
Nathan duduk di tepian tempat tidur, memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. Seseorang harus melakukannya jika tak ingin benda itu meleleh dan merusak tart yang susah payah dibuat ibunya. Perlahan dia bangkit, mengintip di balik pintu. Polisi masih mondar-mandir di teras dan ruang tamu. Samar-samar terdengar berisik alat komunikasi yang mereka gunakan. Dari kejauhan…

“Kau memakai sendalku.” Itu bukan pertanyaan. Aku memutar badan dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Citra kemudian pergi melengos dengan gaya yang berlebihan. Aku bergegas, setengah berlari kembali ke ‘ruko’,—singkatan untuk ruang koas1—mencari sendal milikku sendiri; hampir tak bisa kupercaya tadi Citra tidak memakai alas kaki sama sekali. Membuka pintu, kudapati…

Setengah berjongkok aku duduk di depan nisan perempuan itu. Seminggu telah berlalu sejak kepergiannya; istriku. Leukimia yang lama menggerogotinya akhirnya menang. Kudekatkan pigura yang kubawa tadi dan berbisik padanya. “Hai.” Kuusap namanya yang tertera di nisan. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.” ~~~ “Apa yang sedang kaulukis?” Istriku menoleh sejenak, kemudian kembali pada kanvasnya. “Lelaki…

“Yang warna hitam?” Aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu. Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. “Ya. Yang itu.” Sejurus kemudian ia keluar dari kamar mandi. Air masih menetes-netes dari rambutnya. Ia mengalungkan handuk ke leher, menjaga agar kaos putihnya tidak basah. Kemudian ia mendekati jendela, melihat ke luar. “Lama juga hujannya.…