Arsip Kategori: CERPEN

Cerpen: 25 1

Cerpen: 25

MENDUNG menggelayut rendah di tepian langit. Angin berembus semilir, cukup untuk menggoyangkan kuntum-kuntum kemboja yang mulai layu sore itu. Pekuburan lengang selayaknya tempat peristirahatan terakhir orang mati.

Sampai sedan putih dengan ban berdecit itu datang.

Seorang wanita separuh baya berpakaian serba hitam keluar dengan tergesa. Sendirian. Tangannya merogoh bergantian ke dalam saku mantel panjangnya seakan mencari sesuatu sedangkan langkahnya masih secepat mobilnya datang.

Dia menemukan apa yang ingin dicari. Langkahnya terhenti.

Wanita itu menegakkan leher dan menarik napas dalam sebelum membuka kacamata hitamnya. Untuk sesaat pekuburan kembali lengang, wanita itu masih mematung. Hanya pandangannya yang menyapu sekitar. Tadi tangannya, kini matanya.

Mencari sesuatu.

Kemudian kembali dia melangkah, kali ini pelan. Terlalu pelan, untuk ukuran betisnya yang jenjang. Tiba di nisan tujuan, dia berhenti dan kembali menarik napas panjang.

Pekuburan kembali lengang. Kuntum kemboja kembali bergoyang.

“Hai,” wanita itu menelan ludah, “ini aku.”

*****

25.

Dia membakar dua lilin tersebut dengan hati-hati. Meletakkannya di atas batu datar yang banyak berserakan—pernah satu kali dia ingin meletakkannya di atas nisan tapi pikiran bahwa dia membakar kepala orang mati mengganggunya. Terlebih lagi, ini bukan sembarang orang. Ditariknya napas panjang sebelum lirih berkata, “Selamat ulang tahun. Kelahiranmu. Kematianku.

Aku minta maaf karena hanya datang sekali setahun. Ini tak pernah mudah, meski sudah sekian lama. Berbeda dengan kebanyakan orang yang berkabung, setiap hari yang berlalu justru semakin berat bagiku.

Terlebih hari ini. 

Namun, aku telah berjanji akan datang jadi di sinilah aku. Menemanimu. Maaf karena datang sendirian. Karena pria yang seharusnya menemaniku seumur hidup sepanjang hayat, apalah namanya—membatalkan pertunangannya denganku hari ini.

Mungkin orang bilang lebih baik gagal menikah daripada bercerai. Benarkah demikian?

Kautahu aku belum pernah menikah, jadi tak bisa tahu tentang itu. Tak menikah berarti tak bisa punya anak. Aku tak mau punya anak tanpa ada suami.

Kautahu benar itu.”

Wanita itu merapikan rambutnya yang tertiup angin. Sempat dia memindahkan posisi lilin, melindunginya agar tak padam, meski tindakan itu dirasakannya konyol, seperti menjaga lilin babi. Akan tetapi dilakukannya juga. Selepas itu dia menyeka hidungnya yang beringus, lalu kembali bicara, kali ini lebih lancar dan santai.

“Saat aku membeli lilin, si penjual bertanya untuk siapa aku membeli lilin. Kukatakan saja, untuk mantan pacarku yang selamanya berusia dua puluh lima.

Bukankah seharusnya dua lima itu melambangkan kebijaksanaan? Nabi menikah saat usia dua puluh lima, kan? Jangan salah, aku tidak sedang membandingkan dia dengan nabi. Astaga. Dunia langsung kiamat jika dia seorang nabi.”

Wanita itu tersenyum. Kembali menghapus ingus.

“Aku merindukanmu. Bukankah itu aneh? Merindukan sosok yang bahkan tak pernah ada. Bisakah rindu membuatmu gila? Semoga tidak. Mencari suami saat waras saja sudah susah setengah mati. Ya, ya… aku masih berharap menemukan suami meski baru ditinggal pergi.

Ah.

Aku merindukanmu. Sungguh. Aku sering berandai-andai jika kita berdua tumbuh dewasa bersamaan. Kau dan aku. Kita bisa jadi teman baik, bukan? Aku melihat masa kanakmu. Kau melihatku. Mungkin saja aku akan tumbuh jadi orang yang berbeda, dan kau tak akan ada di sini, dipasangi lilin setiap tahun oleh wanita yang tidak gadis, tetapi bukan pula janda.

Ibu dan anak, menua bersama. Mendengarnya saja romantis.

Kautahu, sepanjang tahun aku memikirkan apa saja yang ingin kubicarakan denganmu jika kita bertemu. Hai. Hello. Apa kabarmu? Aku takut terlihat gila jika bicara sendiri, makanya kubawa kitab suci. Setidaknya aku terlihat sedang mengaji.

Sebenarnya mana yang lebih kauperlukan? Obrolanku? Atau surat-surat di kitab ini?”

Senja mulai turun tetapi wanita itu belum selesai. Dia kini duduk bersimpuh, menepuk-nepuk gundukan di depannya dengan tangan yang tak memegang kitab.

“Aku berharap kedatanganku tidak memberatkanmu. Peziarah harusnya jadi penawar luka, bukan? Mantan pacarku pernah mengunggah fotonya saat sedang berziarah—bukan ke kuburanmu tentu saja, dan dia sangat bergaya di sana. Maksudku, itu normal sekarang. Bergaya di kuburan. Aku tak pernah bisa melakukannya. Jika kau bisa melihatku sekarang, aku benar-benar kacau. Hitam. Serupa gagak pemakan bangkai.

Apakah gagak akan memakan bangkai anaknya sendiri?

Seperti biasa, aku merasa kau akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolku. Aku merasa, jika saja kau terus hidup, akan jauh lebih bijaksana daripada aku yang konyol ini.

Bicara tentang bijaksana, aku ingin cerita tentang perjalananku hari ini. Selepas putus dengan mantanku, aku terniat untuk lompat dari jembatan. Bukan karena ingin mati—seseorang yang hatinya sudah mati tak butuh bunuh diri—, tetapi karena aku lelah dan bosan. Mungkin lain waktu akan kupertimbangkan bungee jumping. Rasanya pasti menyenangkan; jatuh tetapi tahu pasti akan ada yang menahan. Serapuh apapun tali yang memegang betisku nanti, setidaknya aku tahu tak sendirian.

Menurutmu, apa aku sudah layak untuk mati?

Atau, mantanku itu, mungkin dia belum layak mati, tetapi apa yang paling baik aku doakan untuknya? Jelas aku tak mendoakan kebahagiaan. Brengsek sekali. Dia memang sudah brengsek sejak lama, tapi setidaknya belum memutuskan aku seperti hari ini. Lama-lama terpikir kalau aku memang pantas untuk jatuh dari jembatan, bukan sebagai manusia, tapi sampah—atau percikan kotoran gigi yang ikut keluar saat seseorang meludah keluar jendela.”

Wanita itu berhenti bicara. Sebagai ganti dia menarik sepucuk surat usang dari sakunya.

Maafkan aku.

Setiap tahun aku akan meminta maaf padamu. Berharap Tuhan mengampuniku.

Aku berpikiran pendek, hanya ingin senang. Nyatanya aku menyesal sekarang. Sesal selalu datang belakangan dan tak ada yang bisa kulakukan kecuali meratapi keputusan buruk itu.

Aku menyesal tak menyadari datangnya cinta di hatiku. Bahkan sejak di dalam rahim, aku ternyata telah jatuh cinta padamu. 

Aku meninggalkanmu karena tak punya suami. Kuulangi lagi ini setiap tahun, agar kau memaafkanku. Seorang wanita bisa tolol melebihi hewan jika hamil sendiri. Tentu saja aku tak seberuntung Maryam,—jika kita menganggap Maryam beruntung, karena saat Isa lahir, orang juga berpikiran kotor tentangnya dan itu sama sekali tidak beruntung. Mereka tidak tahu saja siapa Isa. 

Wanita itu memejamkan mata. Lilinnya telah padam. Habis ditelan api. Tinggal sumbunya yang kini serupa abu.

Pada gundukan dan nisan di depannya, dia kembali bicara.

“Dua puluh lima. Itu usiamu sekarang, seandainya malam laknat itu tidak kulakukan apa yang telah kulakukan. Mati berkali-kali pun tak bisa aku menebus nyawamu yang kucampakkan. Satu yang selalu kuminta, bertemu denganmu.

Hanya satu. Tak pernah bisa.

Lalu bisakah cinta yang datang terlambat, tiba di pangkuanmu tepat waktu?”

******

Terbakar 3

Terbakar

LIDAHNYA hampir terbakar. 

Ia tahu teh itu panas namun tak mengira sepanas itu. Buru-buru ia meletakkan gelas dan menyeka sudut bibir. Teh sialan. Makian yang kemudian segera ia sesali karena kini berarti ia tak bisa meminumnya sama sekali. 

*

Sesuatu yang disumpahi akan membawa bencana. Demikian berulang ibunya katakan sambil memukul pantatnya di kamar tidur saat ia kedapatan menyentuh tubuhnya diam-diam. 

Usianya tiga belas saat darah itu pertama keluar. 

Roknya berwarna merah jadi ia sama sekali tak menyadari hal itu, sampai teman sebangkunya bertanya kenapa ia kencing di kelas. Pertanyaan itu dilontarkan sedikit terlalu keras karena hampir semua anak langsung melihat padanya. Terus terang ia sangat tersinggung dan reaksinya adalah ingin menangis, tetapi ia menguatkan hati dan membela diri dengan berkata ia tidak terkencing, dan dengan nada menyalahkan ia meminta temannya untuk jangan mengada-ada. 

“Tapi bokongmu terlihat basah,” balas temannya bersikeras, “Coba sekarang kau berdiri,” katanya lagi. 

Terang saja ia menurutinya, berdiri dengan sukarela, hanya untuk mendapati bahwa salah satu temannya yang lain sedang memotretnya dengan kamera ponsel dan tak perlu tunggu lama untuk seluruh sekolah jadinya tahu kalau ia sudah mens. 

Meski sudah dihibur oleh wali kelasnya yang mengatakan ‘tidak apa-apa, mereka hanya bercanda’, ia ingat saat itu pulang dengan mata dan bokong basah. 

Sesampainya di rumah, ibunya hanya memberikan tatapan dingin dan memintanya mencopot pakaian itu segera. “Air PAM sedang mengalir dan aku kebetulan sedang mencuci. Jika masih ada pakaian kotor lainnya, segera letakkan di dalam baskom di sudut dapur,” ujarnya. “Kecuali rok itu. Kau harus pisahkan karena itu darah menstruasi dan aku tak mau pakaian lain kotor karenanya,” sambung ibunya lagi sebelum lantas meninggalkannya untuk membeli softex atau semacamnya. 

Ia melepas pakaian dengan malas-malasan. Beberapa kali ia pernah membaca tentang haid di buku pelajaran sekolah tapi sesungguhnya perkataan Minah tetangga sebelah yang paling diingatnya. 

“Kau sudah dewasa kalau kau sudah datang bulan.”

Datang bulan. Mens. Haid. Apalah itu namanya. 

“Dan kau sudah jadi wanita seutuhnya,” kata Minah lagi. 

Entah apa maksudnya, ia berpikir kala itu. Jika menjadi wanita seutuhnya bermakna pulang sekolah lebih awal dengan tatapan mengolok-olok dari gerombolan anak laki-laki bau matahari dari balik pagar sekolah, rasanya tak terlalu baik. 

Apalagi perutnya terasa aneh. 

Bahkan seluruh tubuhnya terasa aneh. 

Maka ia melepas pakaian dan menumpuknya sesuai pesan ibunya tadi. 

Darah itu keluar lagi sedikit. Bercak-bercak. Dan sedikit gumpalan. 

Ia menuang air dari dalam tangki biru dan mengambil kain pel. 

Ibunya tak suka membersihkan lantai berulang-ulang jadi dipastikannya bercak itu tak berbekas sebelum ibunya pulang. Diulanginya sekali lagi. Sedikit terbungkuk dibereskannya ember dan kain pel, disurukkannya di sudut dapur sempit itu. Meski sudah diperas kering, tak urung sisa-sia air masih menetes dari ujung gumpalan kain pel yang sudah tak tentu arah bentuknya itu.

Setelahnya, ia menarik kursi plastik milik ibunya, duduk mencangkung di depan tumpukan baju kotor. Dalam diam ia amati baju-baju itu, jemarinya menelusuri pinggiran ember yang basah kena percikan air dari keran yang mengisi tangki biru. 

Air bak kamar mandi terdengar meluap, menetes-netes di lantai. Ia bangkit dan mematikannya. Sejenak mengamati buih-buih di lantai. Diputuskannya untuk mandi. 

Terdengar pintu depan terbuka dan langkah Ibunya yang tegas masuk dapur.

“Kau mau mandi?”

Ia hanya mengangguk. Menarik sehelai handuk kering kaku dari gantungan baju yang menempel miring di balik pintu. 

Ia sudah akan menutup pintu kamar mandi ketika namanya dipanggil. “Tahu cara memakainya?” tanya ibunya, menyodorkan bungkusan berisi softex atau semacamnya.

Ragu-ragu ia menggeleng. Pandangannya beralih-alih antara bungkusan itu dan wajah ibunya. 

“Nanti kuajarkan kalau sudah selesai. Cepatlah mandi. Aku harus segera mencuci.” 

Ia mengangguk, menggigit bibir. Mendorong pintu kamar mandi yang berderit keras saat ia memaksanya merapat lebih dari seharusnya. 

Bersihkan badanmu sebersih-bersihnya, terdengar suara ibunya kembali. 

Ia mengangguk, meski menyadari ibunya tak lagi mengawasi. Diambilnya gayung, memutar-mutar benda itu sejenak sebelum kembali menyalakan keran. Perhatiannya sejenak teralihkan pada jentik-jentik nyamuk berwarna hitam dan kemerahan di dasar bak, mereka seperti berkelojotan tak keruan tertimpa air yang keluar dari keran. Ia menciduk beberapa. Memperhatikannya sesaat sebelum menyiramnya ke jamban leher angsa yang ada di samping bak mandi. Mati kau, bisiknya dalam hati. Sempat ia terpikir apakah jentik-jentik itu akan benar-benar mati di dalam bak penuh tahi, atau mereka justru senang, karena ia ingat pelajaran di sekolah yang mengatakan beberapa hewan senang makan tahi. 

Ikan lele, misalnya. Atau ayam kampung (ia bersumpah tak akan makan ayam kampung yang pernah makan tahi, meski kemudian ia berpikir keras bagaimana cara mengetahui yang mana satu yang sudah makan tahi, dan mana yang belum sama sekali, sehingga ketika diputuskannya itu terlalu rumit akhirnya ia merevisi sumpahnya sedikit menjadi: tak akan makan segala jenis ayam kampung. Sementara untuk ikan lele ia masih pikir-pikir karena belum pernah lihat secara langsung, namun dari gambar yang ada di buku, ikan itu tidak tampak enak untuk dimakan, terdapat sungut aneh yang mengingatkannya pada ekor kecambah yang mulai busuk). Dan ia tak ingat apakah jentik nyamuk termasuk dalam daftar yang sama. 

Beberapa ekor nyamuk terbang berseliweran dari dalam bak dengan bising yang nyaring, mungkin baru bertelur atau justru lepas menetas. Jadi ia memutuskan untuk menguras bak itu semuanya. Dicopotnya sumbat kayu di sudut bawah bak mandi. Benda tumpul itu tampak seperti berlumut padahal itu hanya plastik hijau bekas belanja di pasar yang dipakai untuk menyelimuti sumbat kayu agar air tak bisa merembes keluar. 

Air seperti menggelegak dari lubang di bawah itu. Mengocor keras dan sekilas tampak jentik-jentik terseret ikut terbuang. 

Pintu digedor keras, palang kayu yang menahannya sampai bergetar, disusul suara ibunya, “Kenapa kau kuras bak mandi itu?”

Ia buru-buru memasukkan kembali sumbat berlumut tadi. Tak terlalu rapat, tapi cukup untuk mengurangi gelegak air. 

“Banyak kotorannya,” jawabnya dengan ragu. Ibunya memang tak suka jika ia membuang-buang air. “Akan kubersihkan, mumpung air mengalir,” ia menambahkan jawabannya sebelum ibunya sempat menukas. 

Lalu hening. Dari luar hanya terdengar bunyi sikat beradu dengan papan penggilasan. Kadang bunyinya berlainan tergantung kain apa yang sedang dihantam di atasnya. 

Ia menebak-nebak. Meski pilihannya tak banyak. Baju mereka memang tak banyak, hanya itu-itu saja. Cuci-kering-pakai-ganti. Cuci-kering-pakai-ganti. 

Ia terus menebak-nebak.   

Sambil menanti air dalam baknya surut. 

Perutnya kembali mulas tapi bukan seperti ingin buang tahi. 

Ia sampai berlutut dan meringis saat bercak darah itu keluar lagi. 

Ibunya pasti mendengar tangisannya, karena sejurus kemudian ia mengetuk pintu. 

“Cepatlah mandi, lepas itu kau istirahat,” katanya. 

“Tapi bak air belum terisi penuh,” ia beralasan.

Ibunya terdengar tak sabar, “Tak usah kau bersihkan bak itu. Nanti kulakukan.” 

Maka ia segera menyumbat ulang lubang di sudut bawah bak mandi. Sedikit kesusahan karena tangannya sedikit gemetar. Saat mengintip kembali isi bak ia dapat melihat satu-dua ekor jentik yang tak terseret keluar, mereka seperti menari-nari. Apakah mereka mengerti kalau mereka tak jadi mati? 

Entahlah.

Menunggu bak air penuh ia kemudian mengambil sabun dan sampo. 

Perutnya terasa aneh. Tubuhnya terasa aneh. Rasanya ingin mandi dan memakai sabun terus-terusan. Wangi lemon sintesis dari sabun di tangannya memenuhi kamar mandi sempit itu. Bercampur dengan aroma sampo yang ia tak tahu apa jenisnya. Dicobanya membaca keterangan di botol sampo tapi terlalu banyak tulisan bukan latin di sana. Jadi ia mencoba menebak-nebak saja.

Yang jelas bukan lavender. Ia ingat karena teman sebangkunya memakai parfum aroma itu, katanya banyak nyamuk di rumah dan parfum itu bisa sekalian mengusir nyamuk. 

Juga bukan mawar, karena di depan rumah Minah tumbuh beberapa rumpun mawar liar, memang tak terlalu harum, tetapi ia pernah menciumnya beberapa kali dan jelas sampo di rambutnya tidak wangi seperti itu. 

Malah sebenarnya campuran sabun dan samponya kini beraroma lain, seperti bau keringat di siang hari. Namun, bukan keringat menjijikkan seperti teman-temannya yang bau matahari selepas bermain bola kaki di tengah hari bolong. 

Ini mengingatkannya pada aroma Mang Dana yang sering lewat di sore hari, berjualan pentol. Mungkin bukan keringat, tetapi aroma pentol. Ia tersenyum. Perutnya mulas dan terasa lapar. Mang Dana sering mangkal di rumah Minah. Katanya, Mang Dana naksir Minah, tetapi ia hanya mendengar itu dari ejekan ibu-ibu tetangga (ia sering memperhatikan ibu-ibu tetangga yang senang membeli pentol pada Mang Dana, lalu mereka berlama-lama ngobrol dan yang paling diingatnya adalah obrolan berisi ejekan dan gurauan tentang Minah dan Mang Dana).

Mang Dana tak pernah kesal meski kerap digosipkan, ia hanya tersenyum simpul lalu menyiapkan pesanan dengan cepat. Keringat yang menetes disekanya dengan handuk yang menggantung di bahu. Kadang ia memiringkan kening dan menggerakkan bahunya di sisi yang sama. 

Lengannya gesit memilah-milah. Satu tusuk. Dua biji. Kuah. Goreng. Kembalian dua ribu. Pesanan berapa bungkus. Kuah pedas. Tidak pedas. 

Bungkus. Makan di tempat. 

Keringat. Handuk. Bahu. Kening. Lengan. 

Lengan Mang Dana kecokelatan terbakar matahari (ia tahu itu terbakar karena dari balik lengan kaos putihnya yang longgar ia bisa melihat kulit lengan atas yang jauh lebih cerah), tetapi aromanya tidak sama dengan leher-leher legam teman sekelasnya yang main bola di siang bolong. Lengan Mang Dana ramping dan dari samping terlihat jelas lekukan garis yang memanjang hingga siku. Ia ingat betul karena ia sering duduk di depan rumah Minah—tidak mesti belanja pentol. Kadang hanya duduk-duduk, dan melihat-lihat. Anak kecil tidak masalah kalau melihat-lihat. 

Mang Dana beberapa kali memberinya pentol gratis. Sambil tersenyum ia akan memisahkan sebatang pentol dan menyiramnya dengan saus kacang pedas yang lengket. Biasanya itu akan diberikannya kalau pembeli lain sudah selesai ia layani. Mang Dana kemudian akan duduk di pagar teras, mengobrol dengan Minah. 

Ia senang diberi pentol gratis, karena selain ia tak perlu bayar (ibunya tak senang ia jajan—atau memang tidak punya uang untuk memberinya jajan, entahlah), sambil makan pentol gratis, ia bisa melihat Mang Dana lebih dekat. Kalau diperhatikan baik-baik, di pergelangan tangannya lebih banyak rambut-rambut halus yang menipis hingga ke bagian pangkal jari kelingkingnya. 

Ia dapat melihatnya dengan jelas karena kini aroma sampo dan sabun yang menyelimuti tubuh dan kamar mandi sempit itu seperti membawa gerobak Mang Dana ke dalam kamar mandi. 

Pesan satu Mang. Pesan tiga Mang. Ibu-ibu mulai berdatangan. 

Namun, yang membuatnya tersipu, Mang Dana justru kembali menyiapkan sebatang pentol untuknya. Lengkap dengan kuah saus yang melimpah. Lengan Mang Dana terjulur padanya, ia dapat melihatnya jelas. Rambut-rambut di lengannya. Beserta aroma keringat dan pentol yang berkuah kental lengket. 

Untuk pertama kali napasnya tersengal dan mulas yang dirasakannya seakan tak berujung. Membuat jari-jari kakinya tertarik. Punggungnya melengkung menahan pegal yang tertahan. Kepalanya terasa berat dan ringan secara bersamaan. 

Lebih banyak sabun ia pakai. 

Kemudian ibunya datang dan ikut memesan pentol pada Mang Dana. Hanya wajahnya terlihat tak senang. Ibunya menggedor-gedor gerobak pentol Mang Dana. 

“Apa yang sedang kau lakukan?” 

Pintu kamar mandi digedor kencang. Saking kuatnya, penyangganya yang hanya sepotong balok kecil yang dipaku longgar jadi terbuka. Tentu saja ibunya melihat semuanya. 

Tanpa bicara ibunya menyiramkan air bak mandi banyak-banyak. 

Menyapu bersih sabun dan sampo yang sedang ia pakai. 

Menyiram keluar aroma keringat dan pentol Mang Dana. 

“Pakai handuk dan tunggu di kamar,” perintah ibunya. 

Ia tak membantah, berlalu, dan menunggu. Hanya tahu kalau ia sudah melakukan kesalahan karena saat masuk ke kamar tidur, ibunya membawa sebilah penggaris yang sejurus kemudian mendarat tipis di bahunya. 

“Jangan pernah ulangi hal itu,” gumam ibunya dingin, tangannya bergerilya. 

Kembali penggaris itu melekat di kulitnya. 

Saat wanita itu keluar kamar ia bisa mendengar kalau ibunya menyumpahinya. Anak sialan. 

Matanya memanas. Hatinya terbakar.

*

Anak sialan. 

Ia memainkan jari di atas pinggiran gelas. Masih panas.

Tak ingin bibirnya terbakar lagi, ia menunda minumnya. 

Sesuatu yang ditahan lama-lama akan jadi penyakit. Kalau tidak sakit badan. Sakit hati. Minah pernah mengatakan hal itu padanya. Saat itu ia sedang duduk-duduk di depan terasnya. Mereka sedang menunggu Mang Dana (meski tentu Minah tak pernah tahu tentang perasaannya sendiri pada penjual cilok itu). 

Dan ia juga masih anak sekolah. 

“Kapan kau tamat?” tanya Minah malas-malasan.

Ia menjawab dengan nada serupa. Mereka sedang malas bicara. Laki-laki yang ditunggu tak kunjung kelihatan batang hidungnya. 

Kadang hidup memang begitu.

Pernah sekali waktu, hujan deras sampai tak bisa melihat langit. Ia sedang menggeser deretan pot kaktus di depan terasnya sendiri agar tidak tempias. Lalu di ujung lorong, dilihatnya gerobak itu. 

Senyumnya terbit dan ia buru-buru mematut dirinya pada kaca gelap di jendela. 

Mang Dana berhenti seperti biasa. 

Namun, sore itu, mungkin karena melihat teras Minah sedang kosong, pria itu justru menuju terasnya. Ia ingat betapa keras jantungnya memukul dada. Senyum yang tadi terbit segera hilang berganti dengan butir-butir keringat yang menghiasi kening.

“Saya numpang berteduh, ya.”

Ia kehilangan kata. Terangguk bagai pungguk. Lalu ia buru-buru berlari ke dalam. Ibunya menanyai siapa yang datang. Ia mengatakan hanya Mang Dana. Mungkin menyadari hujan deras yang sepertinya tak kunjung reda, ibunya menyuruhnya membuatkan segelas teh panas. 

Ia menurutinya. 

Itu pertama kali ia membuatkan minuman untuk seorang pria. 

Tangannya gemetar luar biasa, hampir saja ia menumpahkannya.   

“Terima kasih.”

Ia masih tak mampu bicara. Meski kini debaran di dadanya sudah tak lagi sama. Berganti dengan gelenyar hangat yang membuat napasnya sesak dan perutnya teraduk-aduk. 

Ia memilih permisi untuk duduk di dalam, menarik kursi mendekat di balik jendela. Bisa dilihatnya Mang Dana tersenyum padanya. 

Senyumnya kembali datang bertandang.

Jadi begini rasanya, bisiknya dalam hati. Jemarinya menyusuri terali yang memagari, batas antara dirinya dan Mang Dana.

Menyaksikan semuanya. 

Mang Dana duduk dalam diam, menyesap isi gelasnya.

Gelas diangkat sebatas dada. Kepulan uap panas mengudara, menghilang di matanya.  

Gelas mendekat pada bibirnya. Memberinya sentuhan panas. 

Satu tegukan. 

Melewati jakun itu. Leher dengan bintik-bintik tunas rambut yang bernas. 

Setelah itu ia menurunkan pandangannya ke pangkuannya sendiri. Memainkan kuku ibu jarinya, mengupas sisi-sisi yang tak rata. Menghilangkan sesuatu yang entah apa itu. 

Saat ia kembali mengangkat kepala, Mang Dana sedang melihatnya. 

Langkahnya ringan saat mendekati pintu. “Bisa minjam handuk, Dik?”

Ia terdiam sesaat di kursinya. Untuk kemudian melangkah tanpa suara. Semua terasa melayang. Seakan di awang-awang. Diambilnya handuk kecil yang terlipat kaku di dalam lemari miliknya. Mengangsurkannya dengan ragu-ragu. 

“Saya pinjam dulu. Punya saya basah,” jelas Mang Dana, “Besok saya kembalikan.”

Ia tidur memeluk handuk itu selama berminggu-minggu. 

Sampai hari itu datang. Usianya tujuh belas tahun menjelang. 

Ibunya minggat, bersama Mang Dana.

Ia sebenarnya tak pernah tahu apakah ibunya benar-benar pergi. Serta apakah benar memang Mang Dana yang membawanya lari. 

Hari itu ia pulang sekolah sehabis ujian dan mendapati rumah kosong. Bukan hal luar biasa. Ibunya memang kerap pergi sampai senja hari, sebagai buruh cuci, ia berpindah-pindah dari rumah ke rumah, tergantung siapa yang menghubunginya lebih dulu (ibunya harus pergi sedikit jauh karena di sekitar rumahnya, mereka semua mencuci sendiri dan beberapa sudah memakai mesin cuci). Maka ia masuk dengan kunci cadangan yang biasa diselipkan di bawah pot-pot kaktus di sudut teras. 

Malam larut menjelang, tetapi ibunya tak juga kunjung pulang. 

Barulah ia mulai bimbang. 

Pada Minah ia bertanya, “Apakah kau melihat ibuku seharian ini? Atau mungkin ia meninggalkan pesan saat pergi?”

Minah hanya bilang kalau ibunya terlihat keluar rumah sejak pagi dengan raut wajah berseri-seri. 

Ia tak punya ponsel untuk menghubungi ibunya. Maka ia meminjam pada Minah. 

“Nomornya tak aktif,” ujar Minah.

Ia kemudian mengorek-ngorek laci, mencoba mencari nomor ayahnya yang sudah tujuh tahun tidak pulang dari Kalimantan. 

“Nomornya tidak bisa dihubungi,” kata Minah lagi.

Malam itu ia tidur di ruang tamu, terkantuk-kantuk menunggui pintu. Ia memang tak dekat dengan ibunya, tetapi tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau wanita itu akan pergi meninggalkannya seorang diri. Pikiran-pikiran buruk lainnya yang justru menghantui benaknya saat itu. Bagaimana jika saat mencuci ibunya jatuh sakit? Bagaimana jika ternyata ia mengalami kecelakaan? Ia sering melihat kecelakaan di jalan raya saat pergi-pulang sekolah. Suatu kali misalnya, ia melihat seorang pengendara motor jatuh dengan helm terbelah. Ia tak berani melihat terlalu dekat. Setiap ada kecelakaan ia akan pergi menjauh. Mempercepat langkah, mengubah arah. Maka ia tetap menitip pesan pada Minah, sekiranya ada yang menghubungi.

Subuh pun datang, tetapi tetap tak ada tanda-tanda siapa pun akan bertandang. Diberanikannya masuk ke kamar ibunya yang terkunci. Ia tahu kuncinya ada di selasar lubang angin di atasnya. Berjingkat ia merabai debu-debu yang menempel di sana. 

Ada. 

Pintu kamar terbuka.

Seberkas sinar jingga mengintip dari tepi daun jendela yang rapat terkunci.

Sunyi pelan-pelan pecah oleh kumandang ayat-ayat dari musala di ujung lorong. 

Ia merapatkan pintu kamar. Meratakan punggung di sana. Menelaah seisi kamar sempit itu. Di salah satu sudut, di atas dipan, kasur tipis ibunya tergulung rapi tak berpenghuni. Beberapa helai pakaian terlihat menumpuk, berantakan di atasnya. Ia menajamkan mata, setengah berharap ibunya tersuruk di sudut sana. 

Tentu saja sia-sia.

Beringsut, ia menarik langkah mendekati dipan kayu sempit itu. Pikiran kalau ia benar-benar tinggal sendiri mulai merasuki. Berhati-hati, diangkatnya pakaian dan selimut dari sana, membongkar kasur tipis bergelung tadi. Meringkuk, ia duduk di pinggiran tempat tidur itu, gigil ia tersedu, lalu punggungnya menyerah. Seperti bayi, ia tidur menyamping, pandangannya mengabur. Dingin segera memeluk.

Matahari sudah tinggi saat ia terbangun. Sudut-sudut matanya terasa lengket dan berpasir.   

Kali ini semangatnya lebih menyala. Menyeka hidung yang setengah buntu, ia bangkit dan menuju sudut kamar di seberangnya. Dibukanya lemari yang dulu sering ia jadikan tempat sembunyi. Dulu. Dulu sekali. 

Tanpa sadar air matanya kembali tumpah melimpah. Lututnya goyah. Di depan lemari dengan kaca abu-abu itu ia tersimpuh, memandangi beberapa helai daster koyak-koyak yang tergantung di dalam sana. Ia bisa mencium aroma sabun yang dipakai Ibunya. 

Dijulurkannya tangan, menggapai ujung-ujung kain yang terasa kasar. Bisa terdengar derap sikat menempa papan penggilasan. Lalu air membilasnya. 

Sikat. Bilas.

Sikat.

Bilas.

Air yang banyak membilas busa-busa sabun yang kemudian beriringan menuju lubang di sudut rumah.

Hanya kini yang tersisa adalah air matanya. 

Ia bahkan tak benar-benar paham kenapa menangis. Perasaannya jadi tiba-tiba sangat sedih. Bahkan jauh sebelum ia benar-benar yakin kalau ibunya telah pergi dan mungkin tak akan pernah kembali. 

Perihal apakah Mang Dana yang membawanya, dihembuskan oleh para tetangga. Karena memang semenjak hari itu, tak pernah lagi gerobak pentol itu mangkal di situ. Bisa diduga, Minah juga kini memasang wajah masam padanya. Tak lagi membuka pintu meski ia mengetuk berkali-kali. 

Mang Dana sialan.

Ia memutuskan untuk tak lagi pergi ke sekolah, hingga kemudian di suatu petang, wali kelasnya datang. “Kami baru mendengar berita tentang ibumu,” ujarnya. 

Ia tak tahu harus menjawab apa. 

“Masuklah lagi, tinggal satu semester maka kau akan lulus.” 

Ia menggeleng. Sekolah tak ada lagi dalam pikiran.  

Mereka sama-sama tahu kalau ia tak punya uang. Selama beberapa hari ini ia menerima sumbangan tetangga, tetapi itu tak banyak. Akan segera habis. 

Ia sudah terpikir untuk membantu dari pintu ke pintu. Ia tahu kalau ia bisa dapat beberapa ribu dari menyetrika beberapa helai pakaian. Atau mencuci pakaian seperti yang biasa ibunya lakukan.

“Selesaikan sekolahmu, lebih mudah kau cari kerja nantinya,” wali kelasnya itu berkata, seakan bisa membaca pikirannya. 

Ditimbang-timbangnya beberapa saat. Ia kemudian mengangguk. 

Tangisnya pecah saat kemudian wali kelasnya memberi amplop. Sumbangan dari teman-teman, katanya. 

“Jumlahnya memang tak seberapa, tapi kau harus sekolah lagi.” 

Hari Minggu besoknya ia membentangkan tikar di teras sempit rumahnya. Pada Minah ia minta tolong untuk menyebarkan kabar, bahwa ia menjual baju-baju bekas, serta apapun barang layak jual di rumahnya yang tak lagi ia perlukan. Meski terlihat enggan, Minah membantunya. Saat petang menjelang, terasnya kosong dan mereka berhasil mengumpulkan beberapa ratus ribu.

Selanjutnya, ia hidup dari hari ke hari. Kadang saat bekerja sambilan, ia lebih memilih makanan sebagai bayaran karena itu jauh lebih menyenangkan. Tak harus mencuci piring. Tak harus masuk dapur, memikirkan kompor, dan segala pecah belah tak menarik yang ada di sana.   

Karena hal-hal itu beberapa kali membuatnya terkenang ibunya. 

Ia tak paham bagaimana cara perempuan itu membuat mereka bertahan selama ini. Yang jelas, tidak mungkin ayahnya yang mengirimi mereka uang, karena ia sendiri tak pernah dapat kabar sedikit pun dari laki-laki itu, bahkan setelah berbulan-bulan ibunya minggat. 

Sedikit demi sedikit ia memahami beban ibunya.

Maka ia mulai belajar memaafkan. Tak lagi membawa hawa benci di hatinya. 

Ia bahkan beberapa kali sengaja duduk di dapur sempit Ibunya. Mencoba mengenang langkah-langkahnya yang tegas. Serta bibirnya yang selalu penuh gumaman.  

Air matanya menetes. 

Perlahan diambilnya gelas teh yang tadi diseduhnya. Menyentuh pinggirannya. 

Minuman sialan. Namun, kali ini bibirnya tersenyum.

Lidahnya tak lagi terbakar. 

Teh itu telah dingin dengan sendirinya. 

***selesai***

Apatía 5

Apatía

Fly me to the moon, and let me play among the stars…

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars… 

In other words, hold my hand.

In other words, darling, kiss me…

*

Sayup-sayup terdengar Julie London dari speaker yang kau pasang; selain suaranya yang merayu, tak ada yang bicara. Sudah hampir lima menit kau duduk bersamanya, namun tak sepatah pun kata terucap. Hingga akhirnya kau buka suara, “Kudengar kau tak rutin meminum obat.”

Kau lihat dia mengangkat mata. Pandangan kalian bertemu.

“Lalu kau juga masih….“ Sejenak kau diam, mencari kata yang pas.

“Melacur.” 

Berdeham kecil, perempuan itu yang menyelesaikannya. Kau melihatnya merogoh isi Prada tiruan di pangkuannya. Mengeluarkan lipstik dan mulai memoles bibir, tangannya yang lain memajang kaca kecil. Kau yakin benar keduanya gemetar. Di balik lengan baju panjangnya, kau tahu semua tak baik-baik saja. 

Ketika mendapatkan panggilan darinya tadi pagi buta, kau sudah menduga ada yang tak beres dengannya; yang tak kau tahu, apa dan bagaimana. 

“Bisakah aku mampir besok sore? Ada yang ingin kupastikan.”

Kau ingat bahkan sempat terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan meyakinkan bahwa benar dia yang menelepon. 

“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”

Gemerisik di telepon bercampur dengan desah napasnya. Kau mendengarnya terbatuk. Suaranya sedikit sengau. “Mungkin jam lima. Atau jam enam. Kau masih bisa menunggu?” 

Kau tak bisa tertidur sepicing pun setelah menutup telepon. Sudah sekian lama sejak terakhir kali kau dan dia bicara. 

Dan sekarang, di sini kalian berdua. 

Kembar tapi tak serupa. 

Meski tentu saja kau masih bisa melihat kilasan masa lalu dan masa depanmu pada wajahnya. Kau melihatnya mematut bibirnya yang penuh, merah kontras dengan wajahnya yang pucat. Kau kembali buka suara, “Tindakanmu itu sungguh berbahaya. Tidak hanya kau memperburuk status penyakitmu, namun kau juga berisiko menularkannya.”

Dengan bunyi ‘klik’ yang jelas dia menangkupkan cermin. Matanya terangkat padamu. “Kau tahu aku tak peduli.” 

“Tapi aku peduli.” 

Tak kau sangka dia terbahak keras sekali, menepuk lutut, dan memegangi perut. Tawanya berubah jadi sengal napas yang memburu.  

“Ooh…” ujarnya sambil mengeringkan sudut mata, “setelah sekian lama, tak kusangka kau masih lucu saja, Ariana.”

Rautmu sontak mengeras. “Aku bisa mengirimmu pada psikiater.”

“Lakukan apa yang kau mau. Aku juga begitu.”

Kau menggeleng gusar. “Luana, kita bukan anak kecil lagi.”

“Terang saja bukan anak kecil. Kau pikir pelangganku buta? Atau pedofil? Mereka hanya mencari selangkanganku! Setan! Kau seharusnya bersyukur aku memberikan virus kematian pada mereka dengan cuma-cuma!” 

Menahan amarah, kau buka lembar dokumen di depanmu. Mencoba memusatkan perhatian pada catatan yang sudah kau pelajari sejak pagi. 

Setidaknya dia kini tak lagi membisu, begitu pikirmu.  

“Tercatat positif HIV sejak lima tahun lalu. Sempat menerima obat rutin. Namun belakangan tak lagi melakukannya.” Kau dorong dokumen tersebut padanya, menuntut penjelasan. “Apa yang terjadi? Kenapa berhenti berusaha? Lalu apa yang membawamu periksa hari ini?”

Kau melihatnya mengangkat bahu, mendesah malas. Kembali mengorek isi tas, dia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

“Luana! Kau tak boleh merokok di sini!” suaramu meninggi.

“Tak ada tanda larangan.”

“Demi Tuhan! Jika kau begini tak peduli, apa gunanya hidup?!” 

Kini kau saksikan dia menurunkan rokok, memutar bola mata. “Kau terlalu lurus, Ariana. Wajar para pria takut padamu. Santailah sedikit. Papa Mama pasti menangis dalam kubur kalau tahu anak kesayangannya jadi perawan tua.” Mendengar nada suaranya mencela, wajahmu panas membara.

“Air mata mereka sudah habis karenamu.” 

Dapat kau lihat perkataanmu melukainya. Luana menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya bergetar saat berujar, “Kalau perlu mereka menangis darah karena garis keturunan Gouw akan habis di tangan kita: perempuan celaka.”

Kau terkesiap, tak siap. 

“Oh, kau pikir aku tak tahu tentang operasi kanker rahimmu, Ariana?” Kembali, dia menyulut rokok. Kali ini kau tak menghentikannya.

Tangannya bergetar. Api berkobar. “I’m sorry for your loss.” 

“Katakan apa maumu, Luana.” Setengah mati kau menahan air mata.

Jelas kau sadari dia tak peduli perasaanmu, karena seraya mengumpulkan segenap rambutnya ke bahu kiri, dia lanjut bicara, “Aku periksa karena badanku tak seperti biasa. Belum pernah aku selelah ini. Sekacau ini.” Untuk pertama kali kau mendengar kegelisahan dalam suaranya. Begitu juga dengan caranya mengukur diri dengan merentangkan kedua tangan di depan tubuhnya, seakan mengukur dan menghitung semua kesalahan yang ada di sana. “Jika benar akan segera mati, aku ingin memastikannya. Setidaknya kau bisa mengurusi mayatku nanti. Kau mau mengurusi mayatku, kan?” 

Kau tak menjawabnya. Bimbang apakah dia sedang kembali memancing amarahmu atau bicara sejujurnya. 

Lama kalian bertatapan. 

Sampai akhirnya pintu ruangan diketuk. Seorang perawat masuk membawa hasil laboratorium sore ini. Berterima kasih, kau menunggunya benar-benar pergi lalu membuka amplop tersebut. 

Dari ekor matamu kau menangkap Luana bangkit dari kursinya. Berjalan berkeliling, mengamati acuh tak acuh pada piagam-piagam pelatihan dan penghargaan di dinding. Saat kembali bersuara, dia bertanya, “Bagaimana kondisiku?” 

Kau hampir menyergah ‘apa pedulimu?’ namun tak jadi. Alih-alih, kau bergumam, “Tak terlalu bagus. Namun kurasa kau justru bahagia.” 

Lembaran kedua.

Jantungmu mencelos.

Mengangkat wajah, suaramu bergetar saat berkata, “Kau harus kembali meneruskan terapi.”

Kau melihatnya menggeleng. “Kau yang bilang apa gunanya hidup jika tak peduli. Aku ingin mati.”

Dadamu panas, kau sodorkan hasil laboratorium padanya. 

“Bacalah. Aku tak tahu caranya agar kau bisa peduli, tapi Tuhan mengerti. Mungkin ini kerja rahasianya.”

Nanar, kau lihat matanya melebar. Bibirnya gemetar, “Aku…,” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Kau membantunya, “Ya. Kau sedang berbadan dua.” 

Hening.

Tak kau dengar Luana membalas ucapanmu. 

Justru kau saksikan dia memberesi tas di meja dengan tergesa. Sebelum menjangkau pintu keluar dia berhenti sejenak dan membalikkan badan. Kau lihat matanya berkaca-kaca. “Kurasa aku butuh udara segar. Keluar sebentar. Pikiranku…” dia memegang kepalanya sambil terisak, menangkup wajah, “maaf karena telah berkata buruk padamu.” 

Sejurus kemudian dia berlalu. 

Sayup-sayup hanya Julie London yang masih mengalun di telingamu. 

*

Now you say you’re sorry

For being so untrue

Well, you can cry me a river, cry me a river

I cried a river over you… 

*****

*Apatia (Spanish) adalah kondisi kurangnya antusiasme, motivasi, ataupun kegembiraan. Merupakan istilah psikologi untuk kondisi ketidakpedulian, di mana individu tersebut tidak merespon baik secara emosi, sosial, atau aktivitas fisik. 

Penjaga Langit 7

Penjaga Langit

undefined

Tahun 2145 M. Bumi mengalami penurunan massa secara cepat. Gravitasi menghilang sampai nyaris tak ada. Manusia membuat apartemen melayang yang mampu menyuplai medan elektromagnetik untuk bertahan dari benturan sekeliling. Kecuali para penjaga langit dan sulur-sulur raksasa penyerap sumber energi bumi yang tersisa, seluruh bentuk kehidupan tak lagi menjejak bumi.


“HEI! KURANGI KECEPATANMU!!”

Kedua remaja tanggung itu mengedip nakal dari balik helmnya dan melesat cepat melewati kami. Hoverboard yang mereka kendarai menyisakan berkas tipis yang menyebalkan. Beberapa detik kemudian, jauh di atas kami, kulihat mereka sedang menyusun formasi akrobatik yang rumit.

“Jangan hiraukan mereka.”

Aku berpaling dan menyeringai lemah pada partner jaga yang barusan menegurku. “Kenapa?”

“Dari desing halus hoverboard-nya, mereka pasti dari Level Satu.”

Level Satu. Uang. Kelicikan. Kebusukan.

Aku mendengus. Melirik sekali lagi pada mereka yang masih berputar-putar di atas. Privilege. 

Mencoba mengabaikan kejadian barusan, kusetel layar helm yang kukenakan. Kedipan lampu merah kecil di sudut kiri bawahnya membuatku mengumpat pelan.

“Ada apa? Kau tidak mengisi baterainya?”

Aku menggeleng. “Punya cadangan?”

Rekanku melayang mendekat, memasukkan kode-kode rumit di layar miliknya sendiri. “Kau berutang banyak padaku. Tidak ada tempat pengisian baterai di lapisan thermosfer.”

Belum sempat aku menjawabnya, kami berdua mendapatkan signal yang sama.

“Lihat!”

Aku mendongak, memastikan apa yang ditunjuk. Percuma, badai listrik dengan cepat menutup jalur pandang normal. Melayang lebih rendah menghindarinya, aku setengah berteriak membacakan voice command untuk mengaktifkan perisai pelindungku. Kulihat rekanku melakukan hal yang sama.

“Mereka masih di atas!”

Dua titik berkedip di layarku mengonfirmasi kebenarannya. Sekejap kemudian informasi tentang mereka muncul.

Oh. Tidak.

Salah satu dari mereka adalah anak Menteri Pertahanan. Rekanku mengirimkan rencana penyelamatan standar yang kusetujui. Baru saja aku melayang naik saat sebuah hoverboard tanpa pengendara menukik turun dan hampir menyambarku. Rekanku melesat mengejarnya. Aku sendiri mengubah arah dan segera terbang naik. Tanpa hoverboard, salah satu dari mereka sekarang bisa saja sudah tersedot keluar atmosfer.

ZZZZTTTT!!! ZZZZZTTTT!!!

Tubuhku kesemutan. Memaksakan perisai maksimum akan memakan energi dan itu hal terakhir yang ingin kuhadapi saat ini. Menahan napas, aku melakukan salto terbaikku selama berbulan-bulan terakhir, menghindari pusaran listrik yang terus menerjang.

Layarku kembali berkedip. Kali ini pesan suara yang masuk.

“TOLOOONG!!”

Perempuan? Aku memeriksa ulang data remaja yang tadi kuterima.

“Salah satu dari mereka adalah perempuan. Kuulangi, PEREMPUAN!”

Oh. Ini bagus sekali. Aku memaki dalam hati.

Infertilitas merupakan salah satu masalah besar dan petinggi bumi sudah menegaskan bahwa kematian seorang perempuan adalah bencana—dan bagi seorang penjaga batas bergaji rendah sepertiku, itu bisa berakibat buruk sekali.

“Bisakah kau kirim kode baterai tadi, mate?” Aku mengirim pesan.

Sederet kode masuk dan helmku mendengung seakan berterimakasih, bar hijau berpendar terang dan helmku kembali terasa bertenaga. Kuaktifkan perisai maksimal. “Aku akan menerobos!”

Rekanku mengirim persetujuan. Namun ia memperingatkanku.

LEVEL DUA BELAS.

Itu berarti aku akan memasuki wilayah tanpa jalur komunikasi dengan level di bawahku.

“Kau melihat mereka?!” 

Layarku memberi sinyal kosong. Aku memaksa terus naik menerobos pelangi mematikan yang berkeliaran.

“TOLOOONG!!”

Helmku segera mengirimkan lokasi asal pesan.

Di sana!

Kedua remaja itu berpelukan di dalam perisai maksimal yang dikeluarkan hoverboard mereka. Mereka melambai cepat melihat kedatanganku dan aku meluncur mendekat. “Aku penjaga batas, jangan panik! Hoverboard kalian akan segera dikirimkan.”

Saat itulah aku menyadari kedua remaja itu mengaktifkan mode escape-autopilot.

“Kalian akan kehabisan energi!! AP–APAA??!!!”

Hoverboard mereka ternyata dilengkapi sulur pengisap yang kini menodongku. “Tidak jika kau meminjamkan energimu.” Sulur melekat dan remaja itu mengedip dengan helm yang kini menyala hijau terang. “Bertahanlah, prajurit!!”

ZZZZTTTT!!!! ZZZZTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!

******

Picture not mine, taken from here

Radio 10

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran radio favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet! 

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…! 

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…! 

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****