Arsip Tag: cerpenindonesia

Arwah 1

Arwah

Kurang lebih sejak tiga bulan yang lalu, arwah istri saya datang berkunjung ke rumah. Saya mengenalinya karena dia mengenakan pakaian kesukaannya. Terusan warna krem yang jatuh tepat di bawah lutut, bermotif bunga bakung. Entah dari mana dia mendapatkannya, seingat saya semua pakaiannya sudah saya sumbangkan karena saya tidak sanggup mengenang kepergiannya yang begitu tiba-tiba.

Awalnya, saya sedikit takut karena biar bagaimanapun dia adalah arwah, bukan manusia. Saya kemudian menceritakan hal tersebut pada Ibu saya yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Ibu menasihati agar saya segera mengikhlaskan kepergian istri saya, mungkin beliau berpikir saya hanya mengada-ada atau berhalusinasi. Saya tidak memaksa Ibu untuk percaya karena memang dia tidak terlalu senang mengurusi hal-hal semacam itu. 

Kembali kepada arwah istri saya, di permulaan kedatangannya, dia hanya lewat-lewat di teras. Memeriksa pot-pot bunga yang terlihat kering. Beberapa saat kemudian dia menghilang. Saya yang menyadari hal itu segera menyiram deretan bunga itu. Beberapa hari kemudian, arwah istri saya datang lagi, kali ini dia terlihat bolak-balik di sekitar tumpukan pakaian kotor berjamur, di ruang pencucian. Tak menunggu lama setelah arwah itu pergi, saya membeli deterjen dan menyalakan mesin cuci. 

**

Demikianlah permulaan rutin arwah itu berkunjung. Sempat saya berpikir apakah saya sedang bermimpi, karena tak ada tanda-tanda nyata kehadirannya. Sampai kemudian saya mendapati arwah istri saya itu mulai berani masuk ke rumah, dan mulai menyenggol barang-barang. Jika di awal kedatangannya dia hanya duduk-duduk sebentar, baik di teras, atau berkeliling di dapur, belakangan dia tinggal lebih lama. Kadang, saya terkaget-kaget sendiri karena tiba-tiba sudah ada dia di dalam kamar, tergolek di atas tempat tidur. Atau di kamar mandi, menyalakan keran air sampai tak ada yang tersisa untuk saya mandi di pagi hari. Kalau sudah begitu, saya memilih menyingkir ke ruangan lain, berpura-pura tak menyadari keberadaannya, sampai akhirnya dia pergi.

Lambat laun, saya pun terbiasa dengan kehadirannya. Meski kami tak saling menyapa, saya cukup terhibur dengan pengetahuan kalau arwah itu sedang ada di suatu sudut rumah. Misal di malam hari, jika saya terbangun untuk kencing, atau sekadar minum air, saya tidak lagi merasa aneh jika mendapati arwah itu mondar-mandir di ruang tamu, melihat-lihat foto-foto berpigura di dinding, atau album yang saya simpan di dalam laci. 

Suatu kali, ketika dia pergi dan tidak mengembalikan album itu ke tempat semula, saya mengintip apa yang lama dia pandangi. Ternyata, dia sedang melihat-lihat album anak kami satu-satunya, yang sedang kuliah di luar kota. Saya sedikit terenyuh menyadari hal itu. Mungkin, arwah istri saya merasa rindu. Sempat tercetus niat untuk menelepon anak saya, atau video call saat arwah itu datang bertandang, tapi saya khawatir jika anak saya mengira saya sudah gila. Sama seperti Ibu saya, yang tetap mengira, saya hanya terlalu rindu pada mendiang istri saya itu. 

Memang saya akui kalau saya sangat rindu pada istri saya, tapi saya juga sangat sadar bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia, tak mungkin hidup lagi. Kecuali istri saya penganut ilmu hitam yang membikinnya tidak bisa mati, dan saya yakin istri saya tidak begitu. Lagipula, saya tidak menginginkan hal-hal lebih pada arwah istri saya ini, seperti yang sudah saya sampaikan, saya sudah cukup bahagia dengan perasaan bahwa saya tak lagi sendirian di rumah sebesar ini. 

**

Namun, ada beberapa hal yang mulai mengusik rasa tenteram di hati saya. 

Yang pertama, sekitar satu minggu lalu, seseorang berpakaian hitam-hitam, melintas di depan rumah saat saya sedang duduk-duduk minum kopi di teras. Dia menggunakan sepeda motor tua, yang tiba-tiba saja dia rem, lalu berhenti tepat di depan rumah saya. Pekarangan saya cukup luas dan ditumbuhi bunga-bunga dan pohon tinggi, jadi dia tak melihat keberadaan saya, tapi saya cukup jelas melihatnya. Laki-laki berbaju hitam itu turun dari sepeda motornya, berdiri di depan pagar, wajahnya tampak tak senang. Keningnya berkerut, lama-lama makin dalam. Matanya nanar memandang rumah saya secara keseluruhan. Paling lama dia menatap daerah sebelah kanan rumah saya, yang setelah laki-laki itu pergi, baru saya sadari, ada arwah istri saya sedang berdiri di sana. 

Arwah istri saya tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki berbaju hitam itu, karena dia hanya tegak berdiri, dengan pandangan lurus ke jalan. Barulah setelah laki-laki itu benar-benar lama pergi, dia menundukkan pandangan. 

Lalu menoleh pada saya. 

Itu kali pertama, saya dan arwah itu bertukar pandang sejak berbulan-bulan ini. 

Dan untuk pertama kali juga, saya baru menyadari, bahwa parasnya sama sekali tak menyerupai istri saya. Secara keseluruhan, penampakan tubuhnya memang seperti istri saya, rambut tergerai sebahu, punggung yang sedikit membungkuk, dan ditambah pakaian kesukaannya yang secara otomatis langsung membentuk gambaran lengkap istri saya. 

Namun wajahnya, terlihat berbeda. Jauh lebih tirus dan terutama matanya yang sangat cekung sehingga bola mata arwah istri saya itu terlihat sedikit membelalak. 

Saya buru-buru menurunkan pandangan saat itu. Menghabiskan kopi, lalu pindah ke ruang tamu. 

**

Kejadian berikutnya, yang lebih mengganggu pikiran saya, adalah ketika rumah saya kedatangan tamu. Beliau adalah imam masjid yang tinggal beberapa blok dari rumah saya. Sore itu datang terkait sumbangan masjid yang saya berikan saat istri saya meninggal. Saya memang menyedekahkan banyak hal atas nama istri saya untuk masjid, berharap itu mempermudahnya di alam sana.

Jadi, saya sedang sendirian di rumah, perlu saya jelaskan hal ini karena memang belakangan, arwah istri saya datang hampir setiap hari dan bertahan sepanjang hari. Khusus sore itu, hanya ada Pak Imam dan saya yang berbincang di ruang tamu. Saat datang, wajah Pak Imam tampak tak sehat. Memang beliau setahu saya sudah lama sakit kencing manis, tapi sore itu, beliau lebih pucat dari yang pernah saya ingat. Namun, bukan itu yang meresahkan saya—tentu saja saya khawatir pada kesehatan Pak Imam, tapi tak sampai masuk terlalu dalam ke benak saya, setidaknya belum. Pak Imam sedang menyampaikan beberapa hal, termasuk ucapan terima kasih dari ibu-ibu pengajian yang sudah saya berikan banyak hal, ketika terdengar ribut-ribut. 

Sumbernya dari arah dapur. Kami berdua tentu terkaget. Pak Imam sempat berseloroh bahwa kucing saya sedang mengamuk, karena memang ramai sekali bunyinya, seperti piring beradu dan kuali dihempaskan. Namun, karena saya tidak punya kucing, saya menunggu sejenak suara itu berhenti. Karena firasat saya, itu hanya angin. Memang pintu belakang saya biarkan terbuka lebar. 

Ternyata bukan angin. Ketika suara ramai itu tak kunjung berhenti, saya beranjak memeriksanya di dapur. Pak Imam menunggu di ruang tamu. Saat itulah saya melihat kalau arwah istri saya sedang bertengger di atas dinding. Kedua kaki dan tangannya menempel laksana cecak besar, dan sesungguhnya saya sangat kaget. Hampir pingsan rasanya. Arwah itu terus berdiam diri di sudut langit-langit rumah, memunggungi saya. Dapur berantakan, kompor menyala, dan saya duga arwah itu yang melakukannya. Entah dengan alasan apa. 

Saya buru-buru mematikan kompor, mengambil minuman dari kulkas lalu membawanya ke ruang tamu. Saya bilang hanya angin, sebagai penjelasan pada Pak Imam. Dan memang suara itu sudah berhenti saat saya meletakkan gelas di atas meja.

Kami berdua kembali berbincang, meski pikiran saya sudah tidak penuh lagi pada apa-apa yang dikatakan Pak Imam. Saya hanya mengangguk-angguk seperlunya, dan berbasa-basi di sana-sini. Lalu sejurus kemudian, tiba-tiba arwah istri saya keluar dari dapur, menuju pintu depan. Melintasi kami berdua. Saya hanya melihatnya dari ekor mata karena arwah istri saya itu melesat seperti kecepatan kucing yang diburu saat mencuri sesuatu. Tapi yang saya tidak duga, Pak Imam sepertinya juga melihat arwah itu, karena wajahnya langsung seperti kehilangan darah. Dan saat memegang gelas untuk minum air yang saya suguhkan, tangannya gemetar hebat. 

Pak Imam buru-buru pulang, tidak mengatakan banyak hal. Di malam hari, saya mendapati pesan darinya di ponsel saya, menyuruh saya agar berhati-hati. Dia bilang, dia melihat ada jin yang mondar-mandir di rumah saya. Dan dari apa yang beliau pahami, jin itu bukan jenis jin yang baik perangainya. Saya bimbang harus membalas apa, tapi pada akhirnya saya hanya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan saya berjanji untuk berhati-hati.

**

Keesokan paginya saya kembali mendapat pesan di ponsel, tapi kali ini dari grup rukun tetangga. Mengabarkan kalau Pak Imam sudah meninggal dunia, kepalanya terbentur keras saat terpeleset di kamar mandi. Sudah meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Tentu saja itu menyedihkan, dan mengagetkan buat saya, karena kami baru berjumpa sehari sebelumnya. Saya sempat sampaikan perihal itu di grup, menyatakan bahwa hidup memang kadang seperti itu. Kita harus banyak mempersiapkan diri, semoga diberikan kemudahan dalam kehidupan dan kematian, dan banyak anggota grup yang mengamini apa yang saya katakan.

Saya sudah berniat untuk mengunjungi rumah Pak Imam pagi itu. Saya kirimkan pesan ke kantor, bahwa akan sedikit terlambat. Namun, hal berikutnya, yang membuat darah saya berdesir sangat kencang, adalah saat saya menyadari, bahwa di depan pintu kamar saya, sudah berdiri arwah itu. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak memang sengaja menunggui saya tidur. Saya tidak tahu dia sudah berapa lama di sana. Saat itu, kali kedua kami berpandangan.

Saya semakin yakin, kalau raut wajahnya, semakin tidak mirip istri saya. 

Perasaan takut yang muncul di awal-awal kedatangannya beberapa bulan lalu, kini datang kembali. Kali ini, saya merasa tak tenang dengan kehadirannya. 

Saya menunggu beberapa saat sebelum bangkit dari kasur, biasanya arwah itu akan segera pergi dengan sendirinya. 

Namun, tidak, kali ini, dia tak kunjung pergi. 

Malah, dia berjalan mendekat. 

Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur. Berjalan memutarinya, dan segera mandi, membersihkan diri. Saat itulah terpikir dalam benak saya, apakah Pak Imam terpeleset karena sakitnya, atau ada sebab lain. Pikiran itu mengganggu saya sampai sedikit sakit kepala. Saya memutuskan untuk benar-benar berhati-hati pada arwah itu. Saat keluar dari kamar mandi, saya tidak menemukannya lagi. 

Di rumah Pak Imam, saya kemudian bertanya-tanya dengan nada ringan pada tetangga yang sedang bertakziah, adakah yang berpengalaman mengusir jin dari rumahnya. Ternyata banyak juga yang punya cerita tentang jin dan arwah, walau rata-rata hanya dari mulut ke mulut. Tak ada yang mengalaminya langsung. Meski demikian, saya tetap mencatat beberapa nomor telepon yang mereka berikan, siapa tahu ada yang bisa saya hubungi nantinya. 

Dari rumah Pak Imam, saya berniat kembali untuk berganti pakaian kerja. Di depan gerbang rumah saya, terlihat sesosok berbaju hitam yang dulu pernah mampir dan melihat-lihat. Saya ingat padanya karena dari kejauhan, gelagatnya sama. Celingak-celinguk dari depan pagar. Dan saat melihat kedatangan saya, orang itu segera menyalakan motornya dan seperti bersiap akan pergi. Namun, entah apa yang menyebabkannya mengurungkan niat, karena saya lihat dia turun kembali dari motornya. 

Saya ragu-ragu untuk pulang. 

Laki-laki berbaju hitam itu tetap di sana, memandang lurus pada saya. Wajahnya terlihat menyeramkan. 

Saya menghentikan langkah dan menimbang-nimbang. Mungkin, laki-laki itu paham dengan ketakutan saya. Karena kemudian dia menuntun motornya, mendekat pada saya. Saya pikir dia akan berhenti namun tidak, dia terus berjalan melewati saya. Sepintas lalu, saya mendengarnya berucap saat badan kami bersisian. 

“Hati-hati.”

Hanya itu. Lalu sosok berbaju hitam itu melaju kencang.

Saya lantas mencoba berdiri di tempatnya melihat-lihat tadi, meski saya tak bisa melihat ada apa-apa yang aneh pada rumah saya. Kecuali kemudian, saya melihat ada yang bergerak-gerak di atas pohon, dan saat saya mengangkat wajah, arwah itu sedang bertengger di salah satu cabangnya. Matanya tajam menatap pada saya. Entah karena dia sedang menaiki pohon, atau karena masih pagi dan cahaya matahari membelakanginya, saya melihatnya sedikit tak terlampau jelas, tapi saya yakini penampilannya tidak seperti dulu lagi. Dia memang masih memakai pakaian istri saya, tapi rambutnya sudah semakin kasar dan awut-awutan, wajahnya juga semakin tirus, dan yang paling membuat leher dan punggung saya mendingin, adalah matanya yang seperti sumur gelap nan hitam. 

Saya buru-buru masuk ke rumah. Hanya untuk mendapati arwah itu sudah berada di sana duluan. Dia berdiri tepat di tengah-tengah ruang tamu, lekat-lekat memandangi saya. 

Seperti tadi pagi, saya berjalan memutarinya. Namun, ekor mata saya dapat melihat kalau kali ini dia terus mengikuti langkah-langkah yang saya ambil. Saya masuk kamar dan berganti baju. Baru saya sadari saya berkeringat banyak dan rasanya sesak napas. Tapi saya berusaha tetap tenang dan bersikap biasa saat keluar kamar, bersiap pergi kerja.

Arwah itu menghalangi pintu dan tak ada tanda-tanda dia akan menjauhinya. Saya mencoba keluar lewat pintu samping, tapi lagi-lagi dia menunggu di sana.

Kemudian, secara serempak semua daun jendela dan tirai menutup sempurna. 

Saya menelan ludah. Masih berpura-pura tak menyadari apa yang sedang arwah itu coba lakukan, saya lalu membuka laptop di ruang tamu. Menunjukkan kalau saya sedang bekerja, meski sebenarnya saya berusaha mencari-cari di mana saya menyimpan daftar doa-doa. 

Arwah itu berjalan mendekati saya. Mau tak mau saya memandanginya. Kali ini saya sangat yakin, jika arwah itu bukan arwah istri saya. Mukanya sudah tak ada mirip-miripnya. 

Bagaimana bisa saya terpedaya olehnya?

Saya jadi bertanya-tanya, perlukah saya benar-benar menghubungi nomor orang-orang pintar yang sempat saya simpan barusan?

***** selesai *****

patak hanto harun malaia

Patak Hanto*

Dengan debaran dada yang makin kencang, kau seret langkahmu mendekati salah satu toko dengan tulisan besar menyala di persimpangan jalan itu. TOKO KUDA PONY—huruf Y-nya sudah terbalik, kemungkinan lepas paku bagian atasnya. Bangunan di samping kanan-kirinya tampak gelap, membuat toko itu semakin mencolok. Beberapa puluh langkah sebelum sampai di sana, kau berhenti. Menimbang-nimbang. Menajamkan pandangan. 

Kau yakin melihat sesuatu bergerak di dalam sana. 

Apakah itu bayangan yang tadi? Kau sudah bersiap untuk kembali berlari. 

Namun lagi-lagi, kau melihatnya sekilas. Kali ini cukup jelas untuk meyakinkanmu bahwa itu benar-benar manusia. 

Menengok kanan-kirimu sekali lagi, kau memantapkan hati. Semoga siapa pun itu tahu jalan keluar dari tempat keparat ini, demikian kau membatin. 

Sekelebat bayangan melintas cepat di depanmu. Membuatmu hampir terjatuh dan memaki. Lalu mengikik setelah menyadari itu hanya seekor tikus yang ukurannya memang cukup besar. Binatang itu berhenti sejenak, mengendus udara di depannya, kemudian menghilang di balik deretan tong sampah warna-warni yang berjejer rapi di samping sebuah mesin minum otomatis yang tampak berpendar disiram sorot cahaya lampu jalanan jangkung yang ada di seberangnya.

Kau sontak menelan ludah.

Antara toko di depan sana, dan mesin minum beberapa langkah di kananmu, kau menimbang-nimbang. Akhirnya, rasa haus mengalahkan penasaranmu. Lagipula aku bisa memeriksanya setelah ini, pikirmu. 

Sekaleng Coke jatuh dengan bunyi nyaring setelah kau memasukkan uangmu. Buru-buru kau mengambilnya. Baru kau sadari tanganmu gemetar saat mencoba membukanya dengan tergesa. Minuman itu mendesis ringan di tanganmu. Tak menunggu lama, kau meneguknya dengan beringas. 

Hausmu belum tuntas. Kembali kau memilih minuman yang sama. Kali ini kau sengaja menimangnya lebih lama. Buat nanti, kau membatin. 

Tong sampah di sampingmu berisik dan seekor tikus berlari keluar dari dalamnya. Mungkin tikus yang sama. Kali ini ia berlari ke arahnya datang tadi. Membuatmu ingat untuk memeriksa toko di ujung jalan sana. Melangkah gontai, kau menekan kaleng dingin di tanganmu ke dahi. Merasakan tetesan embunnya turun menyatu dengan basah keringat di lehermu.  

Saatnya keluar dari tempat busuk ini, gumammu. 

Kompleks pasar malam yang digelar akhir pekan telah lama tutup dan entah bagaimana ceritanya kau menjadi orang terakhir yang belum pulang. 

Oke, ralat sedikit. Sebenarnya kau tahu jawabannya: kau adalah salah satu petugas listrik yang disewa untuk memastikan setiap stand yang didirikan tidak mengalami masalah dengan jaringan kabel yang baru dipasang, tapi sialnya, hari ini kau sedang diare. Meskipun sudah minum obat, tetap saja tak kurang sudah tujuh kali kau bolak-balik ke kamar mandi, sejak datang ke pasar malam lepas matahari terbenam tadi. Kau sampai hapal dengan pesingnya yang menusuk, serta mural norak yang menghiasi hampir tiap jengkal dindingnya. Yang terakhir tadi, saat kembali terduduk di bibir toilet yang dinginnya membuat anusmu berkerut, kau sebenarnya sudah sangat lemas. Dehidrasi, kau berbisik dalam hati. Sempat kau putuskan akan memakai lembar terakhir dalam dompetmu untuk membeli sebotol Coke atau sejenisnya di mesin minum otomatis. Setelah ‘setoran’ terakhir ini, demikian kau berjanji. Dan kau pun bertekad untuk langsung pulang setelahnya. 

Lalu entah bagaimana ceritanya, kau ketiduran. 

Ya, kau pasti tidur sedikit terlalu lama, karena saat terbangun, keheningan nan beku yang menyapamu. Tak terdengar sedikit pun bisik-bisik serta canda menggelikan khas remaja-remaja tanggung—yang saking seringnya kau menyambangi kamar mandi, kau hapal riuhnya celetukan mereka. Satu bukti lagi bahwa kau tidur dalam waktu lama adalah jeansmu yang sudah turun ke lantai yang lembap—celana itu jadi basah dan terus terang itu sedikit menjijikkan. Mengabaikan perasaanmu, kau tetap memakainya. Toh aku akan segera pulang, kilahmu. 

Membuka pintu bilik kamar mandimu, kau hanya menemukan deretan urinoir bau tertempel di dinding, serta mural-mural norak itu. Tapi bukan itu yang membuatmu tertegun lama hingga tak berani beranjak dari tempatmu berdiri.

Ada lima kamar mandi kecil di dalam sepetak ruangan itu. Kau sedang menempati nomor lima, yang paling ujung, terjauh dari pintu masuk. Dari sana, saat sekilas berpaling, kau melihatnya. 

Sepotong bayang-bayang memanjang di lantai. 

Asalnya dari bilik pertama. Kau menyadarinya karena persis sepertimu, bayang-bayang milikmu terlihat di depanmu karena posisi lampu yang ada di belakang punggungmu. 

Namun, dari tempatmu berdiri, kau bisa melihat kalau bayang-bayang itu tak sepenuhnya seperti bayang-bayangmu. 

Dua potongan runcing seperti tanduk mencuat tinggi dari atas kepalanya. Dan saat mencoba saksama mendengarkan, kau yakin benar tak ada sedikit pun suara napas dari bilik sana. 

Bayang-bayang itu hanya membeku di lantai. 

“Anjir. Setan….”

Kau pelan-pelan memundurkan langkah. Memanjangkan kaki, mencoba menekan tuas flush. Bising air yang berpusar segera memenuhi ruangan. 

Lehermu memanjang. 

Mengintip.

Bayang-bayang itu bergeming. 

Lalu tiba-tiba lampu di atas kepalamu padam diawali redup yang ganjil. 

Satu. 

Dua. 

Tiga. 

Seluruh lampu di deretan kamar mandi itu padam. Gelap gulita mencengkeram. 

Kecuali di ujung bilik sana. 

Bayang-bayang bertanduk itu masih kaku di tempatnya.

“Permisi … Saya permisi dulu .…” suaramu bergetar, tercekat di pangkal tenggorokan. 

Kali ini, seakan mengerti, kau melihat bayang-bayang itu bergerak.

Lalu lampu terakhir ikut padam. 

Instingmu bergerak lebih cepat, membawa lari kakimu pergi. Di depan pintu masuk kau sempat terpeleset genangan air, tetapi itu tak menyurutkan langkahmu. 

Kau berlari secepat mungkin. Sejauh-jauhnya. 

Maka di sinilah kau. Kaleng minumanmu sudah tak terlalu dingin namun kau masih senang merasakan bebannya di dalam genggamanmu, dan lehermu—membuatmu tetap terjaga. Apalagi kompleks pasar malam yang kosong terasa sangat berbeda dibanding saat manusia sedang ramai-ramainya. Jalan-jalan yang tadinya terasa sempit dan kanan-kirinya penuh dengan penjual makanan kini lengang dan lapang. 

Setidaknya sudah lima kali kau memutari ruwetnya jalan-jalan kompleks yang tanahnya terasa lengket di bawah sol ketsmu, dan selalu saja ada hal baru yang kau lihat. Mungkin tadi panik, mungkin itu bukan benar-benar setan, pikirmu. Awalnya, menghibur diri seperti itu terasa menyenangkan. Apalagi kini, ketika kau sudah tidak punya beban kerja, kau bisa melihat-lihat santai deretan toko-toko suvenir dengan hiasan jendela yang cantik. Atau bangku-bangku duduk yang tampak keren dari sudut-sudut tertentu. Kau menikmati pengalaman barumu. Jarang-jarang bisa begini, batinmu. 

Namun, saat bulan dan bintang kelihatan semakin tinggi di atas kepala, dan dinginnya malam sudah mengalahkan lembapnya bokongmu, kau harus mengakui kalau kau sedikit cemas. Kembali kau memutar, mencari-cari jalan untuk keluar. 

Sialan. 

Sepertinya kau benar-benar tersesat. 

Bodoh sekali, tersesat di pasar malam, kembali kau menggerutu. 

Beberapa stand toko yang lampunya masih menyala coba kau datangi, tetapi percuma saja, karena semua sudah rapat terkunci. Tak peduli berapa lama kau menempelkan wajah di depan kaca pintu atau jendelanya, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di dalam sana. 

Kecuali toko yang satu ini. Kau sudah berdiri tepat di depannya. Kau yakin benar tadi telah melihat sesuatu bergerak di dalam sana. Semoga benar manusia, kau berdoa.

“Permisi? Ada orang di dalam?”  

Tiba-tiba lampu kelap-kelip yang menghiasi tulisan TOKO KUDA PONY meredup. Kau mendongak waspada. 

Lalu bangunan di depanmu gelap gulita. 

Kau mundur beberapa langkah. Bersiap lari meski lututmu goyah. 

Namun sekejap kemudian lampu menyala kembali. 

Jantungmu menumbuk-numbuk dinding dada. Tapi kau sudah kepalang basah. Mungkin ini satu-satunya kesempatanmu, menemukan seseorang yang bisa ditanyai jalan pulang. 

Kau mendorong pintu itu. Tak ada pergerakan. Sekali lagi kau coba, kali ini lebih bertenaga.

Pintu membuka dengan derit yang aneh. Semerbak bau pembersih lantai menyergap hidung. Sontak kau melihat ke bawah kakimu. Air tampak tergenang dan mengalir pelan-pelan ke salah satu sudut ruangan, menghilang di balik etalase kusam berisi deretan boneka kuda poni yang tampak bosan. 

Berjingkat, kau memasuki toko itu. “Permisi …?” Kau menyadari suaramu terdengar tak seperti biasa. 

Kau memanjangkan leher, menyeberangi meja kasir, mencari sumber air yang bocor. Lalu kau melihatnya, bilik kecil di sudut sana, tersuruk di belakang tumpukan kardus-kardus yang tersusun tinggi. Kamar mandi. Benar saja, terlihat air deras melewati bawah pintu bilik. Buru-buru kau masuk dan usai mematikan kerannya yang terbuka, kau lantas menyadari bahwa sesuatu yang bergerak yang tadi kau lihat, pasti pantulan cahaya lampu di air yang tergenang. Ah, berengsek sekali. 

Tak butuh lama untuk air di lantai segera surut. Kau melirik jam dinding yang terpasang miring di atas pintu masuk. Lima belas menit lagi jam dua.

“Sial ini namanya.”

Meneguk habis minumanmu, kau melemparnya ke dalam keranjang sampah di bawah meja kasir. Dengan tanganmu yang masih sejuk kau merabai leher. Kau berkeringat luar biasa. Asal-asalan, kau tarik tali kipas angin raksasa yang menempel di langit-langit. Benda itu berputar malas dengan bising yang menjemukan. 

Kau menggeser keluar bangku kecil dari depan meja kasir. Duduk di sana.

Lalu kau melihatnya. 

Di luar jendela, di seberang sana. Seseorang sedang berdiri dan tampak menengok kanan-kiri. 

“Hei …!” sontak kau bangkit dan melambaikan tangan, berharap dia melihatmu. Bergegas kau maju, bermaksud lari ke pintu, hanya untuk terkesiap. 

Sosok itu berdiri tepat di depan lampu jalanan yang jangkung menjulang. Membuat wajahnya sulit untuk dikenali. Ia tampak merabai keningnya. Lehernya. 

Sosok itu melangkah maju. 

Keningmu berkerut. 

Merasakan dingin yang merayap di punggung. 

“Permisi? Ada orang di dalam?” teriaknya. 

Kali ini sosok itu maju dan cahaya lampu tepat menyinari wajahnya. 

Darahmu tersirap dan lututmu goyah. Berkali-kali kau mengucek mata.

Sosok tadi terus mendekat. Kali ini kau bisa melihat dengan jelas kedatangannya, memiringkan kepala, menempelkan minuman kaleng di lehernya. Kembali di depan toko ia berhenti. Dipayungi lampu jalan di belakang punggungnya, bayang-bayangnya memanjang hingga ke depan pintu. 

Spontan, kau menekan saklar lampu di samping pintu. Untuk sesaat kegelapan menyelimutimu. 

Terhuyung-huyung kau mencoba menarik pintu lebar-lebar. Sial! Sial! Tak bisa terbuka! 

Buru-buru kau kembali ke meja kasir, mencari-cari kunci. Atau apa pun untuk melindungi diri. Jantungmu seakan pindah ke perut. Mulas tak terkendali. Tapi dalam kegelapan tak mungkin ada yang bisa kau cari. 

Lalu lampu kembali menyala. 

Nanar, kau melihat sosokmu di luar sana merapat.

Setan! 

Teriakanmu terhenti di tenggorokan. Bergegas kau masuk ke bilik kamar mandi, sembunyi. 

Menutup mata. Kau berharap semua ini mimpi belaka. 

Menutup mata. Kau berteriak sekerasnya.

Membuka mata. Kau mengepalkan tanganmu yang gemetar.  

Kau merasakan air tumpah-tumpah membasahi sepatu. Merembes di celanamu. 

Kau memantapkan hati. Kali ini, semua akan kau hadapi.

Membuka pintu. 

Lorong kamar mandi gelap bau pesing berhiaskan mural norak menyambutmu. 

*** selesai ***  

*Patak Hanto; judul terinspirasi istilah ‘patak hantu/hanto’, (patak artinya sembunyi), sebuah kepercayaan masyarakat suku Banjar tentang hantu/jin yang senang menyembunyikan anak-anak yang bermain terlalu jauh ke dalam hutan, atau bermain di waktu-waktu terlarang (sore menjelang magrib, misalnya).

Sehidup Semati 4

Sehidup Semati

“Apa kabarmu?” 

Ia mengerling, mengangkat bahu. 

Aku mengangguk paham, tak ada jawaban ‘baik’ bagi pesakitan, kecuali saat mereka dibebaskan. 

“Aku membawakan bacaan,” kudorong bingkisan di atas meja. Kulihat ia mengerling malas di kursinya, jelas tak berminat berbincang. 

“Ibu bilang kalau lagi-lagi kau tak membalas suratnya, ia akan datang sendiri.” 

Kali ini ia mengangkat wajah, sejajar dengan pandanganku. Aku serasa sedang selfie dengan kamera depan berfilter buruk. 

“Tak usah repot-repot.” 

“Ibu ingin tahu keadaanmu.” 

“Sampaikan saja apa yang kaulihat sekarang!” Membentangkan tangan lebar-lebar, ia lalu naik dan berdiri di kursinya. Sepasang penjaga di depan pintu menoleh sesaat, lalu kembali ngobrol. 

“Aku selalu menyampaikannya…”

“Peduli setan!!” Tiba-tiba ia menggebrak meja. Cukup untuk mengundang teguran keras salah satu penjaga.

Ia lalu kembali duduk, lambat-lambat mendekatkan wajah padaku. Dekat sekali sampai aku bisa melihat irisnya yang cokelat tua. “Katakan kalau aku sudah mati,” bisiknya dingin.

“Ibu tak menyalahkanmu mencoba bunuh diri.” 

“KAU YANG MENCOBA MEMBUNUHKU…!!! KEPARAT!!” Ia meninju wajahku, meninggalkan bekas memar yang nyata di buku kepalan tangannya. 

Salah satu dari penjaga akhirnya mendekat masuk, disusul oleh temannya. Mereka menggeleng-geleng. Salah satunya berbisik berkomentar, “Lihat apa jadinya jika terlalu dalam berkhayal? Kudengar dulu ia penulis handal. Tapi sekarang gila karena halusinasinya sendiri.” 

Menutup kalimatnya, mereka memasang kembali borgol di tanganku. Kali ini, ia tak memberontak. Satu hidup, yang lain mati. Sehidup semati. 

***