Tak Semestinya 1

Tak Semestinya

“Yang warna hitam?” Aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu.

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. “Ya. Yang itu.” Sejurus kemudian ia keluar dari kamar mandi. Air masih menetes-netes dari rambutnya. Ia mengalungkan handuk ke leher, menjaga agar kaos putihnya tidak basah. Kemudian ia mendekati jendela, melihat ke luar. “Lama juga hujannya. Apa kita berangkat saja?” ia melirikku sekilas.

Aku mengangkat bahu. “Terserah, kau yang bawa motor. Aku ikut saja.”

Hendi tersenyum. “Kau terlihat cocok mengenakan jaket itu.” Ia kemudian masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang tadi ia pakai di leher. “Kau sudah mencatat buku yang ingin kau cari?”

Aku mengiyakan dengan lirih. Tanpa bisa kutahan, jantungku berdetak tak beraturan. Jaket Hendi yang kupakai sekarang membuatku risih. Aku bisa mencium bau tubuhnya yang membekas di jaket ini. Aku sendiri jadi panas dingin.

Hendi keluar dari kamar dengan rambut sedikit lebih rapi. Sepertinya ia hanya menggunakan tangan untuk membuat rambut itu tersisir. Ia mengangsurkan helm padaku. “Jalan Pattimura kan?”

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum. “Kau benar tidak sedang sibuk kan?”

Hendi mendengus pelan. “Aku seharusnya sudah tidur dalam cuaca sedingin ini. Tapi seseorang yang menggilai buku mengajakku untuk mengunjungi pameran. Apa pendapatmu?”

Aku tak bisa menahan senyum. “Thanks then…

Aku sudah mencatat jadwal pameran buku ini sejak dua minggu yang lalu. Sialnya, baru hari ini aku punya waktu luang — itupun mencuri waktu di sela ujian tengah semester. Aku sudah hampir putus asa ketika tadi akan pergi, hujan turun dengan deras. Dari jam sembilan sampai sekarang; sudah hampir Ashar. Maka kuberanikan untuk meminta bantuan Hendi. Ia sepertinya sedang tidur saat kutelepon.

“Kau gila?” itu katanya. Aku cuma bisa meringis dan memohon padanya.

“Tolonglah. Hari ini hari terakhir. Mereka tutup jam sembilan malam. Kita hanya akan sampai magrib. Ya?”

“Magrib?”

“Paling lama sampai magrib.”

—–

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di belakang Hendi yang dengan mulus melewati beberapa mobil yang melaju dalam rinai gerimis sore ini. Kurasakan gerimis mulai menembus bagian lutut celanaku. Aku menggertakkan gigi. Kedinginan. “Ternyata deras juga ya?”

“Kau jangan cerewet. Aku di depan lebih kebasahan.” Hendi menjawab ketus. Aku mendorong helmnya. Ia langsung tergelak. Aku bisa merasakan bahunya menguncang saat ia tertawa.

Pameran ternyata sepi. Mungkin karena hujan. Tapi aku tak peduli. Justru lebih nyaman jika sedikit orang. Aku bergegas ke kamar mandi, merapikan rambutku.

“Aku tunggu di luar saja ya. Kau tidak lama kan?” Hendi menunjuk sebuah kafe. “Aku mau cari makan. Lapar.”

Aku mengangguk. “Akan kuberitahu kalau sudah selesai.”

Kulihat Hendi berjingkat-jingkat menyeberangi jalan kecil yang digenangi air. Langkah kakinya yang panjang membuat hal itu seakan begitu mudah baginya. Aku tersenyum sendiri. Merapatkan jaket yang kukenakan. Rasanya seperti Hendi ada di dekatku. Aku melangkah menuju pintu masuk, berpaling sebentar ke kafe. Tepat saat itu Hendi juga sedang berpaling ke arahku. Ia menggerakkan kepalanya sambil tersenyum, seakan menyuruhku masuk. Aku tersenyum lagi.

Sampai di dalam, aku justru merasa bingung. Selama berhari-hari aku memikirkan pameran ini, namun sekarang, setelah berhadapan langsung dengan deretan buku-buku itu, aku lebih tertarik untuk memikirkan hal lain.

Aku mendekati stan buku-buku sastra Inggris.

Handphoneku bergetar.

Jangan melamun

Aku menoleh dengan sigap, tapi tak kulihat ia. Kubalas sms itu.

Jangan pesan baso, lebih kenyang nasi goreng

Sejurus kemudian smsku dibalas.

Haha. Aku baru saja menghabiskan setengah mangkuk.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Kumasukkan handphone ke dalam saku jaket. Kualihkan perhatian pada buku di depanku. Mencoba membalik-balik beberapa halaman.

“Boleh dibaca?” aku bertanya pada gadis penjaga stan itu. Ia mengangguk ramah.

“Lebih baik di dekat jendela sana. Lampu di sini terlalu redup. Meskipun hujan, kurasa di dekat jendela lebih terang. Di sana juga ada bangku untuk duduk.”

Itu lebih dari cukup. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih.” Kubawa dua buah buku.

Aku duduk sambil meletakkan tas di sebelahku. Benar kata penjaga stan itu. Di sini adalah tempat terbaik untuk membaca. Kuperhatikan sekitarku. Tidak terlalu banyak orang memang. Bahkan yang sedang membaca di dekatku tidak ada. Rata-rata hanya berkeliling stan. Kuambil buku pertama, meletakkannya di pangkuan. Untuk kemudian sekali lagi mengagumi tempat duduk ini.

Aku berada tepat di seberang jendela. Cahaya sinar matahari sore menembus kaca dengan arah yang sedikit melengkung di sebelah kiriku. Hujan di luar membuat kaca jendela berembun, sebagian sudah bergabung dan mengalir menjadi bentuk sungai-sungai kecil sampai di bagian bawah kaca. Aku bisa melihat deretan pot bunga yang daunnya terangguk-angguk tertimpa butiran-butiran hujan yang menetes setelah bergelantungan di kabel-kabel yang melintas tepat di atas jendela. Lebih jauh keluar, melewati pagar pembatas gedung, aspal jalan tampak menghitam bersih meski permukaannya tampak sedikit beriak karena hujan. Jalanan tidak terlalu ramai. Mencoba melihat lebih jauh, mataku menangkap deretan toko yang sebagian besar memasang tirai pelindung hujan guna menghindari percikan air membasahi dagangan mereka. Saat itulah aku melihatnya.

Hendi.

Ia masih di kafe.

Aku tersenyum. Merasakan luapan rasa hangat memenuhi dadaku. Entah kenapa, wajahku juga jadi terasa panas. Kubaui jaket yang sedang kupakai.

Mungkin hanya perasaanku. Tapi sekarang Hendi juga sedang memandang ke arah jendela di mana aku berada. Matanya jelas terfokus untuk melihat sesuatu. Tapi bisa kupastikan ia tidak akan melihatku karena jendela di depanku ini adalah jendela satu arah. Kurasa aku berada di sisi yang tak terlihat.

Aku menggelengkan kepala. Mengusir pikiran aneh yang sempat melintas. Kemudian kubuka halaman pertama buku di pangkuanku.

Ia adalah orang pertama yang mengajakku berkenalan saat aku pindah kost. Ia juga orang pertama yang menawarkan untuk berkeliling kompleks perumahan. Ia juga orang pertama yang tidak dimusuhi Debu, kucingku. Ia adalah tipe orang yang mudah untuk disukai, kuputuskan begitu. Kurasa Debu juga setuju.

Keningku berkerut. Kucoba untuk fokus membaca huruf-huruf di atas kertas.

Ia anak yang mudah bergaul. Pembawaannya tenang. Tidak banyak bicara kosong. Tapi juga tidak terlalu serius. Ia juga pandai. Meski jarang mengakui kalau ia menyenangi buku, aku mendapati ia punya banyak koleksi majalah dan buku yang menunjukkan pola pikirnya.

Kututup buku dengan gusar. Memejamkan mata, aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya.

Entah sejak kapan, ia terlihat begitu besar. Begitu mudah untuk diperhatikan. Begitu menyenangkan untuk dipikirkan. Begitu nyaman untuk diingat. Betapa aku merasa aman jika sedang bersamanya.

Yang paling sulit, ia membuatku kembali mengingat Kak Sam. Mereka berdua hampir setara. Terlalu mudah untuk disukai. Mungkin tak perlu banyak alasan untuk mengakuinya.

Aku menyerah. Kudekati jendela. Mencoba melihatnya.

Tapi Hendi sudah tak di sana. Aku memicingkan mata, menajamkan pandanganku.

Ya. Benar. Ia sudah tak di sana.

“Lihat apa?”

Aku terperanjat. Membuang nafas berat aku segera berbalik. Hendi sudah duduk di atas bangku yang tadi kududuki. “Bagus bukunya?” ia seperti tidak menyadari betapa terkejutnya aku.

“Lumayan.” Aku mengangguk. Sekarang debaran itu kembali lagi. “Kenapa masuk?”

Hendi mengangkat wajah. Senyumnya mengembang. “Tadi di kafe, ada anak perempuan; akhwat,” Ia berbisik pada kata terakhirnya. “Terus dia bilang kalau banyak buku-buku bagus di dalam. Ya… lagipula aku sudah selesai makan.”

“Kau baru berjumpa dengannya dan langsung mau masuk.” Aku mencibir dan tanpa kusadari jadi sedikit sinis. Hendi tergelak pelan. Ia membuka buku yang tadi kupegang. Membolak-balik beberapa halaman.

“Jadi, ada yang menarik?”

Aku kembali mengangguk. “Kurasa aku akan ambil yang dua ini.” Kuambil buku dari tangan Hendi dan buku lain di sebelahnya. “Kita pulang saja.”

“Cepat sekali?”

Aku berbalik padanya, mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Katamu sampai magrib.”

“Kataku paling lama sampai magrib.”

Hendi mengangguk pelan. “Ya sudah.” Ia mendahului keluar ruangan, membiarkanku membayar di kasir.

Hujan sudah tak sederas tadi. Bisa dikatakan hampir reda. Aku membuka kaca penutup helm dan mendapati hembusan udara dingin bercampur titik-titik halus air di wajahku. Menyegarkan mataku yang entah kenapa terasa berat.

“Kau belum cerita kenapa kau pindah.”

Aku terdiam. Aku ingat Hendi pernah menanyakan alasan kenapa aku pindah kost. Itu sudah hampir sebulan yang lalu. Waktu itu aku sudah mulai sibuk ujian hingga belum sempat menjawabnya.

“Benarkah?” Aku menelan ludah.

“Kau tidak ingin menceritakannya?”

Aku terdiam lagi. Bibirku kering saat akhirnya aku berucap. “Ada orang yang kusukai di sana. Tapi aku tidak bisa menyukainya. Aku tidak boleh menyukainya.”

Aku sempat menunggu beberapa saat sebelum Hendi akhirnya merespon ceritaku.

“Oh. Aku tidak tahu kalau kau memiliki masalah itu.”

“Masalah — itu?

Hendi tertawa pelan. “Jadi kau melarikan diri. Apakah boleh seperti itu?”

“Entahlah. Aku hanya mencari tempat yang lebih baik.” Aku menelan ludah. “Kurasa sudah benar keputusanku untuk pindah. Itu saja.”

“Berarti tempat sekarang lebih baik?”

Aku menghela nafas berat. “Kurasa tidak juga.” Kuperbaiki letak tas di punggungku. “Aku punya tetangga yang hobi makan baso… dan entah kenapa hal itu bagiku sangat tidak menyenangkan.”

Hendi terbahak. Aku bisa merasakan guncangan bahunya. Kuletakkan kedua tangan di punggungnya.

“Jangan mengelap di jaketku.” Hendi berkata ketus. Kudorong helmnya sampai ia tertawa lebih keras. Aku ikut tertawa. Tapi entah mengapa, hatiku rasanya perih. Tersayat. Lagi.

“Aku sedikit mengantuk. Aku tidak akan bicara lagi.” Kataku. Hendi mengangguk dan melarikan motor lebih kencang.

“Asal kau tidak jatuh saja.” Ia berdesis di antara desingan motor.

Hembusan angin yang dingin menerpa wajahku. Menelusup ke balik jaket yang kukenakan. Seiring dengan hujan yang mereda, semua telah kuputuskan.

—–

Hendi mengangsurkan handuk padaku. Aku menerimanya sekedar untuk mengeringkan bagian leherku yang sedikit basah. “Terima kasih.” Kukembalikan lagi padanya. Ia membawanya masuk ke kamar mandi. Aku melepas jaket. “Aku pulang dulu. Sekali lagi terimakasih. Oh ya, jaketmu akan kuletakkan kembali di balik pintu.”

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. Ia selalu berganti pakaian di kamar mandi. “Ya. Taruh saja di sana. Pintu dirapatkan.”

Aku mengangguk. Kuturuti kata-katanya. Kurapatkan pintu saat keluar.

Gerimis kembali turun. Aku menadahkan tangan, mencoba merasakan basahnya. Saat melihat kembali ke kaca jendela, aku melihatnya.

Tetesan-tetesan embun. Serupa dengan kaca di gedung pameran tadi.

Aku menuliskan tiga huruf di sana.

“Kau sedang apa?” wajah Hendi terlihat di baliknya. Ia tersenyum. Aku menggeleng. “Bye.

Hendi mengangguk.

Aku sudah hampir sampai di depan rumah ketika kudengar suara itu berteriak memanggil. “Dani!”

Aku memalingkan wajah.

Hendi mengacungkan handphoneku sambil tersenyum.

Aku mengambilnya setengah berlari. Hujan sudah semakin deras. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung pulang. Hendi juga langsung menghilang ke balik pintu.

Aku membuka pintu rumah. Debu menyambutku dengan tergesa. Kubiarkan ia meliuk-liuk di kakiku. Kuseret langkah menuju dapur. Menuangkan segelas air.

Bersandar di tepi wastafel, aku mengelus-elus kepala Debu dengan ujung jariku. “Sepertinya kita harus pindah lagi…”

Debu hanya mengeong pelan. Kurasa itu artinya ia mengerti.

—– selesai —–

Author: Harun Malaia

2 thoughts on “Tak Semestinya

Tinggalkan Balasan