Arsip Kategori: CERPEN

Ingin Ini, Ingin Itu 1

Ingin Ini, Ingin Itu

Arif adalah seorang anak laki-laki kelas tiga SD yang sangat gemar membaca. Di rumahnya, ia punya sebuah lemari kecil yang khusus diberikan oleh ibunya untuk menyimpan deretan buku-buku miliknya. Arif anak yatim. Ayahnya meninggal dunia ketika ia berumur tiga tahun. Sejak saat itu, Arif tinggal bersama ibunya yang sehari-hari menjahit pakaian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.

Kesulitan hidup yang mereka hadapi tidak membuat Arif berhenti membaca. Ia senang sekali jika menemukan kisah seseorang yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan dengan bekerja keras. Ibunya juga tidak pernah mempermasalahkan Arif gemar membaca. Bagi ibunya, asalkan Arif tetap rajin belajar dan senang membantu, itu sudah cukup. Dan sejauh ini Arif adalah anak yang sangat baik. Ketika teman-temannya sibuk menuntut orang tuanya untuk membelikan mainan dan bepergian ke tempat-tempat yang jauh, Arif sudah merasa sangat puas jika ia diberikan buku-buku kisah perjalanan.

Karena keseringannya membaca, Arif menjadi kebingungan dengan cita-citanya. Ia kerap menceritakan pada ibunya bahwa ia terpesona dengan pilot yang begitu gagah mengudara. Ia juga begitu kagum pada nelayan yang hidup dengan gagah dan lepas di alam luas. Tak lupa ia memimpikan menjadi seorang guru sederhana yang disayangi oleh murid-muridnya.

Suatu ketika Arif dibangunkan ibunya dari tidur malam karena ia sedang mengigau.

“Apakah yang saya katakan, Bu?” Arif meringis malu.

Ibu mengelus kepalanya dengan lembut. “Kau mengucapkan kata-kata yang tidak biasanya ibu dengar. Tapi sepertinya tentang film dan musik. Benarkah itu?”

Arif teringat buku terakhir yang ia baca di perpustakaan sekolah. Itu adalah sebuah buku tentang sutradara-sutradara film terkenal. Ia mengangguk pelan pada ibunya. “Apakah saya mengganggu tidur Ibu?”

Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Tapi kau seharusnya bisa tidur dengan nyenyak sekarang. Anak seusiamu butuh istirahat yang cukup. Apalagi kau masih harus bersekolah besok. Bacalah doa sebelum tidur. Semoga kau diberikan mimpi yang indah…”

Perubahan cita-cita Arif itu terus berlanjut. Suatu hari ia pulang ke rumah dan dengan wajah bersinar-sinar mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang ilmuwan hebat yang menemukan alat agar manusia bisa terbang tanpa pesawat. Ibunya yang sedang menjahit hanya tersenyum-senyum mendengarkannya bercerita.

“Saya baru saja membaca tentang hukum grativasi. Seandainya kita bisa menghilangkannya atau paling tidak mengontrolnya, maka kita akan bisa tidak terjatuh. Bukankah itu hebat, Bu?”

Ibunya hanya mengangguk, lalu mengangsurkan bungkusan pakaian padanya. “Tolong kau antarkan pakaian ini pada Bu Agustina. Ibu berjanji untuk mengantarkannya hari ini. Kau bisa membantu ibu?”

Arif memberengut karena merasa ceritanya belum tuntas. Namun melihat senyum ibunya sekejap kemudian wajahnya sudah kembali ceria. Ia bangkit dari duduknya dan mengangguk.

“Hati-hati ya, Nak…”

Suatu hari, Arif mendapatkan tugas mengarang dari guru bahasa Indonesia di kelasnya. Mereka ditugaskan untuk menuliskan keinginannya di masa depan. Arif begitu bersemangat. Sekaligus kebingungan. Gurunya mengatakan ia hanya boleh memilih satu keinginan dan menuliskan alasannya. Sementara ia memiliki berjuta keinginan dalam kepalanya dan ketika ia akan memilihnya, semua jadi satu dan ia merasa pusing.

Aku ingin jadi dokter. Aku ingin jadi penulis. Aku ingin jadi pengusaha. Aku ingin jadi nelayan. Aku ingin jadi petani. Aku ingin jadi polisi. Aku ingin jadi hakim. Aku ingin jadi antariksawan. Aku ingin jadi guru. Aku ingin…

Arif menemui ibunya dan menceritakan masalahnya.

“Pilih saja salah satu. Kau bisa menyisakan yang lain dan menuliskannya jika pak guru kembali menyuruhmu membuat tugas.”

“Tapi saya bingung… saya mau menulis semuanya.”

Ibu terlihat berpikir, “Kalau begitu, tulislah sebanyak yang mampu kau tulis. Kau cukup menuliskannya sebisamu. Tidak perlu dipilih. Nanti jika harus diberikan salah satu, kau tidak perlu khawatir, toh, semua itu memang keinginanmu. Bagaimana?”

Arif mengerjap-ngerjap. Wajahnya kembali cerah. Ia senang karena bisa mendapatkan pemecahan atas masalahnya. “Terima kasih, Ibu.”

Jadilah selama beberapa hari itu Arif asyik menulis karangannya. Jika biasanya sepulang sekolah ia sempat bermain bersama temannya, sekarang ia tidak lagi melakukannya! Ia begitu bersemangat untuk menulis. Dalam tiga hari saja ia sudah menyelesaikan hampir lima belas buah karangan yang semuanya sudah ia tulis dengan rapi!

Dua hari lagi tugas mengarang itu akan dikumpulkan dan Arif sudah menumpuk tiga puluh lebih hasil tulisannya. Dalam hati ia masih ingin menambah lagi, tapi ia merasa lucu sendiri dan memutuskan bahwa itu semua sudah cukup. Ia kembali membolak-balik hasil tulisannya dan mencoba mencari salah satu yang ia rasa paling baik untuk dikumpulkan.

Hari sudah menjelang Magrib ketika ia selesai membaca seluruh hasil tulisannya. Ia sudah berhasil memilih dari tiga puluhan hingga menjadi sepuluh saja. Ia masih merasa perlu untuk menanyakan pendapat ibunya, maka ia bangkit dari kamarnya dan mencari ibunya.

Ruangan depan tempat ibunya biasa menjahit kosong. Arif mencari ke dapur. Juga tidak ada. Akhirnya Arif mengetuk pintu kamar.

“Masuklah…” terdengar suara ibunya.

Rupanya ibu sedang berbaring. Arif menyibak tirai kamar hingga mentari sore dapat menembus dan menerangi kamar.

“Apakah Ibu sakit?” Arif meraba kening ibunya. Bukan main. Panas sekali. Arif merasa gugup sekarang.

Ibu hanya mengangguk pelan. “Ibu hanya demam. Tadi pagi Ibu merasa lemas sekali.”

“Apakah Ibu ingin makan sesuatu?” Arif memijat lengan ibunya dengan lembut.

Ibunya hanya menggeleng. “Ibu hanya ingin berbaring sebentar. Ada apa, Nak? Tadi sepertinya kau mencari ibu.”

Arif terdiam. Ia tidak ingin menyusahkan ibunya. “Saya hanya mau menanyakan sesuatu tentang tugas. Tapi nanti saja.”

Ibunya mengangguk pelan tanda mengerti. “Oh ya, Ibu baru ingat. Ada beberapa pesanan jahitan yang harus diantar sore ini. Ibu sudah menyiapkannya di atas meja. Bungkusan merah diantar ke Ibu Fitri, terus juga ada pesanan Ibu Tina. Ibu sudah menuliskan namanya. Lalu yang terakhir ada punya Ibu Tantri, tapi yang ini agak jauh, kau bisa mengantarkannya, Nak?”

Arif mengangguk pelan. “Apakah Ibu tidak apa-apa jika saya tinggal?”

Ibu mengangguk dan memejamkan mata. “Pergilah sekarang. Nanti keburu malam.”

Arif bergegas pergi mengantarkan pesanan jahitan sesuai dengan yang disuruh oleh ibunya. Magrib telah tiba ketika ia selesai mengantarkan pesanan yang terakhir. Ia sempat singgah di mesjid sebelum pulang. Dalam sholatnya ia mendoakan agar ibunya baik-baik saja. Entah kenapa, perasaannya tidak begitu enak. Namun ia masih sempat memikirkan sepuluh hasil tulisannya. Kini ia sudah memilihnya menjadi lima.

Semoga Ibu bisa membantuku memutuskan yang mana satu yang akan diberikan pada Pak Guru! Demikian Arif membatin.

Ia sampai ke rumahnya ketika hari sudah benar-benar gelap dan lampu-lampu jalanan baru saja menyala. Pintu depan tidak terkunci, Arif buru-buru masuk. Namun tidak bisa menemukan ibunya di dalam kamar.

“Ibumu terjatuh di kamar mandi ketika ia akan mengambil wudhu. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit oleh Pak RT,” demikian kata Cik Minah yang tinggal di sebelah rumahnya.

Arif mengemasi beberapa pakaian ibunya, dimasukkannya ke dalam sebuah tas kecil. Ia juga merapikan beberapa jahitan yang masih berserakan. Sebelum waktu Isya, ia sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit.

“Kau akan pergi dengan siapa?” Cik Minah tampak khawatir. “Tunggulah sebentar lagi. Ayah Imran sebentar lagi pulang. Akan kuminta agar dia mengantarmu.”

Arif mengangguk, ia duduk menunggu di depan rumah. Tak henti-hentinya ia berdoa untuk kesembuhan ibunya.

Ayah Imran, suami Cik Minah datang beberapa menit kemudian. Beberapa saat kemudian mereka berdua berangkat ke rumah sakit.

“Ibumu sedang di ruang rawat intensif. Ia masih tidak sadar. Kata Dokter ia terkena serangan stroke,” jelas Pak Lukman, ia yang tadi mengantar Ibu ke rumah sakit. “Kau lebih baik pulang ke rumah saja, Nak. Besok kau harus sekolah.”

Arif menangis tanpa suara. Ia memeluk bungkusan pakaian ibunya kuat-kuat. Pak Lukman menepuk-nepuk punggungnya. “Bersabarlah, Nak.”

Arif kemudian diantar ke ruangan rawat intensif. Setelah berganti pakaian khusus untuk masuk ruangan tersebut, barulah ia boleh mendekati ibunya. Arif menggenggam tangan ibunya. Namun ibunya sedang tidak sadar. Air mata Arif mengalir tanpa bisa ditahan.

“Ibu… Saya tidak ingin apa-apa lagi…” Arif menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangisnya. Ia kemudian mencium tangan ibunya. “Saya hanya ingin Ibu sembuh.”

Sepenggal Senja Punya Madi 3

Sepenggal Senja Punya Madi

Matahari masih berada di atas kepala saat Madi menerobos semak-semak membentang yang memisahkan jalan setapak yang tadi ia lewati dengan hamparan sawah yang sedang ia tuju. Sebenarnya jika ia terus saja berjalan mengikuti jalan setapak, ia pada akhirnya juga akan tiba ke sawahnya. Tapi ia memilih melintasi semak-semak perdu ini. Paling tidak ia akan tiba lebih cepat daripada seharusnya. Perutnya sudah berbunyi sejak lama. Pagi tadi ia memang terburu-buru sehingga tak sempat mengisi perut. Ia hanya meminum setengah gelas teh hangat. Itupun ia langsung diteriaki oleh ibunya karena meminum teh miliknya.

Namun betapa kecewanya ia saat melihat dangau kosong. Seakan tak percaya, ia bergegas mendekat dan memeriksa. Tapi memang tidak ada siapa pun di sana. Dengan lesu ia meletakkan sepatu yang sedari tadi ia jinjing — jalanan yang tadi ia lewati tidak hanya berhias semak berduri, tapi juga lumpur yang lengket. Lumpur itu meninggalkan bekas sampai hampir mencapai lutut. Madi menggaruknya. Kini ia bukan hanya lapar. Tapi juga gatal.

Tiba-tiba ia teringat, ia pernah memeram buah mangga. Maka ia bangkit dan memeriksa bakul kecil di sudut dangau. Untunglah, ia masih beruntung. Tak hanya mangga yang ia dapatkan. Ternyata ibunya juga memeram tiga buah pisang tanduk yang kini sudah berwarna kuning. Ia bisa mencium baunya. Mangganya tidak terlalu matang. Sepertinya besok akan pas matangnya. Tapi perutnya terlalu lapar untuk bisa menunggu besok. Maka Madi memutuskan akan memakannya demi mengganjal perutnya yang sudah benar-benar kosong.

Saat menghabiskan pisangnya yang kedua ia berpikir tentang bagaimanakah reaksi ibunya jika tahu ia telah memakan pisangnya. Sedang meminum setengah gelas tehnya saja ia sudah diteriaki seperti seorang maling. Memikirkan itu Madi berhenti mengunyah, pisangnya tinggal setengah.

Ia lalu membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah bingkisan. Hadiah. Ia mendapat rangking dua di kelasnya. Ia mendapat hadiah untuk itu. Sepertinya buku. Apalagi? Madi mencoba merabanya dari sudut ke sudut. Sepertinya memang buku.

Paling tidak Didi tidak perlu lagi membeli buku. Adiknya itu sekarang kelas dua SD. Jika tadi ia naik kelas berarti sekarang ia kelas tiga. Madi memberengut, pasti bukunya ini akan banyak diminta untuk Didi. Tapi kemudian ia tersenyum, ia berniat menggoda Didi jika pulang nanti. Ia akan berpura-pura pelit. Biar Didi menangis dulu. Pasti seru. Biasanya Didi jika menangis suka sampai berguling-guling. Diam-diam Madi menertawakan khayalannya.

Sekali lagi diperhatikannya hadiah di tangannya itu. Juara dua. Lalu diambilnya buku raportnya. Memang juara dua. Ia terpaut satu angka dengan Hamid, sang pemuncak di kelasnya. Mulut Madi mengerucut, meneliti nilai-nilai yang tertera. Tadi ia sudah memeriksanya. Sekarang ia ingin menikmatinya. Oh ya. Bahasa Inggris. Ia hanya mendapat angka delapan. Sedang Hamid sembilan. Tentu saja ia kalah, melihat kamus Hamid saja sudah akan memastikan nilai Hamid. Sedang ia sendiri, punya sebuah kamus kecil yang justru banyak tidak memuat kata-kata penting. Itupun pinjaman.

Kaki Madi kini berwarna coklat keputihan. Lumpur tadi sudah mengeras. Madi menggesek-gesekkannya ke tiang dangau, membuatnya terkikis. Paling tidak kini kakinya tidak terasa terlalu keras. Ia menggoyang-goyangkannya, sepertinya tadi kakinya tergores, kini gantian lalat yang mengerubungi kakinya.

Perutnya kini tak lagi terlalu keroncongan. Tapi kini ia malah memikirkan nilai raportnya. Madi membuka-buka lembarannya dari awal. Juara dua. Juara dua. Juara dua lagi. Yang ini juga juara dua. Selalu juara dua. Mata Madi menerawang. Juara satunya selalu Hamid. Ya. Hamid tak pernah tidak juara satu. Mereka sudah satu kelas sejak SD. Dan selama itu — sampai sekarang kelas dua SMP, ia selalu juara dua dan Hamid yang memegang juara satu.

Hamid. Abdul Hamid. Madi langsung terbayang wajah temannya itu. Ya, meski mereka bersaing, tapi mereka tetap berteman. Sebenarnya Madi agak segan berteman dengan Hamid. Ia anak Haji Mahmud, orang terkaya di desa.

Kening Madi tiba-tiba berkerut. Iya ya. Hamid anak orang kaya. Pintar. Selalu juara satu. Anaknya ramah. Bersih — Madi memandangi kakinya yang dikerubungi lalat. Wajahnya juga tampan. Hamid ketua OSIS…

Wah! Kening Madi makin berkerut. Makin dipikir-pikir, ternyata Hamid begitu lebih. Ia sendiri? Hanya juara dua. Anak orang miskin. Harus ikut bekerja mengambil upah membersihkan sawah milik tetangganya yang lumayan berada jika musim tanam sawah. Rumahnya bahkan sering bocor jika hujan turun terlalu deras.

Madi lalu meneliti kembali nilai-nilainya. Sebenarnya ia berharap menemukan ketidakcocokan. Maksudnya nilainya lebih dari nilai Hamid. Tapi sepertinya Bu Tini menghitung dengan kalkulator. Tidak ada yang salah. Matematika…! Oh ya. Ia yakin saat ujian nilainya lebih tinggi daripada nilai Hamid, sebab mereka saling mencocokkan jawaban setelah selesai ujian. Tapi kenapa nilai mereka jadi sama? Hamid juga dapat sembilan. Iya ya. Kenapa malah bisa sama?

Tiba-tiba Madi menepuk kepalanya sendiri. Tertawa keras. Bodohnya ia. Bukankah nilai raport juga diambil dari nilai harian? Pantas saja jika mereka berdua pada akhirnya mendapat nilai yang sama. Selama ini nilai harian Hamid selalu baik. Madi manggut-manggut sendirian.

Tapi kenapa ia tak pernah bisa mengungguli Hamid?

Perut Madi kembali berbunyi. Ia lalu menghabiskan sisa pisangnya tadi. Di sela keasyikannya mengunyah ia berusaha mengingat-ingat kapan ia pernah mengalahkan Hamid. Oh ya. Pernah. Saat pelajaran Olahraga. Ia menjadi yang tercepat dalam nilai lari 100 meter. Sedang Hamid masuk lima besar saja tidak. Hamid hanya urutan tujuh. Tapi di raport, Hamid tetap mendapat sembilan. Wah. Madi mengeluh kecewa. Kenapa nilai mereka bisa sama lagi?

Madi memasukkan raportnya kembali ke dalam tasnya. Tangannya menyentuh sesuatu. Permen. Oh iya. Tadi Asti ulang tahun. Ia membagi-bagikan permen bagi teman sekelas. Tadi sebenarnya lima. Kini hanya tinggal dua. Madi ingat telah memakan tiga lagi saat berjalan pulang tadi.

Saat berniat membuka sebuah permen lagi, Madi teringat Didi. Didi sangat suka permen ini. Madi membatalkan niatnya. Didi itu gemuk. Pasti tidak mau diberi satu. Madi memutuskan menyimpan dua sisa permennya untuk Didi. Oh ya, begini saja. Jika nanti Didi menangis tak diberi buku, baru ia akan memberikan permen sebagai ganti. Wah, pasti seru. Madi tersenyum-senyum sendiri.

Asti. Kini Madi memikirkan Asti. Sudah lama sebenarnya ia naksir Asti. Ia tidak ingat kapan persisnya. Yang pasti sudah lama. Ia ingat betapa senangnya ia saat diberi permen. Langsung dari Asti. Apalagi ia mendapat yang berbungkus pink. Sebenarnya ada juga temannya yang lain mendapat bungkus pink. Tapi rasanya berbeda saja. Madi diam-diam tersenyum malu. Tersipu. Digoyangkannya kakinya. Mengusir lalat. Sekarang ternyata juga ada agas. Kakinya makin gatal.

Tapi kabar burung yang beredar banyak menyebutkan kalau Asti justru menaruh hati pada Hamid. Mereka sering terlihat bersama. Rumah mereka berdekatan. Lho? Kenapa Hamid lagi? Madi menggaruk kepalanya dengan gusar. Ia memang melihat Asti mengucapkan selamat pada Hamid saat pembagian raport. Tapi… kenapa Hamid lagi? Masa kali ini ia juga harus kalah?

Seekor nyamuk menggigit kaki Madi yang memang tepat sebagai sasaran empuk. Madi memukulnya sekuat tenaga. Membuat nyamuk itu langsung lenyap, menyatu dengan lumpur kering yang menempel di kakinya. Melihat itu Madi langsung terbahak. Ia tak menyangka akan memukul sekeras itu. Mungkin ia terbawa perasaannya tadi. Bukankah tadi ia sedang jengkel pada Hamid?

Ah. Madi tiba-tiba  kembali tersenyum. Buat apa ia susah-susah memikirkan perasaan orang lain? Bukankah Asti memiliki hak untuk menyukai siapa saja. Jika memang Hamid yang ia sukai, paling ia akan sedikit sedih, sebab berarti ia kalah untuk kesekian kali. Iya ya. Kenapa ia kalah terus. Kapan menangnya? Madi kembali menggaruk kepalanya. Kali ini karena memang kepalanya sedang gatal.

Suara kecipak air membuyarkan lamunan Madi. Ia menoleh mencoba memastikan apa yang berbunyi tadi. Lagi-lagi terdengar bunyi kecipak air. Kali ini Madi bisa melihat jelas sumber bunyinya. Perlahan bibir Madi membentuk senyuman.

Sepertinya ada ikan yang terjebak dalam lumpur sawah. Pasti terbawa air pasang beberapa hari yang lalu, pikir Madi. Ia melepas seragamnya. Menyampirkannya pada dinding dangau. Lalu mendekati ikan yang berkecipak tadi. Benar saja. Ada tiga ekor lele. Mata Madi langsung berbinar. Benar-benar lumayan. Pasti enak kalau dibikin sambal goreng.

Maka Madi pun terjun menangkap lele itu. Ternyata susah juga, mereka tak begitu saja mau menyerah. Padahal sudah sekering ini.

Wah, ternyata lebih dari tiga ekor! Empat! Eh, enam!! Di sana ada dua ekor lagi. Madi berteriak kegirangan. Matahari kini tak lagi berada di atas kepala. Lebih condong. Hampir rebah malah. Madi makin bersemangat. Perutnya masih keroncongan.

Matahari sudah hampir tenggelam saat Madi keluar dari lumpur. Benar-benar parah. Seluruh tubuhnya diliputi lumpur. Tapi ia senang karena berhasil menangkap tujuh ekor lele yang besar-besar. Sebenarnya ada banyak lagi. Entah bagaimana ada banyak lele. Madi memilih yang paling besar. Yang paling mudah ditangkap.

Terburu-buru Madi mandi di kolam. Ia ingat belum shalat Ashar. Maka ia segera naik dari kolam. Ikan-ikannya ia gantung dengan tali akar di tiang dangau yang mencuat. Segera ia memakai sarung. Seingatnya ada sarung di dalam bakul satunya. Untunglah ada. Tak sampai tiga menit Madi sudah selesai. Perutnya kembali keroncongan. Kini mulai terasa pedih malah. Heran. Bagaimana bisa ia belum makan dari pagi? Kenapa ia tadi tak langsung pulang saja? Iya ya. Madi memikirkan seandainya ia pulang tentu ia sudah kenyang sekarang. Tapi kemudian ia terbahak. Kalau tadi ia langsung pulang tentu ia tidak mendapat lele. Besar lagi. Tujuh ekor. Madi bernyanyi riang sepanjang jalan menuju rumahnya.

Hari sudah gelap saat Madi tiba di rumah. Ia sendiri heran. Ternyata ia terlalu lama saat di sawah. Menyadari itu, Madi bergegas masuk. Memanggil ibunya. Tadi ibunya tidak ke sawah. Lalu kemana? Iya ya. Kemana ibunya? Kenapa tadi ia tak memikirkan itu?

Madi meletakkan ikannya di dapur. Melongok kedalam kamar. Ah. Itu Didi. Didi sedang berbaring. Sepertinya tidur. Madi teringat ia punya permen. Juga buku. Maka ia mengambil tasnya. Mendekati Didi.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya di luar. Madi tak jadi membangunkan Didi. Ia keluar kamar.

“Kau sudah pulang? Kemana saja seharian ini? Didi sakit. Demam. Badannya panas. Kau punya tabungan tidak?” ibunya menadahkan tangan.

Madi terdiam. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Entah kenapa. Pelan ia menggeleng. Lalu kembali masuk kamar. Mendekati Didi. Meraba keningnya. Bukan main. Panasnya tinggi.

Madi menggenggam hadiahnya kuat. Permen dari Asti tergeletak di samping bantal. Iya ya. Kenapa ia tak mendapat hadiah uang. Kalau saja buku bisa ditukar uang. Atau permen. Atau ikan. Kenapa tadi ia dapat ikan? Kenapa ia tak dapat uang?

“Besok kau libur tidak? Pak Hasan mengupahkan sawahnya. Mudah-mudahan besok kita dapat uang. Didi panas sekali.” Ibunya sudah berada di sampingnya, ikut duduk dan menggenggam tangan Didi. “Kau tahu penyakitnya? Di sekolah belajar penyakit tidak? Ibu takut sekali.”

Madi merasa hidungnya tiba-tiba beringus. Dadanya makin sesak. Pelan ia kembali menggeleng. Bangkit. Menuju dapur. Membuang ingusnya.

Ikan-ikan lelenya masih berontak di dalam ember. Mereka tak mudah menyerah ternyata. Padahal sekarang sudah benar-benar kering.

Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini 5

Maaf, Membuatmu Datang Malam Ini

Mia mematikan laptop dan menutup buku di depannya dengan perasaan lelah. Diliriknya jam tangan. Lewat lima belas menit dari tengah malam. Terdengar suara ketukan kaca. Mia membalikkan badan, dilihatnya residen Hana — residen adalah istilah yang digunakan untuk dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi —, sedang menjulurkan kepala dari balik pintu.  “Kau akan ke tempat Lily?”

“Oh.” Mia kemudian bangkit dan menarik jas putihnya yang tersampir di sandaran kursi. “Aku belum memutuskan.”

Hana mengangkat sebelah alisnya, membuat Mia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak pergi.”

“Ayolah. Aku tahu kau sudah menyelesaikan laporan kasusmu. Kenapa tidak pergi?”

Mia lagi-lagi hanya tersenyum, setelah menyampirkan jas putih tadi di belakang pintu dan menukarnya dengan jaket berleher tinggi yang ia rasa pas sekali di malam bercuaca dingin ini, ia kemudian mengajak Hana melangkah keluar ruangan. “Entahlah, sedari siang aku terbayang duduk di sofa dan minum coklat hangat sebelum tidur.”

Mereka berjalan bersisian menembus lorong-lorong di penuhi brankar berisi pasien yang didorong oleh kurir, beberapa di antara mereka sempat melempar senyum saat berpapasan namun tak sedikit yang hanya memberikan wajah datar penuh kelelahan khas rumah sakit pusat rujukan. Mereka kemudian melewati ruangan setengah lingkaran dengan dinding-dinding kaca penuh tempelan kertas pengumuman di mana di dalamnya beberapa perawat shift malam sedang memeriksa catatan pasien, salah seorang dari mereka keluar dari bilik itu dengan tergesa dan memanggil. Mia mendekatinya, mengenalinya sebagai perawat yang biasa ia jumpai saat visite — kegiatan memeriksa pasien rawat inap, di ruangan perinatologi, ruangan khusus bayi.

“Tadi ada yang mencari dokter.”

“Siapa?”

Hana ikut mendekat. “Ada apa?”

Perawat itu menggeleng. “Dia menunggu di luar setelah saya katakan bahwa dokter akan selesai sebentar lagi.”

“Keluarga pasien?”

“Saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Sepertinya bukan.”

“Pria?”

Perawat itu mengangguk.

Mia mengerutkan kening. Mengingat-ingat. Hana menggamitnya. “Kita lihat siapa yang menunggumu lalu kita ke tempat Lily, okay?”

Mia memberengut.

“Kita di sana tidak akan lebih dari satu jam. Aku janji.” Hana kemudian mempercepat langkahnya. “Aku benar-benar ingin melewati semester ini secepat mungkin. Rasanya aku bisa gila.”

Mia hanya tertawa mendengarnya. Ya, semester ini benar-benar melelahkan. Ia membenarkannya dalam hati.

“Kau tahu Yoda, junior semester dua? Tingkahnya benar-benar menyebalkan. Aku sama sekali bukan senior gila hormat tapi kurasa anak itu benar-benar tidak tahu adat. Satu kali lagi kudapati ia bersikap seperti kemarin, akan kuhabisi ia saat laporan jaga.”

“Memang menyebalkan. Tapi dia lumayan.” Mia cepat-cepat menambahkan kalimatnya.

“Justru itu. Kurasa dia lumayan karena dia bisa mendapat kuliah ekstra dari ibunya. Aku pernah mengintip isi catatannya, penuh dengan tips-tips jitu. Sialan. Ingin aku memilikinya.”

Mia tergelak. Separuh karena menyadari betapa ambigunya kalimat Hana barusan, separuh lagi karena faktanya ibu dari junior Yoda yang baru mereka bicarakan adalah memang salah satu profesor yang paling disegani di kampusnya. “Oh, sial. Kautunggu di sini sebentar. Buku catatanku ketinggalan di ruangan.”

Hana mendecak kesal. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Setengah berlari Mia meninggalkannya.

*****

Sebelum Mia berhasil sampai ke ruangan jaga residen, seorang perawat kembali menghampirinya, memberikannya beberapa lembar status pasien rawat inap yang ternyata belum selesai ia lengkapi.

“Oh!” Mia setengah mengumpat dan bersyukur, kelalaian seperti ini bisa saja membuatnya layak digantung esok hari. Dikerjakannya status itu sambil berdiri di gang, diawasi perawat yang hanya menggeleng-geleng maklum. Setelah yakin tidak melewatkan detail-detail penting, ia bergegas pergi ke ruangan, setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih pada perawat yang mencegatnya tadi.

Ruangan tampak gelap, Mia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dengan tergesa. Lampu otomatis menyala setelah pintu membuka.

“Kau akan ke rumah Lily kan?”

Mia terkesiap, lalu berbalik. Agus, salah satu residen bedah anak, yang menyapanya. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Kau akan pergi sendirian? Kita bisa pergi bersama, aku baru saja selesai.” Sosok tinggi itu mendekat. Mia bisa mencium parfumnya yang khas, para perawat sering membicarakan pria di depannya ini karenanya, mereka menjulukinya residen bau surga.

“Aku bersama Hana, ia sedang menunggu di lobby.” Mia memaksa untuk tersenyum. Buru-buru ia membuka laci dan benar saja, buku catatannya ada di sana. “Aku duluan.”

“Hei.” Agus mengitari meja dan mensejajari langkahnya. “Kau tidak sedang menghindariku kan?”

Mia mengibaskan jemarinya yang dilingkari cincin.

Agus tertawa pelan. Memperlihatkan deretan giginya yang bagus. “Kau tahu itu tidak akan mengubah perasaanku padamu.”

“Katakan padaku apa yang akan mengubahnya.”

“Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau menerimaku.”

Mia membenarkan letak tas di bahunya. Berdehem kecil. “Agus, kurasa kita sudah membahas ini. Aku sudah menikah.” Ia menekankan setiap kata pada kalimat terakhirnya.

“Tapi kita memiliki waktu yang menyenangkan. Jangan katakan kau tidak senang saat kita bersama.”

Mia menggeleng. “Jangan membuatku makin tidak nyaman. Aku sudah merasa tidak nyaman. Kita tidak pernah bersama. Kau dan aku pernah makan malam satu kali dan maafkan aku, itu adalah kesalahan. Aku tidak semestinya melakukannya.”

“Tapi kita melakukannya.”

“Itu adalah kesalahan.”

Agus menatap lurus pada Mia. Ia terlihat menggaruk dagunya yang berbintik-bintik halus, “Katakan di mana kurangku.”

“Kau benar-benar keras kepala.”

Agus memamerkan senyumnya yang menawan. “Mia, aku benar-benar ingin bersamamu. Memiliki perasaan sekuat ini padamu membuatku hampir gila.”

“Katakan jika kau sudah merasakan gejalanya, aku bisa membuatkan resep yang baik.” Mia memaksakan tersenyum dan berlalu. Saat melewatinya, Agus menarik tangannya dan menggenggamnya.

“Maafkan sikapku. Tapi jika kau akan berpisah dari suamimu — dan kau tahu aku selalu berdoa untuk itu — aku akan berusaha keras untuk membahagiakanmu.” Agus menatap matanya dan sejenak Mia bisa merasakan lututnya melemah. Ia menggeleng pelan dan meminta Agus melepaskan tangannya.

“Aku ingin kau tetap sopan padaku.” Mia berdehem kecil. “Seperti aku yang akan tetap sopan padamu, selama kau berjanji untuk tidak seperti ini lagi.”

Agus mengangguk pelan. Wajahnya terlihat menyesal. “Aku minta maaf.”

Mia balas mengangguk pelan sebelum berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat marah.

*****

Saat melewati pintu keluar Mia melihat Hana sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin mendengar langkah kakinya yang memang terdengar jelas di lantai berbatu ini, kedua orang itu membalikkan badan.

Mia merasa jantungnya seakan meloncat keluar dari rongga dada.

Hana melambai dan tersenyum. “Aku sudah bertemu Imran.” Ia menunjuk sosok di sampingnya.

Pria itu juga tersenyum. Ia kemudian berjalan mendekati Mia yang mematung. Memberinya pelukan. “Hai.”

Masih bau yang sama. Mia menutup mata dan merasakan Imran mempererat dekapannya. Memaksanya membenamkan wajah di lehernya, merasakan rahangnya yang kasar.

Mia juga bisa merasakan tangan Imran di pundaknya. Memberinya tepukan ringan. Lehernya meremang. Segera ia melepaskan diri.

“Kapan kau tiba?”

Imran tersenyum. “Baru saja.”

“Aku dan Hana… kami akan keluar.”

Hana terlihat kaget. “Aku baru saja mengatakan pada Imran bahwa kau pasti senang bisa menemukan alasan untuk tidak jadi pergi.” Wajahnya kemudian terlihat bingung.

“Kau mengatakan bahwa kita hanya akan satu jam. Aku rasa aku bisa kalau hanya satu jam.”

Imran memandangi Mia yang balas menatapnya. Mia berkata, “Jangan melihatku seperti itu.”

Hana jelas terlihat tidak nyaman. “Mia, aku rasa aku akan pergi sendiri.” ia bergegas pergi setelah mengangguk pelan pada Imran. Ia kemudian memberi isyarat pada Mia bahwa ia akan menelepon nanti.

Mia merapatkan jaketnya, melangkah menuruni undakan tangga batu yang melingkar. Pelan dirasakannya lehernya mendingin dan hidungnya sakit, separuh karena udara malam yang memang sudah menusuk, sisanya lebih karena pikirannya yang kacau. Ia bisa melihat dari sudut matanya bahwa Imran melangkah di belakangnya sambil menyeret travel-bag-nya. Beberapa saat kemudian pria itu sudah menyusul langkahnya dan mensejajarinya.

Lama mereka berjalan dalam diam.

Sampai akhirnya Mia membuka suara. “Kapan kau tiba?”

Imran mengangguk pelan. “Baru saja.”

Mia ikut mengangguk-angguk. “Kau sudah mengatakannya tadi.”

Imran mengangguk membenarkan. “Aku sudah mengatakannya.”

Kemudian Mia tergelak. Perlahan tawanya makin keras. Ia berbalik, mendapati wajah seorang pria yang pernah begitu mengisi pikirannya. Menyebalkan sekali, hanya melihatnya beberapa detik dan ia bisa merasakan seluruh rasa itu kembali lagi.

Imran tersenyum. “Kau melupakan sesuatu?”

Mia masih tertawa. Ia kemudian mengangguk.

“Buku catatanmu?”

Mia menggeleng. Tawanya masih tersisa sedikit.

Imran berdiri tegak. Menunggu.

“Mobilku. Aku memarkirnya di halaman belakang. Mestinya tadi kita tidak memutar.”

*****

“Aku tidak menyangka kau akan datang malam ini.”

Imran mengangkat wajahnya, menatap Mia. Wajah istrinya itu tampak sedih.

Mereka memutuskan untuk berjalan kaki menuju taman, setelah beberapa saat berkeliling mereka akhirnya menemukan ayunan berupa kursi yang dipasang berhadapan. Jadilah sekarang mereka di sana.

“Aku baru menerima emailmu.”

Mia menggeleng pelan. Tanpa bisa ditahan, air matanya mengalir. Ia kemudian menangkupkan kedua tangannya. “Aku bisa menjelaskan semuanya.”

Imran mengangguk. “Aku memang butuh penjelasan mengapa kau ingin bercerai dariku.”

Mia mengangkat wajahnya. Kemudian menangis lagi.

Imran menarik nafas panjang. Ia merentangkan tangannya di sandaran kursi, dijejakkannya kaki ke tanah, mendorong sedikit, membuat mereka berdua berayun.

Sepi sekali.

Ia bisa melihat kilau bekas tetesan hujan di daun-daun yang tertimpa sinar bulan dan lampu taman. Tanah di bawah sepatunya juga masih lengket. Ia membuat dorongan yang lebih kencang, membuatnya bisa merasakan udara yang basah melewati leher dan wajahnya saat ayunan naik lebih tinggi.

“Kau bisa membuatku muntah.”

Tak ayal lagi ia tertawa.

“Paling tidak kau jadi berhenti menangis.”

Mia mengusap matanya dengan jari. “Oh Imran. Aku benar-benar membencimu.”

Imran menjejakkan kakinya lagi. Kali ini lebih pelan. Ayunan naik dan turun dengan lebih teratur. Biasanya ayunan besi seperti ini akan berbunyi jika diduduki namun mungkin karena sedang basah pada engsel-engselnya, gerakannya kini terasa mulus dan menyenangkan.

“Kau selalu membenciku.”

Mia ikut mendorong dengan kakinya. Sekali waktu kaki mereka bersenggolan dan ia membiarkannya. Mia menendang sepatu suaminya itu pelan-pelan. Melumurinya dengan tanah yang lengket.

“Aku benci karena kau tidak ada.”

Imran mendengus pelan, merapatkan jaketnya. Ia kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya, memeluk dirinya sendiri.

“Kita sudah membicarakan ini.”

“Kita belum selesai membicarakan ini.” Mia mengangkat wajah.

Imran mengangguk pelan, ia kemudian seperti akan mengatakan sesuatu, namun batal melakukannya. Lama sekali ia hanya diam dan menatap Mia yang menanti ia membuka suara. Pada akhirnya ketika ia berkata, kalimat ini yang keluar dari mulutnya. “Kita akan membicarakannya lagi.”

Mia menarik nafas panjang. Menyusun kalimat dalam kepalanya.

“Aku harus akui bahwa beberapa minggu terakhir ini, kuliahku benar-benar menyiksa. Semua tugas. Dosen. Teman sekelompok. Junior. Staf rumah sakit. Pasien. Terlebih lagi pasien. Mereka semua membuatku tertekan. Aku pulang ke rumah dan menemukan kau tidak ada. Kau tidak pernah ada. Kau tahu aku selalu ingin bercerita padamu. Jangan memotongku dulu.” Mia menarik selembar tisu dari dalam tasnya. “Aku menyalahkanmu atas semuanya.”

Imran membungkuk dan menarik kedua tangan Mia. Menggenggamnya. Istrinya itu menangis lagi.

“Kau mengatakan akan mendukungku saat aku melanjutkan spesialisasi. Tapi kau malah tidak ada saat semua orang membuatku gila.”

“Mia…”

“Kemudian dua hari yang lalu aku membuat catatan yang panjang sekali. Aku tidak bisa tidur. Aku menatap bantal kosong di sebelahku sepanjang malam. Aku melihatmu hilir mudik di rumah, aku seperti melihatmu hilir mudik di rumah. Menyebalkan sekali. Aku lalu membuat semua alasan untuk tetap bersamamu atau meninggalkanmu. Kau tahu bahwa aku bisa hidup tanpamu dengan baik sebelum ini. Baik sekali bahkan. Kau tahu benar itu.”

“Aku tahu itu.”

Mia menarik ingus dari hidungnya. “Sampai kau masuk dalam hidupku.”

Imran menunggu lanjutan kalimat Mia.

“Bisakah kita berpisah sementara?”

Imran diam. Dirasakannya Mia mencoba menarik tangannya, namun ditahannya. Mia tidak mencoba lebih jauh.

“Kau tahu kita tidak bisa berpisah sementara.”

“Mengapa kita tidak bisa suit saja, untuk memutuskan siapa yang akan mengalah dan tinggal di rumah?”

Imran tertawa pelan. Ia menarik tangan di genggamannya dan membawanya ke depan wajahnya, menciuminya.

“Kau tahu kalau aku tidak bisa meninggalkan tugas saat ini.”

Mia menarik nafas panjang. Tersenyum pelan. “Bagaimana keadaan di sana?”

“Biasa saja. Maksudku, selayaknya daerah bencana. Semua orang berduka. Semua orang tidak bicara. Lalu semua orang bicara. Tidak ada yang benar-benar bisa diceritakan. Sekejap kau merasa mengenal mereka lalu kemudian mungkin kau akan merasa terlempar ke dunia yang benar-benar asing, padahal yang ada di sekitarmu adalah manusia, tapi entah kenapa semua jadi begitu berbeda. Beberapa pasien yang selamat menyembunyikan perasaannya, membisu berhari-hari, menangisi yang tlah pergi. Kurasa kau lebih cocok untuk kesana.”

Mia tertawa. “Mungkin aku akan lebih menikmatinya.”

Imran mengangguk pelan. Kembali mencium tangan istrinya. “Aku akan senang jika bisa bersamamu di sana.”

Mia menatap wajah di hadapannya dengan wajah sedih. Imran masih menciumi tangannya.

“Temanmu tadi, ia tidak tahu kalau aku adalah suamimu.”

Mia tersenyum, ia lalu berkata. “Aku memang tidak memberitahu mereka. Mereka hanya tahu kalau aku telah menikah.”

“Mengapa?”

“Karena aku memiliki suami yang tak pernah ada.”

Imran mengangkat wajah. “Kupikir kita sudah pernah membahasnya.”

Mia mengangguk. “Kita sudah pernah membahasnya.”

Imran menepuk bagian kursi di sebelahnya, meminta Mia pindah. “Ironis sekali bukan? Kita mengurusi orang lain, namun kadang tak sempat mengurusi diri sendiri. Atau keluarga.”

Mia menyandarkan kepalanya di bahu Imran. Mendengarkan.

“Aku benar-benar takut saat menerima emailmu.”

“Aku tidak tahu bagaimana cara membatalkan email yang telah dikirim.”

Imran tertawa, bahunya sampai berguncang. Mia mengangkat wajahnya dan memeluk tubuh di sebelahnya itu erat-erat. Menghirup aromanya lekat-lekat. “Aku minta maaf telah membuatmu datang malam ini.”

“Aku sudah memesan tiket untuk pergi besok. Kau tenang saja.”

Mia kemudian menggigit lengan suaminya itu sampai ia mengaduh kesakitan. Ayunan sampai berguncang.

*****

Pintu keluar terbuka dan Agus melewatinya. Ia tampak terkejut saat melihat Mia masih ada. Sesaat ia seperti tersenyum namun kemudian wajahnya berubah saat melihat Imran.

“Kupikir kau bersama Hana.”

“Aku tadi memang bersama Hana.” Mia mengangguk pelan. “Ia baru saja pergi. Kenalkan, ini Imran.”

“Oh.” Agus melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Kapan kau tiba?”

Imran menjabat tangan Agus. “Baru saja.”

“Mia beberapa kali bercerita tentangmu. Saat kami, maksudku, kami para dokter berbincang, kadang kami membicarakan keluarga.”

“Oh. Kuharap kau mendengar yang baik-baik saja.” Imran berpaling pada Mia yang bisa merasakan wajahnya panas. “Aku terlalu banyak berbuat tidak baik belakangan.” Ia kemudian merangkul bahu Mia dan menepuknya. “Kita pulang?”

Mia mengangguk, diikutinya langkah Imran menuruni undakan batu yang tampak menghitam karena basah. Kali ini ia tidak mengambil jalan memutar. Dirasakannya dorongan kuat untuk melihat ke belakang. Namun genggaman tangan pria di sampingnya itu membuatnya terus melangkah ke depan.

***** selesai *****

Kelabu Atas Langit 7

Kelabu Atas Langit

“Kau mau pergi?”

Desingan mesin jahit itu berhenti. Aku yakin wanita itu sedang menatapku sekarang. Tapi kubiarkan saja. Kuteruskan memakai kaus kakiku.

“Ada wawancara kerja.” jawabku datar.

Mesin jahit tadi kembali berdesing.

“Jam berapa kau akan pulang?”

Aku menarik nafas panjang. Kupakai sepatuku.

“Mungkin malam.”

Kembali suara desingan itu berhenti. Ekor mataku menangkap bahwa wanita itu bangkit dari belakang mejanya.

“Kau akan pergi sekarang?”

“Ya.”

“Sekarang?”

Rahangku mengeras. “Sebentar lagi.”

“Kau sudah sarapan? Mau kubuatkan kopi?”

“Aku akan makan di luar.”

Wanita itu memberikan sesuatu dari belakang pundakku. Sebuah payung.

“Belakangan ini sering hujan. Kemarin aku ke pasar dan membeli payung ini. Bisa dilipat. Kurasa bisa muat di dalam tasmu.”

Aku menerimanya. Memasukkannya ke dalam tas. Memang muat. “Terima kasih.”

“Aku akan membuatkanmu kopi. Akan kulihat juga jika masih ada roti.” Wanita itu memasuki dapur. Sekejap saja dia hilang di balik tirai.

Lengang.

Hanya suara gelas beradu dengan sendok logam.

Kusibak lengan kemeja panjangku. Mengintip arlojiku. Seharusnya Arman sudah datang delapan menit yang lalu.

Nah. Itu dia. Kulihat sepeda motor memasuki halaman. Arman membuka helmnya. Menekan klakson. Tersenyum padaku. “Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam. Kupikir kau tidak jadi datang.”

“Ah. Kau bisa saja. Jangan terlalu serius.” Arman memarkir motornya. “Kita berangkat sekarang?”

Aku terdiam. Kubalikkan tubuh. Memandang ke arah dapur. Hidungku mencium bau kopi dan roti bakar. “Ya. Aku akan ke dalam sebentar. Hanya sebentar.”

Aku bangkit berdiri dan memasuki dapur.

Wanita itu sedikit terkejut saat aku menyibak tirai. “Ternyata masih ada roti. Aku membuatkanmu roti bakar.”

“Arman sudah datang. Aku akan berangkat sekarang.”

Wanita itu terdiam. Ia menatapku lekat-lekat. “Rotinya memang belum siap. Tapi kopinya sudah bisa diminum.”

“Terima kasih. Tapi aku harus pergi sekarang.” Kusibak lengan kemejaku. “Aku bisa terlambat.”

Wanita itu tegak mematung. “Kau ingin membawa roti sebagai bekal? Kau belum sarapan.” suaranya terdengar bergetar.

“Tidak. Tidak perlu.” Aku menggeleng. “Aku akan makan di luar.”

Sesudah itu aku keluar. Wanita itu masih mematung.

*****

            Hujan turun dengan deras. Aku bisa mendengar bunyi air yang memukul-mukul kaca jendela. Sepertinya akan lama.

Hujan yang lama.

Menunggu yang lama.

Seorang lelaki bertubuh besar berjalan melewatiku dengan tergesa-gesa. Ternyata namanya dipanggil. Ia menyenggol tasku. Dengan sedikit panik ia meminta maaf. Aku hanya mengangguk pelan. Membiarkannya lewat. Lalu mengambil tasku yang tergeletak di lantai.

Tanganku meraba sesuatu yang keras. Payung. Aku ingat aku membawa payung. Sepertinya tidak terlalu buruk membawa payung. Perasaanku jadi sedikit terganggu.

“Ibumu sendirian di rumah?” Arman menepuk pundakku. Membuatku tersadar.

“Ya.” Aku mengangguk pelan.

Ibumu sendirian di rumah? Hhh…

Ibuku sendirian di sana. Ibu kandungku sendirian di alam sana…

“Kulihat kau masih tidak berubah.”

Aku berpaling pada Arman. “Kau bicara padaku?”

“Kupikir kau harus memperbaiki komunikasi antara kalian berdua. Ia sudah bersamamu sejak lama. Tapi kau masih juga tak bisa menerimanya.”

Rahangku mengeras. Kutatap Arman lama. Tapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku berpaling. Menatap lantai.

Begitu mudah untuk kembali mengingat masa-masa pahit yang pernah terjadi. Seperti sekarang. Ketika langit pecah dengan hujannya. Siang menggigil dengan dinginnya. Manusia di sekitarku meringkuk pada kesibukannya. Pikiranku kembali ke masa silam. Aku masih tiga belas tahun saat itu…

“Ayah akan menikah lagi…”

            Aku tidak menyatakan apa-apa. Yang jelas beberapa bulan kemudian aku mendapati seorang wanita telah resmi menjadi penghuni rumah yang selama ini kuhuni. Ibu tiri. Aku mendapatkan seorang ibu tiri.

            Ibuku meninggal saat usiaku sepuluh tahun. Berarti telah tiga tahun berlalu. Namun tetap saja perasaan tidak senang muncul pada ibu tiriku itu. Meski setiap orang di keluargaku mengatakan bahwa ibu tiriku itu adalah seorang wanita yang sangat baik. Meski setiap orang menyatakan bahwa memang sudah saatnya ayah memiliki seorang pendamping hidup setelah tiga tahun ibu meninggal.

            Aku lalu memutuskan masuk sekolah yang memiliki asrama. Kukatakan pada ayah bahwa aku ingin lebih mandiri. Tapi jauh dalam lubuk hatiku aku berteriak bahwa aku tidak sanggup melihat sosok ibu tiriku itu. Entahlah. Aku sangat ingin membencinya. Namun sayangnya, ia tepat seperti yang dikatakan keluargaku, dia wanita yang sangat baik. Tak ada alasan untuk membencinya.

“Kau takut Ayah melupakan Ibumu…?”

            Ternyata Ayah menyadari perasaanku. Satu malam sebelum keberangkatanku ke asrama dia mengajakku bicara. Dari hati ke hati. Pembicaraan laki-laki.

“Ibumu adalah wanita yang hebat. Ayah tak kan pernah menyangkal itu. Dengarkan ini, simpan ini sebagai kata-kata yang bisa Ayah ucapkan sebagai penjelasan bagimu. Ayah sangat mencintai Ibumu. Sangat cinta. Dan Ayah tak akan pernah melupakan cinta itu. Bahkan seandainya Ayah berniat melupakannya, cinta yang terlalu dalam itu sendiri yang akan menuntut Ayah. Akan terus menuntut Ayah untuk mengingatnya. Di lain pihak, Ayah harus tetap hidup untuk beberapa waktu ke depan. Biarlah Ibumu menjadi penguat Ayah agar terus menjagamu. Karena cinta kami berdua seperti itu. Jauh di dalam lubuk hati ini Ayah menyimpan segala hal tentang Ibumu. Tidak akan pernah Ayah sia-siakan kenangan itu…”

“Muhammad Baihaqi…!”

“Kau dipanggil…” Arman kembali menepuk pundakku. Memutus lamunanku.

*****

Ayah meninggal sembilan tahun kemudian. Sekali lagi hatiku hancur. Apalagi saat aku melihat ibu tiriku terlihat begitu terguncang. Begitu sedih. Sebesar itukah cintanya pada ayahku? Aku sempat takut jika ibu masih hidup apakah akan terlihat sesedih itu. Aku takut jika ternyata cinta wanita itu jauh lebih besar daripada cinta yang telah ibu berikan pada Ayah. Ibu telah tiada. Tak ada lagi masa untuknya bisa menunjukkan perasaannya yang begitu halus. Sedang wanita itu dengan bebas bisa mengekspresikan cintanya.

Sepeninggal Ayah aku bingung akan terus hidup sendiri ataukah kembali ke rumah. Keluarga yang lain mengatakan sebaiknya aku kembali ke rumah saja. Karena sekarang ibu tiriku sendirian. Ia tidak memiliki anak. Baguslah. Aku bakalan lebih senewen jika ternyata ia memiliki anak. Aku menurutinya. Tinggal bersama wanita itu.

Dan selama kami — aku dan ibu tiriku — tinggal bersama itulah aku melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan ‘kebaikan’ wanita itu. Pantas jika ayah memilihnya menggantikan ibu. Sekali lagi aku gugup jika seandainya ibu dan wanita itu harus bersaing memperebutkan ayah, aku tidak begitu yakin dengan hasilnya.

Lambat laun aku mulai menerima ibu tiriku itu. Paling tidak aku menghargainya. Ia wanita yang baik. Sholehah. Ia menutup dirinya dengan baik. Ia menjaga kehormatannya dengan baik.

Sebentar.

Kurasa aku lupa mengatakan tentang satu hal. Satu hal yang sangat penting. Cerita ini takkan jelas tanpa sesuatu itu.

Ibu tiriku itu masih muda.

Ia menikah dengan ayahku saat berumur sembilan belas tahun.

Aku harus mengakui tidak terlalu nyaman tinggal bersamanya. Aku harus berusaha menumbuhkan kebencian — paling tidak rasa tidak suka — padanya. Sebab ternyata aku mulai menyukainya. Menyayanginya. Ingin menjaganya.

Aku tahu perasaan itu tidak bisa dibenarkan. Sama sekali tidak bisa dibenarkan. Karena itu perasaan sayang itu tak boleh kubiarkan tumbuh dengan bebas dalam hatiku. Aku menyimpan rapat-rapat perasaanku itu. Aku harus memupuk benci agar perasaanku pada wanita itu tidak menjadi perasaan yang tak terkendali. Tidak terlalu menyenangkan bersikap seperti itu. Tapi aku membiasakannya. Seperti tadi pagi. Benar-benar tidak nyaman. Jauh di dalam lubuk hatiku aku ingin tahu seperti apa perasaannya terhadapku.

“Mas. Sudah mau tutup…”

Aku membayar makananku. Beranjak dari dudukku.

Hujan belum reda. Benar-benar lama. Meski sekarang sudah tidak sederas tadi. Kurapatkan jaketku. Mencoba mengusir dingin. Mengusir pikiran-pikiran liar yang sedari tadi mengisi kepalaku.

Aku pulang sendirian. Arman berpisah denganku sejak Asar. Sekarang sudah jam sebelas. Jalanan sudah mulai lengang. Lengkap sudah sketsa buram malam ini. Sendiri. Sepi. Dingin. Beku.

Aku memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki saja.

Kubuka payungku. Mulai berjalan pulang.

“Maaf. Bisa beritahu saya di mana jalan Beringin?” seseorang menyela jalanku.

Seorang gadis. Usianya pasti di bawahku. Memakai jas hujan yang menutupi kepalanya. Kerudungnya tepatnya. Mengingatkanku pada wanita itu.

“Sudah dekat. Di ujung belok kiri saja.”

Gadis itu mengikuti arah telunjukku. Wajahnya menyiratkan kelelahan. “Terima kasih.”

Aku terdiam. Mengamatinya. “Terima kasih kembali.”

Gadis itu sudah menjauh. Menarik travel bagnya. Selain itu ia juga membawa beberapa tas gendong. Kelihatannya berat.

Aku mengejarnya. Mempercepat langkahku. Bisa kulihat ia sedikit terkejut saat melihatku lagi.

“Kupikir kau perlu bantuan…”

*****

Aku tiba di rumah lewat tengah malam. Rumah kosong. Kemana wanita itu?

Diam-diam aku merasa cemas.

Sampai kutemukan sebuah surat terletak di atas meja makan.

Assalamu’alaikum.

Anakku. Izinkan aku memanggilmu demikian.

Aku pergi ke Panti. Mungkin akan tinggal di sana lagi. Maaf jika aku melakukan ini. Tadi siang saat kau menelepon meminta dilihatkan berkas-berkas surat, aku terpaksa mencarinya di kamarmu. Dari sanalah aku menemukan alasan mengapa aku harus melakukan ini. Kupikir akan jauh lebih baik jika aku pergi.

Anakku. Biar bagaimanapun kau tetap adalah anakku. Aku adalah istri ayahmu. Aku mencintai ayahmu. Jika yang tersisa darinya adalah kau, maka aku juga menyayangimu, sebagai seorang anak dari suamiku. Aku menyayangimu seperti itu.

Anakku. Aku akhirnya mengerti mengapa selama ini kau bersikap dingin padaku. Kau menulis dengan sangat jelas dalam buku harianmu. Terima kasih karena sudah dengan sepenuh hati menjagaku. Aku sangat menghargainya.

Anakku. Kau adalah laki-laki yang baik. Darah ayahmu mengalir dalam darahmu. Aku percaya kau akan segera menemukan cinta lain yang bisa kau jaga dengan kebaikan hatimu, jauh lebih kuat dari saat kau menjagaku. Aku sangat percaya itu.

Aku minta maaf atas kesalahanku selama ini. Aku mendoakanmu untuk seluruh kebahagiaan yang ada di atas dunia ini. Kau pantas menerimanya.

Sekali lagi maafkan aku.

Ratih

Kulipat kembali surat itu. Meletakkannya ke atas meja. Kurasakan tubuhku menyerah. Kutarik sebuah kursi untuk kemudian mendudukinya. Kepalaku terasa berdenyut.

Perlahan aku bangkit. Menuju kamar wanita itu. Ibu tiriku. Ia benar-benar sudah pergi.

Aku beralih ke kamarku. Mataku langsung menangkap buku harianku tergeletak di atas tempat tidur. Aku ingat aku tidak meletakkannya di sana. Sepertinya wanita itu memang membacanya.

Malam itu aku benar-benar sendirian.

Wanita itu benar-benar pergi.

 ***** selesai *****


Di Tepi Sungai 9

Di Tepi Sungai

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Namanya Hena. Aku tidak ingat persis kapan pertama kali mengenalnya. Sejauh yang bisa kukenang, ia salah satu teman bermain jika aku sedang liburan ke kampung kakek-nenek. Ia anak tetangga kakek-nenek. Dua rumah di sebelah kanan. Tepat di penghujung jalan.

Aku dan Tian — sepupuku,  terbiasa melintasi rumahnya untuk mencapai anak sungai kecil tempat kami mencari udang ataupun ikan kecil yang mabuk saat air pasang naik bercampur dengan hujan deras yang turun saat malam hari. Kadang Hena akan ikut turun ke tepi sungai, tapi lebih sering ia hanya memandangi dari tepian rumah, duduk di teras, menggelantungkan kedua belah kakinya yang telanjang.

Hampir semua rumah di kampung adalah rumah panggung. Sehingga bagi kami yang hanya sepinggang orang dewasa, kolong rumah adalah tempat bermain yang luar biasa menyenangkan. Sebagai umpan untuk memancing, biasanya kami akan mencari cacing. Mereka tidak suka terkena sinar matahari jadi tempat terbaik untuk menemukannya adalah di bagian bawah rumah, tempat terakhir cahaya akan masuk. Tian pandai sekali mencari cacing. Dalam setiap bongkahan tanah yang ia cungkil, dengan sigap ia akan menemukan satu-dua ekor cacing tanah yang tidak mudah untuk ditangkap. Selain karena memang licin, rasanya sedikit geli jika belum pernah memegangnya. Di antara gumpalan tanah liat, kau sebenarnya tidak terlalu merasakan gerakannya kecuali jika ia benar-benar telah menyentuh telapak tanganmu. Atau menjalari lenganmu. Aku pernah sekali sampai terpekik ketika alih-alih melarikan diri dari tangkapanku, cacing itu menggeliat naik ke atas siku.

Kurasa itu pertama kali aku mengenal Hena. Mungkin mendengar teriakanku, ia dengan sigap menelungkup di teras rumahnya, menjulurkan leher dan kepala, mengintip ke bawah rumah. Aku kembali berteriak karena gerakannya yang tiba-tiba itu membuatku seperti melihat kepalanya melayang dari atas dan putus jatuh ke bawah. Tapi nyatanya kepala itu hanya menggantung dan berayun-ayun. Dalam posisi terbalik aku bisa melihat kalau ia tersenyum lebar. Gigi depannya sedang tanggal dan gigi penggantinya baru tumbuh setengah.

Tian hanya menjulurkan lidah padanya. Tawa Hena pecah. Ia kemudian menarik kepalanya dan sejurus kemudian kami kembali melihat sepasang kakinya yang telanjang, bergoyang-goyang. Ia sedang berdendang.

*

Setiap kali aku kembali ke kampung pada liburan berikutnya, aku akan melihat kalau Hena menjadi orang yang berbeda. Sebenarnya wajar saja, karena aku sendiri tidak pernah benar-benar mengingatnya, dan kurasa anak-anak seperti kami yang sedang dalam masa tumbuh akan sekali dua kali terlihat tidak normal bentuk tubuhnya.

Lambat laun, aku menyadari bahwa meski kami sering sekali melintasi rumahnya, atau bermain di sekitar sana, Hena jarang sekali bergabung. Ia biasanya akan langsung menghilang ke dalam rumah jika ada yang menegur atau mengajak bicara. Kurasa itu alasan Tian secara konsisten hanya menjulurkan lidah atau mengangkat alis, ataupun sedikit membelalak setiap kali kami berpapasan dengannya. Hena tidak lari jika diperlakukan begitu, ia hanya akan balas mengikik. Atau seperti yang kukatakan sebelumnya, ia bisa saja akan turut serta turun ke tepi sungai, sekedar membuat keruh air tempat kami mencari udang.

Suatu kali, aku datang ke kampung kakek-nenek tidak dalam rangka liburan. Tapi pernikahan Paman Rizal, adik terakhir ibu. Aku ingat suasananya jadi berbeda sekali. Mulai dari rumah yang terasa begitu ramai dengan handai taulan yang juga datang dari jauh, hingga kenyataan bahwa di pagi hari, aku akan lebih sering bermain sendiri. Karena Tian tidak sedang libur, aku terpaksa bermain dengan sepupu-sepupu lain. Mereka anak kota yang mungkin saja asyik sebagai teman jika sedang di kota, tapi ketika di desa, mereka semua jadi membosankan dan memuakkan. Salah satu dari mereka, bahkan tidak lepas bermain di gawai sepanjang hari.

Aku sendiri anak kota, tapi selalu merasa girang jika bisa bersentuhan langsung dengan alam. Kuingat ketika Tian pertama kali membantuku membuat layang-layang, dan benangnya putus ketika kami adu gelasan, kami semua berlari mengejar layang-layang tersebut sambil tertawa-tawa menerabas semak-semak penuh lintah. Sampai di rumah aku dimarahi ibu karena menurutnya anak perempuan tidak selayaknya berbuat seperti itu. Tian juga dimarahi. Tapi seperti biasa, Tian hanya tersenyum dan mengedip nakal padaku, seakan janji bahwa besok kami akan main lagi. Dan aku sendiri juga tahu bahwa ibu tidak benar-benar marah padaku, ia hanya kesal karena rok yang baru ia berikan minggu lalu robek tersangkut kayu ketika aku berlari dalam ranting dan perdu.

Untuk itu, pagi hari pada saat penghuni rumah asyik mempersiapkan pesta, aku menyelinap keluar setelah menghabiskan sarapan. Sekedar berjalan-jalan di setapak yang tepiannya ditumbuhi rumput setinggi mata kaki, atau menendang-nendangi rumpunan putri malu yang rajin tumbuh di sekitar pohon pisang yang banyak berkerumun di tepian telaga.

Saat itu aku melihat Hena. Ia tidak sekolah.

Hampir aku meneriakinya untuk mengajak bermain, namun ingat bahwa ia akan segera menghilang di balik pintu, aku hanya memberi senyum padanya. Kurasa Hena mengingatku, sebagai teman Tian, karena ia membalas senyumku. Kali ini, giginya sudah tumbuh dengan rapi. Bahkan sangat rapi.

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai naik ke teras rumahnya, lalu duduk di sampingnya, mendengarkannya berdendang. Ia tiba-tiba menggamit punggungku. Semula aku tidak mengerti, namun kemudian aku berbalik dan merasakan tangannya telah ada di rambutku. Rupanya ia ingin membuat jalinan pada rambutku yang panjang sepunggung. Aku senang saja. Sambil menjalin rambut, Hena terus berdendang.

Tidak benar-benar berdendang sebenarnya, sebab ia hanya seperti mendengung. Tidak ada kata-kata yang benar-benar terucap.

Lama setelah hari itu berlalu, aku baru tersadar. Hena tidak pernah bicara.

*

Setelah lulus SD aku jarang menghabiskan liburan di kampung kakek-nenek. Alasan terkuatnya jelas karena aku memang lumayan sibuk dengan sekolah. Tidak seperti sekolah dasar yang ketika libur tidak ada tugas yang benar-benar penting untuk dikerjakan, sekolah menengah bisa sangat menyebalkan karena alih-alih bisa liburan, para guru seperti kerasukan setan, mereka akan memberikan berlembar-lembar tugas yang harus segera dikumpulkan ketika awal minggu semester baru dimulai. Sehingga kerap kali liburan justru seperti kontes mengerjakan tugas. Sejujurnya aku rindu sekali bisa berlibur.

Alasan lain aku tidak lagi ke kampung kakek-nenek adalah karena Tian sudah tidak lagi seperti dulu. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya saat akhir kelas tiga SMP. Waktu itu kakek sakit keras dan kami sekeluarga menjenguknya. Aku bisa bersumpah bahwa tidak ada anak laki-laki di kelasku yang tumbuh sebesar Tian. Ia bahkan sudah melebih tinggi Ayah. Sore harinya saat aku turun hendak mandi sebelum magrib aku berpapasan dengannya saat ia baru kembali dari sungai selepas mencari ikan. Ia hanya mengenakan celana training lusuh dan singlet yang aku yakin sebelumnya berwarna putih, namun karena terlalu banyak dicuci ataupun dipakai, atau mungkin keduanya, kini berwarna kekuningan pudar. Ia seperti biasa mengangguk dan memberikan senyum khasnya. Aku justru yang tidak bisa bersikap biasa melihatnya seperti itu, aku hanya memberikannya tatapan datar dan bergegas memasuki kamar mandi.

Itu terakhir kali aku melihat Tian.

*

Lalu hari itu datang.

Aku sedang menjalani kuliah Fisiologi ketika handphoneku bergetar pelan menandakan sms masuk. Aku tidak memeriksanya sampai pelajaran selesai dan ketika membacanya, kurasakan lututku lemas sekali. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaanku saat itu. Aku merasakan sebagian jiwaku pergi dan kembali sesuka hati, membuatku tidak benar-benar utuh. Membuatku runtuh.

Aku sampai harus diantar pulang ke rumah.

Tian menghilang.

Kapal ikan yang biasa membawa hasil tangkapan laut yang sering melintasi kampung kakek-nenek mengalami kecelakaan menabrak karang. Saat itu memang musim badai. Tidak ada yang selamat dalam musibah laut itu.

Begitu juga Tian yang sedang ikut melaut dalam kapal itu.

Aku tidak pernah hadir di rumah kakek-nenek dalam suasana duka. Bahkan ketika kakek meninggal dua tahun sebelumnya, aku tidak hadir. Kali ini, untuk pertama kalinya, rumah dan kampung kecil tempatku memastikan hanya ada bahagia di luar sana, memberiku rasa dingin yang tidak dapat kumengerti. Untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi dewasa itu tidak menyenangkan sama sekali. Aku bisa melihat bayanganku memudar dan terbawa angin malam, menyusuri tepian sungai tempat kami biasa mandi setelah mencari udang. Sedetik pun aku tidak pernah bisa menerima Tian pergi dengan cara seperti itu.

Mayat Tian tidak pernah ditemukan. Kematiannya diikhlaskan oleh seluruh anggota keluarga setelah lewat tenggat waktu pencarian yang dilakukan. Sore itu, sehabis acara membaca doa di rumah, aku berjalan sendirian menyusuri jalanan di tepian sungai, sekedar melihat daun-daun keladi yang bergoyang-goyang tertimpa butiran gerimis. Aku bisa melihat air sungai keruh jauh di depanku. Menderu. Seluruh masa kecilku seperti berkelabat jelas di depan mataku.

Saat itu aku melihatnya.

Hena.

Ia sedang berdiri di tepi sungai. Menendang-nendang air yang keruh.

Aku seakan tak mengenalnya namun sekaligus merasa sebagai yang paling paham perasaannya saat itu. Saat ia berbalik, aku sampai terkesiap, tidak pernah aku melihat wajah seteduh itu. Ia seperti makhluk penghuni air yang muncul dari keremangan batuan sungai dan menjelma sebagai manusia dalam rinai sore itu.

Hena telah tumbuh menjadi wanita yang cantik sekali.

Seperti merasakan pandanganku, ia mengangkat wajah ke arahku.

Sore itu, dalam gerimis yang turun perlahan seumpama kabut yang menyelimuti sungai, dalam cahaya matahari yang hampir membenamkan diri, aku melihat Hena menangis.

*

Kejadian berikutnya aku ingat dengan persis, sebab sejak tanggal kematian Tian yang kuberi silang merah di kalender, aku berusaha mengingat semuanya dengan baik dan runut. Tapi memang sudah seharusnya itu yang kulakukan karena jadwal kuliahku sudah seperti teror yang tidak mengenal ampun. Sedikit saja lengah dan berleha-leha, akan ada berlembar-lembar bahan pelajaran yang terlewatkan dan habislah aku menganga saat kuliah disampaikan. Kurasa keputusan kuliah di Fakultas Kedokteran adalah sesuatu yang mungkin saja akan kusesali di kemudian hari. Mungkin.

Enam bulan setelah kepergian Tian, sesaat setelah menghabiskan makan malam, aku mendengar ayah dan ibu berbincang di ruang tamu. Mereka baru saja menerima telepon dari kampung kakek-nenek. Selayaknya kampung kecil, seluruh berita dan gosip yang beredar akan dengan mudah tersebar. Tanpa rasa ingin tahu aku berlalu dan ingin masuk ke kamar namun telingaku terlanjur menangkap kalimat itu.

Hena hamil besar.

Seseorang telah terperdaya oleh keindahan tanpa dosa dan suara itu.

Untuk kali kedua aku merasakan sergapan rasa dingin yang begitu menyiksa. Mengelilingi leher dan pundakku. Membuatku lemas dan rebah.

Aku ingat benar diopname dua hari karenanya. Seluruh teman sekelas menertawakannya. Tentu saja, sebagai calon dokter, kelelahan yang tidak bisa dijelaskan adalah kelemahan yang tidak bisa diterima. Aku sendiri tidak memberi penjelasan pada siapa pun. Bahkan ayah dan ibu.

Karena tidak ada yang benar-benar tahu.

*

Dua minggu sebelum pernikahan, akhirnya diputuskan selain di rumahku dan Adam, pesta juga diselenggarakan di kampung kakek-nenek. Seperti biasa, alasan mereka sebenarnya tidak bisa diterima namun akan selalu dimaklumi. Katanya, mereka orang kampung akan sangat bangga mengetahui bahwa salah satu cucu asli kampung telah menjadi dokter dan pada akhirnya menikah.

Aku tidak keberatan selama Adam tidak keberatan. Ia tanpa diduga justru senang dengan ide tersebut. Ia mengatakan bahwa sudah lama sekali ingin melihat kampung halamanku, yang kutahu sama sekali tidak benar. Sampai saat ini aku tetap melihat Adam sebagai anak kota yang asyik jika sedang di kota, namun besar kemungkinan ia akan membosankan setengah mati jika harus berada di desa. Bukan salahnya kurasa. Ia hanya ingin membuatku senang. Lagipula seumur hidup aku hanya mengenal satu orang yang bisa membuatku betah tinggal di desa.

Maka untuk pertama kalinya aku kembali ke kampung dengan status yang baru. Istri seseorang. Dokter. Meski kurasa keduanya tidak mengubahku sama sekali. Jauh di dalam sana, ada hal yang tidak akan pernah berubah jika bicara tentang kampung ini.

Sore itu, aku mengajak Adam menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan-jalan kecil yang sekarang semakin sempit saja rasanya. Kuceritakan padanya bagaimana aku dan Tian biasa berlarian mengejar kambing saat sore tiba. Kutunjukkan padanya rumah-rumah tempat biasa kami berjongkok dan mengendap-endap mencari cacing untuk umpan pancing.

Kemudian tentu saja kami sampai ke penghujung jalan, tempat anak sungai mengalir tenang. Kali ini airnya tidak keruh. Tadi malam memang tidak turun hujan. Aku menunjuk pepohonan tempat kami biasa duduk dan melemparkan kail.

Saat itulah aku melihatnya.

Seorang anak laki-laki duduk memancing. Ia tenang sekali duduk di cabang pohon yang menjulur ke atas air mengalir. Kakinya bergoyang-goyang pelan. Saat diam dan melihatnya lebih lama, mendengarkan dengan lebih seksama, aku bisa memastikan ia sedang bersenandung.

*

Setiap tahun sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri untuk kembali ke kampung kakek-nenek.

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Atau ayahnya.

♦♦♦