Kesah Penyihir 1

Kesah Penyihir

Apa yang kalian ketahui tentang penyihir?

Atau, jika kusebutkan kata ‘sihir’, apa yang terlintas di benak?

Hampir semua yang kutanyai sebelumnya, memberikan jawaban mengecewakan. Kisah tentang penyihir sudah begitu lama tersiar hingga kesesatannya sudah tak bisa diluruskan. Meskipun itu membantuku — dan penyihir lainnya —, untuk bisa hidup tenang dan tersembunyi; belakangan, aku hampir tak tahan lagi, ingin rasanya menampakkan wajah dan menghukum mereka yang telah menggangguku.

Jadi begini, sebelum seorang penyihir resmi dinyatakan sebagai penyihir, kami — aku dan para penyihir — sebenarnya hanyalah manusia biasa. Sampai di sini biasanya legenda tentang sihir masih benar. Namun yang tidak pernah diketahui adalah untuk menjadi seorang penyihir, ada pengorbanan yang perlu dilakukan.

Kalian tak pernah mendengarnya?

Ya, pengorbanan terbesar: kami harus rela tidak akan pernah jadi manusia lagi.

Masih bingung?

Pohon.

Ya, manusia yang akan jadi penyihir harus membenamkan kakinya dalam-dalam, berakar di perut bumi, lalu merapalkan mantra untuk berubah jadi pohon seutuhnya. Perlu kutegaskan, tidak semua pohon adalah penyihir, tapi setiap penyihir, sejatinya adalah sebatang pohon.
Kami tak pernah bisa berpindah tempat. Jika dalam cerita kaudengar penyihir menaiki sapu dan mengarungi langit, itu hanya sebaris rapalan mantra yang kami tiupkan pada sebatang ranting di tubuh kami.

Masih tak percaya?

Kaupikir darimana asal ide membakar penyihir untuk benar-benar memusnahkannya?

Intinya, aku sudah membahayakan diriku sendiri dan kaumku yang tersisa dengan menceritakan kebenaran ini, tapi ini harus kulakukan. Kubocorkan saja sekalian bahwa sebagai penyihir, aku masih terhitung anak bawang. Ilmuku tak seberapa, rapalan mantraku tak mampu menyeberangi samudera, dan itu jadi masalah bagi kaumku. Mereka menganggap aku takkan mampu melindungi diri sendiri.

Bukan, bukan karena manusia menyadari keberadaanku. Sebaliknya.

Tepian hutan telah dibakar habis. Makin lama makin jauh ke dalam. Sudah berpuluh tahun aku bertahan tapi kurasa ini tahun terburukku. Tadi pagi kukirimkan pesan perpisahan lewat daun terakhirku. Lewat tengah malam aku mendapatkan balasan. Pesan singkat tertiup angin kering yang begitu menakutkan.

BERTAHANLAH. LANGIT SEGERA MENANGIS.

Aduhai.

Kalian para manusia takkan sanggup menerimanya. Hujan semacam ini hanya untukku yang berakar dalam memeluk bumi. Bukan untuk kalian yang bahkan membaca musim saja sudah tak peduli.

Bukan untuk kalian yang tak punya hati.

Aduhai…

Author: Harun Malaia

Tinggalkan Balasan