayahku—kau pasti ingat kalau dia seorang dosen; sama sepertimu—dan seorang yang sangat tertarik dengan dunia penerbangan jika boleh kutambahkan. Dia bisa menjelaskan ini lebih baik daripadaku.”

Sesaat pesawat mengalami turbulensi yang cukup kuat. Aku mencoba mengintip di jendela; hanya silau karena kami sedang menembus awan yang berkilau.

“Kita bisa saja jatuh sebentar lagi, dan ayahmu tak di sini, sayangnya,” gumamku.

Anwar tersedak dan tertawa. Atau sebaliknya.

Yang mana saja. Aku senang karena merasakan hangat yang menyeruak di dada saat mendengarnya tertawa. Atau melihatnya.

Yang mana saja.

Anwar tak sering tertawa, seingatku. Terutama sejak diagnosis kanker saluran empedu dia terima. Sulit untuk melihatnya tertawa lepas tanpa harus mengeluh sekali lagi tentang kondisi medisnya. Kuperhatikan sekali lagi saat Anwar menyekakan sudut tisu basah di sela-sela jarinya, berhati-hati memastikan sepotong kertas itu akan cukup untuk kedua tangannya.

Kisah tentang sakitnya Anwar akan sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang daripada perjalanan di pesawat ini. Singkatnya, aku ingat Anwar menutupi rasa jengah yang nyata di air mukanya ketika aku dengan penuh penasaran membahasnya: aku mengakui bahwa gaya hidupku salah—dan kemudian itu menyebabkanku sakit. Aku mengutip kalimat lengkap Anwar di sana.

Tentu saja bukan itu penyebabnya. Gaya hidup yang mana? Aku dan Anwar berteman sejak kecil, berpisah saat masing-masing melanjutkan pendidikan dan bekerja. Menikah dengan pasangan masing-masing. Suamiku meninggal sementara Anwar bercerai. Lima tahun lalu kami bertemu dan Anwar belum dengan diagnosisnya. Jadi aku sendiri masih belum terbiasa dengan kondisi emosi Anwar. Ini semacam versi tambahan darinya. Anwar dan kanker. Penyakit dan Anwar.

Sekali lagi, bukan gaya hidup Anwar penyebabnya, aku yakin itu. Namun kita sebagai manusia (hampir selalu) butuh pelampiasan sebagai alasan untuk menyalahkan diri sendiri bukan?

Terlebih dengan penyakit yang muncul begitu perlahan hingga baru terdeteksi saat sudah terlambat.

“Belum,” tukas Anwar.

Aku tersentak, memalingkan wajah dari gumpalan awan-awan putih yang sepertinya lembut untuk dipegang.

Anwar mengerti kebingunganku, dia mengangkat pergelangan tangannya.

“Aku belum menyetel jam,” kembali diperhatikannya wajahku, sekilas senyum terbit di sudut bibirnya, yang menghilang begitu dia kembali membuka suara,”kau kerap melamun belakangan ini.”

Aku mengambil pergelangan tangannya, memperhatikan posisi jarum yang baru saja dia ubah. “Hanya selisih dua jam,” aku berlama-lama menggenggam tangannya.

Pernah beberapa kali aku memberitahu Anwar betapa jari-jari tangannya terasa besar saat menangkup di tanganku. Namun entah kenapa rasanya pas. Aku ingat kami bisa berjam-jam duduk di teras rumah berpegangan tangan. Anwar membaca buku dan aku mengintip sela-sela halamannya; lebih banyak membebani bahunya yang beraroma lavender—karena aku selalu menyeterika bajunya dengan parfum lavender. Sesekali Anwar terusik dan mengangkat bahunya seakan menyuruhku menjauh. Aku akan bersungut pergi lalu kembali membawa kudapan untuk menemaninya menghabiskan senja.

“Ada alasan kenapa manusia menyematkan cincin pada jari pasangannya,” jawabnya saat itu. Beberapa menit kemudian dia habiskan untuk menceritakan kebiasaan manusia saat mengklaim manusia lain sebagai pasangan hidup: memberi cincin, melukis tato, menusuk bagian tubuh, banyak lagi, beberapa membuatku meringis.

“Tidak semua melakukannya.”

“Kebanyakan melakukannya.”

“Kau tidak.”

Anwar melempar pandangan mencela.

“Aku tidak melakukannya.”

Ada nada bangga saat dia mengucapkannya. Beberapa obrolan kami saat petang kadang berulang layaknya pasangan yang mulai menua. Perdebatan yang terjadi juga tak pernah usai meski kami berjanji untuk tak melakukannya sesering sebelumnya.

Jemarinya jauh lebih kurus sekarang. Aku menepuk-nepuk punggung tangannya sebelum mengembalikannya. “Hanya selisih dua jam,” ujarku sekali lagi.

“Katakan itu pada orang sekarat, mereka akan sangat menghargai detik yang mereka punya.” Anwar mengedip, sekali lagi memeriksa jamnya, “Ini mengasyikkan. Kita harus sering berpindah untuk mengejar waktu yang lebih pagi.”

Aku urung tersenyum. Menahan cekat yang tersendat. Tak pernah nyaman jika Anwar kembali pada mode aku-akan-segera-mati-mari-kita-menyiapkan-kuburan-di-depan-halaman-oh-sebentar-sepertinya-aku-harus-mati-di-tempat-lain-mari-kita-jalan-jalan—yang biasanya akan berakhir pada aktivitas mengunci diri di kamar hingga keesokan hari.

Beruntung tak ada kamar yang bisa dikunci di dalam pesawat.

Mungkin ada, namun Anwar dan aku tak mampu membayar tiketnya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Anwar berdeham, menghabiskan isi gelasnya. “Tentang jatuh dari pesawat?”

Aku mengangguk. Kumiringkan sedikit tubuhku.

Baru kusadari bahwa penumpang yang tadi ada di sisi Anwar telah pergi. Pesawat memang tak penuh jadi bisa saja dia merambah kursi kosong lainnya—untuk tidur, atau sekadar menghindari obrolan kami berdua: pasangan yang tak pernah berhenti bicara. Salah satu tipe teman perjalanan yang harus selalu dihindari.

“Kita akan terapung.”

Aku mengernyitkan kening.

“Kau tahu maksudku.”

Aku menggeleng. “Tentu tidak, kau harus menjelaskannya.”

Seorang pramugari dengan cekatan memungut mangkuk sup dari depan Anwar, tersenyum sopan namun seakan menanyakan apakah dia juga bisa sekalian mengangkut gelas—sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui. Anwar mengangguk paham meski terlihat sedikit enggan menyerahkan gelas kertasnya begitu cepat. Aku sendiri sudah sejak tadi mengembalikan sisa sup dan jusku—tentunya setelah mengisi komentar tentang keduanya pada lembar kuesioner penumpang yang terselip di dalam majalah; kuharap seseorang membacanya. Atau sebaliknya.

Pramugari itu berlalu dengan cepat, kepalanya cekatan berpaling ke dua sisi pada tiap langkah untuk memastikan tak ada gelas atau mangkuk yang terlewat. Senyumnya tetap melekat.

Luar biasa.

Mungkin Anwar perlu belajar tersenyum padanya. Aku tersenyum sendiri memikirkan ide itu.

“Katakanlah pesawat ini meledak,” Anwar membuka suara.

“Meledak?”

“Ya, meledak.”

“Seperti apa maksudmu? Meledak seperti kembang api? Di film selalu digambarkan bagian pesawat yang patah lalu sisanya berkeping-keping jatuh. Meledak tak cukup pas rasanya.”

“Tentunya bukan seperti kembang api.”

“Lalu seperti apa?”

“Apa skenario yang terbayang olehmu? Ini bukan bagian dari tulisan yang kau akan uji logikanya, kan?”

Aku tertawa mendengar nada kesal Anwar.

“Kupikir pesawat tak akan meledak di atas sini?”

“Oh, kau membicarakan tentang risiko yang lebih besar pada pendaratan dan lepas landas?”

Aku mengangguk. “Kupikir kita seharusnya aman di atas sini.”

“Menurutmu apa yang bisa menyebabkan pesawat ini jatuh—dan tidak meledak dalam proses itu?”

Aku terdiam. “Bisakah kita jatuh karena awan-awan?”

Anwar mengangguk. “Kurasa bisa. Kurasa aku pernah membacanya di suatu tempat.” Dia menggaruk lengannya perlahan. Aku bisa melihat warna kekuningan itu menyebar pelan terbagi oleh bekas jari-jari dan kemudian kembali menyatu. Anwar kembali berucap, “Lupakan pertanyaanku tadi. Menurutmu sendiri, apa yang terjadi saat kita jatuh?”

Sesaat yang terbayang olehku adalah tukikan tajam layang-layang yang dulu sekali sering aku mainkan saat kami masih duduk di bangku SD. Barisan awan-awan dengan mudah menampilkan sekelumit memori cengiran nakal Anwar setiap kali dia menarik benang kala angin menguat (di mana seharusnya dia mengulur benang) dan layang-layang akan secara otomatis tersentak mencari keseimbangan baru yang umumnya akan berupa gerakan menukik tajam. Atau putus sama sekali.

“Kita akan terapung,” tanpa sadar aku mengucapkannya. Lebih karena aku membayangkan layang-layang putus. Terayun tenang seakan melambaikan salam perpisahan pada seutas benang yang pernah begitu erat merangkulnya.

Apakah layang-layang bahagia?

Saat aku mengembalikan pandangan pada Anwar, dia sedang bertopang dagu mengamatiku. Tak ada senyum di sana.

“Apakah kau bahagia?” gumamku, setengah bertanya.

Anwar menarik tanganku, menggenggamnya di antara kedua tangannya sendiri. “Itu bukan pertanyaan untuk kita.”

Senyumnya terbit saat mengakhir kalimat itu.

Terdengar pengumuman tentang pesawat yang akan segera mendarat.

Anwar menyorongkan tubuhnya, mengintip. Ini pertama kalinya kami berkunjung di kota K. Raut wajahnya terlihat puas.

Aku turut memastikan. “Aku tak tahu kalau pohon kelapa yang berbaris bisa terlihat begitu menarik dari atas sini.”

Anwar tersenyum—kurasa kami memang harus sering bepergian.

“Kau yakin itu pohon kelapa?”

“Huh?”

Anwar menepuk punggung tanganku lembut. “Semuanya terasa menarik karena ada pembanding.”

Aku mengintip lagi. Tapi tetap tak mengerti.

Anwar menegakkan sandaran kursinya seraya berujar, “Tahu kenapa Tuhan membangun kerajaan-Nya tinggi di atas sana? Karena segalanya menarik dari kejauhan. Terlalu dekat—Dia pasti muak pada kita-manusia.”

Aku tak tersenyum. Guncangan pesawat semakin terasa.

“Sebenarnya sekarang saat yang tepat untuk membahas teori pesawat meledakmu,” balasku.

Anwar terkesima, aku tertawa sampai menutup mulut.

Saat itulah aku merasa terapung.

Kurasa Anwar juga.