Arsip Tag: cerita pendek

malam buta

Siapa Menekan Bel di Malam Buta?

malam buta

Mama histeris lagi. Saat aku bangun kudapati tiga puluh sembilan missed calls darinya. Semua dilakukan sebelum jam lima pagi. Malam buta! Ada juga beberapa pesan yang tak ingin kubuka. Lebih baik segera kutelepon. 

Mama mengangkat pada dering pertama dan suaranya melengking, “Seseorang menyentuh jendela kamarku!” Dia memberi penekanan pada tiap suku katanya.

Kamar Mama di lantai dasar, terdapat dua pasang jendela di sisi timur dan selatan yang memang memiliki tambahan teras. Pagar setinggi pinggang dengan kawat berduri memisahkannya dengan halaman di sekitarnya. Belum lagi beberapa petak rumpun mawar yang sengaja ditanam dan terawat baik sebagai pagar pelindung alami. Jadi rasanya mustahil jika seseorang bersusah payah hanya untuk menyentuh jendela kamar Mama, tapi kubiarkan saja Mama terus bercerita.

“Ada tiga belas telapak tangan, bernoda lumpur! Tiga belas! Aku menghitungnya sendiri. Kurasa ada yang bernoda darah! Di jendela kamarku!” 

Aku terus mendengarkan keluhan Mama sampai sekitar sepuluh menit berikutnya. Ketika dia sudah mulai tenang, kukatakan kalau akan kuperiksa jendelanya selepas makan siang. Sif malamku berakhir nanti jam delapan.

Mama terdengar senang. “Saat kau pulang, bawakan aku dua potong brownies dari kedai Nyonya Meulia. Dan permen.”

Aku mencatat pesanannya, meski aku tak akan membelikannya permen. Sejenak aku berpikir tentang makanan pengganti yang mungkin kubelikan. Kuputuskan akan singgah di toko buah yang jaraknya tak jauh dari kedai Nyonya Meulia.

“Ada lagi yang Mama mau?” 

Mama tak langsung menjawab, tapi aku tahu dia sedang berpikir karena telepon gemerisik selama beberapa waktu. Napasnya terdengar satu-satu.

“Mama?”

Dia berdeham sesekali. Terdengar ketukan-ketukan kecil, mungkin Mama sedang memainkan gagang telepon. Aku baru akan bertanya lagi saat jawabannya tiba. 

“Itu saja.” 

Lalu dia menutup sambungan.

***  

Sudah hampir dua tahun Mama tak berani keluar rumah. Dia selalu ingin keluar, tapi paling jauh lima langkah melewati pintu depan, lututnya mendadak goyah dan dia—dengan sejuta alasan untuk memutar badan, kembali ke dalam rumah. 

“Napasku sesak, mungkin aku perlu duduk-duduk sebentar.”

“Kurasa aku lupa mematikan keran air kamar mandi.”

“Aku lupa ada rekaman telenovela yang belum aku tonton.”

“Kurasa akan segera hujan, lebih baik kita ngobrol di kamarku.”

Meski kami sama-sama tahu bahwa itu semua hanya alasan palsu dan alasan sebenarnya Mama tak ingin keluar adalah dia semakin tak percaya orang-orang di sekitarnya, kami berdua tak membicarakannya lebih lanjut. Mama tak ingin aku mencampuri kecemasannya. Sedangkan aku, meski sedikit merasa berdosa karena mendiamkan hal itu, harus mengakui bahwa aku tak selalu cukup sabar untuk mendampingi kecemasannya. 

Jadi, kami sama-sama diuntungkan kalau mau jujur. 

Ada saja pikiran buruk yang segera menghinggapi Mama jika dia keluar rumah. Hal yang lucu tentunya, mengingat dia sama sekali tak punya pikiran seperti itu jika sudah di dalam rumah. Seakan-akan ada tabir pelindung kasat mata yang membentenginya dari dunia luar. Persis di depan pintu. 

Ya, kurasa Mama mungkin benar-benar merasa seperti itu. Rumah ini gelembung dan Mama senang di dalamnya. Kukatakan gelembung karena tentu saja cepat atau lambat dindingnya akan pecah dan suatu saat Mama harus menghadapi dunia luar sana.

Hanya saja, selama Mama merasa aman dalam gelembungnya, aku tak terlalu banyak pikiran. Dan itu sudah lebih dari cukup.

*** 

Segalanya memburuk dua bulan terakhir. Ketika Mama mulai tak ingin keluar kamar. Bukan lagi rumah.

Ya, aku ingat karena membuat silang merah di kalender gantung. Pertama kali dia menelepon di malam hari dan mengatakan ada seseorang membunyikan bel pintu depan. 

“Tapi ini jam satu malam, Mama.” Dan aku tak mendengar apapun di luar sana. Namun ucapan itu aku telan saja.

“Justru itu. Apa kau pikir hantu sudah bisa membunyikan bel?”

Kami tinggal serumah, kamarku di lantai atas. Aku baru pulang sif sore saat itu dan sejujurnya kepalaku pening dan tak ingin ribut dengannya, tapi karena tak tahan, kukatakan padanya itu semua khayalan dan Mama mendengar sesuatu yang lain. Perempuan itu mendiamkanku selama seminggu, dan baru mau bicara saat aku membawakan sekantung permen kesukaannya. 

Mama juga sudah tak mau lagi pergi beribadah. Dia bilang terlalu banyak cahaya di tempat-tempat itu dan semua mengingatkannya pada kematian. 

“Jika mati aku yakin mereka tak datang di kuburanku.” 

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depannya.

Satu dua kali teman-teman lama Mama menanyakan keberadaannya padaku, karena aku anak satu-satunya. Kucoba menjelaskan dan aku bersyukur setengah mati karena kebanyakan dari mereka memahami keadaan Mama. Pernah beberapa orang datang ke rumah, sekadar duduk-duduk dan bercerita. Pulangnya, Mama meninggalkan pesan singkat di handphone

‘kurasa Nyonya Tulita hanya ingin mencuri bunga anggrekku. dia tak henti-henti meliriknya (oh, aku benar-benar melihatnya—tentunya dia tak menyadari itu). dan saat kami berbincang, dia terus menyinggung betapa indahnya bunga itu. oh, kuharap dia berhenti mengunjungiku.’

***

Salah seorang teman lama Mama, tinggal tak jauh dari kami, adalah dokter spesialis jiwa. Kucoba mendekatinya, dan menceritakan sedikit banyak tentang Mama. 

“Apakah pernah terjadi sesuatu yang membuat ibumu khawatir?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mama memang selalu khawatir. Bahkan sejak ingatan kanak-kanak pun, aku tak bisa mengingat kapan Mama tak khawatir.

“Jangan panjat pohon itu, kau bisa terluka.”

“Jangan berteman dengan Teddy dan Lily, mereka sering mengumpat dan sekali lagi kudengar kau menirukannya, aku akan menaruh cabe besar-besar di dalam roti isimu.”

Atau saat berbincang dengan mendiang Papa. 

“Kurasa anak kita itu memang tak cerdas. Setengah mati aku mengajarinya, tapi mungkin kepalanya benar-benar kosong—yang mana seharusnya bisa diisi, tapi ini kosong yang membuatmu muak. Oh, aku tak tahu harus lakukan apa dengannya.”

“Bisakah kau meminta kenaikan gaji? Kau sudah bekerja di sana berapa lama—dua puluh tahun? Tapi hanya ini saja yang kau bawa pulang.”

Pelan-pelan aku mencoba menceritakan tentang Mama kepada dokter itu, beberapa hal yang terlalu memalukan tentu tak kusampaikan. Perempuan ringkih dengan rambut memutih, tapi matanya bijak seperti telaga tak berpenghuni itu mengangguk-angguk dan sesekali membetulkan kacamatanya yang bertengger di ujung hidung. 

“Apakah memungkinkan jika aku mengunjungi ibumu sesekali?”

Aku ragu-ragu menjawabnya. Pertama, jelas Mama tak akan suka. Kedua, aku tak punya cukup uang untuk membayar dokter ahli jika konsultasi ini dilakukan secara normal. Untuk alasan pertama aku coba utarakan secara perlahan. Beruntung, dokter itu memahami situasiku—dan alasan kedua. 

“Tidak usah bayar. Aku sebenarnya sudah lama pensiun. Dan mungkin ini jalan untukku terus melayani. Aku juga memang sudah lama tak bertemu ibumu.”

Oh, besar hatiku mendengarnya. Jika tak ingat bahwa saat itu kami masih berada di persimpangan jalan, sudah kupeluk erat-erat dokter itu. Alih-alih, aku menggenggam tangannya dan mengucap terima kasih banyak-banyak. 

Karena dokter itu tak bisa serta merta mengunjungi Mama, aku memberikan laporan secara berkala: apa saja keluhan Mama, begitu juga dengan hal-hal baru yang Mama takuti. Termasuk coretan di kalendar yang sekarang sedang kupandangi. 

Mama mulai menelepon di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama melaporkan bel ditekan orang di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama memberhentikan Pascal tukang kebun. Satu bulan lalu.

***

Pascal patah hati saat Mama memberhentikannya. Meski dia tahu kondisi Mama sejak lama, kurasa dia tak menduga kalau dia akan termasuk orang yang pada akhirnya ditakuti oleh Mama. Pascal sebaya denganku, ayahnya yang pemabuk sering menempeleng kepalanya. Kurasa itu mengakibatkan otaknya tak begitu pintar. Untuk urusan itu, kami berdua senasib jadi secara otomatis berteman sejak kecil. Jika ayahnya mabuk dan kembali menempelengnya, Pascal kabur dan bersembunyi di rumahku dan kami berdua akan makan jagung bakar yang dibuatkan mendiang Papa. 

Mama akan mengomel dan bilang bisa jadi suatu saat keluarga kami dibunuh oleh ayah Pascal karena sering turut campur.

Mungkin malaikat lewat saat itu sehingga ketakutan Mama benar-benar terjadi, tidak semua tapi tetap terbukti. 

Suatu sore, ayah Pascal mabuk berat, berkali-kali lipat dari biasanya, datang menggedor pintu dan mencari Pascal. Papa mencoba menenangkannya namun pria itu tak mau tahu dan ketika tak menemukan Pascal di rumah kami—memang saat itu Pascal sedang bersembunyi di tempat lain. Pria itu mulai menarik-narik rumpun mawar Mama dan saat itu Mama meneriakinya ‘orang gila’. Entah bagaimana ayah Pascal bisa tersinggung, mengingat dia mabuk seperti pelaut, dia lantas mengayunkan sekop kebun menghancurkan jendela Mama. Papa yang berusaha menghentikannya tak begitu beruntung karena ayah Pascal terpeleset tanah kebun yang licin dan tak sengaja sekop kebun itu menghujam leher Papa dengan begitu keras. Papa tak tertolong, dia meninggal tersedak gumpalan darahnya sendiri. 

Ayah Pascal mendekam di penjara dan tak pernah kembali. Pascal kemudian diasuh bibinya yang tinggal di seberang sungai, tapi karena bibinya senang mengomel, anak itu tak pernah betah. Ketika dia sudah bisa memasak sendiri, anak laki-laki itu pulang kembali ke rumahnya, hidup sebatang kara. 

Lalu muncul suatu sore di pintu depan rumah kami, “Bisakah aku bekerja membersihkan halaman?” 

Pascal menanyakan setiap rumah pertanyaan yang sama. Jadi, meski tak besar upah yang didapatkannya dari Mama, total lembar-lembar yang ia terima sehabis memotong rumput atau memindah-mindahkan posisi pot bunga dari rumah-rumah yang lain memungkinkannya untuknya hidup. Bahkan sampai sekarang. Saat kami bukan lagi anak kecil yang tertawa-tawa memungut dan menyuap butiran jagung bakar yang terlepas dari tongkolnya.

Jadi saat ia menangis karena diberhentikan Mama, kupikir pasti karena sebab yang lain, bukan karena kehilangan upah. 

“Aku suka padamu. Sekarang apa alasanku datang menemuimu?”

Wajahku panas mengingat momen itu. Aku tak ingat bagaimana Pascal berani mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kami duduk lama di samping mesin cuci tempatku bekerja sebagai pegawai laundry.

*** 

Dokter ahli jiwa itu mengatakan bisa jadi Mama mengidap paranoid. Sedikit yang mengganggu pikiranku adalah karena dia menyebutkan bahwa kondisi ini bisa terus memburuk.

“Dia akan curiga setiap saat. Pada setiap hal. Pada setiap orang.”

“Tapi Mama tak mungkin curiga padaku, kan?”

Aku ingat wajah kasihan yang seketika muncul di wajah dokter tua itu. Kurasa dia tahu yang sebenarnya, meski aku belum cerita. Empat hari yang lalu, Mama menolak makanan yang kusiapkan.

“Aku melihatmu menambahkan sesuatu yang tak biasa ke dalamnya. Apa kau sedang ingin membunuhku?”

Aku memang menambahkan bumbu baru ke dalam supnya. Tapi itu kulakukan karena bumbu yang biasa digunakan sudah tak lagi diproduksi dan tak bisa kudapatkan lagi di mana-mana meski aku berkeliling dan rasanya betisku mau patah. Pascal yang menyarankan untuk menggantikan bumbu itu dengan bumbu lain. 

“Ini rasanya hampir sama. Aku sering pakai ini saat memasak. Harganya juga sedikit lebih murah.”

Aku ingat menangis di sudut dapur sambil memungut pecahan mangkuk yang Mama lemparkan di wajahku saat aku memaksanya makan. Aku tak cerita pada dokter tentang hal itu karena kupikir itu hanya kesilapan Mama. Dan memang kurasa dia tak sepenuhnya curiga padaku. 

Karena selama tiga hari ini dia bersikap manis padaku. Meski tak meminta maaf, tapi dia mengingatkanku untuk mengganti perban di dahiku jika aku habis mandi—tentu saja semua ini dilakukannya lewat telepon. Sempat terpikir olehku apa Mama lupa kalau dia yang menyebabkan kepalaku luka?

Aku juga tak cerita pada dokter kalau Mama sempat menyinggung agar aku berpacaran dengan pria baik-baik, dan dia secara tegas menyebutkan Pascal bukan pria baik-baik. 

“Dia terlihat baik tapi punya darah buruk. Dan darah itu akan mengalir selama dia hidup.”

Aku mengerti mungkin Mama masih dendam perihal kematian Papa. Sehingga aku mendiamkannya. 

Dokter tua itu sempat berpesan sebelum meninggalkan bangkunya–kami sedang duduk-duduk di bangku taman. Dia terlihat menimbang-nimbang sambil melihat-lihat catatan kalendar yang kuberikan padanya. Memang memburuk, demikian ujarnya. 

“Pastikan saja ibumu tidak menggunakan benda-benda tajam di dapur dan semacamnya. Kita tidak tahu apa yang besok-besok ada di pikirannya.” Dokter itu sempat menepuk bahuku pelan. “Jaga dirimu baik-baik, gadis muda.”

Aku tersentuh oleh perlakuannya, dadaku waktu itu menghangat. Diam-diam kucatat ucapannya. 

Benda tajam. 

Ya, akan kupastikan benda itu ada di dekat Mama malam ini. 

Jika tiga belas telapak tangan bikinan Pascal itu tak cukup, mungkin aku perlu mendorongnya lebih jauh… 

***selesai*** 

Parijan dan Tiga Batu Mirah Delima 3

Parijan dan Tiga Batu Mirah Delima

Tidak ada efek istimewa dari batu berwarna merah darah itu. Parijan yakin benar karena dia sendiri yang memungut ketiganya dari kolong jembatan tempatnya kencing berdiri tempo hari. Belakangan memang dia sering kebelet kencing — dokter di Puskesmas pernah bilang mungkin gejala kencing manis, tetapi setelah diperiksa kencingnya baik-baik saja, dokter tersebut bilang mungkin infeksi saluran kemih. Parijan belum periksa lagi setelah obatnya habis. Apalagi kini kencingnya sudah jauh lebih teratur, jadi mungkin obat itu benar berefek. Sedangkan batu tersebut? Mungkin saja warnanya menarik karena kini sering dibersihkan berkala, namun pertama kali mendapatinya, Parijan bahkan berpikir batu itu mirip sekali batu bata yang kebanyakan dikencingi. 

Atau karena mengandung air kemih sehingga punya efek menyembuhkan? 

Entahlah. Parijan pun tak mengerti. Yang jelas, semenjak seorang kakek tua dengan keluhan lemah syahwat berkoar-koar bahwa tiga batu mirah delima tersebut yang telah menyembuhkannya, Parijan mendapati barisan orang telah antre di halaman rumahnya bahkan sejak pagi buta. 

“Sholat subuh dulu, Pak, Bu.” Demikian biasanya dia menyapa. 

Sepulang dari masjid barisan tersebut bahkan telah mengular keluar pagar. Istrinya sampai kebingungan. 

“Gula pasir sudah habis, Pak,” adunya. 

Istrinya memang biasa menghidangkan teh dan kopi untuk mereka yang menunggu. Parijan garuk kepala dan memberi beberapa lembar sepuluh ribu. 

“Mungkin kita harus batasi pasien setiap hari, Bu.”

Menyebut pasien juga bukanlah idenya. Adalah Pak Karto, tetangga dari kampung sebelah yang mengaku-aku sebagai pasiennya. Meski testimoninya tidak sedahsyat kakek lemah syahwat, Pak Karto yang paling sering bercerita dan menyebarkan info khasiat batu mirah delima. 

“Saya sudah lama jadi pasien Parijan. Sudah jauh lebih enakan.” 

Keluhannya adalah encok menahun. Yang Parijan sendiri yakin akan jauh lebih berkurang sekiranya Pak Karto mau menurunkan berat badannya sedikit. 

Membatasi pasien juga bukan ide cemerlang rupanya. Begitu tahu pasien dibatasi dua puluh orang saja setiap harinya, mereka antre jauh lebih awal dari biasanya. Malam itu, saat Parijan sedang memeluk istrinya selesai malam Jumat, mereka mendengar pintu pagar digeser. Bersungut-sungut mengencangkan sarungnya, Parijan turun dari tempat tidur dan membuka pintu depan. 

“Pagi, Pak Parijan.” Sudah tiga orang duduk tenang di teras rumahnya. Salah satunya tampak asyik mengoles losion antinyamuk di lengannya. 

Di luar semua rutinitas baru yang kadang mengagetkannya itu, Parijan sebenarnya bersyukur. Dia memang tidak pernah meminta dibayar banyak untuk tiap pasien yang ditolongnya. Saat dia masih jadi tukang pijat, dia menaruh tarif lima puluh ribu. Dengan terapi batu mirah delima, dia hanya menambahkan biaya dua puluh ribu. Itu pun sudah diberi bonus teh atau kopi dan kudapan ringan. 

Istrinya yang sedikit kerepotan. Wanita itu sampai harus mencari rekan tambahan yang bisa membuat beragam camilan. Ibu-ibu tetangganya dengan senang hati membantu, apalagi saat tahu setiap kue dihargai dua ribu perak. 

Mungkin saja karena tergolong murah, pasien terus berdatangan. Padahal kalau mau saling jujur, terapi batu mirah delima Parijan sebenarnya tidaklah luar biasa. Awal ceritanya, Parijan baru jatuh dari motor, pergelangan kirinya terasa sakit jika dipaksa memijat kencang; sudah beberapa pelanggan mengeluhkan kalau pijatannya kurang maksimal. Jadi selama beberapa hari Parijan memutar otak agar tetap bisa bekerja, apalagi saat obat penghilang nyeri dari Puskesmas tak begitu manjur dirasakannya. Hingga pagi itu, istrinya tak sengaja menambahkan air panas terlalu banyak untuk mandi. Parijan merasa nyerinya berkurang saat merendam tangannya di air suam-suam kuku.

Dicobanya melumuri balsam pijat, tapi tak sama rasanya.

Pun saat menempel beberapa lembar koyo cabe, yang ada lengannya melepuh.

Tak mungkin merendam tangannya terus-terusan saat memijat. 

Lalu istrinya iseng membuat kompres air hangat dengan plastik bening bekas pembungkus gula pasir, memang enakan, tapi tetap sulit dipakai bekerja. 

Sore sudah menjelang saat akhirnya Parijan berhasil menemukan pengganti kompres air hangat yaitu koin logam yang dibakar. 

Hanya saja istrinya tak suka dia membuang uang — maka dicarikannya semacam pengganti logam atau arang. Parijan sampai tertawa saat istrinya mengusulkan menggunakan kayu bakar. 

“Ibu pikir saya Nabi Ibrahim?”  

Coba dan gagal terus terjadi selama beberapa hari. Selama itu pula pasien pijat Parijan terus berkurang. Parijan telah mencoba mengganti semua bahan untuk ditempel di pergelangannya. Daun gatal ditumbuk. Kunyit. Bawang. Jahe. Cabe rawit. 

Batu.

Sebelumnya sudah beberapa batu dia pakai, namun tak banyak dari batu itu yang tahan dibakar. Beda dengan batu mirah delima ini. Hanya dipanggang sebentar, panasnya merata dan tahan lama. Ukurannya yang agak gepeng seukuran biji salak juga sangat pas. Benar-benar mujur. Parijan minta istrinya menempel tiga batu tersebut di pergelangannya, membalutnya dengan secarik kain. Nyeri di lengannya berkurang dan dia kembali dapat memijat dengan kekuatan yang memuaskan. 

Lalu seorang pelanggan yang sedang dipijat, iseng menanyakan kenapa pergelangan tangannya dibalut. Pelanggan itu sendiri kemudian yang ingin mencoba terapi tersebut.

“Yah, siapa tahu nyeri pinggang saya juga berkurang, kan, Pak?” kekehnya saat itu. 

Parijan ingat sampai harus meminjam selendang istrinya saat itu, supaya bisa membalut pinggang si pelanggan, saking besarnya. 

Ya, itu pinggang Pak Karto. 

Beberapa mantri dan suster dari Puskesmas jadi lebih sering berkunjung. Mereka banyak bertanya. Parijan menjawab seadanya. 

“Efeknya apa saja ya, Pak?”

Parijan mengangkat bahu. “Yah, jujur, saya kurang tahu, Pak Mantri. Selama ini cuma untuk mijet.” 

“Tapi katanya bisa merontokkan batu ginjal, lho,” timpal ibu suster satunya. Dia hanya datang menemani sebab Parijan tak menerima pasien perempuan. 

“Wah, saya nggak pernah bilang begitu, Bu.” 

Tidak menerima pasien perempuan sempat jadi sedikit masalah. Parijan sempat diprotes sok alim, padahal pasien-pasien itu sudah lama antre. 

“Kan tetap ditemani pas mijetnya, Pak. Jadi nggak berdua-duaan saja.” 

“Saya nggak bisa mijat perempuan, maaf…” Parijan sampai harus berulang-ulang menjelaskan. 

Singkat cerita, meski tak pernah ada penjelasan yang pasti tentang efek batu mirah delima milik Parijan, kabar tentang khasiatnya sudah menyebar ke mana-mana. Warga kampung sebelah, kanan dan kiri semakin ramai berkunjung. Buntutnya, Parijan terpaksa membeli beberapa pasang kursi plastik untuk ditaruh di depan teras. Sekali waktu, dia juga dibantu beberapa orang tetangga menebang rumpun-rumpun bambu yang menyemak di sudut halaman. Sisa potongannya yang besar dia pakai untuk membuat balai-balai kecil sebagai tambahan tempat duduk. 

Karena keramaian yang terus bertambah di sekitar rumah Parijan, warga kampung juga ingin kecipratan. “Saya boleh dong numpang jualan cendol, Pak.” Meski diucapkan dengan nada bergurau, sebenarnya Mbok Minah serius. 

Jualan cendol Mbok Minah segera disusul camilan-camilan lain yang dijajakan warga. Sekitar jam tujuh pagi mereka mulai datang bergantian. Menjelang siang biasanya ada yang berjualan nasi bungkus. Meski demikian, Parijan tetap menyediakan teh kopi gratis. Sungguh layanan yang bikin betah.

Jika pun ada yang masih dikeluhkan pasien, tentu sinyal internet yang tidak bagus di pelataran rumah Parijan. Malah bisa dibilang tidak ada. Akibatnya mereka terpaksa saling mengobrol sesama pasien. 

“Saya sudah coba bekam tujuh kali. Iya, sampai saya kurang darah katanya. Tapi belum ada perbaikan.”

“Coba ke sinse yang sana sudah, belum?”

“Toko buku yang di seberang Pasar Suka Untung sudah lama tutup?”

“Ya ampun, ternyata sampeyan cucunya Pak Broto? Yang pernah tinggal di Jalan Kawi? Yang suka diajak ngangon kambing?”

“Kalau memang cocok, mulai minggu depan sudah boleh kerja di tempat saya dulu anaknya. Daripada nganggur nunggu pengumuman pegawai negeri.”

Parijan tidak punya anak. Jadi riuh rendah pasien dari subuh hingga petang menjelang tidak terlalu diributkannya. Yang jadi persoalan justru ketika suatu hari, seseorang dari surat kabar dan televisi datang berkunjung. 

“Kita ingin meliput metode pengobatan Bapak. Nanti Bapak masuk televisi.”

Parijan menjelaskan sebisanya. Dia menolak liputan televisi karena membuatnya gugup dan beberapa kali harus permisi kencing. Namun surat kabar tetap meliputnya, beberapa orang yang jadi pasien juga dengan senang hati berkomentar sebagai tambahan bahan tulisan. 

Tak pelak beberapa waktu setelahnya, semakin ramai warga berkunjung, memang tidak semuanya sedang sakit, kebanyakan hanya penasaran. Di antara mereka terdapat beberapa orang dari bagian perizinan usaha dan yang mengaku peneliti obat-obatan. Mereka turut bertandang. Mereka sedikit mempermasalahkan ketiadaan izin usaha Parijan. 

“Bapak sudah melayani berapa banyak pasien? Tapi tidak sedikit pun usaha untuk mengurus perizinan?”

Parijan manggut-manggut, dia membisiki istrinya untuk mengingatkannya mendaftar usaha pijat.

“Bukan usaha pijatnya, Pak. Bapak kan sudah melayani dengan batu mirah delima. Harus dicantumkan dong keterangannya. Mengobati penyakit apa. Efeknya seperti apa. Berapa lama jangka waktunya. Biar jelas! Biar tidak ada yang merasa tertipu setelah datang kemari! Puskesmas saja sampai sepi gara-gara usaha Pak Parijan.”

Beberapa pasien yang sudah menunggu lama protes. Pasalnya orang-orang tersebut tidak antre dari subuh. Tidak mau kalah, orang dari peneliti balas mengancam. “Bapak-Ibu yang tidak tahu urusan diam dulu, ya? Bisa saja batu ini beracun. Punya efek samping jelek untuk tubuh Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Siapa yang mau tanggung jawab?!”

Pasien rata-rata diam. Lirih dalam gumam. 

“Begini saja Pak Parijan. Batunya kami pinjam dulu. Akan kami teliti. Nanti kalau sudah jelas kandungan dan efeknya, kami kembalikan kepada Bapak.”

“Pak Parijan juga sebaiknya hentikan dulu usahanya sampai surat izinnya keluar. Harus jadi warga negara yang baik, dong, Pak. Malu sama warga yang berkunjung.”

Bapak dari perizinan memberikan selembar kertas. Parijan menghitung sekitar sepuluh atau sebelas poin syarat yang harus dia ajukan. Diangsurkannya surat tersebut kepada istrinya. 

“Jadi batunya dibawa sekarang, Pak?” Parijan bertanya memastikan.

“Iya dong, Pak. Kita nggak punya waktu untuk bolak-balik sejauh ini. Nanti kalau sudah ada hasilnya, kita kabari.” Bapak peneliti menyodorkan formulir. “Bapak isi dulu surat keterangan pengambilan sampel ini. Pokoknya ya berdoa saja hasilnya bagus. Jadi Bapak bisa lanjut usahanya lagi.”

Sudah sekitar empat bulan berselang sejak mereka datang. Parijan belum mendengar kabar tentang batu mirah delimanya. Satu demi satu pasien yang dulu ramai mulai hilang, terlebih karena mereka rata-rata hanya penasaran dengan batu yang katanya mujarab itu. Beberapa menyayangkan kenapa Parijan dengan mudahnya menyerahkan batu tersebut. Beberapa yang lain juga sedikit kecewa karena kini lapaknya jadi sepi. 

Yang bertahan hanyalah pasien pijat yang memang biasa dilayani Parijan. Apalagi kini setelah pergelangan tangannya benar-benar pulih, pijatannya kembali enak. Hasil melayani pasien batu mirah delima selama kurang lebih lima bulan juga lumayan banyak berhasil dikumpulkan oleh istrinya yang memang terkenal hemat. Dibelikannya alat-alat pemanggang kue dan mulai berjualan keliling kampung, mendatangi pelanggan yang dulu kerap memenuhi halaman rumahnya. Karena memang penganan bikinan istri Parijan enak, pembelinya tetap ramai. 

Sore itu, saat Parijan sedang tidak ada pasien pijat, dia menemani istrinya berkeliling mengantar kue. Disapanya wajah-wajah yang tak asing. Sesekali beberapa dari mereka masih bertanya, “Apakah sudah ada kabar batu mirah delima?”

Parijan maupun istrinya hanya menggeleng. Meski kemudian dalam perjalanan pulang, Parijan kembali kebelet kencing di tepi jembatan, dia melihat sesuatu berwarna mencolok di bawah sana. Persis saat pertama kali dia melihatnya. Tiga batu berwarna merah menyala. Mirah delima.

Di Tepi Sungai 5

Di Tepi Sungai

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Namanya Hena. Aku tidak ingat persis kapan pertama kali mengenalnya. Sejauh yang bisa kukenang, ia salah satu teman bermain jika aku sedang liburan ke kampung kakek-nenek. Ia anak tetangga kakek-nenek. Dua rumah di sebelah kanan. Tepat di penghujung jalan.

Aku dan Tian — sepupuku,  terbiasa melintasi rumahnya untuk mencapai anak sungai kecil tempat kami mencari udang ataupun ikan kecil yang mabuk saat air pasang naik bercampur dengan hujan deras yang turun saat malam hari. Kadang Hena akan ikut turun ke tepi sungai, tapi lebih sering ia hanya memandangi dari tepian rumah, duduk di teras, menggelantungkan kedua belah kakinya yang telanjang.

Hampir semua rumah di kampung adalah rumah panggung. Sehingga bagi kami yang hanya sepinggang orang dewasa, kolong rumah adalah tempat bermain yang luar biasa menyenangkan. Sebagai umpan untuk memancing, biasanya kami akan mencari cacing. Mereka tidak suka terkena sinar matahari jadi tempat terbaik untuk menemukannya adalah di bagian bawah rumah, tempat terakhir cahaya akan masuk. Tian pandai sekali mencari cacing. Dalam setiap bongkahan tanah yang ia cungkil, dengan sigap ia akan menemukan satu-dua ekor cacing tanah yang tidak mudah untuk ditangkap. Selain karena memang licin, rasanya sedikit geli jika belum pernah memegangnya. Di antara gumpalan tanah liat, kau sebenarnya tidak terlalu merasakan gerakannya kecuali jika ia benar-benar telah menyentuh telapak tanganmu. Atau menjalari lenganmu. Aku pernah sekali sampai terpekik ketika alih-alih melarikan diri dari tangkapanku, cacing itu menggeliat naik ke atas siku.

Kurasa itu pertama kali aku mengenal Hena. Mungkin mendengar teriakanku, ia dengan sigap menelungkup di teras rumahnya, menjulurkan leher dan kepala, mengintip ke bawah rumah. Aku kembali berteriak karena gerakannya yang tiba-tiba itu membuatku seperti melihat kepalanya melayang dari atas dan putus jatuh ke bawah. Tapi nyatanya kepala itu hanya menggantung dan berayun-ayun. Dalam posisi terbalik aku bisa melihat kalau ia tersenyum lebar. Gigi depannya sedang tanggal dan gigi penggantinya baru tumbuh setengah.

Tian hanya menjulurkan lidah padanya. Tawa Hena pecah. Ia kemudian menarik kepalanya dan sejurus kemudian kami kembali melihat sepasang kakinya yang telanjang, bergoyang-goyang. Ia sedang berdendang.

*

Setiap kali aku kembali ke kampung pada liburan berikutnya, aku akan melihat kalau Hena menjadi orang yang berbeda. Sebenarnya wajar saja, karena aku sendiri tidak pernah benar-benar mengingatnya, dan kurasa anak-anak seperti kami yang sedang dalam masa tumbuh akan sekali dua kali terlihat tidak normal bentuk tubuhnya.

Lambat laun, aku menyadari bahwa meski kami sering sekali melintasi rumahnya, atau bermain di sekitar sana, Hena jarang sekali bergabung. Ia biasanya akan langsung menghilang ke dalam rumah jika ada yang menegur atau mengajak bicara. Kurasa itu alasan Tian secara konsisten hanya menjulurkan lidah atau mengangkat alis, ataupun sedikit membelalak setiap kali kami berpapasan dengannya. Hena tidak lari jika diperlakukan begitu, ia hanya akan balas mengikik. Atau seperti yang kukatakan sebelumnya, ia bisa saja akan turut serta turun ke tepi sungai, sekedar membuat keruh air tempat kami mencari udang.

Suatu kali, aku datang ke kampung kakek-nenek tidak dalam rangka liburan. Tapi pernikahan Paman Rizal, adik terakhir ibu. Aku ingat suasananya jadi berbeda sekali. Mulai dari rumah yang terasa begitu ramai dengan handai taulan yang juga datang dari jauh, hingga kenyataan bahwa di pagi hari, aku akan lebih sering bermain sendiri. Karena Tian tidak sedang libur, aku terpaksa bermain dengan sepupu-sepupu lain. Mereka anak kota yang mungkin saja asyik sebagai teman jika sedang di kota, tapi ketika di desa, mereka semua jadi membosankan dan memuakkan. Salah satu dari mereka, bahkan tidak lepas bermain di gawai sepanjang hari.

Aku sendiri anak kota, tapi selalu merasa girang jika bisa bersentuhan langsung dengan alam. Kuingat ketika Tian pertama kali membantuku membuat layang-layang, dan benangnya putus ketika kami adu gelasan, kami semua berlari mengejar layang-layang tersebut sambil tertawa-tawa menerabas semak-semak penuh lintah. Sampai di rumah aku dimarahi ibu karena menurutnya anak perempuan tidak selayaknya berbuat seperti itu. Tian juga dimarahi. Tapi seperti biasa, Tian hanya tersenyum dan mengedip nakal padaku, seakan janji bahwa besok kami akan main lagi. Dan aku sendiri juga tahu bahwa ibu tidak benar-benar marah padaku, ia hanya kesal karena rok yang baru ia berikan minggu lalu robek tersangkut kayu ketika aku berlari dalam ranting dan perdu.

Untuk itu, pagi hari pada saat penghuni rumah asyik mempersiapkan pesta, aku menyelinap keluar setelah menghabiskan sarapan. Sekedar berjalan-jalan di setapak yang tepiannya ditumbuhi rumput setinggi mata kaki, atau menendang-nendangi rumpunan putri malu yang rajin tumbuh di sekitar pohon pisang yang banyak berkerumun di tepian telaga.

Saat itu aku melihat Hena. Ia tidak sekolah.

Hampir aku meneriakinya untuk mengajak bermain, namun ingat bahwa ia akan segera menghilang di balik pintu, aku hanya memberi senyum padanya. Kurasa Hena mengingatku, sebagai teman Tian, karena ia membalas senyumku. Kali ini, giginya sudah tumbuh dengan rapi. Bahkan sangat rapi.

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai naik ke teras rumahnya, lalu duduk di sampingnya, mendengarkannya berdendang. Ia tiba-tiba menggamit punggungku. Semula aku tidak mengerti, namun kemudian aku berbalik dan merasakan tangannya telah ada di rambutku. Rupanya ia ingin membuat jalinan pada rambutku yang panjang sepunggung. Aku senang saja. Sambil menjalin rambut, Hena terus berdendang.

Tidak benar-benar berdendang sebenarnya, sebab ia hanya seperti mendengung. Tidak ada kata-kata yang benar-benar terucap.

Lama setelah hari itu berlalu, aku baru tersadar. Hena tidak pernah bicara.

*

Setelah lulus SD aku jarang menghabiskan liburan di kampung kakek-nenek. Alasan terkuatnya jelas karena aku memang lumayan sibuk dengan sekolah. Tidak seperti sekolah dasar yang ketika libur tidak ada tugas yang benar-benar penting untuk dikerjakan, sekolah menengah bisa sangat menyebalkan karena alih-alih bisa liburan, para guru seperti kerasukan setan, mereka akan memberikan berlembar-lembar tugas yang harus segera dikumpulkan ketika awal minggu semester baru dimulai. Sehingga kerap kali liburan justru seperti kontes mengerjakan tugas. Sejujurnya aku rindu sekali bisa berlibur.

Alasan lain aku tidak lagi ke kampung kakek-nenek adalah karena Tian sudah tidak lagi seperti dulu. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya saat akhir kelas tiga SMP. Waktu itu kakek sakit keras dan kami sekeluarga menjenguknya. Aku bisa bersumpah bahwa tidak ada anak laki-laki di kelasku yang tumbuh sebesar Tian. Ia bahkan sudah melebih tinggi Ayah. Sore harinya saat aku turun hendak mandi sebelum magrib aku berpapasan dengannya saat ia baru kembali dari sungai selepas mencari ikan. Ia hanya mengenakan celana training lusuh dan singlet yang aku yakin sebelumnya berwarna putih, namun karena terlalu banyak dicuci ataupun dipakai, atau mungkin keduanya, kini berwarna kekuningan pudar. Ia seperti biasa mengangguk dan memberikan senyum khasnya. Aku justru yang tidak bisa bersikap biasa melihatnya seperti itu, aku hanya memberikannya tatapan datar dan bergegas memasuki kamar mandi.

Itu terakhir kali aku melihat Tian.

*

Lalu hari itu datang.

Aku sedang menjalani kuliah Fisiologi ketika handphoneku bergetar pelan menandakan sms masuk. Aku tidak memeriksanya sampai pelajaran selesai dan ketika membacanya, kurasakan lututku lemas sekali. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaanku saat itu. Aku merasakan sebagian jiwaku pergi dan kembali sesuka hati, membuatku tidak benar-benar utuh. Membuatku runtuh.

Aku sampai harus diantar pulang ke rumah.

Tian menghilang.

Kapal ikan yang biasa membawa hasil tangkapan laut yang sering melintasi kampung kakek-nenek mengalami kecelakaan menabrak karang. Saat itu memang musim badai. Tidak ada yang selamat dalam musibah laut itu.

Begitu juga Tian yang sedang ikut melaut dalam kapal itu.

Aku tidak pernah hadir di rumah kakek-nenek dalam suasana duka. Bahkan ketika kakek meninggal dua tahun sebelumnya, aku tidak hadir. Kali ini, untuk pertama kalinya, rumah dan kampung kecil tempatku memastikan hanya ada bahagia di luar sana, memberiku rasa dingin yang tidak dapat kumengerti. Untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi dewasa itu tidak menyenangkan sama sekali. Aku bisa melihat bayanganku memudar dan terbawa angin malam, menyusuri tepian sungai tempat kami biasa mandi setelah mencari udang. Sedetik pun aku tidak pernah bisa menerima Tian pergi dengan cara seperti itu.

Mayat Tian tidak pernah ditemukan. Kematiannya diikhlaskan oleh seluruh anggota keluarga setelah lewat tenggat waktu pencarian yang dilakukan. Sore itu, sehabis acara membaca doa di rumah, aku berjalan sendirian menyusuri jalanan di tepian sungai, sekedar melihat daun-daun keladi yang bergoyang-goyang tertimpa butiran gerimis. Aku bisa melihat air sungai keruh jauh di depanku. Menderu. Seluruh masa kecilku seperti berkelabat jelas di depan mataku.

Saat itu aku melihatnya.

Hena.

Ia sedang berdiri di tepi sungai. Menendang-nendang air yang keruh.

Aku seakan tak mengenalnya namun sekaligus merasa sebagai yang paling paham perasaannya saat itu. Saat ia berbalik, aku sampai terkesiap, tidak pernah aku melihat wajah seteduh itu. Ia seperti makhluk penghuni air yang muncul dari keremangan batuan sungai dan menjelma sebagai manusia dalam rinai sore itu.

Hena telah tumbuh menjadi wanita yang cantik sekali.

Seperti merasakan pandanganku, ia mengangkat wajah ke arahku.

Sore itu, dalam gerimis yang turun perlahan seumpama kabut yang menyelimuti sungai, dalam cahaya matahari yang hampir membenamkan diri, aku melihat Hena menangis.

*

Kejadian berikutnya aku ingat dengan persis, sebab sejak tanggal kematian Tian yang kuberi silang merah di kalender, aku berusaha mengingat semuanya dengan baik dan runut. Tapi memang sudah seharusnya itu yang kulakukan karena jadwal kuliahku sudah seperti teror yang tidak mengenal ampun. Sedikit saja lengah dan berleha-leha, akan ada berlembar-lembar bahan pelajaran yang terlewatkan dan habislah aku menganga saat kuliah disampaikan. Kurasa keputusan kuliah di Fakultas Kedokteran adalah sesuatu yang mungkin saja akan kusesali di kemudian hari. Mungkin.

Enam bulan setelah kepergian Tian, sesaat setelah menghabiskan makan malam, aku mendengar ayah dan ibu berbincang di ruang tamu. Mereka baru saja menerima telepon dari kampung kakek-nenek. Selayaknya kampung kecil, seluruh berita dan gosip yang beredar akan dengan mudah tersebar. Tanpa rasa ingin tahu aku berlalu dan ingin masuk ke kamar namun telingaku terlanjur menangkap kalimat itu.

Hena hamil besar.

Seseorang telah terperdaya oleh keindahan tanpa dosa dan suara itu.

Untuk kali kedua aku merasakan sergapan rasa dingin yang begitu menyiksa. Mengelilingi leher dan pundakku. Membuatku lemas dan rebah.

Aku ingat benar diopname dua hari karenanya. Seluruh teman sekelas menertawakannya. Tentu saja, sebagai calon dokter, kelelahan yang tidak bisa dijelaskan adalah kelemahan yang tidak bisa diterima. Aku sendiri tidak memberi penjelasan pada siapa pun. Bahkan ayah dan ibu.

Karena tidak ada yang benar-benar tahu.

*

Dua minggu sebelum pernikahan, akhirnya diputuskan selain di rumahku dan Adam, pesta juga diselenggarakan di kampung kakek-nenek. Seperti biasa, alasan mereka sebenarnya tidak bisa diterima namun akan selalu dimaklumi. Katanya, mereka orang kampung akan sangat bangga mengetahui bahwa salah satu cucu asli kampung telah menjadi dokter dan pada akhirnya menikah.

Aku tidak keberatan selama Adam tidak keberatan. Ia tanpa diduga justru senang dengan ide tersebut. Ia mengatakan bahwa sudah lama sekali ingin melihat kampung halamanku, yang kutahu sama sekali tidak benar. Sampai saat ini aku tetap melihat Adam sebagai anak kota yang asyik jika sedang di kota, namun besar kemungkinan ia akan membosankan setengah mati jika harus berada di desa. Bukan salahnya kurasa. Ia hanya ingin membuatku senang. Lagipula seumur hidup aku hanya mengenal satu orang yang bisa membuatku betah tinggal di desa.

Maka untuk pertama kalinya aku kembali ke kampung dengan status yang baru. Istri seseorang. Dokter. Meski kurasa keduanya tidak mengubahku sama sekali. Jauh di dalam sana, ada hal yang tidak akan pernah berubah jika bicara tentang kampung ini.

Sore itu, aku mengajak Adam menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan-jalan kecil yang sekarang semakin sempit saja rasanya. Kuceritakan padanya bagaimana aku dan Tian biasa berlarian mengejar kambing saat sore tiba. Kutunjukkan padanya rumah-rumah tempat biasa kami berjongkok dan mengendap-endap mencari cacing untuk umpan pancing.

Kemudian tentu saja kami sampai ke penghujung jalan, tempat anak sungai mengalir tenang. Kali ini airnya tidak keruh. Tadi malam memang tidak turun hujan. Aku menunjuk pepohonan tempat kami biasa duduk dan melemparkan kail.

Saat itulah aku melihatnya.

Seorang anak laki-laki duduk memancing. Ia tenang sekali duduk di cabang pohon yang menjulur ke atas air mengalir. Kakinya bergoyang-goyang pelan. Saat diam dan melihatnya lebih lama, mendengarkan dengan lebih seksama, aku bisa memastikan ia sedang bersenandung.

*

Setiap tahun sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri untuk kembali ke kampung kakek-nenek.

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Atau ayahnya.

♦♦♦