Arsip Kategori: CERPEN

cinta dan sebatang rokok

Cinta dan Sebatang Rokok

cinta dan sebatang rokok

Belum tidur?”

Aku sampai menjatuhkan korek api dari tanganku. Tak kusangka Nenek masih terjaga. Ini sudah lewat satu jam dari tengah malam. Cepat kusembunyikan sebatang rokok di tangan kiriku. “Eh, belum.” Aku menggeleng. Memaksakan tersenyum. Nenek balas tersenyum. Sama sekali tidak terpaksa kelihatannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pundakku. Aku tak berani memperkirakan maksudnya.

Aku memilih untuk tinggal bersama dengan Nenek daripada harus memilih antara Ayah atau Ibu ketika mereka bercerai. Kakek sudah lama meninggal, satu hal yang kutahu sejak kecil, ia adalah perokok berat.

Dan aku tahu Nenek tidak akan suka jika aku merokok.

Tapi bagaimana lagi, pikiranku kacau. Aku merasakan merokok dapat menenangkanku. Tidak banyak. Tapi membantu paling tidak. Semenjak itu aku biasa merokok jika sedang gundah.

Aku sudah siap jika Nenek akan marah.

Tapi ia tak kunjung membuka suara. Sudut mataku menangkap ia malah duduk dengan tenang di kursi sudut. Memang tempat kesukaannya. Tangannya membuka laci lemari kecil yang terletak di samping kursi, mengambil rajutan.

Aku makin serba salah.

“Bagaimana kuliah?”

Akhirnya.

Aku berpaling padanya. Mencari-cari jejak kemarahan pada wajahnya. Gagal total. “Biasa saja.” Aku mengangguk-angguk kecil. “Tidak ada yang istimewa.”

Aku memperbaiki posisi bersandarku.

Sunyi.

Hanya bisa kudengar Nenek menggumamkan lagu. Tak bisa kupastikan nadanya.

“Nenek sendiri, kenapa belum tidur?” kuputar arah dudukku. Menghadap padanya. Tidak nyaman sekali jika berada dalam posisi sedang diawasi.

Ia mengangkat wajah dari kedua tangannya yang terus bergerak lincah seakan telah terprogram otomatis untuk terus merajut. “Aku tidak bisa tidur.”

Nenek dulu seorang dosen bahasa. Ia merasa nyaman berbicara tanpa harus memandang umur seseorang. Aku sendiri sudah terbiasa dengan kelugasannya. Kupandangi ia yang kembali tenggelam dalam rajutannya.

“Aku memang belum bilang kalau aku merokok.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa persiapan.

Nenek mengangkat wajahnya. Berhenti merajut. Kurasa ia juga tidak siap mendengar pengakuanku. Matanya sedikit membesar.

“Aku hanya sesekali merokok.” Kali ini kupilih kataku dengan cermat. “Memang tidak bisa dibenarkan juga. Aku minta maaf.”

Aku dapat melihat air muka wanita di depanku itu berubah. Untuk wanita seusianya, aku kagum melihatnya masih dapat mengekspresikan segala emosi hanya dari sedikit kerutan di dahi atau tarikan bibir. Ia tak memerlukan banyak kata untuk sekedar bicara. Lama kami saling menatap. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memandang lantai marmer kecoklatan di bawah kakiku. Lalu menatap langit di seberang wajahku.

Malam hampir sempurna dengan pekatnya. Langit hitam legam dengan sebaran bintang-bintang mengeriap di tepiannya sebagai renda. Bulan bertahta agung dengan kemilau keperakan, menggantung; sejumput awan lalu lalang melintas, namun tetap tak mampu menutupi. Ia purnama malam ini.

“Kau tahu aku punya banyak cerita tentang rokok.”

Kualihkan pandangan ke arah Nenek. Mengangguk. “Nenek banyak bercerita tentang Kakek.”

Ia tersenyum. Menarik nafas. “Aku sedang di tahun terakhir saat itu. Menulis tugas akhir.” Satu helaan nafas dalam yang tak biasa.”Berusaha menulis tugas akhir tepatnya.”

Suaranya terdengar jelas dalam hening begini. Aku diam.

*****

Aku punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas akhir itu. Berkali-kali kuulang kalimat itu di kepalaku. Sepanjang hari. Bahkan sampai menempelkannya di dinding kamar. Pintu tiap ruangan. Pintu kamar mandi tak luput, hanya saja kertas itu tak bertahan lama karena tersiram air saat seseorang terlalu bersemangat untuk mandi.

Tinggal di asrama sama sekali tidak membantu. Saat kurasakan mendapatkan seuntai kalimat yang akan kutulis, ketukan di pintu ataupun suara langkah berlarian di lorong akan dengan mudah membuyarkan konsentrasi dan tinggallah aku mengumpat kesal dalam ketidakpastian.

Kuputuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Harus. Dosen pembimbingku sudah memberi peringatan bahwa deadline kali ini bukan main-main. Ia ingin aku seserius mungkin. Katanya aku punya kemampuan yang jauh lebih cukup dari sekedar menulis ulang kalimat-kalimat tugas akhir milik senior yang berserakan di perpustakaan.

Maka sore itu, aku sengaja keluar asrama. Tanpa tujuan. Saat akhirnya memarkir skuter di sebuah kafe di pinggiran taman kota, alasan laparlah yang lebih memaksa. Saat itulah aku melihatnya.

Ia duduk tepat di seberang mejaku, di sudut kafe. Berusaha menyalakan rokoknya.

Gerakannya canggung sekali. Kurasa bisa saja ia membakar sebagian bulu hidungnya saat itu. Takkan pernah bisa kulupa saat pertama itu. Setelah rokoknya menyala, ia tersenyum puas. Meletakkan di asbak.

Tanpa sadar aku memperhatikan.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan buku dari dalam tas yang tersampir di kursi. Mencabut pena dari balik saku kemeja. Lalu menulis.

Aku hampir terpekik saat pelayan kafe menanyakan pesananku. Aku rasa aku terlalu serius memperhatikan lelaki di seberangku hingga tak sadar sudah ditanyai akan memesan apa. Aku tidak ingat memesan apa saat itu. Yang kuinginkan adalah pelayan itu segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Wajah itu seteduh telaga di subuh hari yang diselimuti kabut. Asap rokok yang berputar-putar menguatkan efek itu.

Tuhan. Aku rasa aku bisa tenggelam di sana.

Lagi-lagi pelayan itu mengagetkanku. Aku rasa aku jadi sedikit kesal. Sama sekali tidak ingat apa yang kukatakan padanya, namun seperti yang sudah kubilang, aku ingin ia segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Atau diamati.

Lelaki itu ternyata sedang memandangiku. Badanku langsung panas-dingin.

Lalu seakan-akan semua menepi. Tinggal kami.

*****

Besoknya aku datang lagi. Kali ini dengan debaran jantung yang tak terkira iramanya. Skuter hampir rebah karena aku lupa memarkirnya dengan benar.

Sayang sekali, tempat dudukku kemarin sudah terisi. Rasa kecewa langsung menyelimuti. Tapi mungkin itu sudah dirancang oleh Allah.

Ia, masih di tempat yang sama. Sendirian.

Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menyeret sepasang kakiku yang tiba-tiba seberat puluhan kilogram, lalu untuk tidak jatuh lunglai saat akhirnya sampai di mejanya. Ia mengangkat wajah dari buku tulisnya.

Tuhan. Kau telah memperlihatkan aku surga.

Sama sekali tidak ingat apa yang ia katakan.

Yang kuingat adalah aku duduk di depannya. Berusaha untuk tidak terlihat gemetar saat mengeluarkan tumpukan kertas coretan tugas akhir yang selalu kubawa kemana-mana. Berusaha untuk tidak bergaduh karena kini ia kembali menekuni tulisannya.

Sepanjang sore itu, kami bersama. Tidak saling bicara. Tidak saling menyapa. Sampai aku menyadari sesuatu yang ganjil.

Ia sama sekali tidak menghisap rokoknya.

*****

Kekakuannya saat menyulut rokok semakin kentara karena kini jarak yang memisahkan kami hanya setengah depa. Aku bisa memastikan kalau ia gemetar.

“Bisa kubantu?” tanpa sadar aku memuntahkan kalimat itu.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Menampilkan deretan gigi putih rapi berjejer. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya.

“Kau bukan perokok.” Cetusku. Aku mengernyitkan kening saat ia tertawa kecil.

Ia menggeleng. Rokoknya telah menyala dan ia meletakkannya di dalam asbak yang kini hampir penuh dengan abu. Hati-hati sekali. Ia menaruhnya di sana, memastikannya tidak mati.

“Lalu?” tak sabar. Aku menyadari nada suaraku sedikit meninggi.

Kembali ia tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. Ia meletakkan pena di atas buku, membentangkan kedua tangannya ke samping dan berusaha untuk tidak terlihat sedang menggeliat. Matanya beralih ke jam di pergelangan tangannya.

“Kita sudah hampir empat jam di sini. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.” Ucapnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.

Kurasa aku mengerti rasanya mabuk.

Sore itu, kurasa, dan kupastikan, aku telah jatuh cinta.

*****

“Aku sedang dikejar jadwal. Menulis buku.”

“Aku juga begitu.” Kurasakan kesadaran makin menguasaiku setelah kami saling mengenal. Lambat laun suasana mencair dan aku bahkan bisa bercanda padanya. Menanyakan berapa kali ia membakar jarinya sendiri saat akan membakar rokok. “Lalu, apa mereka punya arti?”

Kami saling memandang.

“Aku bukan orang yang baik dalam mengatur waktu. Seringkali semuanya lewat begitu saja. Jam. Hari. Pekan. Sama sekali tidak terasa. Sementara tiba-tiba semuanya harus selesai dalam satu kedipan mata. Lalu suatu hari, tidak perlu kujelaskan aku mendapat ide dari mana, kucoba untuk merokok. Kau tahu, orang-orang melakukannya. Merokok. Memperlambat waktu barang sedetik.

Tapi aku gagal pada hisapan pertama. Kurasa itu tawa terbesarku dalam beberapa tahun terakhir. Aku memandangi saja rokok di tanganku yang terus terbakar. Jika ia mati, kunyalakan lagi, sampai akhirnya ia benar-benar habis. Lalu aku tersadar bahwa aku telah melewatkan hampir satu jam untuk sekedar membakar dan mengamati asapnya.

Aku membakarnya lagi, kali ini seperti yang kulakukan sekarang. Menaruhnya di asbak. Memastikannya tidak mati. Ajaib. Konsentrasiku kembali dan aku bisa menulis. Tidak, bukan rokok yang membuatku menulis. Kurasa aku menyadari bahwa waktu perlahan habis, seperti batang rokok di depanku, yang terus terbakar. Mungkin jika aku mencobanya pertama kali dengan lilin, kita sekarang akan duduk dengan sebatang lilin yang terus menyala.”

Aku memiringkan wajah, menopangnya dengan punggung tangan. Mengangguk pelan. Berusaha mencerna setiap kata dalam kalimatnya.

Besoknya kami berjanji untuk kembali bersama.

*****

Masih tersisa dua hari dari deadline ketika tugas akhirku selesai. Ia banyak membantuku, memberi masukan. Lelaki yang benar-benar pintar. Kurasa aku bisa bicara padanya tentang apa saja. Aku ingat saat kami saling bersandar. Di kursi masing-masing. Puas setelah selesai menulis. Ia dengan bukunya. Aku dengan tugasku.

“Jadi, apa yang akan kaulakukan setelah ini?”

Aku tergagap. Tak menyangka ia akan bertanya seperti itu. “Ah. Pertanyaan yang sulit. Kurasa aku…”

“Tidak ingin menikah?”

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Sama sekali tidak siap. Ia tersenyum lebar. Aku buru-buru menjawab. “Belum. Aku belum memikirkannya.”

Lalu kami saling diam. Tiba-tiba saja, seperti ada benteng yang memisahkan kami. Tiba-tiba saja, aku merasa kami berdua menjauh. Kulihat ia melirik jam tangannya.

“Sudah siap untuk pulang?”

Aku tak tahu telah menjawab apa.

“Besok kita bertemu lagi, kan? Ada yang ingin kutunjukkan.” Lalu ia berlalu setelah mematikan sebatang rokok di asbak.

Untuk pertama kali pula, aku ketakutan. Tanpa sebab.

*****

Aku tidak bisa tidur. Tidak sepicing pun. Kupandangi jarum jam di dinding yang terus berputar, melompat-lompat dari satu angka ke angka lainnya. Sepanjang malam begitu.

Di pagi hari teman dari kamar sebelah menyampaikan pesan. Dosen pembimbingku ingin aku menemuinya hari itu juga. Maju lebih awal sehari dari jadwal asli. Ya, kurasa kini ketakutanku beralasan.

Panik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menjumpai dosen pembimbingku dengan kepala dan hati hampa. Kuserahkan tugas akhirku padanya. Menjelaskan beberapa ratus lembar hasil kerjaku seperti yang selama ini ia minta. Saat akhirnya ia menyalamiku, kurasakan air mataku mengalir.

Ia tersenyum lebar. Aku tahu ia menyangka aku terharu.

Padahal aku menangis karena kehabisan waktu.

Sudah malam saat aku sampai di kafe. Ya. Benar sekali.

Asbak itu penuh abu dan batang rokok yang sudah berhenti menyala.

Ia tidak di sana.

*****

 “Apa maksud Nenek?” aku terpana.

“Kita sering terlalaikan oleh waktu. Datang dan pergi. Silih berganti. Siang. Malam. Semua berjalan teratur sekali. Ketika malam berakhir kita akan berharap dihampiri pagi.” Nenek mengalihkan wajah padaku. “Aku sama sekali tidak pernah menanyakan tentangnya. Dari mana ia berasal. Bahkan aku tidak tahu buku apa yang sedang ia tulis. Kurasa, aku terlarut dalam perasaanku sendiri. Terlanjur percaya diri bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kami.”

“Ia bukan Kakek?” suaraku meninggi.

Nenek tersenyum. Menatapku lama. “Tentu saja bukan.” Ia kemudian membuka laci di sampingnya. Memasukkan hasil rajutannya. Lalu mendekatiku. Memandangi bulan yang ada di seberang kami berdua.

“Aku sudah akan tidur.” Katanya.

Ia sudah sampai ke pintu saat berbalik. “Kau selalu boleh bercerita padaku. Kau tahu benar itu.”

Lama setelah pintu itu tertutup, aku baru mengangguk pelan. Ya, aku tahu benar itu.

***** selesai *****

Tinggalkan Balasan

Kesah Penyihir 3

Kesah Penyihir

Apa yang kalian ketahui tentang penyihir?

Atau, jika kusebutkan kata ‘sihir’, apa yang terlintas di benak?

Hampir semua yang kutanyai sebelumnya, memberikan jawaban mengecewakan. Kisah tentang penyihir sudah begitu lama tersiar hingga kesesatannya sudah tak bisa diluruskan. Meskipun itu membantuku — dan penyihir lainnya —, untuk bisa hidup tenang dan tersembunyi; belakangan, aku hampir tak tahan lagi, ingin rasanya menampakkan wajah dan menghukum mereka yang telah menggangguku.

Jadi begini, sebelum seorang penyihir resmi dinyatakan sebagai penyihir, kami — aku dan para penyihir — sebenarnya hanyalah manusia biasa. Sampai di sini biasanya legenda tentang sihir masih benar. Namun yang tidak pernah diketahui adalah untuk menjadi seorang penyihir, ada pengorbanan yang perlu dilakukan.

Kalian tak pernah mendengarnya?

Ya, pengorbanan terbesar: kami harus rela tidak akan pernah jadi manusia lagi.

Masih bingung?

Pohon.

Ya, manusia yang akan jadi penyihir harus membenamkan kakinya dalam-dalam, berakar di perut bumi, lalu merapalkan mantra untuk berubah jadi pohon seutuhnya. Perlu kutegaskan, tidak semua pohon adalah penyihir, tapi setiap penyihir, sejatinya adalah sebatang pohon.
Kami tak pernah bisa berpindah tempat. Jika dalam cerita kaudengar penyihir menaiki sapu dan mengarungi langit, itu hanya sebaris rapalan mantra yang kami tiupkan pada sebatang ranting di tubuh kami.

Masih tak percaya?

Kaupikir darimana asal ide membakar penyihir untuk benar-benar memusnahkannya?

Intinya, aku sudah membahayakan diriku sendiri dan kaumku yang tersisa dengan menceritakan kebenaran ini, tapi ini harus kulakukan. Kubocorkan saja sekalian bahwa sebagai penyihir, aku masih terhitung anak bawang. Ilmuku tak seberapa, rapalan mantraku tak mampu menyeberangi samudera, dan itu jadi masalah bagi kaumku. Mereka menganggap aku takkan mampu melindungi diri sendiri.

Bukan, bukan karena manusia menyadari keberadaanku. Sebaliknya.

Tepian hutan telah dibakar habis. Makin lama makin jauh ke dalam. Sudah berpuluh tahun aku bertahan tapi kurasa ini tahun terburukku. Tadi pagi kukirimkan pesan perpisahan lewat daun terakhirku. Lewat tengah malam aku mendapatkan balasan. Pesan singkat tertiup angin kering yang begitu menakutkan.

BERTAHANLAH. LANGIT SEGERA MENANGIS.

Aduhai.

Kalian para manusia takkan sanggup menerimanya. Hujan semacam ini hanya untukku yang berakar dalam memeluk bumi. Bukan untuk kalian yang bahkan membaca musim saja sudah tak peduli.

Bukan untuk kalian yang tak punya hati.

Aduhai…

Pertemuan di Kereta 5

Pertemuan di Kereta

“Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu—sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan—, kuharap tekadmu sudah benar-benar bulat, Nak. Dan waktumu tak panjang, jangan berlama-lama di sana,” kecemasan memenuhi air mukanya.

Aku menelan ludah. Panik mulai memenuhi benak.

Kurasakan sensasi aneh mencair di mulutku. 

Aku tak sempat untuk berubah pikiran—bahkan sekiranya ingin—karena sesuatu tiba-tiba menarik rambutku naik ke atas dan aku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air di bawah kota yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.

Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ouk yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Aku meringkuk rapat-rapat, sampai kurasakan kereta yang kutumpangi berhenti. 

Membuka mata, aku melirik sekeliling. Tidak terlihat lagi wajah Nenek Perta. Serta aroma apak dinding ruang tamunya yang menurutku mengandung racun. 

Aku terbatuk pelan. 

Langkah pertama berhasil.

Sekarang yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.

Yang sepertinya tidak akan mudah. 

Nenek Perta sialan. 

Dari sekian banyak peron pemberhentian, penyihir tua renta itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. 

Sempurna. 

Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah—pada akhirnya mantra Tulang Lunak terpakai juga. Seorang kakek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan (setelah kupikirkan lagi, dia mungkin seorang pengemis yang sempat mengira aku adalah tetesan jeli hijau-lumut yang bisa dimakan). 

“Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?” Dia menyapa ramah.

Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. 

Astaga, tempat ini cool sekali (dalam artian sebenarnya dan kiasan), pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Buru-buru aku ke kamar mandi dan merapikan diri.

Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural (di tahun ini!) daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat, kugenggam sudut perkamennya erat-erat. Kehilangan barang itu bisa berarti mati.

Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus yang berbuah panjang-panjang berwarna ungu-biru, buah itu menjuntai panjang hampir dua meter dari tangkainya menempel. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.

Teler karena Buah Sulur Jembalang adalah pilihan yang sangat manusiawi. Aku mendengus pelan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.

Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.

“Bisa bicara?”

Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan dia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian tongkat berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” ulangnya dengan membelalak.

“Ibu; dia ingin aku—maksudku, kau,” aku sedikit tak terbiasa melihat riasan di matanya,”menghindari naik gerbong yang biasa kau tumpangi. Pilih saja gerbong lansia. Atau para guru.”

“Gerbong lansia banyak pelecehan seksual. Kau tak mau tahu apa isi koran belakangan.”

“Kalau begitu para guru.”

“Apa kau sudah gila?!” Wajahnya tampak khawatir, memandang sekitar dengan nanar. “Sebenarnya ada apa kau datang? Kau tahu berisiko sekali bepergian ke masa depan.”

Aku berdeham. Hampir saja aku lupa dengan risiko itu. Kudekatkan wajah ke telinganya (astaga, aku menindik telingaku sebanyak tujuh lubang?), “Ada pria yang akan jadi suamimu di sana,—dan apa yang kaulakukan dengan hidungmu? Kau mengoperasinya?”

Wanita itu spontan menjengit. “Siapa yang bilang?”

Aku memutar bola mata. “Ibu. Dengarkan aku: dia-melarangmu-naik-gerbong-yang-biasa-kau-tumpangi,” aku mengulang pesan dengan sedikit tak sabaran. 

“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”

Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”

“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu Ibu benci rambut merah.”

“Mengingatkannya pada Ayah yang pemabuk. Bagaimana Ibu tahu hal seperti ini?”

Aku mengibaskan tangan. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan. Dan ada banyak hal lagi yang jadi ceracaunya belakangan ini. Hindari rambut merah itu, dan hidupmu akan baik-baik saja, begitu katanya.”

Wanita itu menghela napas. “Aku tak ingat itu. Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya. Bertepatan dengan lolongan kereta yang mendekat. 

“Keretaku datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”

Aku mengangguk cepat. Kurogoh saku jubah, mencari permen mint yang sudah dimantrai oleh Nenek Perta. “Jaga diri!” teriakku pada wanita itu persis sebelum permen itu meledak di dalam mulutku (secara harfiah!) dan merasakan sensasi tersedot yang sama seperti sebelumnya.

Kali ini gerbong pengembalianku tak berterali, lebih empuk dan wangi biji bunga matahari. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. 

Oh, Demi-Tanduk-Kelabang! 

Kurasa hidungku patah. 

Perlahan aku mengeluarkan saputangan, menyumpal darah yang mulai menetes.

Wow. Sepertinya kau butuh dokter.”

Suara itu mengagetkanku, sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki bertopi jerami sedang memandangiku takjub. Mata hijaunya berkilauan. “Kau tampak—biru. Tersesat?”

Aku menggeleng pelan, memeriksa sekujur tubuh—selain hidung, aku tak kurang satu apapun. Bangkit berdiri, aku bertanya pada anak itu, sepertinya kami seumuran. “Hei, sekarang tahun berapa?” 

Anak laki-laki itu menjawab pelan, dia mengulurkan tambahan sapu tangan dari saku jubahnya. “Kau yakin tidak perlu ke dokter? Ayahku punya penyembuh yang bagus.”

Tidak. Uang dan tabunganku telah habis untuk membayar Nenek Petra. 

Aku menggeleng yakin, meski kini kurasakan pandanganku agak mengabur dan sulit bernapas. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” 

Anak laki-laki itu mengangkat bahu, “Terserah kau saja.” 

Kulepas sapu tangan dari hidungku. Darahnya sudah berhenti. 

“Kau seperti nenek sihir,” anak itu terkekeh. Menunjuk pada hidungku yang bengkok tak wajar. 

Berdecak kesal, aku mendorongnya, mengintip keluar kereta yang sedang berjalan—perpindahan hanya bisa dilakukan pada objek yang sedang bergerak cepat. “Apakah ini gerbongmu?”

Kembali dia mengangkat bahu, “Menurutmu?” 

Aku berpaling padanya. Menyewa satu gerbong sendirian? Anak orang kaya yang mulutnya pedas sekali. 

Sekelabat sinar matahari masuk dan menyinari gerbong, kembali aku mengintip keluar jendela. Padang Rusa Merah, sebentar lagi aku akan sampai di rumah. 

“Kau habis bepergian?” Anak itu ikut bertumpu di jendela. 

Aku meliriknya, “Menurutmu?”

Dia terkekeh, dengan susah payah dia mengangkat tepian kaca yang berat, “Bantu aku.”

Bersungut-sungut, aku tetap ikut mengungkitnya. Berat sekali, sepertinya tidak pernah ada yang repot-repot meminyaki jendela ini. 

Berhasil! 

Kaca itu mengayun naik dengan derak terpaksa, mengizinkan gerombolan angin sore sabana yang keras menghempas masuk. Aku tertawa saat melihat topi jerami anak itu disambar angin kencang lalu terbang keluar gerbong. 

“Hei…!” sudah terlambat untuk mengucap mantra pemanggil. 

Aku masih terkekeh, “Kau harus merelakannya.” 

Kali ini sinar matahari benar-benar masuk gerbong secara merata. 

Senyumku lenyap. 

Anak laki-laki itu masih mencebik, mengusap-ngusap rambutnya yang berkibar berantakan. 

Rambut merah itu.

*****

Waktu Berhenti di Matanya 7

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Kasih, ini yang penghabisan. 9

Kasih, ini yang penghabisan.

Apa yang lebih berat daripada terus menerus mengingatmu?

Terpaksa aku.

Dalam tiap rinai yang basah.

Aku gelisah.

Tak ayal lagi rindu yang membuncah.

Pecah tak berkesudah.

Di bawah hujan sore itu.

Waktu seakan tak pernah berlalu.

Hanya ada kau… lalu aku.

(1)

Adam menepikan sepeda motor dengan tergesa. Bersungut-sungut dia memaki dalam hati. Joni, abangnya yang pelupa, pasti tidak langsung mengembalikan jas hujan ke dalam jok motor. Beberapa orang siswa lain juga memilih untuk berteduh. Hujan deras turun tiba-tiba beberapa saat setelah pagar sekolah dibuka. Melihat tebalnya awan yang sekarang menggelayut di langit, hujan ini akan lama. 

Seorang siswi berlari tergesa dan mengambil tempat berdiri persis di sebelah Adam; siswi itu sedang menelepon. Adam bisa melihat pakaiannya sudah setengah basah. Butir-butir air hujan tampak jelas di lengannya yang sedang melekatkan handphone di telinga, mengalir pelan dan menetes jatuh setelah sempat berkumpul sebentar di bagian sikunya. 

“Ya, Mama. Aku masih terjebak hujan.” 

Adam tersenyum, dia mengenali siswi di sampingnya sebagai siswi baru di kelasnya. Suaranya terdengar berbeda dari jarak sedekat ini.  

Merasa diperhatikan, siswi itu memalingkan wajah, lalu tersenyum sambil menyapa, “Hai.”

Adam sampai tergagap, “Hai. Kau ingat aku? Kita sekelas.”

Siswi itu masih tersenyum. “Ya, kau yang dihukum karena tidak membuat tugas Fisika.”

Adam bisa merasakan darah mengalir deras ke daerah kepalanya, “Ah, kini aku berharap kau tak mengingat apa pun.”

Siswi itu tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang rapi luar biasa, “Kau juga ketua kelas.”

Adam hanya mengangguk-angguk pelan, “Kau boleh mengingat yang itu,” dia kemudian memaksa dirinya untuk tersenyum. Digesernya posisi berdirinya agar lebih mendekat, “bagaimana hari pertamamu? Dan maafkan aku, namamu Ana, bukan?”

Siswi bernama Ana itu mengangguk pelan. Dengan tangan kirinya dia menyisipkan helai-helai rambut yang berkibar tertiup angin ke belakang telinganya. “Kau — Adam?” dia sempat mencuri lihat pada badge name yang terjahit di seragam Adam. “Tadi apa pertanyaanmu?”

Adam menggaruk kepalanya, “Bagaimana hari pertamamu? Kuharap tidak mengecewakan.”

Ana menggeleng. Membuat rambutnya kembali jatuh ke sisi wajahnya. Adam memperhatikan saat dia kembali menelusupkannya ke belakang telinga. “Untuk hari pertama, kau tidak akan mendengar keluhanku.”

“Baguslah,” Adam mengangguk, “aku senang mendengarnya.” 

Ana berpaling padanya, “Benarkah? Wajahmu tidak terlihat senang.”

Ah,” Adam kembali merasakan wajahnya panas. Dia lalu menceritakan tentang jas hujannya yang dipinjam oleh abangnya. “Biasanya kalau pakai jas hujan, aku bisa menembus hujan.”

“Menembus hujan?”

Adam berpaling, “Ya.”

“Kau menggunakan pilihan kata yang jarang kudengar,” Ana tertawa pelan. Entah kenapa Adam senang mendengarnya, dia jadi bersemangat untuk bercerita lebih banyak.

“Aku senang merasakan hujan jatuh di atas jas hujanku saat di atas motor. Bisingnya menenangkan.” Adam merapatkan tangannya, memeluk dada. “Kau sendiri?”

Ana menggeleng pelan sambil tersenyum, rambutnya kembali tergerai. Kali ini dia mengumpulkan mereka semua di sisi bahu kanannya. Dari sudut matanya, Adam bisa melihat kulit leher di bawah telinganya sekarang. “Aku menderita asma,” sambung Ana.

Adam menunjukkan wajah khawatir. “Sekarang kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

Ana memiringkan kepala, berpaling pada Adam, “Apa tugas ketua kelasmu sampai sejauh ini?”

Adam tak mengerti, jelas itu tergambar di wajahnya karena Ana kembali tertawa sebelum akhirnya berkata, “Kau sangat perhatian.”

Adam belum pernah merasakan wajahnya sepanas itu. 

*****

Berdua kita pernah menyandarkan hati

menatap langit dan menunjuk bintang yang sama

berdua kita pernah menguatkan diri

ketika semua sulit dan gelap membayangi

padamu aku percaya

padaku kau percaya

berdua sudah cukup

kau alasan bagiku untuk bahagia

(231)

“Kau tidur berapa jam?” 

Adam mengangkat wajah, mengangkat bahu tak acuh. “Tidurku cukup.”

Ana menatap Adam cukup lama, seakan memastikan kata-kata terakhirnya itu dapat dipercaya. Dia kemudian mengangsurkan beberapa lembar kertas, “Aku suka bagian yang ini. Meski kurasa kau kadang lepas kontrol.”

“Lepas kontrol?”

“Kau memasukkan keinginanmu ke dalam kisah ini.”

“Bukankah aku yang menulisnya? Aku bisa saja memasukkan apa yang kuinginkan.”

Ana menggeleng pelan, “Ini sedikit terlalu banyak. Tidak sesuai dengan watak tokoh yang kautulis.”

Adam mencibir, “Sedikit terlalu banyak.

“Terserah kau saja berarti.”

Adam menopangkan dagu pada telapak tangan kiri sementara dengan tangan kanan dia mengaduk teh yang baru saja diantar. Dilihatnya Ana mengambil beberapa lembar kertas dan mulai menggambar.

“Aku tidur satu jam saja,” Adam membuka suara.

Ana tidak menjawab. Dia masih saja menggambar. 

“Belakangan ini aku terus memikirkanmu, Ana.”

Adam melihat Ana terus menggambar. Ia kemudian mengangkat gelasnya dan meminumnya beberapa teguk. Hangatnya langsung membuat hidungnya terasa penuh. 

“Aku tahu kau tidak menyukaiku sebanyak aku menyukaimu.”

Gerakan tangan Ana terhenti. 

Dia mengangkat wajah. 

Pandangan mereka bertemu.

“Aku mengerti keadaanmu sekarang, tetapi aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri,” lanjut Adam tergesa.

Ana meletakkan pensilnya. Menggerakkan tangan ke arah telinga, untuk kemudian menariknya kembali. 

Adam mendengus pelan. 

Kini tak ada lagi anak rambut berjatuhan di pipi. Tidak ada lagi gerakan semi otomatis menyelipkan rambut di belakang telinga. Tidak ada lagi pemandangan kulit leher yang tersembunyi. 

“Kau ingin mengatakan apa?” suara Ana terdengar bergetar.

Adam berdehem pelan, kerongkongannya tercekat. “Ini terakhir kalinya aku meminta padamu. Jika kau tidak bisa bersamaku, pacaran denganku, kurasa akan lebih baik jika kita tidak bertemu sama sekali.”

“Kita sekelas.”

“Kau bisa menghindariku. Atau sebaliknya.”

“Sebegitu mengganggu perasaanmu?”

Adam mendengus dan memaki pelan. 

Ana menarik napas dalam dan mengemasi tasnya. Adam mencoba menahannya. 

“Ana…” Adam tercekat saat mengucapkan nama itu.

Ana menatapnya sejenak, lalu memasukkan pensil dan kertasnya. Dia juga mengangsurkan kembali naskah yang tadi malam dia edit. “Aku pergi.” Dia kemudian berdiri dan keluar dari belakang meja. Saat membuka pintu kafe, udara panas di luar yang berangin menyambutnya, mengibarkan kerudungnya. 

*****

karena kata yang telah terucap tak dapat ditarik kembali

begitu juga dengan kepergianmu

yang membawa serta mimpiku

kau segala yang kutahu

harus darimana aku memulai lagi?

karena hidup adalah tentang pembelajaran

meski semua tak kutahu bisa sesakit ini

kehilangan

(298)

“Ada apa? Bingkisan apa ini?” tanya Ana, setengah berteriak.

Adam mengedikkan kepala, mengajak Ana keluar ruangan yang penuh dengan siswa berpakaian gelap. Sekarang malam perpisahan SMA. Musik berdentam-dentam menulikan telinga dari setiap sudut ruangan. Namun tak seorang pun yang benar-benar memedulikannya, semua tampak asyik dengan kegiatannya sendiri. Beberapa tampak berfoto bersama, mencoba untuk membuat kenangan untuk terakhir kalinya. Sebagian bercerita dengan suara keras agar terdengar dengan lawan bicaranya, saling menceritakan penggalan-penggalan kisah yang sempat terjalin antara mereka semua. Terutama yang menyenangkan. Tawa biasanya sudah pecah bahkan sebelum kisah selesai diceritakan. 

Ana mengikuti langkah Adam keluar ruangan. Meski tetap saja ramai, paling tidak kalau bicara tidak perlu sambil berteriak. 

“Di sini saja.” Ana berhenti melangkah. 

Mereka sekarang di salah satu sudut yang hanya berisikan sekelompok siswi yang saling bercerita sambil bergantian berfoto. 

Adam berbalik dan sekarang mereka berhadapan. 

Adam menunjuk pada bingkisan yang tadi ia berikan pada Ana. “Itu buku. Aku biasa menulis di sana.” 

“Lalu?” 

Adam tampak gelisah. Ana mengenali tanda-tandanya. Dia berulang kali menjejak dengan ujung sepatunya, bergoyang-goyang kecil. Kedua tangannya juga dimasukkan ke dalam saku celana. 

“Kupikir aku tidak akan menulis lagi.” 

Ana berdecak, “Adam, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”

“Aku tidak ingin menulis lagi.”

“Apa?”

“Aku tidak bisa menulis lagi!”

Ana mengerutkan kening, menatap Adam tajam, “Adam, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba membicarakan ini. Terakhir kali, kau mengatakan tidak ingin bicara lagi denganku. Sekarang kau memberikan aku buku dan mengatakan kau tidak akan menulis lagi.”

Beberapa siswa yang tadi asyik berfoto dapat mendengar nada suara Ana yang mulai meninggi. Mereka sekarang mulai memperhatikan. Adam yang menyadari hal itu lalu menarik tangan Ana melangkah menjauh. 

Gerakannya itu membuat Ana terkejut. 

Hei!

Adam membawanya ke depan gedung sekolah. Menuruni tangga. Menuju parkiran. 

“Adam. Lepaskan aku.”

“Kita bicara di mobil.” 

“Aku tidak bisa hanya berdua denganmu.”

Adam memaki pelan. Dilepaskannya tangan Ana. 

Sekarang mereka memang hanya berdua di area parkiran. 

“Itu yang tidak kusuka darimu. Kau pikir aku akan melakukan apa? Hah?!” suara Adam sampai menggema saking kerasnya dia berteriak. “Aku tahu kau sekarang sudah menggunakan jilbab. Atau kerudung. Atau apa pun istilahnya. Aku tahu kau sekarang tidak lagi bergaul bersama siswa laki-laki. Aku berterima kasih karena setelah semua itu terjadi kau masih mau membaca tulisanku. Kau masih mau bertemu denganku. Kau membuatku merasa bahwa aku istimewa di matamu. Tapi kau harus tahu bahwa aku benar-benar sayang padamu dan aku tidak sama sekali berniat untuk merusakmu.”

“Kau sudah pernah mengatakan ini.”

“Oh, Ana… kau membuatku gila.”

“Adam. Kau tidak perlu berteriak.”

Adam mengangkat tangannya, meminta maaf. “Aku tidak akan berteriak.”

Ana menarik nafas panjang. Dia menimang-nimang buku di tangannya. “Jika kau memintaku untuk kembali bersamamu, aku tidak bisa.”

“Ana…”

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam terperangah, “Kau gila? Bagaimana bisa aku menikahimu?”

“Karena kita baru saja lulus SMA?”

“Karena kita baru saja lulus SMA. Karena aku tidak bekerja. Karena aku hanya menginginkan kau bisa lebih lama bersamaku. Menemaniku menulis. Mengajakku bicara. Aku tidak akan melakukan lebih. Aku bersumpah. Aku belum siap menikah. Kau belum siap menikah,” Adam gelagapan.

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam menggeleng-geleng pelan. Dia bersandar pada mobilnya. Saat mengangkat wajahnya lagi, matanya berkaca-kaca. Ditatapnya Ana sambil berucap pelan, tangannya terangkat seakan meminta penjelasan, “Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?”

*****

jauh di dalam sana 

kau ada

tidak perlu susah payah 

untuk mengingat semua kisah

bahkan kehancuran pun bisa terasa indah

melihatmu lagi

aku seperti pernah mengenal getir ini

(4376)

Ah… aku tidak pernah suka hujan seperti ini,” Rani merapatkan jaket yang dia kenakan, “Bisakah kita kembali ke dalam? Jika kita pulang sekarang kemungkinan jalan juga akan macet dan kau tahu aku tidak senang berdiam diri di mobil dalam cuaca seperti ini.” 

Yang diajak bicara malah beranjak menuruni undakan tangga, tepat berhenti di batas lantai yang terkena tempias air yang tertiup angin sore itu. Laki-laki itu mengulurkan tangan dan merasakan butiran-butiran air yang lembut langsung menyentuh telapak tangannya. 

Hujan. 

Dia kemudian menatap langit, seolah mencari celah untuk sinar matahari lewat. Namun sia-sia saja. Awan gelap telah menyelimuti langit kota sejak pagi buta. Tinggal menunggu waktu saja sampai air yang benar-benar banyak akan turun dari langit dan membuat dataran di bawahnya basah kuyup. 

“Ayolah. Aku tadi menemukan buku yang bagus sekali, tapi aku tidak membawa kartu untuk meminjam. Kita masuk lagi saja, ya?” Rani setengah melonjak-lonjak di tempatnya berdiri. Dia memasukkan kedua tangan dalam-dalam kebalik saku jaket. 

“Kau duluan saja, aku menyusulmu sebentar lagi.” 

Rani berhenti melonjak-lonjak. Dia kemudian menuruni undakan tangga di bawah kakinya. Kemudian berdiri di samping pria tadi. “Kau sedang bad-mood, ya? Kenapa tiba-tiba sekali?” 

Pria itu berpaling dan tersenyum, “Aku hanya sedang menikmati gerimis.” 

Rani mencibir, “Aku tidak akan pernah bisa bersaing dengan hujan.” 

“Cepatlah naik. Aku akan menyusulmu sebentar lagi.”

Rani tertawa kecil. Dia memeluk lengan pria itu sebelum kemudian setengah berlari naik dan kembali masuk ke dalam perpustakaan. 

Adam menunggu beberapa saat sebelum akhirnya terus menuruni tangga dan membiarkan gerimis menyentuh tubuhnya. Dia tak merasa perlu repot-repot menyeka kacamatanya yang kini beruap dan berbintik-bintik air. 

Hujan. 

Ketika Adam hampir mencapai mobil, hujan deras mulai turun. Dia bisa merasakan butiran-butiran air yang lumayan besar menumbuki punggungnya, membuatnya merasa kegelian. Buru-buru dia mengeluarkan kunci dari dalam jaket, dia tidak ingin basah kuyup. 

Telinganya mendengar segerombolan anak kecil berteriak-teriak kesenangan, sambil berlarian menuju teras perpustakaan. Adam memutar pandangannya, tanpa bisa ditahan dia tersenyum. Diangkatnya wajah menatap langit yang benar-benar pekat dan putih. 

Adam tak lagi memaksa dirinya membuka pintu mobil. Dia memejamkan mata, mendengarkan desau angin yang bergesekan dengan ribuan partikel air yang terpelanting jatuh saling mendahului sebelum akhirnya pecah terhempas ke bumi. Atau ke atas bahunya. Di samping telinganya dia bisa mendengar riak yang tak pernah bisa dia lupakan. 

Adam membuka mata.

Saat itulah dia melihatnya

Tidak ada yang pernah membuat degup jantungnya seperti ini.

Kakinya menyeret badannya menjauhi mobil. Mendekatinya

Wanita itu berlutut, terlihat dia menangkupkan kedua tangan kedepan mulutnya, sebuah benda kecil berwarna putih menempel erat di mulutnya, mungkin juga hidungnya. Adam memicingkan mata. Air hujan mengaburkan pandangannya. 

Inhaler.

Adam tidak tahu sejak kapan air hujan yang mengalir di wajahnya bisa terasa begitu hangat. Dia juga tidak tahu kenapa sekitarnya berubah jadi pelataran parkiran.

*****

(4401)

“Aku tidak menyangka kalau kau masih menyimpan buku itu.”

Rani mengangkat wajah. “Kupikir kau ingin aku menyimpannya.”

Adam tersenyum, tapi wajahnya seperti menyesali sesuatu. Dia masih menimang-nimang buku yang diberikan Rani padanya barusan. 

 “Kau tahu,” Rani menelusuri pinggiran buku itu, “Aku punya beberapa bagian yang selalu aku baca berulang kali.”

“Aku minta maaf.”

“Diamlah, Adam. Perceraian kita bukan sesuatu yang perlu disesali. Aku memang tidak akan pernah sepenuhnya mengerti bagaimana bisa Ana memiliki hatimu sebanyak itu, dalam waktu sesedikit itu. Aku tidak akan menutupi rasa iriku padanya, tetapi itu adalah kenyataan yang tidak bisa kutolak. Aku juga pernah bersamamu dan bagiku itu adalah kenangan yang tidak bisa kutukar dengan apa pun.” 

Adam terdiam. Dia mengerutkan kening. Rani meneruskan kalimatnya.  

“Mungkin benar bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Kalian saling menyukai, tapi tak pernah bisa bersama. Kita pernah bersama, tapi tak lagi menyimpan rasa yang sama. Jika boleh aku memberi nasihat, hiduplah dengan berterus terang. Mungkin hatimu akan terluka lagi. Mungkin ada hati yang akan terluka lagi. Namun begitulah hidup. Aku pernah kecewa, dan aku memaafkanmu. Kuharap kita bisa meneruskan hidup masing-masing.” 

Rani merapikan syal hitam yang melilit di leher dan bahunya. Dia menepuk pundak Adam pelan sebelum akhirnya membalikkan badan. Meninggalkan Adam sendirian.

***** selesai *****