Arsip Kategori: CERPEN

Winter Lullaby 1

Winter Lullaby

Nathan duduk di tepian tempat tidur, memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. Seseorang harus melakukannya jika tak ingin benda itu meleleh dan merusak tart yang susah payah dibuat ibunya. Perlahan dia bangkit, mengintip di balik pintu. Polisi masih mondar-mandir di teras dan ruang tamu. Samar-samar terdengar berisik alat komunikasi yang mereka gunakan. Dari kejauhan sirene dan suara binatang malam silih bersahutan.

Jika bukan karena salju yang mulai turun sejak siang, Nathan tak akan menelepon Mrs. Alberta, janda tua yang tinggal seratus lima puluh meter dari rumahnya. Ibunya memang terbiasa pulang larut malam. Hanya saja, hari ini ulang tahunnya dan mereka sudah berencana menonton rekaman pertandingan football tempo hari. 

“Ibuku belum pulang, Mrs. Alberta. Aku tak bisa menghubungi ponselnya. Bisakah aku memintamu menghubungi polisi?” 

Sudah lewat 15 jam sejak terakhir kali seseorang melihat Amber; Ibu Nathan. Ms. Austin, penjual kue di pinggiran kota mengaku wanita itu datang membayar bahan-bahan kue di pagi hari. Mr. Simmons, pemilik kelab malam tempatnya bekerja mengangkat bahu saat ditanyai polisi. “Dia sudah minta libur malam ini dan besok. Nathan, anaknya berulang tahun.” 

“Sebenarnya, apa pekerjaannya di sini?” 

“Dia penari. Pool dancer.” 

“Amber tak bisa melakukan hal lain karena kikuk. Pernah mencoba jadi pelayan, atau kasir di toko. Dia sebenarnya bisa melakukannya, maksudku, dia bukan orang yang bodoh, hanya cenderung teledor dan lupa.” Nancy, pramusaji di kelab, mencoba membantu menjelaskan. “Tapi dia sangat bertanggung jawab. Maksudku, dia sadar kelemahannya, jadi dia belakangan membawa buku catatan kemana-mana. Dan dia tak merepotkan siapa-siapa, kalau mau jujur.” 

Buku catatan itu ide Nathan. Ketika dia mulai kelas tujuh dan ibunya kerap mangkir pertemuan orangtua murid, dia membuatkan catatan untuk diselipkan di kantong jaket jeans biru satu-satunya milik ibunya. Polisi memastikan ibunya keluar tak mengenakannya. Jaket itu masih tersampir rapi di belakang pintu depan. Ramalan cuaca memang tidak memperkirakan kalau salju akan turun jauh lebih dini. Kemungkinan ibunya pergi pagi-pagi sekali karena yang Nathan jumpai saat bangun hanya selembar kertas tertempel di pintu lemari es. 

Ke tempat Ms. Austin, membayar tepung dan mentega!

“Kau yakin ibumu tak bekerja di tempat lain, Nak? Mungkin kau melewatkan sesuatu? Teman yang baru dikenal? Atau apapun yang mungkin dia coba lakukan seharian ini?” Letnan Donovan, polisi perempuan berkulit hitam yang memimpin pencarian mencoba memastikan.

Nathan menggeleng. Mrs. Alberta yang menengahi, “Amber menderita Alzheimer dini yang langka. Hampir tak ada yang bisa dia kerjakan tanpa mengacau. Hanya menari. Ya, dia bilang, saat menari seseorang tak perlu ingat. Dia hanya perlu bergerak sampai tiga puluh menitnya selesai lalu mendapat bayaran.” 

Di jalanan depan rumah salju mulai menumpuk setinggi lutut ketika jarum jam dinding berkencan di angka dua belas. Nathan terkantuk, Mrs. Alberta mengelus kepalanya. 

“Kau perlu tidur, Sayang.” 

Nathan menggeleng, hidungnya berair. “Ibuku akan baik-baik saja?”

“Polisi sedang mencarinya. Kuharap dia hanya tersesat.” 

Ibunya sering tersesat. Tapi tak pernah selama ini. Atau dalam cuaca seperti ini. 

Mrs. Alberta bersikeras kalau Nathan harus tidur jadi anak itu mengalah. Berbaring kaku di atas kasur, telinganya menangkap desau angin memukul-mukul jendela. Terlelap sejenak, Nathan tersentak saat membuka mata. Dia mendengar bisik-bisik di balik pintunya.

“Dari mana kau semalaman?” 

“Aku terjebak salju, Mrs Alberta. Dokter Grey berbaik hati mengantarkanku, tapi aku lupa jalan pulang jadi kami berputar-putar sejenak. Apakah Nathan kecewa aku melewatkan ulang tahunnya?”

Nathan mengerjap-ngerjap. 

Memasang telinga.

Sekarang hening.

Hanya sirene terdengar di kejauhan.

Serta angin yang memukul-mukul daun jendela. 

Nathan bangkit, menggosok mata, lalu duduk di tepian tempat tidurnya. Memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. 

Bisik-bisik barusan, mimpi—atau nyata? 

Seminggu 3

Seminggu

“Kau memakai sendalku.” 

Itu bukan pertanyaan.

Aku memutar badan dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Citra kemudian pergi melengos dengan gaya yang berlebihan. Aku bergegas, setengah berlari kembali ke ‘ruko’,—singkatan untuk ruang koas1—mencari sendal milikku sendiri; hampir tak bisa kupercaya tadi Citra tidak memakai alas kaki sama sekali. 

Membuka pintu, kudapati Iqbal yang sedang bercukur, handuk menutupi bahu dari rambutnya yang terlihat masih meneteskan air. 

“Apa yang kau lakukan?!” jeritku. 

Koas memiliki ruang istirahat terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Iqbal memalingkan wajah dengan raut tak berdosa, “Kamar mandi kami sedang tidak ada air.” Bisingnya alat cukur memenuhi ruangan, sesaat aku terpaku melihat alat yang sedang bergerak-gerak di dagunya. “Berapa pasienmu? Sepertinya banyak.” 

Aku tak menggubris pertanyaan retorisnya dan buru-buru mencari sendal. “Kau melihat sendal warna merah? Yang ujungnya robek?” 

Iqbal memiringkan wajahnya sedikit, seperti mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dipakai Lia.” 

“Oh, demi Tuhan.” Hanya tinggal dua pasang sendal di ruangan itu. “Sendalmu yang mana?” 

“Yang hitam.” 

Aku buru-buru mengenakan sisanya dan secepat kilat menutup pintu. Mood-ku sedikit rusak karena Citra yang sudah repot-repot minta ganti sendal di pagi buta di saat pasien melimpah ruah dan aku belum tidur sepicing pun sejak jam delapan malam! 

Menggeretakkan gigi, kutarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi membaca daftar pasien yang belum kuselesaikan laporan visite2-nya untuk pagi ini. 

Tujuh pasien baru. Tujuh. 

Kupejamkan mata. 

Dan delapan pasien lama. 

Aku mencoba memetakan denah ruangan masing-masing pasien tersebut dalam kepalaku dan menetapkan rute visite yang paling efisien. Kulirik jam di pergelangan tangan. Seharusnya waktunya cukup. 

Baru aku akan melangkah saat kurasakan seseorang menggamit bahuku.

“Apakah kau menggunakan penaku?” 

Astaga, Citra!

***

Aku menarik napas lega memasuki ruang perawatan III-D karena tidak satu pun pasien di ruangan ini merupakan tanggung jawabku, yang artinya aku bisa bersandar di dinding dan memejamkan mata sembunyi-sembunyi. Telingaku menangkap sayup-sayup gumaman Pedro yang sedang menyampaikan laporannya di depan konsulen3 pagi ini, dokter Wahid. Mataku nyaris terkatup sepenuhnya ketika kurasakan seseorang menggamit sikuku. 

“Kau belum mandi?” bisiknya.  

Aku membuka mata. Daniel seperti menahan senyum memandangiku. Aku membelalakkan mata padanya—bukan urusanmu, kataku tanpa suara. Ia hanya meneruskan senyum terkulumnya. Kemudian ia mengedikkan kepala ke arah tempat tidur di sampingku, masih berbisik. “Itu pasien siapa?” 

Seorang kakek. 

Aku mengingat-ingat. “Pasien titipan, dari ruang saraf. Mereka juga kebanjiran pasien tadi malam,” jawabku sambil memanjangkan leher, berbisik di samping telinga Daniel. Meskipun begitu aku hanya mencapai lehernya karena keterbatasan tinggi badanku. Tak sengaja kuhirup parfum yang ia gunakan. 

Bagus sekali, aku merasa kotor berdiri di sampingnya. 

Kami baru mencapai tempat tidur pasien terakhir di ruangan III D ketika sekelompok koas bagian saraf memasuki ruangan diiringi Dokter Suki, konsulen visite mereka, dari ekor mataku kulihat Lovina yang menjelaskan kondisi kakek itu. 

Sepertinya kakek itu stroke4. Tapi sudah membaik. Di samping tempat tidur kulihat seorang nenek sedang duduk; kentara sekali ia kurang tidur, kepalanya terangguk-angguk saat mendengarkan dokter Suki bicara pada si kakek. Tepat di samping kakinya, tersuruk di bawah tempat tidur, kulihat satu tas kain jinjing kecil berisi pakaian yang menyembul-nyembul keluar. Selain dari tas itu, tidak kulihat ada barang lain kecuali setumpuk kecil pakaian lain di atas pangkuan si nenek. Baru kusadari bahwa sambil mengangguk-angguk tadi si nenek ternyata sedang melipat pakaian. 

Aku jadi lebih memerhatikan mereka dibanding pasien sesak-napas yang sedang dijelaskan Iqbal pada dokter Wahid. Kulihat dokter Suki menepuk-nepuk pundak si kakek dan mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang. Si nenek tampak tersenyum, masih dengan anggukan kecilnya. Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas air minum yang diminta oleh si kakek. Saat membantu si kakek minum, tangannya terlihat gemetar. Keningku berkerut, memperkirakan umur pasangan tersebut. 

Sikuku kembali digamit Daniel, kali ini ia melirikku dengan tatapan tajam. Ketika kualihkan pandangan darinya, kulihat dokter Wahid sedang memberiku tatapan tak sabar. Tanpa sadar aku menganga. 

“Berapa-urine-output5pak-Sanusi.” Daniel berdesis di telingaku. Aku bisa merasakan di balik kerudungku telingaku panas, separuh karena malu dan separuh karena Daniel yang melakukannya. Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaan tersebut sambil melirik pada Iqbal yang meringis meminta maaf karena tidak mencatat data yang telah kuberikan sebelumnya padanya. Aku hanya memutar mata dan terus menjelaskan. 

Sebelum keluar ruangan sejenak aku kembali memerhatikan pasangan renta tadi. Si nenek berusaha menyelipkan sisa pakaian yang belum ia masukkan ke dalam tas kemudian memberesi beberapa gelas dan piring plastik ke dalam kantong kresek hitam, sementara si kakek tampak kembali tidur. 

*

Sehabis visite aku bergegas mandi—ini satu-satunya waktu yang paling aman karena seusai visite seluruh perawat akan sibuk menyiapkan tambahan terapi dari masukan para konsulen, mengisi chart-chart setiap penghuni tempat tidur, hingga memastikan seluruh permintaan pemeriksaan tambahan laboratorium ataupun radiologi sudah dikirimkan; dan kami para koas akan seperti kasat mata oleh semua orang di waktu ini (yang sesungguhnya merupakan anugerah terindah). Sebelum mandi kukirim SMS kepada Lovina mengatakan ada yang ingin kutanyakan padanya, memintanya untuk bertemu di lantai satu rumah sakit saat pulang nanti. Usai mandi aku mendapati pesanku telah dibalas dan ada dua missed calls

Daniel dan Ibu. 

Aku masuk ke kamar ganti sambil membawa handphone, mendapati Citra dan Lia sedang berbagi mie goreng, bibir mereka tampak berminyak. Ruang ganti sempit itu penuh aroma makanan sekarang. 

“Kita tidak punya jadwal sampai jam 12, kan? Bisakah aku skip jadwal di poliklinik? Aku ingin tidur sebentar saja.” Kutekankan nada bicaraku pada kata sebentar. 

Citra menggeleng cepat. “Hari ini jadwal poliklinik dokter Nurul. Akan rame sekali. Kau tidak bisa skip.”

Aku memicingkan mata, otakku memikirkan bagaimana bisa ia terus mengunyah sambil mengeluarkan kalimat barusan tanpa ada kesan tersedak. Diam-diam aku memikirkan melakukan Heimlich Manuver6 pada Citra, dengan sedikit beringas tentunya.

“Tadi Daniel kemari saat kau mandi.” Lia mengulurkan sebuah kotak. Aku menerimanya. Membukanya. 

Oh. Daniel. Hatiku seperti meleleh. 

“Bagaimana kau bisa belum mandi dan belum sarapan? Apa saja kerjamu semalaman? Pasien ramai sekali?” Citra bertanya sambil menjilati sendok dan garpunya. Aku memilih tidak menjawab demi menjaga kesehatan mental. Cepat kuambil handphone dan mengirim SMS pada Daniel. 

Thanks for the breakfast. Ha-ha.

Sejurus kemudian balasannya datang. 

Baru dimakan? It’s brunch then. Nanti ke poliklinik?

Tanpa bisa kutahan wajahku memanas. Kupalingkan wajah dari Citra dan Lia.

Poliklinik. Tidak. Poliklinik. Tidak. Aduh, aku mengantuk sekali. 

Tidak. Kukirim pesan itu dengan cepat. 

*

“Kau menunggu siapa?” 

Aku tersentak bangun. Daniel memamerkan senyumnya yang bertebarkan barisan gigi nan rapi. Jasnya dipeluk di depan dada. Kuintip jam di pergelangan tanganku. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini selalu rapi dan wangi?

Aku mendengus, mencoba menarik napas dari kedua hidungku yang nyaris buntu. “Aku? Aku menunggu Lovina.”

“Kau bisa tidur di mana saja. Luar biasa.” 

Aku mengangguk-angguk pelan. “Kau tahu, Daniel, aku hanya memejamkan mata,” kemudian menggeleng, “bukan tidur.”

Daniel kembali tersenyum. Ia kemudian mengambil tempat di sampingku. “Aku melihatmu tidur selama sepuluh menit penuh. You’re lucky I didn’t take picture of this.” Dia memperagakan wajah bodoh dengan mata terpejam, jarinya mengisyaratkan lelehan liur dari satu sudut mulut. 

Wajahku terasa panas sekali. Dengan salah tingkah aku memeriksa isi tasku. “Oh. Ha-ha. Kau pasti melebih-lebihkan saja. Bagaimana bisa aku tidur selama itu. Haha.” Setelah tidak berhasil menemukan sesuatu yang pantas untuk kucari dari dalam tas, aku menarik selembar tisu dan mengembuskannya kuat-kuat menutupi hidung, sekalian mengusap sudut bibir. “Kau dari mana?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Tadi baru selesai bimbingan referat5 dengan dokter Liliana.”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Oh, hei. Terimakasih tadi untuk sarapannya!” 

Daniel tidak menjawabku. Aku kemudian berpaling kepadanya. Ia kemudian berkata. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku hanya seseorang yang kebetulan menyukaimu. Kau tidak perlu membuatku merasa tidak enak.” 

Oh, Tuhan. 

Kurasakan darah mengalir deras dalam jumlah yang tak wajar ke kepalaku, berkumpul di wajah. Jantungku memukul-mukul keras dinding dada.

“Kau sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari hubungan kita. We’re still friend. I accepted it. You don’t like me. I am cool with that.” 

Aku memandangi jari-jariku, seperti pesakitan menunggu putusan. “Ya, but for the record, aku nggak pernah bilang ‘i don’t like you’, ya.” 

Daniel terkekeh, “Bisakah kau bersikap biasa saja? Jika kau terus seperti ini, aku akan salah mengerti.” 

Aku menghela napas panjang kemudian memiringkan tubuh padanya, tidak menatapnya secara langsung, hanya memperhatikan kedua pergelangan tangannya yang entah mengapa menurutku kokoh sekali. 

Oh Tuhan. Ampuni pikiranku. 

Kukumpulkan lagi segenap hal yang tadi ingin kukatakan. 

Aku berdeham satu kali. “Daniel. Maafkan aku. Aku mengantuk sekali.” Sialan. Aku menggeleng kuat. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Maksudku…”  

Daniel mendorong dahiku pelan-pelan dengan pena di tangannya. Membuatku berhenti menggeleng. Ia kemudian bersandar. “Sudahlah. Kau tidak usah menjelaskan. Nanti saja.” 

Aku terdiam. Perlahan aku meliriknya. Demi Tuhan, bagaimana bisa suasananya jadi serupa dengan seminggu yang lalu?  

*

Aku baru pulang dari poliklinik dan mendapat SMS dari Ibu kalau tante Mia, tetangga sebelah rumah—dirawat di rumah sakit karena akan operasi batu kandung empedu, jadi sepulangnya dari poli aku menyempatkan diri untuk menjenguknya, ujung-ujungnya aku malah ketiduran di sofa penunggu pasien dan baru tersadar ketika sudah hampir senja. Tante Mia mengatakan ia sengaja tak membangunkanku karena sepertinya aku kecapean.

Ketika turun aku sudah kelaparan setengah mati jadi aku membeli roti sobek di cafe rumah sakit dan duduk di bangku lobi—tentunya setelah memastikan tidak ada atribut koas yang masih melekat di tubuhku. Bisa mati kalau kedapatan leyeh-leyeh makan roti di lobi saat sedang jam dinas. Meskipun tentu saja petang itu aku memang sudah lepas dari tanggung jawab. 

Saat itulah aku melihat Daniel, ia belum melihatku sampai aku meneriaki namanya dan mengacungkan roti seakan-akan itu umpan. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Makan roti lebih banyak dari yang kutawarkan padanya. Saat kuprotes ia mengatakan bahwa ia sedang sangat kelaparan dan sedang tidak membawa uang. Aku menertawainya karena bagiku itu lucu sekali.

Seorang Daniel kelaparan dan tidak punya uang.

Daniel tentu saja protes. Tapi aku menjelaskan pendapatku, “Menurutku kau orang terakhir yang mungkin akan kelaparan. Kau bisa mengubah apa saja menjadi makanan.” 

“Menurutmu begitu?” mata Daniel terlihat bersinar. Ia menepuk-nepuk remah roti dari sela-sela jarinya. 

“Menurutku kau bisa membuatkanku sarapan setiap hari sampai aku mati. Aku tidak akan menolak.” 

“Kalau makan siang dan makan malam?”

“Untuk makan siang, kurasa selera kita sedikit berbeda, kau terlalu simpel untuk makan siangmu dan aku akan kelaparan jika makan makanan seperti itu. Tapi untuk makan malam, kurasa sudah tepat sekali, meski aku baru sekali makan masakanmu saat buka puasa bersama tahun lalu. Bisa saja kau membelinya di restoran.” Aku mengikik, hampir saja tersedak. Cepat kutenggak air minum yang sempat kubeli. 

Daniel tampak tersenyum melihatku. Aku membelalak padanya. “Kau senang aku mati tercekik roti?” 

“Aku bisa saja membuatkanmu sarapan setiap hari.” 

Aku tergelak. Mengangguk-angguk penuh semangat. “Oke-oke. Bagus sekali. Katakan saja berapa biayanya.” 

“Aku juga bisa saja masak makan siang yang cocok untuk seleramu. Dan jika makan malam sudah pas, aku rasa tidak terlalu banyak masalah.” 

Kurasa saat itu aku tertawa sampai keluar air mata. “Kau baik sekali. Aku bisa dimarahi ibumu jika sampai ketahuan membuatmu harus memasak sebanyak itu setiap hari.” 

Ibu Daniel adalah Tante Mia. Aku jadi teringat tentangnya, “Hei, kau tidak pernah cerita tentang sakit ibumu.”

Daniel hanya menggeleng-geleng pelan. “You know her. Tidak akan bilang sakit sampai benar-benar tumbang. Aku sudah curiga beberapa hari sebelum ini, tapi Ibu tidak mau disuruh periksa. Jadi ya… begitulah.” Dia mengangkat bahu, kemudian duduk bersandar. Dengan punggung tangan disekanya pinggiran bibirnya. “Tadi dia sms kalau kau baru menjenguknya. Thanks, ya.”

Aku mendengus, mengangkat bahu pelan. “Yah, semoga semuanya berjalan baik dan lancar.”

“Hei, aku bisa meminta airmu?” Daniel menghabiskan sisa roti, mengangsurkan plastik pembungkusnya padaku. Mulutnya penuh.

Aku memicingkan mata padanya. “Aku cuma punya sebotol ini.” 

“Kau harus bisa berbagi pada orang yang akan mendampingimu seumur hidupmu.” Selepas itu ia dengan enteng mengambil botol air mineral yang ada di sampingku dan menenggaknya sampai separuh habis.

Aku menatap jakunnya yang bergerak-gerak saat minum, sampai kemudian kalimatnya yang terakhir itu tercerna oleh otakku. Detik itu juga ia berhenti minum dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. 

“Kau melihat hantu?” ia mendorong penanya ke depan dahiku. 

Aku menarik botol air mineral dari tangannya. “Jangan katakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah berpikir tentangmu.” 

Ia tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

*

“Apakah suasana ini membuatmu mengingat minggu lalu?”  

Aku memalingkan wajah padanya. “Kau sekarang bisa membaca pikiran?” tanpa bisa kutahan nada bicaraku jadi sinis. 

Daniel mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi?”

Aku sampai terkesiap. Alasan aku menunggu Lovina sampai sesore ini adalah untuk menanyakan pasien tersebut. Entah mengapa, hatiku seperti tertambat pada mereka. Dua orang yang terlihat begitu sendiri. Namun saling memiliki. 

“Aku pernah merawat si nenek saat di bagian Jantung.” Daniel menunggu beberapa saat untuk kemudian kembali bicara. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi tidak?”

“Teruslah bicara.” Aku memberengut padanya. Ia terkekeh. 

“Saat itu beberapa bulan lalu, aku sedang visite pagi, dan nenek itu sedang dalam kondisi sesak sekali. Ia tidak bisa berbaring. Hanya bersandar. Kutanyakan apakah ia bisa tidur tadi malam. Ia berkata bahwa ia masih bisa tidur meski hanya sebentar. Aku melihat mereka hanya punya bantal sepotong, sedangkan tempat tidur yang nenek itu gunakan tidak sepenuhnya bisa dinaikkan posisi sandarannya, sehingga jika nenek itu harus bersandar, ia tetap merasa sesak. Saat itu aku sempat bercanda pada si kakek bahwa sebagai suami yang baik, harusnya kakek berkorban meminjamkan bahunya sebagai bantal nenek. Kau tahu apa yang dijawab oleh kakek itu?”

Aku diam. Daniel menghela napas, berdeham kecil. “Kakek itu mengatakan bahwa ia bisa menahan tubuh nenek untuk bersandar, tapi tidak untuk waktu yang lama.” Daniel mendengus pelan, hidungnya seperti beringus. “Karena ia pernah kena stroke—jadi jika dia kembali dirawat saat ini, berarti stroke berulang atau semacam itu—, intinya tubuhnya tidak kuat untuk menahan tubuh si nenek terlalu lama.” 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Juga masih menerka-nerka arah pembicaraannya.

Daniel kemudian berkata lirih, “Aku serius saat mengatakan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Saat melihatmu, aku bisa melihat masa depanku. Aku kenal denganmu sudah cukup lama. Aku ingin menjagamu saat kau sakit. Aku ingin kau yang menjagaku saat aku sakit. Meskipun tentu akan lebih baik jika tidak ada yang sakit.” Daniel cepat-cepat menambahkan kalimatnya, senyumnya tertahan, kemudian ia menggeleng. Suaranya terdengar parau saat kembali berucap, “Ketika pagi ini kembali melihat pasangan kakek-nenek itu, aku hampir menangis. Hidup mereka mungkin terlihat menyedihkan di mata orang, tapi sepenuh hati aku iri pada mereka yang saling menguatkan. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jadi jika kau benar-benar tidak bisa, katakan sekarang dan aku akan menerimanya sebagai suatu kenyataan.” 

*

… 

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

“Daniel… kau jangan menakutiku.” 

“Kau tidak seharusnya takut akan cinta.”

Aku menggeleng pelan dan perlahan senyumku mengembang. “Kau terlalu banyak makan roti dan sekarang bicaramu melantur. Kurasa aku harus pulang sekarang. Dan kau juga sebaiknya kembali ke kamar ibumu. Atau jaga malam. Kau sedang jaga, kan?”

Is it a ‘no’?

Aku sampai ternganga. “Demi Tuhan, Daniel. You’re my friend. One of the best. Aku tidak ingin lelucon seperti ini membuat kita jadi tidak nyaman satu sama lain.”

So now my confession is a joke?

Aku bangkit dan mengemasi jasku. Kujejalkan sisa bungkusan roti dan air mineral ke dalam tas sandangku. “Okay, kuberikan satu minggu padamu dan tunjukkan padaku bahwa ini bukan lelucon.” 

Daniel tersenyum. “Fine. One week.” Ia mengulurkan tangannya padaku. 

Aku balas tersenyum. “Oh. Please.” Kemudian bergegas pergi. Sejurus kemudian aku berbalik dan berteriak padanya. “Kau bisa memulainya dengan membuatkanku sarapan.” 

***selesai***

  1. koas; co-ass, dokter muda, sarjana kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. 
  2. visite; kegiatan mengunjungi pasien rawat inap, meliputi pemeriksaan mendalam mengenai keluhan subjektif dan objektif pasien, serta penatalaksanaan yang sesuai untuk saat itu.
  3. konsulen; konsultan, dokter spesialis/sub-spesialis.
  4. stroke; cerebrovascular accident, cva, kondisi di mana otak mengalami gangguan suplai darah bisa karena pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh darah di otak, manifestasinya sesuai fungsi otak yg terganggu suplainya.
  5. urine output; buangan/produksi urine, salah satu komponen yang diukur saat mengukur keseimbangan cairan pasien.
  6. Heimlich Manuver; prosedur pertolongan pertama pada kondisi sumbatan jalan napas dengan memberikan tekanan tiba-tiba pada area antara pusar dan ulu hati.
  7. referat; salah satu jenis tulisan/laporan, membahas topik tertentu yang disadur dari banyak referensi. 
Parijan dan Tiga Batu Mirah Delima 5

Parijan dan Tiga Batu Mirah Delima

Tidak ada efek istimewa dari batu berwarna merah darah itu. Parijan yakin benar karena dia sendiri yang memungut ketiganya dari kolong jembatan tempatnya kencing berdiri tempo hari. Belakangan memang dia sering kebelet kencing — dokter di Puskesmas pernah bilang mungkin gejala kencing manis, tetapi setelah diperiksa kencingnya baik-baik saja, dokter tersebut bilang mungkin infeksi saluran kemih. Parijan belum periksa lagi setelah obatnya habis. Apalagi kini kencingnya sudah jauh lebih teratur, jadi mungkin obat itu benar berefek. Sedangkan batu tersebut? Mungkin saja warnanya menarik karena kini sering dibersihkan berkala, namun pertama kali mendapatinya, Parijan bahkan berpikir batu itu mirip sekali batu bata yang kebanyakan dikencingi. 

Atau karena mengandung air kemih sehingga punya efek menyembuhkan? 

Entahlah. Parijan pun tak mengerti. Yang jelas, semenjak seorang kakek tua dengan keluhan lemah syahwat berkoar-koar bahwa tiga batu mirah delima tersebut yang telah menyembuhkannya, Parijan mendapati barisan orang telah antre di halaman rumahnya bahkan sejak pagi buta. 

“Sholat subuh dulu, Pak, Bu.” Demikian biasanya dia menyapa. 

Sepulang dari masjid barisan tersebut bahkan telah mengular keluar pagar. Istrinya sampai kebingungan. 

“Gula pasir sudah habis, Pak,” adunya. 

Istrinya memang biasa menghidangkan teh dan kopi untuk mereka yang menunggu. Parijan garuk kepala dan memberi beberapa lembar sepuluh ribu. 

“Mungkin kita harus batasi pasien setiap hari, Bu.”

Menyebut pasien juga bukanlah idenya. Adalah Pak Karto, tetangga dari kampung sebelah yang mengaku-aku sebagai pasiennya. Meski testimoninya tidak sedahsyat kakek lemah syahwat, Pak Karto yang paling sering bercerita dan menyebarkan info khasiat batu mirah delima. 

“Saya sudah lama jadi pasien Parijan. Sudah jauh lebih enakan.” 

Keluhannya adalah encok menahun. Yang Parijan sendiri yakin akan jauh lebih berkurang sekiranya Pak Karto mau menurunkan berat badannya sedikit. 

Membatasi pasien juga bukan ide cemerlang rupanya. Begitu tahu pasien dibatasi dua puluh orang saja setiap harinya, mereka antre jauh lebih awal dari biasanya. Malam itu, saat Parijan sedang memeluk istrinya selesai malam Jumat, mereka mendengar pintu pagar digeser. Bersungut-sungut mengencangkan sarungnya, Parijan turun dari tempat tidur dan membuka pintu depan. 

“Pagi, Pak Parijan.” Sudah tiga orang duduk tenang di teras rumahnya. Salah satunya tampak asyik mengoles losion antinyamuk di lengannya. 

Di luar semua rutinitas baru yang kadang mengagetkannya itu, Parijan sebenarnya bersyukur. Dia memang tidak pernah meminta dibayar banyak untuk tiap pasien yang ditolongnya. Saat dia masih jadi tukang pijat, dia menaruh tarif lima puluh ribu. Dengan terapi batu mirah delima, dia hanya menambahkan biaya dua puluh ribu. Itu pun sudah diberi bonus teh atau kopi dan kudapan ringan. 

Istrinya yang sedikit kerepotan. Wanita itu sampai harus mencari rekan tambahan yang bisa membuat beragam camilan. Ibu-ibu tetangganya dengan senang hati membantu, apalagi saat tahu setiap kue dihargai dua ribu perak. 

Mungkin saja karena tergolong murah, pasien terus berdatangan. Padahal kalau mau saling jujur, terapi batu mirah delima Parijan sebenarnya tidaklah luar biasa. Awal ceritanya, Parijan baru jatuh dari motor, pergelangan kirinya terasa sakit jika dipaksa memijat kencang; sudah beberapa pelanggan mengeluhkan kalau pijatannya kurang maksimal. Jadi selama beberapa hari Parijan memutar otak agar tetap bisa bekerja, apalagi saat obat penghilang nyeri dari Puskesmas tak begitu manjur dirasakannya. Hingga pagi itu, istrinya tak sengaja menambahkan air panas terlalu banyak untuk mandi. Parijan merasa nyerinya berkurang saat merendam tangannya di air suam-suam kuku.

Dicobanya melumuri balsam pijat, tapi tak sama rasanya.

Pun saat menempel beberapa lembar koyo cabe, yang ada lengannya melepuh.

Tak mungkin merendam tangannya terus-terusan saat memijat. 

Lalu istrinya iseng membuat kompres air hangat dengan plastik bening bekas pembungkus gula pasir, memang enakan, tapi tetap sulit dipakai bekerja. 

Sore sudah menjelang saat akhirnya Parijan berhasil menemukan pengganti kompres air hangat yaitu koin logam yang dibakar. 

Hanya saja istrinya tak suka dia membuang uang — maka dicarikannya semacam pengganti logam atau arang. Parijan sampai tertawa saat istrinya mengusulkan menggunakan kayu bakar. 

“Ibu pikir saya Nabi Ibrahim?”  

Coba dan gagal terus terjadi selama beberapa hari. Selama itu pula pasien pijat Parijan terus berkurang. Parijan telah mencoba mengganti semua bahan untuk ditempel di pergelangannya. Daun gatal ditumbuk. Kunyit. Bawang. Jahe. Cabe rawit. 

Batu.

Sebelumnya sudah beberapa batu dia pakai, namun tak banyak dari batu itu yang tahan dibakar. Beda dengan batu mirah delima ini. Hanya dipanggang sebentar, panasnya merata dan tahan lama. Ukurannya yang agak gepeng seukuran biji salak juga sangat pas. Benar-benar mujur. Parijan minta istrinya menempel tiga batu tersebut di pergelangannya, membalutnya dengan secarik kain. Nyeri di lengannya berkurang dan dia kembali dapat memijat dengan kekuatan yang memuaskan. 

Lalu seorang pelanggan yang sedang dipijat, iseng menanyakan kenapa pergelangan tangannya dibalut. Pelanggan itu sendiri kemudian yang ingin mencoba terapi tersebut.

“Yah, siapa tahu nyeri pinggang saya juga berkurang, kan, Pak?” kekehnya saat itu. 

Parijan ingat sampai harus meminjam selendang istrinya saat itu, supaya bisa membalut pinggang si pelanggan, saking besarnya. 

Ya, itu pinggang Pak Karto. 

Beberapa mantri dan suster dari Puskesmas jadi lebih sering berkunjung. Mereka banyak bertanya. Parijan menjawab seadanya. 

“Efeknya apa saja ya, Pak?”

Parijan mengangkat bahu. “Yah, jujur, saya kurang tahu, Pak Mantri. Selama ini cuma untuk mijet.” 

“Tapi katanya bisa merontokkan batu ginjal, lho,” timpal ibu suster satunya. Dia hanya datang menemani sebab Parijan tak menerima pasien perempuan. 

“Wah, saya nggak pernah bilang begitu, Bu.” 

Tidak menerima pasien perempuan sempat jadi sedikit masalah. Parijan sempat diprotes sok alim, padahal pasien-pasien itu sudah lama antre. 

“Kan tetap ditemani pas mijetnya, Pak. Jadi nggak berdua-duaan saja.” 

“Saya nggak bisa mijat perempuan, maaf…” Parijan sampai harus berulang-ulang menjelaskan. 

Singkat cerita, meski tak pernah ada penjelasan yang pasti tentang efek batu mirah delima milik Parijan, kabar tentang khasiatnya sudah menyebar ke mana-mana. Warga kampung sebelah, kanan dan kiri semakin ramai berkunjung. Buntutnya, Parijan terpaksa membeli beberapa pasang kursi plastik untuk ditaruh di depan teras. Sekali waktu, dia juga dibantu beberapa orang tetangga menebang rumpun-rumpun bambu yang menyemak di sudut halaman. Sisa potongannya yang besar dia pakai untuk membuat balai-balai kecil sebagai tambahan tempat duduk. 

Karena keramaian yang terus bertambah di sekitar rumah Parijan, warga kampung juga ingin kecipratan. “Saya boleh dong numpang jualan cendol, Pak.” Meski diucapkan dengan nada bergurau, sebenarnya Mbok Minah serius. 

Jualan cendol Mbok Minah segera disusul camilan-camilan lain yang dijajakan warga. Sekitar jam tujuh pagi mereka mulai datang bergantian. Menjelang siang biasanya ada yang berjualan nasi bungkus. Meski demikian, Parijan tetap menyediakan teh kopi gratis. Sungguh layanan yang bikin betah.

Jika pun ada yang masih dikeluhkan pasien, tentu sinyal internet yang tidak bagus di pelataran rumah Parijan. Malah bisa dibilang tidak ada. Akibatnya mereka terpaksa saling mengobrol sesama pasien. 

“Saya sudah coba bekam tujuh kali. Iya, sampai saya kurang darah katanya. Tapi belum ada perbaikan.”

“Coba ke sinse yang sana sudah, belum?”

“Toko buku yang di seberang Pasar Suka Untung sudah lama tutup?”

“Ya ampun, ternyata sampeyan cucunya Pak Broto? Yang pernah tinggal di Jalan Kawi? Yang suka diajak ngangon kambing?”

“Kalau memang cocok, mulai minggu depan sudah boleh kerja di tempat saya dulu anaknya. Daripada nganggur nunggu pengumuman pegawai negeri.”

Parijan tidak punya anak. Jadi riuh rendah pasien dari subuh hingga petang menjelang tidak terlalu diributkannya. Yang jadi persoalan justru ketika suatu hari, seseorang dari surat kabar dan televisi datang berkunjung. 

“Kita ingin meliput metode pengobatan Bapak. Nanti Bapak masuk televisi.”

Parijan menjelaskan sebisanya. Dia menolak liputan televisi karena membuatnya gugup dan beberapa kali harus permisi kencing. Namun surat kabar tetap meliputnya, beberapa orang yang jadi pasien juga dengan senang hati berkomentar sebagai tambahan bahan tulisan. 

Tak pelak beberapa waktu setelahnya, semakin ramai warga berkunjung, memang tidak semuanya sedang sakit, kebanyakan hanya penasaran. Di antara mereka terdapat beberapa orang dari bagian perizinan usaha dan yang mengaku peneliti obat-obatan. Mereka turut bertandang. Mereka sedikit mempermasalahkan ketiadaan izin usaha Parijan. 

“Bapak sudah melayani berapa banyak pasien? Tapi tidak sedikit pun usaha untuk mengurus perizinan?”

Parijan manggut-manggut, dia membisiki istrinya untuk mengingatkannya mendaftar usaha pijat.

“Bukan usaha pijatnya, Pak. Bapak kan sudah melayani dengan batu mirah delima. Harus dicantumkan dong keterangannya. Mengobati penyakit apa. Efeknya seperti apa. Berapa lama jangka waktunya. Biar jelas! Biar tidak ada yang merasa tertipu setelah datang kemari! Puskesmas saja sampai sepi gara-gara usaha Pak Parijan.”

Beberapa pasien yang sudah menunggu lama protes. Pasalnya orang-orang tersebut tidak antre dari subuh. Tidak mau kalah, orang dari peneliti balas mengancam. “Bapak-Ibu yang tidak tahu urusan diam dulu, ya? Bisa saja batu ini beracun. Punya efek samping jelek untuk tubuh Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Siapa yang mau tanggung jawab?!”

Pasien rata-rata diam. Lirih dalam gumam. 

“Begini saja Pak Parijan. Batunya kami pinjam dulu. Akan kami teliti. Nanti kalau sudah jelas kandungan dan efeknya, kami kembalikan kepada Bapak.”

“Pak Parijan juga sebaiknya hentikan dulu usahanya sampai surat izinnya keluar. Harus jadi warga negara yang baik, dong, Pak. Malu sama warga yang berkunjung.”

Bapak dari perizinan memberikan selembar kertas. Parijan menghitung sekitar sepuluh atau sebelas poin syarat yang harus dia ajukan. Diangsurkannya surat tersebut kepada istrinya. 

“Jadi batunya dibawa sekarang, Pak?” Parijan bertanya memastikan.

“Iya dong, Pak. Kita nggak punya waktu untuk bolak-balik sejauh ini. Nanti kalau sudah ada hasilnya, kita kabari.” Bapak peneliti menyodorkan formulir. “Bapak isi dulu surat keterangan pengambilan sampel ini. Pokoknya ya berdoa saja hasilnya bagus. Jadi Bapak bisa lanjut usahanya lagi.”

Sudah sekitar empat bulan berselang sejak mereka datang. Parijan belum mendengar kabar tentang batu mirah delimanya. Satu demi satu pasien yang dulu ramai mulai hilang, terlebih karena mereka rata-rata hanya penasaran dengan batu yang katanya mujarab itu. Beberapa menyayangkan kenapa Parijan dengan mudahnya menyerahkan batu tersebut. Beberapa yang lain juga sedikit kecewa karena kini lapaknya jadi sepi. 

Yang bertahan hanyalah pasien pijat yang memang biasa dilayani Parijan. Apalagi kini setelah pergelangan tangannya benar-benar pulih, pijatannya kembali enak. Hasil melayani pasien batu mirah delima selama kurang lebih lima bulan juga lumayan banyak berhasil dikumpulkan oleh istrinya yang memang terkenal hemat. Dibelikannya alat-alat pemanggang kue dan mulai berjualan keliling kampung, mendatangi pelanggan yang dulu kerap memenuhi halaman rumahnya. Karena memang penganan bikinan istri Parijan enak, pembelinya tetap ramai. 

Sore itu, saat Parijan sedang tidak ada pasien pijat, dia menemani istrinya berkeliling mengantar kue. Disapanya wajah-wajah yang tak asing. Sesekali beberapa dari mereka masih bertanya, “Apakah sudah ada kabar batu mirah delima?”

Parijan maupun istrinya hanya menggeleng. Meski kemudian dalam perjalanan pulang, Parijan kembali kebelet kencing di tepi jembatan, dia melihat sesuatu berwarna mencolok di bawah sana. Persis saat pertama kali dia melihatnya. Tiga batu berwarna merah menyala. Mirah delima.

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 7

Lelaki Tua di Tengah Gerimis

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 9

Setengah berjongkok aku duduk di depan nisan perempuan itu. Seminggu telah berlalu sejak kepergiannya; istriku. Leukimia yang lama menggerogotinya akhirnya menang. Kudekatkan pigura yang kubawa tadi dan berbisik padanya. 

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di nisan. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

~~~

 “Apa yang sedang kaulukis?”

Istriku menoleh sejenak, kemudian kembali pada kanvasnya. “Lelaki tua di tengah gerimis.”

Aku mengangguk pelan. Mataku menangkap foto yang sedang ia tiru.

“Kapan foto itu kauambil?”

“Kemarin. Saat aku sedang berteduh.”

“Kupikir kau membawa mobil.”

“Aku meninggalkannya di taman untuk berjalan kaki sebentar. Lalu hujan turun.”

“Siapa lelaki tua itu?”

Istriku terlihat sedikit jengah dengan pertanyaanku. Ia meletakkan kuas di pangkuannya, lalu menarik foto di sebelahnya dan mengangsurkannya padaku. “Aku tak mengenalinya. Aku hanya tertarik.”

Kuamati foto yang ia berikan. Sudut bibirku tertarik ke bawah. “Kenapa bisa?”

Istriku mengeluarkan tawa kecil. “Kau cerewet sekali.”

Mau tak mau aku tersenyum. “Kenapa ia tak menaiki sepedanya?”

Istriku melemparkan pandangan sinis. “Kau tak melihat ban sepedanya kempes?”

“Di mana ia mendapatkan rumput? Kupikir semua padang rumput tak ada lagi yang gratis.”

Istriku menggeleng pelan. Ia lalu kembali menekuni kanvasnya.

“Berapa usianya kira-kira?”

Istriku terlihat menimbang-nimbang. “Enam puluh. Entahlah. Tujuh puluh. Sulit untuk mengiranya dalam gerimis. Apalagi jika seseorang bekerja sekeras itu sampai tua. Bisa jadi ia lebih muda.”

“Berapa usiaku?”

Istriku melemparkan tube cat kosong padaku. “Tahu yang menarik perhatianku pada awalnya? Ia tidak berhenti menuntun sepedanya meski hujan.”

“Kenapa ia harus berhenti? Hujan tak membuat orang mati.”

Hei…!” istriku melempar pandangan sinis lagi.

Aku mengangkat bahu, menunjukkan wajah minta maaf. “Mungkin ia dikejar setoran. Sekarang kan banyak hewan kurban.”

Istriku tak menampiknya. Ia melanjutkan goresan kuasnya. Aku sendiri kembali mengamati foto di tanganku.

“Kautahu minuman apa yang ia bawa?”

Untuk pertama kalinya kulihat istriku tersenyum geli mendengar pertanyaanku. “Kopi? Minuman penambah tenaga? Entahlah.”

“Harusnya kautanyakan.”

Aku mendapat tatapan maut istriku sebagai balasan. Membuatku tersenyum. Kualihkan pandangan pada kanvas di depannya. “Kenapa belum ada wajahnya?”

Istriku tak menjawab.

“Aku tak mengerti kenapa kau tertarik pada lelaki ini.” Desahku.

“Dia tidak buncit sepertimu.”

Aku membelalak namun tak urung terbahak. “Hei…!” kugenggam lemak di depan pinggangku. Bibirku mengerucut. “Kurasa aku harus diet.”

“Karena kau takut buncit?”

“Karena kau senang melukis pria kurus.”

Istriku melayangkan pandangannya padaku. “Apa maksudmu?”

Aku tak menyangka akan mendengar nada serius dalam pertanyaannya itu. Sedikit tergagap aku menjawab. “Kau melukis lelaki tua di tengah gerimis. Kau bahkan tak mengenalnya.” Setelah berdehem kecil aku melanjutkan ucapanku. “Kau tak pernah melukisku.”

Istriku memutar kursinya padaku. “Kau ingin tahu alasan sebenarnya aku melukis lelaki tua ini?”

Aku menatap lurus padanya. Kurasakan ia serius ingin memberitahuku. Tak menjawab, aku hanya mengangguk.

Istriku mengambil kuas yang lebih kecil, membawanya ke area wajah yang belum ia lukis. Tangannya bergerak perlahan. Ekor mataku mengikutinya.

“Aku ingin melukis senyum di wajahnya.”

~~~

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di sana. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

Kukuatkan diriku untuk mengumpulkan kata-kata. “Kubawakan lukisan terakhirmu. Kuharap kau juga tersenyum di sana…”

*****


Ditulis untuk ikut MondayFlashFiction Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis. #494 kata dengan judul. Gambar milik Rinrin Indrianie.

Tak Semestinya 11

Tak Semestinya

“Yang warna hitam?” Aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu.

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. “Ya. Yang itu.” Sejurus kemudian ia keluar dari kamar mandi. Air masih menetes-netes dari rambutnya. Ia mengalungkan handuk ke leher, menjaga agar kaos putihnya tidak basah. Kemudian ia mendekati jendela, melihat ke luar. “Lama juga hujannya. Apa kita berangkat saja?” ia melirikku sekilas.

Aku mengangkat bahu. “Terserah, kau yang bawa motor. Aku ikut saja.”

Hendi tersenyum. “Kau terlihat cocok mengenakan jaket itu.” Ia kemudian masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang tadi ia pakai di leher. “Kau sudah mencatat buku yang ingin kau cari?”

Aku mengiyakan dengan lirih. Tanpa bisa kutahan, jantungku berdetak tak beraturan. Jaket Hendi yang kupakai sekarang membuatku risih. Aku bisa mencium bau tubuhnya yang membekas di jaket ini. Aku sendiri jadi panas dingin.

Hendi keluar dari kamar dengan rambut sedikit lebih rapi. Sepertinya ia hanya menggunakan tangan untuk membuat rambut itu tersisir. Ia mengangsurkan helm padaku. “Jalan Pattimura kan?”

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum. “Kau benar tidak sedang sibuk kan?”

Hendi mendengus pelan. “Aku seharusnya sudah tidur dalam cuaca sedingin ini. Tapi seseorang yang menggilai buku mengajakku untuk mengunjungi pameran. Apa pendapatmu?”

Aku tak bisa menahan senyum. “Thanks then…

Aku sudah mencatat jadwal pameran buku ini sejak dua minggu yang lalu. Sialnya, baru hari ini aku punya waktu luang — itupun mencuri waktu di sela ujian tengah semester. Aku sudah hampir putus asa ketika tadi akan pergi, hujan turun dengan deras. Dari jam sembilan sampai sekarang; sudah hampir Ashar. Maka kuberanikan untuk meminta bantuan Hendi. Ia sepertinya sedang tidur saat kutelepon.

“Kau gila?” itu katanya. Aku cuma bisa meringis dan memohon padanya.

“Tolonglah. Hari ini hari terakhir. Mereka tutup jam sembilan malam. Kita hanya akan sampai magrib. Ya?”

“Magrib?”

“Paling lama sampai magrib.”

—–

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di belakang Hendi yang dengan mulus melewati beberapa mobil yang melaju dalam rinai gerimis sore ini. Kurasakan gerimis mulai menembus bagian lutut celanaku. Aku menggertakkan gigi. Kedinginan. “Ternyata deras juga ya?”

“Kau jangan cerewet. Aku di depan lebih kebasahan.” Hendi menjawab ketus. Aku mendorong helmnya. Ia langsung tergelak. Aku bisa merasakan bahunya menguncang saat ia tertawa.

Pameran ternyata sepi. Mungkin karena hujan. Tapi aku tak peduli. Justru lebih nyaman jika sedikit orang. Aku bergegas ke kamar mandi, merapikan rambutku.

“Aku tunggu di luar saja ya. Kau tidak lama kan?” Hendi menunjuk sebuah kafe. “Aku mau cari makan. Lapar.”

Aku mengangguk. “Akan kuberitahu kalau sudah selesai.”

Kulihat Hendi berjingkat-jingkat menyeberangi jalan kecil yang digenangi air. Langkah kakinya yang panjang membuat hal itu seakan begitu mudah baginya. Aku tersenyum sendiri. Merapatkan jaket yang kukenakan. Rasanya seperti Hendi ada di dekatku. Aku melangkah menuju pintu masuk, berpaling sebentar ke kafe. Tepat saat itu Hendi juga sedang berpaling ke arahku. Ia menggerakkan kepalanya sambil tersenyum, seakan menyuruhku masuk. Aku tersenyum lagi.

Sampai di dalam, aku justru merasa bingung. Selama berhari-hari aku memikirkan pameran ini, namun sekarang, setelah berhadapan langsung dengan deretan buku-buku itu, aku lebih tertarik untuk memikirkan hal lain.

Aku mendekati stan buku-buku sastra Inggris.

Handphoneku bergetar.

Jangan melamun

Aku menoleh dengan sigap, tapi tak kulihat ia. Kubalas sms itu.

Jangan pesan baso, lebih kenyang nasi goreng

Sejurus kemudian smsku dibalas.

Haha. Aku baru saja menghabiskan setengah mangkuk.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Kumasukkan handphone ke dalam saku jaket. Kualihkan perhatian pada buku di depanku. Mencoba membalik-balik beberapa halaman.

“Boleh dibaca?” aku bertanya pada gadis penjaga stan itu. Ia mengangguk ramah.

“Lebih baik di dekat jendela sana. Lampu di sini terlalu redup. Meskipun hujan, kurasa di dekat jendela lebih terang. Di sana juga ada bangku untuk duduk.”

Itu lebih dari cukup. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih.” Kubawa dua buah buku.

Aku duduk sambil meletakkan tas di sebelahku. Benar kata penjaga stan itu. Di sini adalah tempat terbaik untuk membaca. Kuperhatikan sekitarku. Tidak terlalu banyak orang memang. Bahkan yang sedang membaca di dekatku tidak ada. Rata-rata hanya berkeliling stan. Kuambil buku pertama, meletakkannya di pangkuan. Untuk kemudian sekali lagi mengagumi tempat duduk ini.

Aku berada tepat di seberang jendela. Cahaya sinar matahari sore menembus kaca dengan arah yang sedikit melengkung di sebelah kiriku. Hujan di luar membuat kaca jendela berembun, sebagian sudah bergabung dan mengalir menjadi bentuk sungai-sungai kecil sampai di bagian bawah kaca. Aku bisa melihat deretan pot bunga yang daunnya terangguk-angguk tertimpa butiran-butiran hujan yang menetes setelah bergelantungan di kabel-kabel yang melintas tepat di atas jendela. Lebih jauh keluar, melewati pagar pembatas gedung, aspal jalan tampak menghitam bersih meski permukaannya tampak sedikit beriak karena hujan. Jalanan tidak terlalu ramai. Mencoba melihat lebih jauh, mataku menangkap deretan toko yang sebagian besar memasang tirai pelindung hujan guna menghindari percikan air membasahi dagangan mereka. Saat itulah aku melihatnya.

Hendi.

Ia masih di kafe.

Aku tersenyum. Merasakan luapan rasa hangat memenuhi dadaku. Entah kenapa, wajahku juga jadi terasa panas. Kubaui jaket yang sedang kupakai.

Mungkin hanya perasaanku. Tapi sekarang Hendi juga sedang memandang ke arah jendela di mana aku berada. Matanya jelas terfokus untuk melihat sesuatu. Tapi bisa kupastikan ia tidak akan melihatku karena jendela di depanku ini adalah jendela satu arah. Kurasa aku berada di sisi yang tak terlihat.

Aku menggelengkan kepala. Mengusir pikiran aneh yang sempat melintas. Kemudian kubuka halaman pertama buku di pangkuanku.

Ia adalah orang pertama yang mengajakku berkenalan saat aku pindah kost. Ia juga orang pertama yang menawarkan untuk berkeliling kompleks perumahan. Ia juga orang pertama yang tidak dimusuhi Debu, kucingku. Ia adalah tipe orang yang mudah untuk disukai, kuputuskan begitu. Kurasa Debu juga setuju.

Keningku berkerut. Kucoba untuk fokus membaca huruf-huruf di atas kertas.

Ia anak yang mudah bergaul. Pembawaannya tenang. Tidak banyak bicara kosong. Tapi juga tidak terlalu serius. Ia juga pandai. Meski jarang mengakui kalau ia menyenangi buku, aku mendapati ia punya banyak koleksi majalah dan buku yang menunjukkan pola pikirnya.

Kututup buku dengan gusar. Memejamkan mata, aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya.

Entah sejak kapan, ia terlihat begitu besar. Begitu mudah untuk diperhatikan. Begitu menyenangkan untuk dipikirkan. Begitu nyaman untuk diingat. Betapa aku merasa aman jika sedang bersamanya.

Yang paling sulit, ia membuatku kembali mengingat Kak Sam. Mereka berdua hampir setara. Terlalu mudah untuk disukai. Mungkin tak perlu banyak alasan untuk mengakuinya.

Aku menyerah. Kudekati jendela. Mencoba melihatnya.

Tapi Hendi sudah tak di sana. Aku memicingkan mata, menajamkan pandanganku.

Ya. Benar. Ia sudah tak di sana.

“Lihat apa?”

Aku terperanjat. Membuang nafas berat aku segera berbalik. Hendi sudah duduk di atas bangku yang tadi kududuki. “Bagus bukunya?” ia seperti tidak menyadari betapa terkejutnya aku.

“Lumayan.” Aku mengangguk. Sekarang debaran itu kembali lagi. “Kenapa masuk?”

Hendi mengangkat wajah. Senyumnya mengembang. “Tadi di kafe, ada anak perempuan; akhwat,” Ia berbisik pada kata terakhirnya. “Terus dia bilang kalau banyak buku-buku bagus di dalam. Ya… lagipula aku sudah selesai makan.”

“Kau baru berjumpa dengannya dan langsung mau masuk.” Aku mencibir dan tanpa kusadari jadi sedikit sinis. Hendi tergelak pelan. Ia membuka buku yang tadi kupegang. Membolak-balik beberapa halaman.

“Jadi, ada yang menarik?”

Aku kembali mengangguk. “Kurasa aku akan ambil yang dua ini.” Kuambil buku dari tangan Hendi dan buku lain di sebelahnya. “Kita pulang saja.”

“Cepat sekali?”

Aku berbalik padanya, mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Katamu sampai magrib.”

“Kataku paling lama sampai magrib.”

Hendi mengangguk pelan. “Ya sudah.” Ia mendahului keluar ruangan, membiarkanku membayar di kasir.

Hujan sudah tak sederas tadi. Bisa dikatakan hampir reda. Aku membuka kaca penutup helm dan mendapati hembusan udara dingin bercampur titik-titik halus air di wajahku. Menyegarkan mataku yang entah kenapa terasa berat.

“Kau belum cerita kenapa kau pindah.”

Aku terdiam. Aku ingat Hendi pernah menanyakan alasan kenapa aku pindah kost. Itu sudah hampir sebulan yang lalu. Waktu itu aku sudah mulai sibuk ujian hingga belum sempat menjawabnya.

“Benarkah?” Aku menelan ludah.

“Kau tidak ingin menceritakannya?”

Aku terdiam lagi. Bibirku kering saat akhirnya aku berucap. “Ada orang yang kusukai di sana. Tapi aku tidak bisa menyukainya. Aku tidak boleh menyukainya.”

Aku sempat menunggu beberapa saat sebelum Hendi akhirnya merespon ceritaku.

“Oh. Aku tidak tahu kalau kau memiliki masalah itu.”

“Masalah — itu?

Hendi tertawa pelan. “Jadi kau melarikan diri. Apakah boleh seperti itu?”

“Entahlah. Aku hanya mencari tempat yang lebih baik.” Aku menelan ludah. “Kurasa sudah benar keputusanku untuk pindah. Itu saja.”

“Berarti tempat sekarang lebih baik?”

Aku menghela nafas berat. “Kurasa tidak juga.” Kuperbaiki letak tas di punggungku. “Aku punya tetangga yang hobi makan baso… dan entah kenapa hal itu bagiku sangat tidak menyenangkan.”

Hendi terbahak. Aku bisa merasakan guncangan bahunya. Kuletakkan kedua tangan di punggungnya.

“Jangan mengelap di jaketku.” Hendi berkata ketus. Kudorong helmnya sampai ia tertawa lebih keras. Aku ikut tertawa. Tapi entah mengapa, hatiku rasanya perih. Tersayat. Lagi.

“Aku sedikit mengantuk. Aku tidak akan bicara lagi.” Kataku. Hendi mengangguk dan melarikan motor lebih kencang.

“Asal kau tidak jatuh saja.” Ia berdesis di antara desingan motor.

Hembusan angin yang dingin menerpa wajahku. Menelusup ke balik jaket yang kukenakan. Seiring dengan hujan yang mereda, semua telah kuputuskan.

—–

Hendi mengangsurkan handuk padaku. Aku menerimanya sekedar untuk mengeringkan bagian leherku yang sedikit basah. “Terima kasih.” Kukembalikan lagi padanya. Ia membawanya masuk ke kamar mandi. Aku melepas jaket. “Aku pulang dulu. Sekali lagi terimakasih. Oh ya, jaketmu akan kuletakkan kembali di balik pintu.”

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. Ia selalu berganti pakaian di kamar mandi. “Ya. Taruh saja di sana. Pintu dirapatkan.”

Aku mengangguk. Kuturuti kata-katanya. Kurapatkan pintu saat keluar.

Gerimis kembali turun. Aku menadahkan tangan, mencoba merasakan basahnya. Saat melihat kembali ke kaca jendela, aku melihatnya.

Tetesan-tetesan embun. Serupa dengan kaca di gedung pameran tadi.

Aku menuliskan tiga huruf di sana.

“Kau sedang apa?” wajah Hendi terlihat di baliknya. Ia tersenyum. Aku menggeleng. “Bye.

Hendi mengangguk.

Aku sudah hampir sampai di depan rumah ketika kudengar suara itu berteriak memanggil. “Dani!”

Aku memalingkan wajah.

Hendi mengacungkan handphoneku sambil tersenyum.

Aku mengambilnya setengah berlari. Hujan sudah semakin deras. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung pulang. Hendi juga langsung menghilang ke balik pintu.

Aku membuka pintu rumah. Debu menyambutku dengan tergesa. Kubiarkan ia meliuk-liuk di kakiku. Kuseret langkah menuju dapur. Menuangkan segelas air.

Bersandar di tepi wastafel, aku mengelus-elus kepala Debu dengan ujung jariku. “Sepertinya kita harus pindah lagi…”

Debu hanya mengeong pelan. Kurasa itu artinya ia mengerti.

—– selesai —–