Di Tepi Sungai 1

Di Tepi Sungai

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Namanya Hena. Aku tidak ingat persis kapan pertama kali mengenalnya. Sejauh yang bisa kukenang, ia salah satu teman bermain jika aku sedang liburan ke kampung kakek-nenek. Ia anak tetangga kakek-nenek. Dua rumah di sebelah kanan. Tepat di penghujung jalan.

Aku dan Tian — sepupuku,  terbiasa melintasi rumahnya untuk mencapai anak sungai kecil tempat kami mencari udang ataupun ikan kecil yang mabuk saat air pasang naik bercampur dengan hujan deras yang turun saat malam hari. Kadang Hena akan ikut turun ke tepi sungai, tapi lebih sering ia hanya memandangi dari tepian rumah, duduk di teras, menggelantungkan kedua belah kakinya yang telanjang.

Hampir semua rumah di kampung adalah rumah panggung. Sehingga bagi kami yang hanya sepinggang orang dewasa, kolong rumah adalah tempat bermain yang luar biasa menyenangkan. Sebagai umpan untuk memancing, biasanya kami akan mencari cacing. Mereka tidak suka terkena sinar matahari jadi tempat terbaik untuk menemukannya adalah di bagian bawah rumah, tempat terakhir cahaya akan masuk. Tian pandai sekali mencari cacing. Dalam setiap bongkahan tanah yang ia cungkil, dengan sigap ia akan menemukan satu-dua ekor cacing tanah yang tidak mudah untuk ditangkap. Selain karena memang licin, rasanya sedikit geli jika belum pernah memegangnya. Di antara gumpalan tanah liat, kau sebenarnya tidak terlalu merasakan gerakannya kecuali jika ia benar-benar telah menyentuh telapak tanganmu. Atau menjalari lenganmu. Aku pernah sekali sampai terpekik ketika alih-alih melarikan diri dari tangkapanku, cacing itu menggeliat naik ke atas siku.

Kurasa itu pertama kali aku mengenal Hena. Mungkin mendengar teriakanku, ia dengan sigap menelungkup di teras rumahnya, menjulurkan leher dan kepala, mengintip ke bawah rumah. Aku kembali berteriak karena gerakannya yang tiba-tiba itu membuatku seperti melihat kepalanya melayang dari atas dan putus jatuh ke bawah. Tapi nyatanya kepala itu hanya menggantung dan berayun-ayun. Dalam posisi terbalik aku bisa melihat kalau ia tersenyum lebar. Gigi depannya sedang tanggal dan gigi penggantinya baru tumbuh setengah.

Tian hanya menjulurkan lidah padanya. Tawa Hena pecah. Ia kemudian menarik kepalanya dan sejurus kemudian kami kembali melihat sepasang kakinya yang telanjang, bergoyang-goyang. Ia sedang berdendang.

*

Setiap kali aku kembali ke kampung pada liburan berikutnya, aku akan melihat kalau Hena menjadi orang yang berbeda. Sebenarnya wajar saja, karena aku sendiri tidak pernah benar-benar mengingatnya, dan kurasa anak-anak seperti kami yang sedang dalam masa tumbuh akan sekali dua kali terlihat tidak normal bentuk tubuhnya.

Lambat laun, aku menyadari bahwa meski kami sering sekali melintasi rumahnya, atau bermain di sekitar sana, Hena jarang sekali bergabung. Ia biasanya akan langsung menghilang ke dalam rumah jika ada yang menegur atau mengajak bicara. Kurasa itu alasan Tian secara konsisten hanya menjulurkan lidah atau mengangkat alis, ataupun sedikit membelalak setiap kali kami berpapasan dengannya. Hena tidak lari jika diperlakukan begitu, ia hanya akan balas mengikik. Atau seperti yang kukatakan sebelumnya, ia bisa saja akan turut serta turun ke tepi sungai, sekedar membuat keruh air tempat kami mencari udang.

Suatu kali, aku datang ke kampung kakek-nenek tidak dalam rangka liburan. Tapi pernikahan Paman Rizal, adik terakhir ibu. Aku ingat suasananya jadi berbeda sekali. Mulai dari rumah yang terasa begitu ramai dengan handai taulan yang juga datang dari jauh, hingga kenyataan bahwa di pagi hari, aku akan lebih sering bermain sendiri. Karena Tian tidak sedang libur, aku terpaksa bermain dengan sepupu-sepupu lain. Mereka anak kota yang mungkin saja asyik sebagai teman jika sedang di kota, tapi ketika di desa, mereka semua jadi membosankan dan memuakkan. Salah satu dari mereka, bahkan tidak lepas bermain di gawai sepanjang hari.

Aku sendiri anak kota, tapi selalu merasa girang jika bisa bersentuhan langsung dengan alam. Kuingat ketika Tian pertama kali membantuku membuat layang-layang, dan benangnya putus ketika kami adu gelasan, kami semua berlari mengejar layang-layang tersebut sambil tertawa-tawa menerabas semak-semak penuh lintah. Sampai di rumah aku dimarahi ibu karena menurutnya anak perempuan tidak selayaknya berbuat seperti itu. Tian juga dimarahi. Tapi seperti biasa, Tian hanya tersenyum dan mengedip nakal padaku, seakan janji bahwa besok kami akan main lagi. Dan aku sendiri juga tahu bahwa ibu tidak benar-benar marah padaku, ia hanya kesal karena rok yang baru ia berikan minggu lalu robek tersangkut kayu ketika aku berlari dalam ranting dan perdu.

Untuk itu, pagi hari pada saat penghuni rumah asyik mempersiapkan pesta, aku menyelinap keluar setelah menghabiskan sarapan. Sekedar berjalan-jalan di setapak yang tepiannya ditumbuhi rumput setinggi mata kaki, atau menendang-nendangi rumpunan putri malu yang rajin tumbuh di sekitar pohon pisang yang banyak berkerumun di tepian telaga.

Saat itu aku melihat Hena. Ia tidak sekolah.

Hampir aku meneriakinya untuk mengajak bermain, namun ingat bahwa ia akan segera menghilang di balik pintu, aku hanya memberi senyum padanya. Kurasa Hena mengingatku, sebagai teman Tian, karena ia membalas senyumku. Kali ini, giginya sudah tumbuh dengan rapi. Bahkan sangat rapi.

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai naik ke teras rumahnya, lalu duduk di sampingnya, mendengarkannya berdendang. Ia tiba-tiba menggamit punggungku. Semula aku tidak mengerti, namun kemudian aku berbalik dan merasakan tangannya telah ada di rambutku. Rupanya ia ingin membuat jalinan pada rambutku yang panjang sepunggung. Aku senang saja. Sambil menjalin rambut, Hena terus berdendang.

Tidak benar-benar berdendang sebenarnya, sebab ia hanya seperti mendengung. Tidak ada kata-kata yang benar-benar terucap.

Lama setelah hari itu berlalu, aku baru tersadar. Hena tidak pernah bicara.

*

Setelah lulus SD aku jarang menghabiskan liburan di kampung kakek-nenek. Alasan terkuatnya jelas karena aku memang lumayan sibuk dengan sekolah. Tidak seperti sekolah dasar yang ketika libur tidak ada tugas yang benar-benar penting untuk dikerjakan, sekolah menengah bisa sangat menyebalkan karena alih-alih bisa liburan, para guru seperti kerasukan setan, mereka akan memberikan berlembar-lembar tugas yang harus segera dikumpulkan ketika awal minggu semester baru dimulai. Sehingga kerap kali liburan justru seperti kontes mengerjakan tugas. Sejujurnya aku rindu sekali bisa berlibur.

Alasan lain aku tidak lagi ke kampung kakek-nenek adalah karena Tian sudah tidak lagi seperti dulu. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya saat akhir kelas tiga SMP. Waktu itu kakek sakit keras dan kami sekeluarga menjenguknya. Aku bisa bersumpah bahwa tidak ada anak laki-laki di kelasku yang tumbuh sebesar Tian. Ia bahkan sudah melebih tinggi Ayah. Sore harinya saat aku turun hendak mandi sebelum magrib aku berpapasan dengannya saat ia baru kembali dari sungai selepas mencari ikan. Ia hanya mengenakan celana training lusuh dan singlet yang aku yakin sebelumnya berwarna putih, namun karena terlalu banyak dicuci ataupun dipakai, atau mungkin keduanya, kini berwarna kekuningan pudar. Ia seperti biasa mengangguk dan memberikan senyum khasnya. Aku justru yang tidak bisa bersikap biasa melihatnya seperti itu, aku hanya memberikannya tatapan datar dan bergegas memasuki kamar mandi.

Itu terakhir kali aku melihat Tian.

*

Lalu hari itu datang.

Aku sedang menjalani kuliah Fisiologi ketika handphoneku bergetar pelan menandakan sms masuk. Aku tidak memeriksanya sampai pelajaran selesai dan ketika membacanya, kurasakan lututku lemas sekali. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaanku saat itu. Aku merasakan sebagian jiwaku pergi dan kembali sesuka hati, membuatku tidak benar-benar utuh. Membuatku runtuh.

Aku sampai harus diantar pulang ke rumah.

Tian menghilang.

Kapal ikan yang biasa membawa hasil tangkapan laut yang sering melintasi kampung kakek-nenek mengalami kecelakaan menabrak karang. Saat itu memang musim badai. Tidak ada yang selamat dalam musibah laut itu.

Begitu juga Tian yang sedang ikut melaut dalam kapal itu.

Aku tidak pernah hadir di rumah kakek-nenek dalam suasana duka. Bahkan ketika kakek meninggal dua tahun sebelumnya, aku tidak hadir. Kali ini, untuk pertama kalinya, rumah dan kampung kecil tempatku memastikan hanya ada bahagia di luar sana, memberiku rasa dingin yang tidak dapat kumengerti. Untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi dewasa itu tidak menyenangkan sama sekali. Aku bisa melihat bayanganku memudar dan terbawa angin malam, menyusuri tepian sungai tempat kami biasa mandi setelah mencari udang. Sedetik pun aku tidak pernah bisa menerima Tian pergi dengan cara seperti itu.

Mayat Tian tidak pernah ditemukan. Kematiannya diikhlaskan oleh seluruh anggota keluarga setelah lewat tenggat waktu pencarian yang dilakukan. Sore itu, sehabis acara membaca doa di rumah, aku berjalan sendirian menyusuri jalanan di tepian sungai, sekedar melihat daun-daun keladi yang bergoyang-goyang tertimpa butiran gerimis. Aku bisa melihat air sungai keruh jauh di depanku. Menderu. Seluruh masa kecilku seperti berkelabat jelas di depan mataku.

Saat itu aku melihatnya.

Hena.

Ia sedang berdiri di tepi sungai. Menendang-nendang air yang keruh.

Aku seakan tak mengenalnya namun sekaligus merasa sebagai yang paling paham perasaannya saat itu. Saat ia berbalik, aku sampai terkesiap, tidak pernah aku melihat wajah seteduh itu. Ia seperti makhluk penghuni air yang muncul dari keremangan batuan sungai dan menjelma sebagai manusia dalam rinai sore itu.

Hena telah tumbuh menjadi wanita yang cantik sekali.

Seperti merasakan pandanganku, ia mengangkat wajah ke arahku.

Sore itu, dalam gerimis yang turun perlahan seumpama kabut yang menyelimuti sungai, dalam cahaya matahari yang hampir membenamkan diri, aku melihat Hena menangis.

*

Kejadian berikutnya aku ingat dengan persis, sebab sejak tanggal kematian Tian yang kuberi silang merah di kalender, aku berusaha mengingat semuanya dengan baik dan runut. Tapi memang sudah seharusnya itu yang kulakukan karena jadwal kuliahku sudah seperti teror yang tidak mengenal ampun. Sedikit saja lengah dan berleha-leha, akan ada berlembar-lembar bahan pelajaran yang terlewatkan dan habislah aku menganga saat kuliah disampaikan. Kurasa keputusan kuliah di Fakultas Kedokteran adalah sesuatu yang mungkin saja akan kusesali di kemudian hari. Mungkin.

Enam bulan setelah kepergian Tian, sesaat setelah menghabiskan makan malam, aku mendengar ayah dan ibu berbincang di ruang tamu. Mereka baru saja menerima telepon dari kampung kakek-nenek. Selayaknya kampung kecil, seluruh berita dan gosip yang beredar akan dengan mudah tersebar. Tanpa rasa ingin tahu aku berlalu dan ingin masuk ke kamar namun telingaku terlanjur menangkap kalimat itu.

Hena hamil besar.

Seseorang telah terperdaya oleh keindahan tanpa dosa dan suara itu.

Untuk kali kedua aku merasakan sergapan rasa dingin yang begitu menyiksa. Mengelilingi leher dan pundakku. Membuatku lemas dan rebah.

Aku ingat benar diopname dua hari karenanya. Seluruh teman sekelas menertawakannya. Tentu saja, sebagai calon dokter, kelelahan yang tidak bisa dijelaskan adalah kelemahan yang tidak bisa diterima. Aku sendiri tidak memberi penjelasan pada siapa pun. Bahkan ayah dan ibu.

Karena tidak ada yang benar-benar tahu.

*

Dua minggu sebelum pernikahan, akhirnya diputuskan selain di rumahku dan Adam, pesta juga diselenggarakan di kampung kakek-nenek. Seperti biasa, alasan mereka sebenarnya tidak bisa diterima namun akan selalu dimaklumi. Katanya, mereka orang kampung akan sangat bangga mengetahui bahwa salah satu cucu asli kampung telah menjadi dokter dan pada akhirnya menikah.

Aku tidak keberatan selama Adam tidak keberatan. Ia tanpa diduga justru senang dengan ide tersebut. Ia mengatakan bahwa sudah lama sekali ingin melihat kampung halamanku, yang kutahu sama sekali tidak benar. Sampai saat ini aku tetap melihat Adam sebagai anak kota yang asyik jika sedang di kota, namun besar kemungkinan ia akan membosankan setengah mati jika harus berada di desa. Bukan salahnya kurasa. Ia hanya ingin membuatku senang. Lagipula seumur hidup aku hanya mengenal satu orang yang bisa membuatku betah tinggal di desa.

Maka untuk pertama kalinya aku kembali ke kampung dengan status yang baru. Istri seseorang. Dokter. Meski kurasa keduanya tidak mengubahku sama sekali. Jauh di dalam sana, ada hal yang tidak akan pernah berubah jika bicara tentang kampung ini.

Sore itu, aku mengajak Adam menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan-jalan kecil yang sekarang semakin sempit saja rasanya. Kuceritakan padanya bagaimana aku dan Tian biasa berlarian mengejar kambing saat sore tiba. Kutunjukkan padanya rumah-rumah tempat biasa kami berjongkok dan mengendap-endap mencari cacing untuk umpan pancing.

Kemudian tentu saja kami sampai ke penghujung jalan, tempat anak sungai mengalir tenang. Kali ini airnya tidak keruh. Tadi malam memang tidak turun hujan. Aku menunjuk pepohonan tempat kami biasa duduk dan melemparkan kail.

Saat itulah aku melihatnya.

Seorang anak laki-laki duduk memancing. Ia tenang sekali duduk di cabang pohon yang menjulur ke atas air mengalir. Kakinya bergoyang-goyang pelan. Saat diam dan melihatnya lebih lama, mendengarkan dengan lebih seksama, aku bisa memastikan ia sedang bersenandung.

*

Setiap tahun sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri untuk kembali ke kampung kakek-nenek.

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Atau ayahnya.

♦♦♦

Author: Harun Malaia

Tinggalkan Balasan