Arsip Tag: rumah sakit

Maut Melengking di Gang Buntu 1

Maut Melengking di Gang Buntu

“Kau tahu mengapa mereka menyebutnya ‘gang buntu’?”

Huh?

“Karena sesuatu yang buntu dijajakan di sana.”

“Pasien itu datang mengeluhkan rasa sakit di pinggangnya. Katanya dia mau melahirkan. Saat diperiksa tekanan darahnya tinggi. Saya sebenarnya sempat merasa curiga, ketika dia dan temannya memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama.”

“Pertanyaan apa?”

“Suaminya di mana.”

“Pasien itu pre-eklampsia1. Saya sudah konsultasikan kepada dokter kandungan yang bertanggung jawab. Beliau putuskan untuk di-ter-mi-nasi.”

“Apanya?”

“Apanya?”

“Yang diterminasi.”

“Kehamilannya.”

Polisi itu terlihat malu.

“Saya pikir pasiennya.”

“Salah satu risiko dari pre-eklampsia berat terhadap janin memang seperti itu. Kita sudah memutuskan untuk merujuk bayinya ke rumah sakit yang lebih lengkap, tapi keluarganya menolak.”

Lha, katanya dia tak punya keluarga di sini?”

“Temannya itu mengaku keluarganya. Ternyata bukan.”

“Lalu siapa?”

“Ternyata ibu kosnya.”

“Warga menolak karena ibunya tidak punya identitas yang jelas. Bahkan katanya belum lapor dengan RT. Mereka tidak mau memakamkan bayinya sampai identitasnya jelas.”

“Jelas bagaimana?”

“Ya, pokoknya jelas. Mereka takut aib.”

“Yang aib itu kalau menolak memakamkan bayi yang tidak tahu apa-apa tentang identitas kita semua.”

“Jadi sebenarnya dia punya suami apa tidak?”

“Menurutmu?”

“Buktinya dia hamil.”

“Dayang Sumbi hamil dengan seekor anjing.”

“Itu kan cerita.”

“Itu sindiran.”

“Sekarang yang jadi masalah sebenarnya apa? Masalah pemakaman? Identitas pasien? Yang bertanggung jawab membayar? Aku bingung.”

“Semua juga bingung.”

“Bisakah kau periksa tekanan darahku?”

“Bisakah aku memeriksanya di lehermu?”

“Dokter bisa membantu untuk memimpin sholat?”

“Sudah bisa dimakamkan?”

“Sudah. Tapi bayinya baru dimandikan.”

Oh.

“Bisa?”

“Bisa. Umh. Lima menit. Saya google dulu.”

“Intinya, rumah sakit ditegur karena memberikan persetujuan penolakan tindakan rujuk padahal yang menandatangani bukan keluarga inti pasien.”

“Kan tadi sudah dijelaskan kalau terjadi salah paham.”

“Iya, itu bukan pembenaran, tapi bisa dijadikan pembelajaran.”

“Lalu kalau benar-benar tidak ada yang bisa bertanggung jawab?”

“Menurutmu?”

“Kau pernah ke Gang Buntu itu?”

“Menurutmu?”

“Kau tersinggung ya?”

Semua orang tersinggung pagi ini.”

“Aku tidak.”

“Itu menjelaskan semuanya.”

“Lalu mengapa warga membiarkan mereka tetap jualan?”

“Menurutmu?”

“Karena masih ada yang beli?”

“Menurutmu?”

“Menurutku, kau tak pernah suka padaku.”

“Menurutmu?”

— 

Seminggu 3

Seminggu

“Kau memakai sendalku.” 

Itu bukan pertanyaan.

Aku memutar badan dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Citra kemudian pergi melengos dengan gaya yang berlebihan. Aku bergegas, setengah berlari kembali ke ‘ruko’,—singkatan untuk ruang koas1—mencari sendal milikku sendiri; hampir tak bisa kupercaya tadi Citra tidak memakai alas kaki sama sekali. 

Membuka pintu, kudapati Iqbal yang sedang bercukur, handuk menutupi bahu dari rambutnya yang terlihat masih meneteskan air. 

“Apa yang kau lakukan?!” jeritku. 

Koas memiliki ruang istirahat terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Iqbal memalingkan wajah dengan raut tak berdosa, “Kamar mandi kami sedang tidak ada air.” Bisingnya alat cukur memenuhi ruangan, sesaat aku terpaku melihat alat yang sedang bergerak-gerak di dagunya. “Berapa pasienmu? Sepertinya banyak.” 

Aku tak menggubris pertanyaan retorisnya dan buru-buru mencari sendal. “Kau melihat sendal warna merah? Yang ujungnya robek?” 

Iqbal memiringkan wajahnya sedikit, seperti mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dipakai Lia.” 

“Oh, demi Tuhan.” Hanya tinggal dua pasang sendal di ruangan itu. “Sendalmu yang mana?” 

“Yang hitam.” 

Aku buru-buru mengenakan sisanya dan secepat kilat menutup pintu. Mood-ku sedikit rusak karena Citra yang sudah repot-repot minta ganti sendal di pagi buta di saat pasien melimpah ruah dan aku belum tidur sepicing pun sejak jam delapan malam! 

Menggeretakkan gigi, kutarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi membaca daftar pasien yang belum kuselesaikan laporan visite2-nya untuk pagi ini. 

Tujuh pasien baru. Tujuh. 

Kupejamkan mata. 

Dan delapan pasien lama. 

Aku mencoba memetakan denah ruangan masing-masing pasien tersebut dalam kepalaku dan menetapkan rute visite yang paling efisien. Kulirik jam di pergelangan tangan. Seharusnya waktunya cukup. 

Baru aku akan melangkah saat kurasakan seseorang menggamit bahuku.

“Apakah kau menggunakan penaku?” 

Astaga, Citra!

***

Aku menarik napas lega memasuki ruang perawatan III-D karena tidak satu pun pasien di ruangan ini merupakan tanggung jawabku, yang artinya aku bisa bersandar di dinding dan memejamkan mata sembunyi-sembunyi. Telingaku menangkap sayup-sayup gumaman Pedro yang sedang menyampaikan laporannya di depan konsulen3 pagi ini, dokter Wahid. Mataku nyaris terkatup sepenuhnya ketika kurasakan seseorang menggamit sikuku. 

“Kau belum mandi?” bisiknya.  

Aku membuka mata. Daniel seperti menahan senyum memandangiku. Aku membelalakkan mata padanya—bukan urusanmu, kataku tanpa suara. Ia hanya meneruskan senyum terkulumnya. Kemudian ia mengedikkan kepala ke arah tempat tidur di sampingku, masih berbisik. “Itu pasien siapa?” 

Seorang kakek. 

Aku mengingat-ingat. “Pasien titipan, dari ruang saraf. Mereka juga kebanjiran pasien tadi malam,” jawabku sambil memanjangkan leher, berbisik di samping telinga Daniel. Meskipun begitu aku hanya mencapai lehernya karena keterbatasan tinggi badanku. Tak sengaja kuhirup parfum yang ia gunakan. 

Bagus sekali, aku merasa kotor berdiri di sampingnya. 

Kami baru mencapai tempat tidur pasien terakhir di ruangan III D ketika sekelompok koas bagian saraf memasuki ruangan diiringi Dokter Suki, konsulen visite mereka, dari ekor mataku kulihat Lovina yang menjelaskan kondisi kakek itu. 

Sepertinya kakek itu stroke4. Tapi sudah membaik. Di samping tempat tidur kulihat seorang nenek sedang duduk; kentara sekali ia kurang tidur, kepalanya terangguk-angguk saat mendengarkan dokter Suki bicara pada si kakek. Tepat di samping kakinya, tersuruk di bawah tempat tidur, kulihat satu tas kain jinjing kecil berisi pakaian yang menyembul-nyembul keluar. Selain dari tas itu, tidak kulihat ada barang lain kecuali setumpuk kecil pakaian lain di atas pangkuan si nenek. Baru kusadari bahwa sambil mengangguk-angguk tadi si nenek ternyata sedang melipat pakaian. 

Aku jadi lebih memerhatikan mereka dibanding pasien sesak-napas yang sedang dijelaskan Iqbal pada dokter Wahid. Kulihat dokter Suki menepuk-nepuk pundak si kakek dan mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang. Si nenek tampak tersenyum, masih dengan anggukan kecilnya. Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas air minum yang diminta oleh si kakek. Saat membantu si kakek minum, tangannya terlihat gemetar. Keningku berkerut, memperkirakan umur pasangan tersebut. 

Sikuku kembali digamit Daniel, kali ini ia melirikku dengan tatapan tajam. Ketika kualihkan pandangan darinya, kulihat dokter Wahid sedang memberiku tatapan tak sabar. Tanpa sadar aku menganga. 

“Berapa-urine-output5pak-Sanusi.” Daniel berdesis di telingaku. Aku bisa merasakan di balik kerudungku telingaku panas, separuh karena malu dan separuh karena Daniel yang melakukannya. Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaan tersebut sambil melirik pada Iqbal yang meringis meminta maaf karena tidak mencatat data yang telah kuberikan sebelumnya padanya. Aku hanya memutar mata dan terus menjelaskan. 

Sebelum keluar ruangan sejenak aku kembali memerhatikan pasangan renta tadi. Si nenek berusaha menyelipkan sisa pakaian yang belum ia masukkan ke dalam tas kemudian memberesi beberapa gelas dan piring plastik ke dalam kantong kresek hitam, sementara si kakek tampak kembali tidur. 

*

Sehabis visite aku bergegas mandi—ini satu-satunya waktu yang paling aman karena seusai visite seluruh perawat akan sibuk menyiapkan tambahan terapi dari masukan para konsulen, mengisi chart-chart setiap penghuni tempat tidur, hingga memastikan seluruh permintaan pemeriksaan tambahan laboratorium ataupun radiologi sudah dikirimkan; dan kami para koas akan seperti kasat mata oleh semua orang di waktu ini (yang sesungguhnya merupakan anugerah terindah). Sebelum mandi kukirim SMS kepada Lovina mengatakan ada yang ingin kutanyakan padanya, memintanya untuk bertemu di lantai satu rumah sakit saat pulang nanti. Usai mandi aku mendapati pesanku telah dibalas dan ada dua missed calls

Daniel dan Ibu. 

Aku masuk ke kamar ganti sambil membawa handphone, mendapati Citra dan Lia sedang berbagi mie goreng, bibir mereka tampak berminyak. Ruang ganti sempit itu penuh aroma makanan sekarang. 

“Kita tidak punya jadwal sampai jam 12, kan? Bisakah aku skip jadwal di poliklinik? Aku ingin tidur sebentar saja.” Kutekankan nada bicaraku pada kata sebentar. 

Citra menggeleng cepat. “Hari ini jadwal poliklinik dokter Nurul. Akan rame sekali. Kau tidak bisa skip.”

Aku memicingkan mata, otakku memikirkan bagaimana bisa ia terus mengunyah sambil mengeluarkan kalimat barusan tanpa ada kesan tersedak. Diam-diam aku memikirkan melakukan Heimlich Manuver6 pada Citra, dengan sedikit beringas tentunya.

“Tadi Daniel kemari saat kau mandi.” Lia mengulurkan sebuah kotak. Aku menerimanya. Membukanya. 

Oh. Daniel. Hatiku seperti meleleh. 

“Bagaimana kau bisa belum mandi dan belum sarapan? Apa saja kerjamu semalaman? Pasien ramai sekali?” Citra bertanya sambil menjilati sendok dan garpunya. Aku memilih tidak menjawab demi menjaga kesehatan mental. Cepat kuambil handphone dan mengirim SMS pada Daniel. 

Thanks for the breakfast. Ha-ha.

Sejurus kemudian balasannya datang. 

Baru dimakan? It’s brunch then. Nanti ke poliklinik?

Tanpa bisa kutahan wajahku memanas. Kupalingkan wajah dari Citra dan Lia.

Poliklinik. Tidak. Poliklinik. Tidak. Aduh, aku mengantuk sekali. 

Tidak. Kukirim pesan itu dengan cepat. 

*

“Kau menunggu siapa?” 

Aku tersentak bangun. Daniel memamerkan senyumnya yang bertebarkan barisan gigi nan rapi. Jasnya dipeluk di depan dada. Kuintip jam di pergelangan tanganku. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini selalu rapi dan wangi?

Aku mendengus, mencoba menarik napas dari kedua hidungku yang nyaris buntu. “Aku? Aku menunggu Lovina.”

“Kau bisa tidur di mana saja. Luar biasa.” 

Aku mengangguk-angguk pelan. “Kau tahu, Daniel, aku hanya memejamkan mata,” kemudian menggeleng, “bukan tidur.”

Daniel kembali tersenyum. Ia kemudian mengambil tempat di sampingku. “Aku melihatmu tidur selama sepuluh menit penuh. You’re lucky I didn’t take picture of this.” Dia memperagakan wajah bodoh dengan mata terpejam, jarinya mengisyaratkan lelehan liur dari satu sudut mulut. 

Wajahku terasa panas sekali. Dengan salah tingkah aku memeriksa isi tasku. “Oh. Ha-ha. Kau pasti melebih-lebihkan saja. Bagaimana bisa aku tidur selama itu. Haha.” Setelah tidak berhasil menemukan sesuatu yang pantas untuk kucari dari dalam tas, aku menarik selembar tisu dan mengembuskannya kuat-kuat menutupi hidung, sekalian mengusap sudut bibir. “Kau dari mana?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Tadi baru selesai bimbingan referat5 dengan dokter Liliana.”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Oh, hei. Terimakasih tadi untuk sarapannya!” 

Daniel tidak menjawabku. Aku kemudian berpaling kepadanya. Ia kemudian berkata. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku hanya seseorang yang kebetulan menyukaimu. Kau tidak perlu membuatku merasa tidak enak.” 

Oh, Tuhan. 

Kurasakan darah mengalir deras dalam jumlah yang tak wajar ke kepalaku, berkumpul di wajah. Jantungku memukul-mukul keras dinding dada.

“Kau sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari hubungan kita. We’re still friend. I accepted it. You don’t like me. I am cool with that.” 

Aku memandangi jari-jariku, seperti pesakitan menunggu putusan. “Ya, but for the record, aku nggak pernah bilang ‘i don’t like you’, ya.” 

Daniel terkekeh, “Bisakah kau bersikap biasa saja? Jika kau terus seperti ini, aku akan salah mengerti.” 

Aku menghela napas panjang kemudian memiringkan tubuh padanya, tidak menatapnya secara langsung, hanya memperhatikan kedua pergelangan tangannya yang entah mengapa menurutku kokoh sekali. 

Oh Tuhan. Ampuni pikiranku. 

Kukumpulkan lagi segenap hal yang tadi ingin kukatakan. 

Aku berdeham satu kali. “Daniel. Maafkan aku. Aku mengantuk sekali.” Sialan. Aku menggeleng kuat. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Maksudku…”  

Daniel mendorong dahiku pelan-pelan dengan pena di tangannya. Membuatku berhenti menggeleng. Ia kemudian bersandar. “Sudahlah. Kau tidak usah menjelaskan. Nanti saja.” 

Aku terdiam. Perlahan aku meliriknya. Demi Tuhan, bagaimana bisa suasananya jadi serupa dengan seminggu yang lalu?  

*

Aku baru pulang dari poliklinik dan mendapat SMS dari Ibu kalau tante Mia, tetangga sebelah rumah—dirawat di rumah sakit karena akan operasi batu kandung empedu, jadi sepulangnya dari poli aku menyempatkan diri untuk menjenguknya, ujung-ujungnya aku malah ketiduran di sofa penunggu pasien dan baru tersadar ketika sudah hampir senja. Tante Mia mengatakan ia sengaja tak membangunkanku karena sepertinya aku kecapean.

Ketika turun aku sudah kelaparan setengah mati jadi aku membeli roti sobek di cafe rumah sakit dan duduk di bangku lobi—tentunya setelah memastikan tidak ada atribut koas yang masih melekat di tubuhku. Bisa mati kalau kedapatan leyeh-leyeh makan roti di lobi saat sedang jam dinas. Meskipun tentu saja petang itu aku memang sudah lepas dari tanggung jawab. 

Saat itulah aku melihat Daniel, ia belum melihatku sampai aku meneriaki namanya dan mengacungkan roti seakan-akan itu umpan. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Makan roti lebih banyak dari yang kutawarkan padanya. Saat kuprotes ia mengatakan bahwa ia sedang sangat kelaparan dan sedang tidak membawa uang. Aku menertawainya karena bagiku itu lucu sekali.

Seorang Daniel kelaparan dan tidak punya uang.

Daniel tentu saja protes. Tapi aku menjelaskan pendapatku, “Menurutku kau orang terakhir yang mungkin akan kelaparan. Kau bisa mengubah apa saja menjadi makanan.” 

“Menurutmu begitu?” mata Daniel terlihat bersinar. Ia menepuk-nepuk remah roti dari sela-sela jarinya. 

“Menurutku kau bisa membuatkanku sarapan setiap hari sampai aku mati. Aku tidak akan menolak.” 

“Kalau makan siang dan makan malam?”

“Untuk makan siang, kurasa selera kita sedikit berbeda, kau terlalu simpel untuk makan siangmu dan aku akan kelaparan jika makan makanan seperti itu. Tapi untuk makan malam, kurasa sudah tepat sekali, meski aku baru sekali makan masakanmu saat buka puasa bersama tahun lalu. Bisa saja kau membelinya di restoran.” Aku mengikik, hampir saja tersedak. Cepat kutenggak air minum yang sempat kubeli. 

Daniel tampak tersenyum melihatku. Aku membelalak padanya. “Kau senang aku mati tercekik roti?” 

“Aku bisa saja membuatkanmu sarapan setiap hari.” 

Aku tergelak. Mengangguk-angguk penuh semangat. “Oke-oke. Bagus sekali. Katakan saja berapa biayanya.” 

“Aku juga bisa saja masak makan siang yang cocok untuk seleramu. Dan jika makan malam sudah pas, aku rasa tidak terlalu banyak masalah.” 

Kurasa saat itu aku tertawa sampai keluar air mata. “Kau baik sekali. Aku bisa dimarahi ibumu jika sampai ketahuan membuatmu harus memasak sebanyak itu setiap hari.” 

Ibu Daniel adalah Tante Mia. Aku jadi teringat tentangnya, “Hei, kau tidak pernah cerita tentang sakit ibumu.”

Daniel hanya menggeleng-geleng pelan. “You know her. Tidak akan bilang sakit sampai benar-benar tumbang. Aku sudah curiga beberapa hari sebelum ini, tapi Ibu tidak mau disuruh periksa. Jadi ya… begitulah.” Dia mengangkat bahu, kemudian duduk bersandar. Dengan punggung tangan disekanya pinggiran bibirnya. “Tadi dia sms kalau kau baru menjenguknya. Thanks, ya.”

Aku mendengus, mengangkat bahu pelan. “Yah, semoga semuanya berjalan baik dan lancar.”

“Hei, aku bisa meminta airmu?” Daniel menghabiskan sisa roti, mengangsurkan plastik pembungkusnya padaku. Mulutnya penuh.

Aku memicingkan mata padanya. “Aku cuma punya sebotol ini.” 

“Kau harus bisa berbagi pada orang yang akan mendampingimu seumur hidupmu.” Selepas itu ia dengan enteng mengambil botol air mineral yang ada di sampingku dan menenggaknya sampai separuh habis.

Aku menatap jakunnya yang bergerak-gerak saat minum, sampai kemudian kalimatnya yang terakhir itu tercerna oleh otakku. Detik itu juga ia berhenti minum dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. 

“Kau melihat hantu?” ia mendorong penanya ke depan dahiku. 

Aku menarik botol air mineral dari tangannya. “Jangan katakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah berpikir tentangmu.” 

Ia tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

*

“Apakah suasana ini membuatmu mengingat minggu lalu?”  

Aku memalingkan wajah padanya. “Kau sekarang bisa membaca pikiran?” tanpa bisa kutahan nada bicaraku jadi sinis. 

Daniel mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi?”

Aku sampai terkesiap. Alasan aku menunggu Lovina sampai sesore ini adalah untuk menanyakan pasien tersebut. Entah mengapa, hatiku seperti tertambat pada mereka. Dua orang yang terlihat begitu sendiri. Namun saling memiliki. 

“Aku pernah merawat si nenek saat di bagian Jantung.” Daniel menunggu beberapa saat untuk kemudian kembali bicara. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi tidak?”

“Teruslah bicara.” Aku memberengut padanya. Ia terkekeh. 

“Saat itu beberapa bulan lalu, aku sedang visite pagi, dan nenek itu sedang dalam kondisi sesak sekali. Ia tidak bisa berbaring. Hanya bersandar. Kutanyakan apakah ia bisa tidur tadi malam. Ia berkata bahwa ia masih bisa tidur meski hanya sebentar. Aku melihat mereka hanya punya bantal sepotong, sedangkan tempat tidur yang nenek itu gunakan tidak sepenuhnya bisa dinaikkan posisi sandarannya, sehingga jika nenek itu harus bersandar, ia tetap merasa sesak. Saat itu aku sempat bercanda pada si kakek bahwa sebagai suami yang baik, harusnya kakek berkorban meminjamkan bahunya sebagai bantal nenek. Kau tahu apa yang dijawab oleh kakek itu?”

Aku diam. Daniel menghela napas, berdeham kecil. “Kakek itu mengatakan bahwa ia bisa menahan tubuh nenek untuk bersandar, tapi tidak untuk waktu yang lama.” Daniel mendengus pelan, hidungnya seperti beringus. “Karena ia pernah kena stroke—jadi jika dia kembali dirawat saat ini, berarti stroke berulang atau semacam itu—, intinya tubuhnya tidak kuat untuk menahan tubuh si nenek terlalu lama.” 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Juga masih menerka-nerka arah pembicaraannya.

Daniel kemudian berkata lirih, “Aku serius saat mengatakan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Saat melihatmu, aku bisa melihat masa depanku. Aku kenal denganmu sudah cukup lama. Aku ingin menjagamu saat kau sakit. Aku ingin kau yang menjagaku saat aku sakit. Meskipun tentu akan lebih baik jika tidak ada yang sakit.” Daniel cepat-cepat menambahkan kalimatnya, senyumnya tertahan, kemudian ia menggeleng. Suaranya terdengar parau saat kembali berucap, “Ketika pagi ini kembali melihat pasangan kakek-nenek itu, aku hampir menangis. Hidup mereka mungkin terlihat menyedihkan di mata orang, tapi sepenuh hati aku iri pada mereka yang saling menguatkan. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jadi jika kau benar-benar tidak bisa, katakan sekarang dan aku akan menerimanya sebagai suatu kenyataan.” 

*

… 

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

“Daniel… kau jangan menakutiku.” 

“Kau tidak seharusnya takut akan cinta.”

Aku menggeleng pelan dan perlahan senyumku mengembang. “Kau terlalu banyak makan roti dan sekarang bicaramu melantur. Kurasa aku harus pulang sekarang. Dan kau juga sebaiknya kembali ke kamar ibumu. Atau jaga malam. Kau sedang jaga, kan?”

Is it a ‘no’?

Aku sampai ternganga. “Demi Tuhan, Daniel. You’re my friend. One of the best. Aku tidak ingin lelucon seperti ini membuat kita jadi tidak nyaman satu sama lain.”

So now my confession is a joke?

Aku bangkit dan mengemasi jasku. Kujejalkan sisa bungkusan roti dan air mineral ke dalam tas sandangku. “Okay, kuberikan satu minggu padamu dan tunjukkan padaku bahwa ini bukan lelucon.” 

Daniel tersenyum. “Fine. One week.” Ia mengulurkan tangannya padaku. 

Aku balas tersenyum. “Oh. Please.” Kemudian bergegas pergi. Sejurus kemudian aku berbalik dan berteriak padanya. “Kau bisa memulainya dengan membuatkanku sarapan.” 

***selesai***

  1. koas; co-ass, dokter muda, sarjana kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. 
  2. visite; kegiatan mengunjungi pasien rawat inap, meliputi pemeriksaan mendalam mengenai keluhan subjektif dan objektif pasien, serta penatalaksanaan yang sesuai untuk saat itu.
  3. konsulen; konsultan, dokter spesialis/sub-spesialis.
  4. stroke; cerebrovascular accident, cva, kondisi di mana otak mengalami gangguan suplai darah bisa karena pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh darah di otak, manifestasinya sesuai fungsi otak yg terganggu suplainya.
  5. urine output; buangan/produksi urine, salah satu komponen yang diukur saat mengukur keseimbangan cairan pasien.
  6. Heimlich Manuver; prosedur pertolongan pertama pada kondisi sumbatan jalan napas dengan memberikan tekanan tiba-tiba pada area antara pusar dan ulu hati.
  7. referat; salah satu jenis tulisan/laporan, membahas topik tertentu yang disadur dari banyak referensi. 
Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini 5

Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini

Mia mematikan laptop dan menutup buku di depannya dengan perasaan lelah. Diliriknya jam tangan. Lewat lima belas menit dari tengah malam. Terdengar suara ketukan kaca. Mia membalikkan badan, dilihatnya residen Hana — residen adalah istilah yang digunakan untuk dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi —, sedang menjulurkan kepala dari balik pintu.  “Kau akan ke tempat Lily?”

“Oh.” Mia kemudian bangkit dan menarik jas putihnya yang tersampir di sandaran kursi. “Aku belum memutuskan.”

Hana mengangkat sebelah alisnya, membuat Mia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak pergi.”

“Ayolah. Aku tahu kau sudah menyelesaikan laporan kasusmu. Kenapa tidak pergi?”

Mia lagi-lagi hanya tersenyum, setelah menyampirkan jas putih tadi di belakang pintu dan menukarnya dengan jaket berleher tinggi yang ia rasa pas sekali di malam bercuaca dingin ini, ia kemudian mengajak Hana melangkah keluar ruangan. “Entahlah, sedari siang aku terbayang duduk di sofa dan minum coklat hangat sebelum tidur.”

Mereka berjalan bersisian menembus lorong-lorong di penuhi brankar berisi pasien yang didorong oleh kurir, beberapa di antara mereka sempat melempar senyum saat berpapasan namun tak sedikit yang hanya memberikan wajah datar penuh kelelahan khas rumah sakit pusat rujukan. Mereka kemudian melewati ruangan setengah lingkaran dengan dinding-dinding kaca penuh tempelan kertas pengumuman di mana di dalamnya beberapa perawat shift malam sedang memeriksa catatan pasien, salah seorang dari mereka keluar dari bilik itu dengan tergesa dan memanggil. Mia mendekatinya, mengenalinya sebagai perawat yang biasa ia jumpai saat visite — kegiatan memeriksa pasien rawat inap, di ruangan perinatologi, ruangan khusus bayi.

“Tadi ada yang mencari dokter.”

“Siapa?”

Hana ikut mendekat. “Ada apa?”

Perawat itu menggeleng. “Dia menunggu di luar setelah saya katakan bahwa dokter akan selesai sebentar lagi.”

“Keluarga pasien?”

“Saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Sepertinya bukan.”

“Pria?”

Perawat itu mengangguk.

Mia mengerutkan kening. Mengingat-ingat. Hana menggamitnya. “Kita lihat siapa yang menunggumu lalu kita ke tempat Lily, okay?”

Mia memberengut.

“Kita di sana tidak akan lebih dari satu jam. Aku janji.” Hana kemudian mempercepat langkahnya. “Aku benar-benar ingin melewati semester ini secepat mungkin. Rasanya aku bisa gila.”

Mia hanya tertawa mendengarnya. Ya, semester ini benar-benar melelahkan. Ia membenarkannya dalam hati.

“Kau tahu Yoda, junior semester dua? Tingkahnya benar-benar menyebalkan. Aku sama sekali bukan senior gila hormat tapi kurasa anak itu benar-benar tidak tahu adat. Satu kali lagi kudapati ia bersikap seperti kemarin, akan kuhabisi ia saat laporan jaga.”

“Memang menyebalkan. Tapi dia lumayan.” Mia cepat-cepat menambahkan kalimatnya.

“Justru itu. Kurasa dia lumayan karena dia bisa mendapat kuliah ekstra dari ibunya. Aku pernah mengintip isi catatannya, penuh dengan tips-tips jitu. Sialan. Ingin aku memilikinya.”

Mia tergelak. Separuh karena menyadari betapa ambigunya kalimat Hana barusan, separuh lagi karena faktanya ibu dari junior Yoda yang baru mereka bicarakan adalah memang salah satu profesor yang paling disegani di kampusnya. “Oh, sial. Kautunggu di sini sebentar. Buku catatanku ketinggalan di ruangan.”

Hana mendecak kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Setengah berlari Mia meninggalkannya.

*****

Sebelum Mia berhasil sampai ke ruangan jaga residen, seorang perawat kembali menghampirinya, memberikannya beberapa lembar status pasien rawat inap yang ternyata belum selesai ia lengkapi.

“Oh!” Mia setengah mengumpat dan bersyukur, kelalaian seperti ini bisa saja membuatnya layak digantung esok hari. Dikerjakannya status itu sambil berdiri di gang, diawasi perawat yang hanya menggeleng-geleng maklum. Setelah yakin tidak melewatkan detail-detail penting, ia bergegas pergi ke ruangan, setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada perawat yang mencegatnya tadi.

Ruangan tampak gelap, Mia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dengan tergesa. Lampu otomatis menyala setelah pintu membuka.

“Kau akan ke rumah Lily kan?”

Mia terkesiap, lalu berbalik. Agus, salah satu residen bedah anak, yang menyapanya. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Kau akan pergi sendirian? Kita bisa pergi bersama, aku baru saja selesai.” Sosok tinggi itu mendekat. Mia bisa mencium parfumnya yang khas, para perawat sering membicarakan pria di depannya ini karenanya, mereka menjulukinya residen bau surga.

“Aku bersama Hana, ia sedang menunggu di lobby.” Mia memaksa untuk tersenyum. Buru-buru ia membuka laci dan benar saja, buku catatannya ada di sana. “Aku duluan.”

“Hei.” Agus mengitari meja dan mensejajari langkahnya. “Kau tidak sedang menghindariku kan?”

Mia mengibaskan jemarinya yang dilingkari cincin.

Agus tertawa pelan. Memperlihatkan deretan giginya yang bagus. “Kau tahu itu tidak akan mengubah perasaanku padamu.”

“Katakan padaku apa yang akan mengubahnya.”

“Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau menerimaku.”

Mia membenarkan letak tas di bahunya. Berdehem kecil. “Agus, kurasa kita sudah membahas ini. Aku sudah menikah.” Ia menekankan setiap kata pada kalimat terakhirnya.

“Tapi kita memiliki waktu yang menyenangkan. Jangan katakan kau tidak senang saat kita bersama.”

Mia menggeleng. “Jangan membuatku makin tidak nyaman. Aku sudah merasa tidak nyaman. Kita tidak pernah bersama. Kau dan aku pernah makan malam satu kali dan maafkan aku, itu adalah kesalahan. Aku tidak semestinya melakukannya.”

“Tapi kita melakukannya.”

“Itu adalah kesalahan.”

Agus menatap lurus pada Mia. Ia terlihat menggaruk dagunya yang berbintik-bintik halus, “Katakan di mana kurangku.”

“Kau benar-benar keras kepala.”

Agus memamerkan senyumnya yang menawan. “Mia, aku benar-benar ingin bersamamu. Memiliki perasaan sekuat ini padamu membuatku hampir gila.”

“Katakan jika kau sudah merasakan gejalanya, aku bisa membuatkan resep yang baik.” Mia memaksakan tersenyum dan berlalu. Saat melewatinya, Agus menarik tangannya dan menggenggamnya.

“Maafkan sikapku. Tapi jika kau akan berpisah dari suamimu — dan kau tahu aku selalu berdoa untuk itu — aku akan berusaha keras untuk membahagiakanmu.” Agus menatap matanya dan sejenak Mia bisa merasakan lututnya melemah. Ia menggeleng pelan dan meminta Agus melepaskan tangannya.

“Aku ingin kau tetap sopan padaku.” Mia berdehem kecil. “Seperti aku yang akan tetap sopan padamu, selama kau berjanji untuk tidak seperti ini lagi.”

Agus mengangguk pelan. Wajahnya terlihat menyesal. “Aku minta maaf.”

Mia balas mengangguk pelan sebelum berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat marah.

*****

Saat melewati pintu keluar Mia melihat Hana sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin mendengar langkah kakinya yang memang terdengar jelas di lantai berbatu ini, kedua orang itu membalikkan badan.

Mia merasa jantungnya seakan meloncat keluar dari rongga dada.

Hana melambai dan tersenyum. “Aku sudah bertemu Imran.” Ia menunjuk sosok di sampingnya.

Pria itu juga tersenyum. Ia kemudian berjalan mendekati Mia yang mematung. Memberinya pelukan. “Hai.”

Masih bau yang sama. Mia menutup mata dan merasakan Imran mempererat dekapannya. Memaksanya membenamkan wajah di lehernya, merasakan rahangnya yang kasar.

Mia juga bisa merasakan tangan Imran di pundaknya. Memberinya tepukan ringan. Lehernya meremang. Segera ia melepaskan diri.

“Kapan kau tiba?”

Imran tersenyum. “Baru saja.”

“Aku dan Hana… kami akan keluar.”

Hana terlihat kaget. “Aku baru saja mengatakan pada Imran bahwa kau pasti senang bisa menemukan alasan untuk tidak jadi pergi.” Wajahnya kemudian terlihat bingung.

“Kau mengatakan bahwa kita hanya akan satu jam. Aku rasa aku bisa kalau hanya satu jam.”

Imran memandangi Mia yang balas menatapnya. Mia berkata, “Jangan melihatku seperti itu.”

Hana jelas terlihat tidak nyaman. “Mia, aku rasa aku akan pergi sendiri.” ia bergegas pergi setelah mengangguk pelan pada Imran. Ia kemudian memberi isyarat pada Mia bahwa ia akan menelepon nanti.

Mia merapatkan jaketnya, melangkah menuruni undakan tangga batu yang melingkar. Pelan dirasakannya lehernya mendingin dan hidungnya sakit, separuh karena udara malam yang memang sudah menusuk, sisanya lebih karena pikirannya yang kacau. Ia bisa melihat dari sudut matanya bahwa Imran melangkah di belakangnya sambil menyeret travel-bag-nya. Beberapa saat kemudian pria itu sudah menyusul langkahnya dan mensejajarinya.

Lama mereka berjalan dalam diam.

Sampai akhirnya Mia membuka suara. “Kapan kau tiba?”

Imran mengangguk pelan. “Baru saja.”

Mia ikut mengangguk-angguk. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Imran mengangguk membenarkan. “Aku sudah mengatakannya.”

Kemudian Mia tergelak. Perlahan tawanya makin keras. Ia berbalik, mendapati wajah seorang pria yang pernah begitu mengisi pikirannya. Menyebalkan sekali, hanya melihatnya beberapa detik dan ia bisa merasakan seluruh rasa itu kembali lagi.

Imran tersenyum. “Kau melupakan sesuatu?”

Mia masih tertawa. Ia kemudian mengangguk.

“Buku catatanmu?”

Mia menggeleng. Tawanya masih tersisa sedikit.

Imran berdiri tegak. Menunggu.

“Mobilku. Aku memarkirnya di halaman belakang. Mestinya tadi kita tidak memutar.”

*****

“Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini.”

Imran mengangkat wajahnya, menatap Mia. Wajah istrinya itu tampak sedih.

Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman, setelah beberapa saat berkeliling mereka akhirnya menemukan ayunan berupa kursi yang dipasang berhadapan. Jadilah sekarang mereka di sana.

“Aku baru menerima emailmu.”

Mia menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir. Ia kemudian menangkupkan kedua tangannya. “Aku bisa menjelaskan semuanya.”

Imran mengangguk. “Aku memang butuh penjelasan mengapa kau ingin bercerai dariku.”

Mia mengangkat wajahnya. Kemudian menangis lagi.

Imran menarik nafas panjang. Ia merentangkan tangannya di sandaran kursi, dijejakkannya kaki ke tanah, mendorong sedikit, membuat mereka berdua berayun.

Sepi sekali.

Ia bisa melihat kilau bekas tetesan hujan di daun-daun yang tertimpa sinar bulan dan lampu taman. Tanah di bawah sepatunya juga masih lengket. Ia membuat dorongan yang lebih kencang, membuatnya bisa merasakan udara yang basah melewati leher dan wajahnya saat ayunan naik lebih tinggi.

“Kau bisa membuatku muntah.”

Tak ayal lagi ia tertawa.

“Paling tidak kau jadi berhenti menangis.”

Mia mengusap matanya dengan jari. “Oh Imran. Aku benar-benar membencimu.”

Imran menjejakkan kakinya lagi. Kali ini lebih pelan. Ayunan naik dan turun dengan lebih teratur. Biasanya ayunan besi seperti ini akan berbunyi jika diduduki namun mungkin karena sedang basah pada engsel-engselnya, gerakannya kini terasa mulus dan menyenangkan.

“Kau selalu membenciku.”

Mia ikut mendorong dengan kakinya. Sekali waktu kaki mereka bersenggolan dan ia membiarkannya. Mia menendang sepatu suaminya itu pelan-pelan. Melumurinya dengan tanah yang lengket.

“Aku benci karena kau tidak ada.”

Imran mendengus pelan, merapatkan jaketnya. Ia kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya, memeluk dirinya sendiri.

“Kita sudah membicarakan ini.”

“Kita belum selesai membicarakan ini.” Mia mengangkat wajah.

Imran mengangguk pelan, ia kemudian seperti akan mengatakan sesuatu, namun batal melakukannya. Lama sekali ia hanya diam dan menatap Mia yang menanti ia membuka suara. Pada akhirnya ketika ia berkata, kalimat ini yang keluar dari mulutnya. “Kita akan membicarakannya lagi.”

Mia menarik nafas panjang. Menyusun kalimat dalam kepalanya.

“Aku harus akui bahwa beberapa minggu terakhir ini, kuliahku benar-benar menyiksa. Semua tugas. Dosen. Teman sekelompok. Junior. Staf rumah sakit. Pasien. Terlebih lagi pasien. Mereka semua membuatku tertekan. Aku pulang ke rumah dan menemukan kau tidak ada. Kau tidak pernah ada. Kau tahu aku selalu ingin bercerita padamu. Jangan memotongku dulu.” Mia menarik selembar tisu dari dalam tasnya. “Aku menyalahkanmu atas semuanya.”

Imran membungkuk dan menarik kedua tangan Mia. Menggenggamnya. Istrinya itu menangis lagi.

“Kau mengatakan akan mendukungku saat aku melanjutkan spesialisasi. Tapi kau malah tidak ada saat semua orang membuatku gila.”

“Mia…”

“Kemudian dua hari yang lalu aku membuat catatan yang panjang sekali. Aku tidak bisa tidur. Aku menatap bantal kosong di sebelahku sepanjang malam. Aku melihatmu hilir mudik di rumah, aku seperti melihatmu hilir mudik di rumah. Menyebalkan sekali. Aku lalu membuat semua alasan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu. Kau tahu bahwa aku bisa hidup tanpamu dengan baik sebelum ini. Baik sekali bahkan. Kau tahu benar itu.”

“Aku tahu itu.”

Mia menarik ingus dari hidungnya. “Sampai kau masuk dalam hidupku.”

Imran menunggu lanjutan kalimat Mia.

“Bisakah kita berpisah sementara?”

Imran diam. Dirasakannya Mia mencoba menarik tangannya, namun ditahannya. Mia tidak mencoba lebih jauh.

“Kau tahu kita tidak bisa berpisah sementara.”

“Mengapa kita tidak bisa suit saja, untuk memutuskan siapa yang akan mengalah dan tinggal di rumah?”

Imran tertawa pelan. Ia menarik tangan di genggamannya dan membawanya ke depan wajahnya, menciuminya.

“Kau tahu kalau aku tidak bisa meninggalkan tugas saat ini.”

Mia menarik nafas panjang. Tersenyum pelan. “Bagaimana keadaan di sana?”

“Biasa saja. Maksudku, selayaknya daerah bencana. Semua orang berduka. Semua orang tidak bicara. Lalu semua orang bicara. Tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Sekejap kau merasa mengenal mereka lalu kemudian mungkin kau akan merasa terlempar ke dunia yang benar-benar asing, padahal yang ada di sekitarmu adalah manusia, tapi entah kenapa semua jadi begitu berbeda. Beberapa pasien yang selamat menyembunyikan perasaannya, membisu berhari-hari, menangisi yang tlah pergi. Kurasa kau lebih cocok untuk kesana.”

Mia tertawa. “Mungkin aku akan lebih menikmatinya.”

Imran mengangguk pelan. Kembali mencium tangan istrinya. “Aku akan senang jika bisa bersamamu di sana.”

Mia menatap wajah di hadapannya dengan wajah sedih. Imran masih menciumi tangannya.

“Temanmu tadi, ia tidak tahu kalau aku adalah suamimu.”

Mia tersenyum, ia lalu berkata. “Aku memang tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu kalau aku telah menikah.”

“Mengapa?”

“Karena aku memiliki suami yang tak pernah ada.”

Imran mengangkat wajah. “Kupikir kita sudah pernah membahasnya.”

Mia mengangguk. “Kita sudah pernah membahasnya.”

Imran menepuk bagian kursi di sebelahnya, meminta Mia pindah. “Ironis sekali bukan? Kita mengurusi orang lain, namun kadang tak sempat mengurusi diri sendiri. Atau keluarga.”

Mia menyandarkan kepalanya di bahu Imran. Mendengarkan.

“Aku benar-benar takut saat menerima emailmu.”

“Aku tidak tahu bagaimana cara membatalkan email yang telah dikirim.”

Imran tertawa, bahunya sampai berguncang. Mia mengangkat wajahnya dan memeluk tubuh di sebelahnya itu erat-erat. Menghirup aromanya lekat-lekat. “Aku minta maaf telah membuatmu datang malam ini.”

“Aku sudah memesan tiket untuk pergi besok. Kau tenang saja.”

Mia kemudian menggigit lengan suaminya itu sampai ia mengaduh kesakitan. Ayunan sampai berguncang.

*****

Pintu keluar terbuka dan Agus melewatinya. Ia tampak terkejut saat melihat Mia masih ada. Sesaat ia seperti tersenyum namun kemudian wajahnya berubah saat melihat Imran.

“Kupikir kau bersama Hana.”

“Aku tadi memang bersama Hana.” Mia mengangguk pelan. “Ia baru saja pergi. Kenalkan, ini Imran.”

“Oh.” Agus melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Kapan kau tiba?”

Imran menjabat tangan Agus. “Baru saja.”

“Mia beberapa kali bercerita tentangmu. Saat kami, maksudku, kami para dokter berbincang, kadang kami membicarakan keluarga.”

“Oh. Kuharap kau mendengar yang baik-baik saja.” Imran berpaling pada Mia yang bisa merasakan wajahnya panas. “Aku terlalu banyak berbuat tidak baik belakangan.” Ia kemudian merangkul bahu Mia dan menepuknya. “Kita pulang?”

Mia mengangguk, diikutinya langkah Imran menuruni undakan batu yang tampak menghitam karena basah. Kali ini ia tidak mengambil jalan memutar. Dirasakannya dorongan kuat untuk melihat ke belakang. Namun genggaman tangan pria di sampingnya itu membuatnya terus melangkah ke depan.

***** selesai *****

perempuan gila

perempuan gila dan bayinya yang berusia seminggu

Aku mencintai perempuan gila itu. Perkara itu sudah jelas. Apakah dia membalas perasaanku, tak pernah diketahui. Tak akan pernah.

Karena kini dia sudah mati.

Seorang pengendara mabuk menabraknya saat dia hendak menyeberang jalan. Perempuan itu mati seketika. Peruntungan yang membuat banyak orang ternganga.

Aku juga ternganga.

Terlebih dengan seorang bayi berusia seminggu yang menangis kelaparan dalam pangkuan. Bayi perempuan itu.

Jika dia sedang tak begitu gila, perempuan itu memang cukup pintar untuk sekedar membuat seseorang tertarik pada tutur katanya. Didukung dengan wajah yang manis — dan tentunya peruntungan yang buruk —, seseorang terpesona dan berhasil memperkosanya.

Lalu meninggalkannya begitu saja di tepi jalan.

Jika sebelumnya perempuan itu masih punya sisa kewarasan, maka kejadian tragis itu pasti telah menghapusnya.

Aku bisa melihatnya.

Dalam kunjungan rutin sebelumnya, —perempuan itu adalah pasien rawat jalan di rumah sakit jiwa tempatku bekerja— meski sendu, masih tampak binar di bola matanya. Setelah kejadian tragis itu, cahayanya padam.

Duduk di ruang tunggu, perempuan itu hanya membisu, merabai perutnya. Mungkin dia tahu kalau dia hamil, bahkan sebelum tes kehamilan memastikannya.

Bajingan itu punya sperma yang gesit sekali.

Maka perempuan itu dijadikan pasien rawat inap, dengan ruangan terpisah dari pasien jiwa lainnya.

Aku lumayan sering memperhatikannya.

Yang membuatku tertarik, seiring membesarnya perutnya, kembali pula kewarasannya. Beberapa minggu sebelum melahirkan, hampir semua orang bahkan yakin dia telah sembuh total. Badannya sintal membengkak, pipinya membulat seperti bakpao, dan senyumnya lebar pada semua orang, sampai anjing pengorek tong sampah yang sering berkeliaran di pekarangan rumah sakit jiwa, tak lupa dia sedekahi dengan senyuman.

Aku ingat, pertama kali meyakini mencintainya, saat melihat senyum itu.

Pekan berganti. Bulan menjelang. Hari persalinannya pun datang, sang bayi disambut dengan sukacita. Untuk sekali waktu yang jarang, rumah sakit jiwa bergembira bukan karena seorang pasien pulang membawa serta kembali kewarasannya.

Bayi mungil itu manis sekali, untunglah tak pernah ada beda yang nyata antara bayi hasil hubungan gelap dan terang. Bayi yang terberkati. Semua orang tahu, tak pernah ada bayi yang terlahir gila. Semua orang berdoa agar peruntungan bayi itu baik, bahkan jika sedikit saja lebih baik daripada ibunya, itu sudah dianggap benar-benar mujur.

Tetapi malang — bagi perempuan itu, begitu keluar isi perutnya, hilang juga aliran listrik otaknya. Mata perempuan itu kembali redup.

Meski begitu dia masih menerima bayinya. Disusuinya sambil sesekali cekikikan. Mungkin kegelian.

Kunjungan rutin berikutnya, aku sedang menyapu seperti biasa saat dokter jiwa datang. Keluar ruangan, wajah suram dokter itu memastikan dugaanku bahwa perempuan itu memang kembali gila. Muncul rencana memindahkan bayinya ke bangsal perawatan lain, untuk memastikan keselamatannya.

Yang terbaik untuk bayinya. Sekarang itu prioritas.

Perempuan itu tentu tak peduli. Dia asyik memilin-milin ujung rambutnya sambil duduk di sudut tempat tidur. Bagian depan bajunya basah.

Dia melihatku sedang bekerja, bangkit dari tempat tidur lalu berjalan mendekat, memanggilku dengan lambaian tangannya.

Aku bertanya, “Kau mau apa?”

Perempuan itu menunjuk boks berisi bayinya.

Yang pertama kali muncul dalam benakku adalah dugaan bahwa anaknya mati dan dia ingin aku menolongnya. Segera aku mengambil kunci serep ruangan dan membukanya. Namun ternyata bayinya baik-baik saja.

Seorang perawat ruangan yang sebelumnya tak kusadari keberadaannya karena mungkin dia sedang di kamar mandi menegurku dan menyuruhku keluar.

“Segera selesaikan pekerjaanmu. Jangan ganggu bayi itu!”

Aku keluar dengan bersungut. Niat baik memang tak selalu mendapat tanggapan serupa. Segera kukemasi sapu dan peralatan kebersihanku. Pergi menjauh.

Namun suara cekikikan di belakangku beberapa saat kemudian membuatku berpaling. Perawat ruangan itu pasti sedang mencret sehingga masuk lagi ke kamar mandi tetapi lupa mengunci pintu ruangan perawatan.

Perempuan gila itu mengikik keluar sambil memeluk bayinya. Aku sigap menyongsongnya karena dia menggendong anaknya bagai seonggok cucian kotor; kepala bayi itu terjuntai-juntai.

“Kenapa kau keluar?”

Dia hanya mengikik dan menarikku pergi ke sudut rumah sakit yang lebih sepi. Sesampai di sana aku melihat anaknya bangun.

“Susui anakmu atau dia segera menjerit.”

Perempuan itu mengangkat bahu dan mengangsurkan bayinya padaku, lalu menyingkap bajunya yang basah.

Aku terperangah.

Kurasa wajah kagetku mengingatkannya pada kejadian tragis saat dia diperkosa karena detik berikutnya dia langsung bangkit dan menjerit histeris layaknya orang gila — dan dia memang gila.

Aku berusaha mengejarnya namun perempuan itu malah berlari lebih kencang.

Melintasi pagar, keluar pekarangan rumah sakit.

Menyeberangi jalan.

*** selesai ***