Arsip Tag: cerpen harun malaia

menuju akhir

Menuju Akhir!

Hei, hei! Beberapa hari lagi menuju akhir 2024, dan meski aku nggak berhasil benar-benar nulis tahun ini, aku senang bisa mempelajari beberapa hal baru, salah satunya Bahasa Arab! Aku memang belum bisa bicara lancar seperti yang aku inginkan, tapi aku cukup senang karena setidaknya tahun depan aku punya tujuan memperbaikinya, ehehe.

Postingan kali ini, untuk kembali ngajak #nulisbareng ya. Mirip dengan event-event sebelumnya, sederhana aja sih: silakan nulis cerpen, share laman yang bisa aku akses, dan kalau berkenan akan aku pertimbangkan untuk dapat insentif nulis. Kalau di flyer aku tulis ‘kalau beruntung’ sih, karena kadang semua entry bagus-bagus, sehingga aku tutup mata terus hitung kancing (becanda).

Info event kali ini ada di gambar ya. Silakan masukkan pranala/link tulisan kalian via komen, biar aku (dan yang lain, sekiranya mereka mau ikutan baca) bisa baca sebelum tenggat berakhir. Kalau ada yang kurang jelas, langsung ditanyakan saja, ya! Selamat bersenang-senang menulis, selamat menuju akhir tahun, kawan!

*btw Ambon hujan lagi beberapa hari ini, hiks.

menuju akhir
Kopi yang Meledak 3

Kopi yang Meledak

Bagi mayat-mayat hidup itu, waktu minum kopi adalah kebahagiaan yang tak terganti. Untuk sesaat yang tak lama, mereka akan kembali merasakan jadi manusia. 

Dua kali sehari: jam tujuh pagi, dan sore saat matahari hampir terbenam. Masing-masing dua jam. Itu adalah waktu yang diizinkan untuk minum kopi. Meski sebenarnya mereka ingin minum lebih banyak dari itu, sayangnya, itu bisa berarti kematian—dalam arti harfiah. Baik dari sisi manusia, maupun mereka nantinya. Akan kujelaskan detilnya sebentar lagi.  

“Kau ingat mayat Alfred tempo hari? Astaga. Aku bersumpah belum pernah ada yang lebih hancur lebur daripada itu,” cetus Ernesto. 

“Bahkan hatimu?” 

Olokanku itu berbuah tonjokan kecil di perut. Aku tergelak melihat Ernesto yang cemberut. 

“Jikapun aku jadi mayat hidup—amit-amit!” dia lekas mengetuk meja dapur tiga kali,”aku yakin hatiku tak akan pernah benar-benar mati.”

Ya, semoga saja. Aku berdecak dalam hati. Aku yang mati kalau harus melayani sendiri.

Tak banyak waktu untuk bercanda. Kulirik jam bulat besar di depan palang pintu. Tiga puluh menit lagi. Aku bahkan sudah bisa mencium baunya! Mereka pasti sudah berjejer di gang-gang sempit tempatnya biasa bersembunyi. Mulai dari Jalan Q, hingga Lorong T, mayat-mayat hidup itu menguasai jalanan ibukota. 

Ernesto sepertinya mencium aroma yang sama. Dengan gerak otomatis, dia membuka pintu lemari sudut kanan atas. Menarik peti aluminium dan mengeluarkan masker standar untuk melayani sarapan mayat hidup. Aku sendiri merobek bungkusan paket hitam yang bersandar sejak tadi di meja dapur. Sepasang hazmat berwarna kelabu. Kutunggu sampai Ernesto memberikan masker. 

Seperti robot, kami berdua mengenakannya lapis demi lapis. 

Maskerku beraroma lemon, untuk sesaat aku merasa nyaman. Meski sebentar lagi, aroma hazmat itu pasti mengalahkannya. 

Bau bangkai trenggiling. Demikian tertera di bagian belakang leher. Ernesto tergelak.

“Saat kupikir mereka tidak bisa lebih kreatif!”

Dua tahun sudah, virus aneh menyebar di udara dengan cepat. Mayat bergelimpangan tanpa sempat dikubur. Seminggu setelahnya, mereka bangkit dan mulai mengorek-ngorek sampah. Dan ketika sampah habis, sesuai dugaan, mereka mengejar makhluk hidup. Mulai dari hewan, kini juga manusia. Kota makin bau tak terperi. Manusia yang berhasil bertahan, mengungsi di balai kota, membangun benteng pertahanan terakhir yang mereka sebut Gelembung. 

Nama yang tak bisa lebih pas.

Dalam Gelembung, para ilmuwan berlomba dengan waktu, menemukan formula masker yang pas untuk mencegah penularan. Vaksin tak mungkin dilakukan mengingat hampir semua hewan coba mati mengenaskan—untuk kemudian bangkit di hari ketujuh, sungguh menjengkelkan. 

Satu-satunya yang bisa menenangkan mayat-mayat itu, adalah kopi. 

Itu pun diketahui tanpa sengaja. 

Suatu sore, mayat-mayat itu menyerbu sebuah kafe yang dikelola sepasang kakek-nenek rabun senja. Mungkin mereka sudah bosan hidup jadi membuka kedai adalah pilihan yang cerdas. Drone patroli kebetulan melintas dan segera mengirimkan sinyal darurat untuk menyelamatkan dua sosok panas—drone tersebut memindai suhu tubuh. Gelembung menangkap sinyal itu dan segera melepaskan dua tim penyelamat. 

Untuk kemudian membatalkannya. 

Karena semenit kemudian, drone mengirimkan pesan selusin sosok panas sedang berkumpul di kedai itu. Tiga menit kemudian, pesan sepasang sosok panas kembali masuk. Dan saat film dalam kamera drone tersebut diperiksa, diketahui bahwa kakek-nenek itu menyuguhkan kopi. 

Mayat-mayat di kafe itu sempat menunjukkan kehidupan untuk sesaat. Lalu mati, untuk selamanya. Berita itu segera menggemparkan kota. Yang jadi masalah tentu saja, mencari biji kopi dalam jumlah yang banyak, sebelum seisi kota terkontaminasi. Harga kopi melonjak drastis. Tak ada yang mengalahkan pasarannya yang jauh di atas emas permata. Belum lagi, sekali pun biji kopi berhasil didapatkan, mencari formulasi seduhan kopi yang benar-benar dapat membunuh mayat hidup, susah sekali. 

Satu sendok teh kopi. Satu sendok teh gula. Air panas suhu 95 derajat Celcius tepat—tidak kurang tidak lebih. Disajikan dengan susu tiga sendok makan. 

Sepertinya sederhana, sampai kemudian terbukti bahwa racikan kopi yang salah, akan menyebabkan mayat-mayat hidup itu kebal kopi untuk beberapa waktu. Laboratorium Gelembung menemukan bahwa waktu kebal terlama yang pernah tercatat adalah dua puluh sembilan hari. Mayat hidup tak akan bisa dihancurkan setelah mereka kebal kopi, dan selama itu pula, mereka adalah penyebar virus yang paling ganas.

Mayat-mayat hidup itu pun sepertinya mengerti bahwa kopi, dapat menghidupkan mereka untuk sesaat, karena mulai banyak di antara mereka berbaris untuk merasakan beberapa menit menjadi manusia, lalu meninggal untuk selamanya. 

Tentu saja jika racikan kopinya tepat. Dan di sinilah, kami berdua berperan. 

*** 

Aku dan Ernesto, adalah dua peracik kopi yang lulus dengan nilai terbaik. 1000/1000. Itu nilai Ernesto. Aku sendiri hanya keliru satu kali saat latihan. Peracik yang lain masih terlalu jauh di bawah kami. Gelembung tak berani mengambil risiko. Maka, di sinilah kami setiap hari. 

Dua kali sehari, di kafe mobile: MINUM KOPIMU, LEDAKKAN KEPALAMU. 

Selebaran dibagikan, dan ajaib, mayat-mayat hidup itu cukup banyak yang memilih ‘kematian’. Padahal dalam brosur itu jelas tertera: kopimu dapat menyebabkan kembalinya fungsi kesadaran selama 2 menit 47 detik, dan selanjutnya, kau akan mati selamanya. Mungkin Ernesto benar, masih ada hati yang tersisa pada mayat-mayat itu. 

Drone pengintai pagi ini masuk lewat pintu khusus di atas jendela, sistem suaranya menyala otomatis. Benda itu terbang dengan dengung nyamuk yang malas di atas kepala Ernesto. 

“Selamat-pagi,” ucapnya dengan nada robot yang menjemukan. 

Ernesto melakukan high-five virtual padanya. Mila, pengendali drone jarak jauh itu, adalah pacarnya. Mila tahu aku benci suara robot, setiap hari dia mengatur suara drone itu menjadi versi paling mengesalkan. 

“Kau-terlihat-buruk-pagi-ini,” itu sapaan untukku. 

Aku menirukan gerakan tak senonoh padanya. Ernesto mengacungkan jari tengah padaku. 

Mila mengirimkan gambar terbaru. Mayat-mayat itu sudah antre tiga blok dari kafe. 

Aku melirik jam di depan pintu. Tujuh menit. 

Aku belum cerita permasalahan tugas ini, yang pertama adalah: kopi tak boleh dibikin sebelum pemesannya tiba. Enam setengah detik, setelah kopi selesai diseduh, adalah waktu menghidangkan terbaik. Lebih dari itu, efek kopi menurun drastis, dan yakinlah, hal terakhir yang diinginkan adalah mayat hidup kebal kopi. Kuulangi, mayat hidup kebal kopi—di dalam kafe. 

Mereka akan mengamuk bagai banteng, entah darimana datangnya kekuatan itu. 

Untuk kemungkinan terburuk itu, aku dan Ernesto dibekali hazmat berlapis, virus tak akan mampu menembusnya. Lapisan kaca anti peluru setebal sepuluh sentimeter juga memisahkan aku dan mayat-mayat hidup itu. 

Hal terburuk berikutnya: mengenali pemesan kopi. 

Ernesto menangis tak bersuara bulan lalu saat ibunya datang. Mata perak perempuan itu bercahaya selama beberapa saat saat menenggak kopi yang diseduh putra satu-satunya. Aku yakin Ernesto ingin berpaling tapi kuakui mataku panas saat melihat kepala Nyonya M, ibu Ernesto, meledak seperti semangka jatuh di aspal, dengan serpihan otak kehitaman yang sempat menempel di dinding kaca. 

Aku sendiri, sedikit beruntung karena tak punya keluarga. Ayah ibuku sudah lama mati. Satu-satunya orang yang kukenal, adalah sepupuku Sonego. Orang tua Sonego sendiri juga sudah meninggal dalam kecelakaan pabrik. Kami berdua diasuh Panti.  

Nama Sonego tak pernah terdaftar di dalam penghuni Gelembung. Sehingga hampir tak mungkin ia bertahan. Aku sendiri sudah mengikhlaskannya. Meski tentu saja, harapan suatu hari dapat menemuinya kembali sebagai manusia, beberapa kali terlintas dalam kepala. Sonego adalah tukang las yang handal, mungkin saja ia sempat membangun bentengnya sendiri di luar sana.

Sebenarnya ada hal terburuk berikutnya, tapi itu tak pernah terjadi. Yakni kalau kami kehabisan kopi, sebelum setiap mayat hidup yang melewati pintu hancur jadi debu. Sejauh ini, kafe LEDAKKAN KEPALAMU selalu mobile dan berhasil menemukan kumpulan mayat dalam jumlah tak terlalu banyak. Salah hitung pembeli, kematian menanti kami. 

*** 

Jam tujuh berdentang. Drone Mila melesat ke seberang ruangan, dari sana ia dapat merekam segalanya. Ernesto menekan tombol pembuka pintu truk. Langkah menggesek aspal terdengar mendekat. Aku menghirup dalam-dalam aroma lemon pada maskerku. 

Hazmat suit sengaja diberi aroma aneh karena para ilmuwan ingin melihat adakah bau-bauan tertentu lain yang juga mempengaruhi mayat hidup, selain kopi tentunya. Selama bertugas, aku pernah memakai aroma tahi kucing, muntah bayi, selokan mampet, air ketuban. Sebutlah hal-hal busuk lainnya. Aku dan Ernesto sudah khatam. 

Bangkai trenggiling hari ini sepertinya tak berefek apa-apa. Mayat pertama bergerak lambat ke depan kaca. Liur, atau sesuatu yang menyerupai liur menetes terjuntai dari pinggiran bibirnya yang robek setengah. 

KO-PI. Parau ia meminta. 

Ernesto membacakan consent secara cepat—sejujurnya aku tak pernah mengerti mengapa Gelembung tetap menerapkan aturan itu: mayat-mayat harus mengerti bahwa kepala mereka berisiko akan meledak. 

YA. Jawabnya. 

Ernesto mengangguk padaku. Aku menyiapkan gelas pertama. Satu sendok. Satu sendok. Air panas. Tiga sendok. Aduk-aduk-aduk. 

Ernesto menekan timer. Satu. Dua. Tiga. 

Mila tiba-tiba berkedip. “Ke-bo-cor-an!”

Kopi diteguk. 

“Menjauhlah selagi sempat. Para mayat sudah menyiapkan perangkap untuk kalian hari ini. Sementara kalian di sini, mereka sudah di belakang. Menggali.” 

Seperti bola lampu yang tiba-tiba putus kabelnya, mayat itu menggelepar dan hangus. Aku dan Ernesto berpandangan, tak mengerti maksud ucapannya. 

Mila masih berkedip-kedip. “Ke-bo-cor-an!” 

Ernesto mengernyit, mengetikkan sejumlah kode di layar komputernya, berusaha menghubungi Mila secara langsung dan dua arah. Di luar, barisan mayat tampak mulai menumpuk. Mereka tak suka menunggu kopinya disiapkan. 

“Halo, Mila?”

“Ernesto! Gelembung diserang pagi ini. Segerombolan bandit masuk dan mencuri persediaan kopi!” 

Mila mengirimkan video pengintai. Sesosok wajah itu tertangkap kamera. Jantungku berdetak lebih kencang. Sonego. 

Bandit mengincar kopi untuk dijual dengan harga beratus kali lipat. Entah untuk apa uangnya mereka gunakan. Aku memeriksa persediaan kopi yang kami punya. Menggeleng pada Ernesto. 

“Hanya seratus.”

Itu artinya, kami tak mungkin menyelesaikan tugas hari ini. Jika normalnya kami akan terus melayani selama dua jam hingga mayat-mayat tak lagi bermunculan, sementara pesanan biji kopi dikirimkan dari Gelembung; kali ini, seratus porsi kopi akan segera habis bahkan sebelum satu jam. 

“Kirimkan bala bantuan.” Ernesto memberikan kiss-bye pada Mila.

Oh yeah. Mungkin untuk pertama kalinya, aku dan Ernesto akan benar-benar bertarung dengan mayat-mayat hidup ini. Aku menggeretakkan jari. Sonego sialan.   

Ernesto menarik laci paling bawah. Barisan senapan runduk semi otomatis berjejer di dalamnya. Darahku berdesir. 

Hmm, mungkin sebelum itu, waktunya minum kopi! 

*** selesai *** 

patak hanto harun malaia

Patak Hanto*

Dengan debaran dada yang makin kencang, kau seret langkahmu mendekati salah satu toko dengan tulisan besar menyala di persimpangan jalan itu. TOKO KUDA PONY—huruf Y-nya sudah terbalik, kemungkinan lepas paku bagian atasnya. Bangunan di samping kanan-kirinya tampak gelap, membuat toko itu semakin mencolok. Beberapa puluh langkah sebelum sampai di sana, kau berhenti. Menimbang-nimbang. Menajamkan pandangan. 

Kau yakin melihat sesuatu bergerak di dalam sana. 

Apakah itu bayangan yang tadi? Kau sudah bersiap untuk kembali berlari. 

Namun lagi-lagi, kau melihatnya sekilas. Kali ini cukup jelas untuk meyakinkanmu bahwa itu benar-benar manusia. 

Menengok kanan-kirimu sekali lagi, kau memantapkan hati. Semoga siapa pun itu tahu jalan keluar dari tempat keparat ini, demikian kau membatin. 

Sekelebat bayangan melintas cepat di depanmu. Membuatmu hampir terjatuh dan memaki. Lalu mengikik setelah menyadari itu hanya seekor tikus yang ukurannya memang cukup besar. Binatang itu berhenti sejenak, mengendus udara di depannya, kemudian menghilang di balik deretan tong sampah warna-warni yang berjejer rapi di samping sebuah mesin minum otomatis yang tampak berpendar disiram sorot cahaya lampu jalanan jangkung yang ada di seberangnya.

Kau sontak menelan ludah.

Antara toko di depan sana, dan mesin minum beberapa langkah di kananmu, kau menimbang-nimbang. Akhirnya, rasa haus mengalahkan penasaranmu. Lagipula aku bisa memeriksanya setelah ini, pikirmu. 

Sekaleng Coke jatuh dengan bunyi nyaring setelah kau memasukkan uangmu. Buru-buru kau mengambilnya. Baru kau sadari tanganmu gemetar saat mencoba membukanya dengan tergesa. Minuman itu mendesis ringan di tanganmu. Tak menunggu lama, kau meneguknya dengan beringas. 

Hausmu belum tuntas. Kembali kau memilih minuman yang sama. Kali ini kau sengaja menimangnya lebih lama. Buat nanti, kau membatin. 

Tong sampah di sampingmu berisik dan seekor tikus berlari keluar dari dalamnya. Mungkin tikus yang sama. Kali ini ia berlari ke arahnya datang tadi. Membuatmu ingat untuk memeriksa toko di ujung jalan sana. Melangkah gontai, kau menekan kaleng dingin di tanganmu ke dahi. Merasakan tetesan embunnya turun menyatu dengan basah keringat di lehermu.  

Saatnya keluar dari tempat busuk ini, gumammu. 

Kompleks pasar malam yang digelar akhir pekan telah lama tutup dan entah bagaimana ceritanya kau menjadi orang terakhir yang belum pulang. 

Oke, ralat sedikit. Sebenarnya kau tahu jawabannya: kau adalah salah satu petugas listrik yang disewa untuk memastikan setiap stand yang didirikan tidak mengalami masalah dengan jaringan kabel yang baru dipasang, tapi sialnya, hari ini kau sedang diare. Meskipun sudah minum obat, tetap saja tak kurang sudah tujuh kali kau bolak-balik ke kamar mandi, sejak datang ke pasar malam lepas matahari terbenam tadi. Kau sampai hapal dengan pesingnya yang menusuk, serta mural norak yang menghiasi hampir tiap jengkal dindingnya. Yang terakhir tadi, saat kembali terduduk di bibir toilet yang dinginnya membuat anusmu berkerut, kau sebenarnya sudah sangat lemas. Dehidrasi, kau berbisik dalam hati. Sempat kau putuskan akan memakai lembar terakhir dalam dompetmu untuk membeli sebotol Coke atau sejenisnya di mesin minum otomatis. Setelah ‘setoran’ terakhir ini, demikian kau berjanji. Dan kau pun bertekad untuk langsung pulang setelahnya. 

Lalu entah bagaimana ceritanya, kau ketiduran. 

Ya, kau pasti tidur sedikit terlalu lama, karena saat terbangun, keheningan nan beku yang menyapamu. Tak terdengar sedikit pun bisik-bisik serta canda menggelikan khas remaja-remaja tanggung—yang saking seringnya kau menyambangi kamar mandi, kau hapal riuhnya celetukan mereka. Satu bukti lagi bahwa kau tidur dalam waktu lama adalah jeansmu yang sudah turun ke lantai yang lembap—celana itu jadi basah dan terus terang itu sedikit menjijikkan. Mengabaikan perasaanmu, kau tetap memakainya. Toh aku akan segera pulang, kilahmu. 

Membuka pintu bilik kamar mandimu, kau hanya menemukan deretan urinoir bau tertempel di dinding, serta mural-mural norak itu. Tapi bukan itu yang membuatmu tertegun lama hingga tak berani beranjak dari tempatmu berdiri.

Ada lima kamar mandi kecil di dalam sepetak ruangan itu. Kau sedang menempati nomor lima, yang paling ujung, terjauh dari pintu masuk. Dari sana, saat sekilas berpaling, kau melihatnya. 

Sepotong bayang-bayang memanjang di lantai. 

Asalnya dari bilik pertama. Kau menyadarinya karena persis sepertimu, bayang-bayang milikmu terlihat di depanmu karena posisi lampu yang ada di belakang punggungmu. 

Namun, dari tempatmu berdiri, kau bisa melihat kalau bayang-bayang itu tak sepenuhnya seperti bayang-bayangmu. 

Dua potongan runcing seperti tanduk mencuat tinggi dari atas kepalanya. Dan saat mencoba saksama mendengarkan, kau yakin benar tak ada sedikit pun suara napas dari bilik sana. 

Bayang-bayang itu hanya membeku di lantai. 

“Anjir. Setan….”

Kau pelan-pelan memundurkan langkah. Memanjangkan kaki, mencoba menekan tuas flush. Bising air yang berpusar segera memenuhi ruangan. 

Lehermu memanjang. 

Mengintip.

Bayang-bayang itu bergeming. 

Lalu tiba-tiba lampu di atas kepalamu padam diawali redup yang ganjil. 

Satu. 

Dua. 

Tiga. 

Seluruh lampu di deretan kamar mandi itu padam. Gelap gulita mencengkeram. 

Kecuali di ujung bilik sana. 

Bayang-bayang bertanduk itu masih kaku di tempatnya.

“Permisi … Saya permisi dulu .…” suaramu bergetar, tercekat di pangkal tenggorokan. 

Kali ini, seakan mengerti, kau melihat bayang-bayang itu bergerak.

Lalu lampu terakhir ikut padam. 

Instingmu bergerak lebih cepat, membawa lari kakimu pergi. Di depan pintu masuk kau sempat terpeleset genangan air, tetapi itu tak menyurutkan langkahmu. 

Kau berlari secepat mungkin. Sejauh-jauhnya. 

Maka di sinilah kau. Kaleng minumanmu sudah tak terlalu dingin namun kau masih senang merasakan bebannya di dalam genggamanmu, dan lehermu—membuatmu tetap terjaga. Apalagi kompleks pasar malam yang kosong terasa sangat berbeda dibanding saat manusia sedang ramai-ramainya. Jalan-jalan yang tadinya terasa sempit dan kanan-kirinya penuh dengan penjual makanan kini lengang dan lapang. 

Setidaknya sudah lima kali kau memutari ruwetnya jalan-jalan kompleks yang tanahnya terasa lengket di bawah sol ketsmu, dan selalu saja ada hal baru yang kau lihat. Mungkin tadi panik, mungkin itu bukan benar-benar setan, pikirmu. Awalnya, menghibur diri seperti itu terasa menyenangkan. Apalagi kini, ketika kau sudah tidak punya beban kerja, kau bisa melihat-lihat santai deretan toko-toko suvenir dengan hiasan jendela yang cantik. Atau bangku-bangku duduk yang tampak keren dari sudut-sudut tertentu. Kau menikmati pengalaman barumu. Jarang-jarang bisa begini, batinmu. 

Namun, saat bulan dan bintang kelihatan semakin tinggi di atas kepala, dan dinginnya malam sudah mengalahkan lembapnya bokongmu, kau harus mengakui kalau kau sedikit cemas. Kembali kau memutar, mencari-cari jalan untuk keluar. 

Sialan. 

Sepertinya kau benar-benar tersesat. 

Bodoh sekali, tersesat di pasar malam, kembali kau menggerutu. 

Beberapa stand toko yang lampunya masih menyala coba kau datangi, tetapi percuma saja, karena semua sudah rapat terkunci. Tak peduli berapa lama kau menempelkan wajah di depan kaca pintu atau jendelanya, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di dalam sana. 

Kecuali toko yang satu ini. Kau sudah berdiri tepat di depannya. Kau yakin benar tadi telah melihat sesuatu bergerak di dalam sana. Semoga benar manusia, kau berdoa.

“Permisi? Ada orang di dalam?”  

Tiba-tiba lampu kelap-kelip yang menghiasi tulisan TOKO KUDA PONY meredup. Kau mendongak waspada. 

Lalu bangunan di depanmu gelap gulita. 

Kau mundur beberapa langkah. Bersiap lari meski lututmu goyah. 

Namun sekejap kemudian lampu menyala kembali. 

Jantungmu menumbuk-numbuk dinding dada. Tapi kau sudah kepalang basah. Mungkin ini satu-satunya kesempatanmu, menemukan seseorang yang bisa ditanyai jalan pulang. 

Kau mendorong pintu itu. Tak ada pergerakan. Sekali lagi kau coba, kali ini lebih bertenaga.

Pintu membuka dengan derit yang aneh. Semerbak bau pembersih lantai menyergap hidung. Sontak kau melihat ke bawah kakimu. Air tampak tergenang dan mengalir pelan-pelan ke salah satu sudut ruangan, menghilang di balik etalase kusam berisi deretan boneka kuda poni yang tampak bosan. 

Berjingkat, kau memasuki toko itu. “Permisi …?” Kau menyadari suaramu terdengar tak seperti biasa. 

Kau memanjangkan leher, menyeberangi meja kasir, mencari sumber air yang bocor. Lalu kau melihatnya, bilik kecil di sudut sana, tersuruk di belakang tumpukan kardus-kardus yang tersusun tinggi. Kamar mandi. Benar saja, terlihat air deras melewati bawah pintu bilik. Buru-buru kau masuk dan usai mematikan kerannya yang terbuka, kau lantas menyadari bahwa sesuatu yang bergerak yang tadi kau lihat, pasti pantulan cahaya lampu di air yang tergenang. Ah, berengsek sekali. 

Tak butuh lama untuk air di lantai segera surut. Kau melirik jam dinding yang terpasang miring di atas pintu masuk. Lima belas menit lagi jam dua.

“Sial ini namanya.”

Meneguk habis minumanmu, kau melemparnya ke dalam keranjang sampah di bawah meja kasir. Dengan tanganmu yang masih sejuk kau merabai leher. Kau berkeringat luar biasa. Asal-asalan, kau tarik tali kipas angin raksasa yang menempel di langit-langit. Benda itu berputar malas dengan bising yang menjemukan. 

Kau menggeser keluar bangku kecil dari depan meja kasir. Duduk di sana.

Lalu kau melihatnya. 

Di luar jendela, di seberang sana. Seseorang sedang berdiri dan tampak menengok kanan-kiri. 

“Hei …!” sontak kau bangkit dan melambaikan tangan, berharap dia melihatmu. Bergegas kau maju, bermaksud lari ke pintu, hanya untuk terkesiap. 

Sosok itu berdiri tepat di depan lampu jalanan yang jangkung menjulang. Membuat wajahnya sulit untuk dikenali. Ia tampak merabai keningnya. Lehernya. 

Sosok itu melangkah maju. 

Keningmu berkerut. 

Merasakan dingin yang merayap di punggung. 

“Permisi? Ada orang di dalam?” teriaknya. 

Kali ini sosok itu maju dan cahaya lampu tepat menyinari wajahnya. 

Darahmu tersirap dan lututmu goyah. Berkali-kali kau mengucek mata.

Sosok tadi terus mendekat. Kali ini kau bisa melihat dengan jelas kedatangannya, memiringkan kepala, menempelkan minuman kaleng di lehernya. Kembali di depan toko ia berhenti. Dipayungi lampu jalan di belakang punggungnya, bayang-bayangnya memanjang hingga ke depan pintu. 

Spontan, kau menekan saklar lampu di samping pintu. Untuk sesaat kegelapan menyelimutimu. 

Terhuyung-huyung kau mencoba menarik pintu lebar-lebar. Sial! Sial! Tak bisa terbuka! 

Buru-buru kau kembali ke meja kasir, mencari-cari kunci. Atau apa pun untuk melindungi diri. Jantungmu seakan pindah ke perut. Mulas tak terkendali. Tapi dalam kegelapan tak mungkin ada yang bisa kau cari. 

Lalu lampu kembali menyala. 

Nanar, kau melihat sosokmu di luar sana merapat.

Setan! 

Teriakanmu terhenti di tenggorokan. Bergegas kau masuk ke bilik kamar mandi, sembunyi. 

Menutup mata. Kau berharap semua ini mimpi belaka. 

Menutup mata. Kau berteriak sekerasnya.

Membuka mata. Kau mengepalkan tanganmu yang gemetar.  

Kau merasakan air tumpah-tumpah membasahi sepatu. Merembes di celanamu. 

Kau memantapkan hati. Kali ini, semua akan kau hadapi.

Membuka pintu. 

Lorong kamar mandi gelap bau pesing berhiaskan mural norak menyambutmu. 

*** selesai ***  

*Patak Hanto; judul terinspirasi istilah ‘patak hantu/hanto’, (patak artinya sembunyi), sebuah kepercayaan masyarakat suku Banjar tentang hantu/jin yang senang menyembunyikan anak-anak yang bermain terlalu jauh ke dalam hutan, atau bermain di waktu-waktu terlarang (sore menjelang magrib, misalnya).

Terbakar 6

Terbakar

LIDAHNYA hampir terbakar. 

Ia tahu teh itu panas namun tak mengira sepanas itu. Buru-buru ia meletakkan gelas dan menyeka sudut bibir. Teh sialan. Makian yang kemudian segera ia sesali karena kini berarti ia tak bisa meminumnya sama sekali. 

*

Sesuatu yang disumpahi akan membawa bencana. Demikian berulang ibunya katakan sambil memukul pantatnya di kamar tidur saat ia kedapatan menyentuh tubuhnya diam-diam. 

Usianya tiga belas saat darah itu pertama keluar. 

Roknya berwarna merah jadi ia sama sekali tak menyadari hal itu, sampai teman sebangkunya bertanya kenapa ia kencing di kelas. Pertanyaan itu dilontarkan sedikit terlalu keras karena hampir semua anak langsung melihat padanya. Terus terang ia sangat tersinggung dan reaksinya adalah ingin menangis, tetapi ia menguatkan hati dan membela diri dengan berkata ia tidak terkencing, dan dengan nada menyalahkan ia meminta temannya untuk jangan mengada-ada. 

“Tapi bokongmu terlihat basah,” balas temannya bersikeras, “Coba sekarang kau berdiri,” katanya lagi. 

Terang saja ia menurutinya, berdiri dengan sukarela, hanya untuk mendapati bahwa salah satu temannya yang lain sedang memotretnya dengan kamera ponsel dan tak perlu tunggu lama untuk seluruh sekolah jadinya tahu kalau ia sudah mens. 

Meski sudah dihibur oleh wali kelasnya yang mengatakan ‘tidak apa-apa, mereka hanya bercanda’, ia ingat saat itu pulang dengan mata dan bokong basah. 

Sesampainya di rumah, ibunya hanya memberikan tatapan dingin dan memintanya mencopot pakaian itu segera. “Air PAM sedang mengalir dan aku kebetulan sedang mencuci. Jika masih ada pakaian kotor lainnya, segera letakkan di dalam baskom di sudut dapur,” ujarnya. “Kecuali rok itu. Kau harus pisahkan karena itu darah menstruasi dan aku tak mau pakaian lain kotor karenanya,” sambung ibunya lagi sebelum lantas meninggalkannya untuk membeli softex atau semacamnya. 

Ia melepas pakaian dengan malas-malasan. Beberapa kali ia pernah membaca tentang haid di buku pelajaran sekolah tapi sesungguhnya perkataan Minah tetangga sebelah yang paling diingatnya. 

“Kau sudah dewasa kalau kau sudah datang bulan.”

Datang bulan. Mens. Haid. Apalah itu namanya. 

“Dan kau sudah jadi wanita seutuhnya,” kata Minah lagi. 

Entah apa maksudnya, ia berpikir kala itu. Jika menjadi wanita seutuhnya bermakna pulang sekolah lebih awal dengan tatapan mengolok-olok dari gerombolan anak laki-laki bau matahari dari balik pagar sekolah, rasanya tak terlalu baik. 

Apalagi perutnya terasa aneh. 

Bahkan seluruh tubuhnya terasa aneh. 

Maka ia melepas pakaian dan menumpuknya sesuai pesan ibunya tadi. 

Darah itu keluar lagi sedikit. Bercak-bercak. Dan sedikit gumpalan. 

Ia menuang air dari dalam tangki biru dan mengambil kain pel. 

Ibunya tak suka membersihkan lantai berulang-ulang jadi dipastikannya bercak itu tak berbekas sebelum ibunya pulang. Diulanginya sekali lagi. Sedikit terbungkuk dibereskannya ember dan kain pel, disurukkannya di sudut dapur sempit itu. Meski sudah diperas kering, tak urung sisa-sia air masih menetes dari ujung gumpalan kain pel yang sudah tak tentu arah bentuknya itu.

Setelahnya, ia menarik kursi plastik milik ibunya, duduk mencangkung di depan tumpukan baju kotor. Dalam diam ia amati baju-baju itu, jemarinya menelusuri pinggiran ember yang basah kena percikan air dari keran yang mengisi tangki biru. 

Air bak kamar mandi terdengar meluap, menetes-netes di lantai. Ia bangkit dan mematikannya. Sejenak mengamati buih-buih di lantai. Diputuskannya untuk mandi. 

Terdengar pintu depan terbuka dan langkah Ibunya yang tegas masuk dapur.

“Kau mau mandi?”

Ia hanya mengangguk. Menarik sehelai handuk kering kaku dari gantungan baju yang menempel miring di balik pintu. 

Ia sudah akan menutup pintu kamar mandi ketika namanya dipanggil. “Tahu cara memakainya?” tanya ibunya, menyodorkan bungkusan berisi softex atau semacamnya.

Ragu-ragu ia menggeleng. Pandangannya beralih-alih antara bungkusan itu dan wajah ibunya. 

“Nanti kuajarkan kalau sudah selesai. Cepatlah mandi. Aku harus segera mencuci.” 

Ia mengangguk, menggigit bibir. Mendorong pintu kamar mandi yang berderit keras saat ia memaksanya merapat lebih dari seharusnya. 

Bersihkan badanmu sebersih-bersihnya, terdengar suara ibunya kembali. 

Ia mengangguk, meski menyadari ibunya tak lagi mengawasi. Diambilnya gayung, memutar-mutar benda itu sejenak sebelum kembali menyalakan keran. Perhatiannya sejenak teralihkan pada jentik-jentik nyamuk berwarna hitam dan kemerahan di dasar bak, mereka seperti berkelojotan tak keruan tertimpa air yang keluar dari keran. Ia menciduk beberapa. Memperhatikannya sesaat sebelum menyiramnya ke jamban leher angsa yang ada di samping bak mandi. Mati kau, bisiknya dalam hati. Sempat ia terpikir apakah jentik-jentik itu akan benar-benar mati di dalam bak penuh tahi, atau mereka justru senang, karena ia ingat pelajaran di sekolah yang mengatakan beberapa hewan senang makan tahi. 

Ikan lele, misalnya. Atau ayam kampung (ia bersumpah tak akan makan ayam kampung yang pernah makan tahi, meski kemudian ia berpikir keras bagaimana cara mengetahui yang mana satu yang sudah makan tahi, dan mana yang belum sama sekali, sehingga ketika diputuskannya itu terlalu rumit akhirnya ia merevisi sumpahnya sedikit menjadi: tak akan makan segala jenis ayam kampung. Sementara untuk ikan lele ia masih pikir-pikir karena belum pernah lihat secara langsung, namun dari gambar yang ada di buku, ikan itu tidak tampak enak untuk dimakan, terdapat sungut aneh yang mengingatkannya pada ekor kecambah yang mulai busuk). Dan ia tak ingat apakah jentik nyamuk termasuk dalam daftar yang sama. 

Beberapa ekor nyamuk terbang berseliweran dari dalam bak dengan bising yang nyaring, mungkin baru bertelur atau justru lepas menetas. Jadi ia memutuskan untuk menguras bak itu semuanya. Dicopotnya sumbat kayu di sudut bawah bak mandi. Benda tumpul itu tampak seperti berlumut padahal itu hanya plastik hijau bekas belanja di pasar yang dipakai untuk menyelimuti sumbat kayu agar air tak bisa merembes keluar. 

Air seperti menggelegak dari lubang di bawah itu. Mengocor keras dan sekilas tampak jentik-jentik terseret ikut terbuang. 

Pintu digedor keras, palang kayu yang menahannya sampai bergetar, disusul suara ibunya, “Kenapa kau kuras bak mandi itu?”

Ia buru-buru memasukkan kembali sumbat berlumut tadi. Tak terlalu rapat, tapi cukup untuk mengurangi gelegak air. 

“Banyak kotorannya,” jawabnya dengan ragu. Ibunya memang tak suka jika ia membuang-buang air. “Akan kubersihkan, mumpung air mengalir,” ia menambahkan jawabannya sebelum ibunya sempat menukas. 

Lalu hening. Dari luar hanya terdengar bunyi sikat beradu dengan papan penggilasan. Kadang bunyinya berlainan tergantung kain apa yang sedang dihantam di atasnya. 

Ia menebak-nebak. Meski pilihannya tak banyak. Baju mereka memang tak banyak, hanya itu-itu saja. Cuci-kering-pakai-ganti. Cuci-kering-pakai-ganti. 

Ia terus menebak-nebak.   

Sambil menanti air dalam baknya surut. 

Perutnya kembali mulas tapi bukan seperti ingin buang tahi. 

Ia sampai berlutut dan meringis saat bercak darah itu keluar lagi. 

Ibunya pasti mendengar tangisannya, karena sejurus kemudian ia mengetuk pintu. 

“Cepatlah mandi, lepas itu kau istirahat,” katanya. 

“Tapi bak air belum terisi penuh,” ia beralasan.

Ibunya terdengar tak sabar, “Tak usah kau bersihkan bak itu. Nanti kulakukan.” 

Maka ia segera menyumbat ulang lubang di sudut bawah bak mandi. Sedikit kesusahan karena tangannya sedikit gemetar. Saat mengintip kembali isi bak ia dapat melihat satu-dua ekor jentik yang tak terseret keluar, mereka seperti menari-nari. Apakah mereka mengerti kalau mereka tak jadi mati? 

Entahlah.

Menunggu bak air penuh ia kemudian mengambil sabun dan sampo. 

Perutnya terasa aneh. Tubuhnya terasa aneh. Rasanya ingin mandi dan memakai sabun terus-terusan. Wangi lemon sintesis dari sabun di tangannya memenuhi kamar mandi sempit itu. Bercampur dengan aroma sampo yang ia tak tahu apa jenisnya. Dicobanya membaca keterangan di botol sampo tapi terlalu banyak tulisan bukan latin di sana. Jadi ia mencoba menebak-nebak saja.

Yang jelas bukan lavender. Ia ingat karena teman sebangkunya memakai parfum aroma itu, katanya banyak nyamuk di rumah dan parfum itu bisa sekalian mengusir nyamuk. 

Juga bukan mawar, karena di depan rumah Minah tumbuh beberapa rumpun mawar liar, memang tak terlalu harum, tetapi ia pernah menciumnya beberapa kali dan jelas sampo di rambutnya tidak wangi seperti itu. 

Malah sebenarnya campuran sabun dan samponya kini beraroma lain, seperti bau keringat di siang hari. Namun, bukan keringat menjijikkan seperti teman-temannya yang bau matahari selepas bermain bola kaki di tengah hari bolong. 

Ini mengingatkannya pada aroma Mang Dana yang sering lewat di sore hari, berjualan pentol. Mungkin bukan keringat, tetapi aroma pentol. Ia tersenyum. Perutnya mulas dan terasa lapar. Mang Dana sering mangkal di rumah Minah. Katanya, Mang Dana naksir Minah, tetapi ia hanya mendengar itu dari ejekan ibu-ibu tetangga (ia sering memperhatikan ibu-ibu tetangga yang senang membeli pentol pada Mang Dana, lalu mereka berlama-lama ngobrol dan yang paling diingatnya adalah obrolan berisi ejekan dan gurauan tentang Minah dan Mang Dana).

Mang Dana tak pernah kesal meski kerap digosipkan, ia hanya tersenyum simpul lalu menyiapkan pesanan dengan cepat. Keringat yang menetes disekanya dengan handuk yang menggantung di bahu. Kadang ia memiringkan kening dan menggerakkan bahunya di sisi yang sama. 

Lengannya gesit memilah-milah. Satu tusuk. Dua biji. Kuah. Goreng. Kembalian dua ribu. Pesanan berapa bungkus. Kuah pedas. Tidak pedas. 

Bungkus. Makan di tempat. 

Keringat. Handuk. Bahu. Kening. Lengan. 

Lengan Mang Dana kecokelatan terbakar matahari (ia tahu itu terbakar karena dari balik lengan kaos putihnya yang longgar ia bisa melihat kulit lengan atas yang jauh lebih cerah), tetapi aromanya tidak sama dengan leher-leher legam teman sekelasnya yang main bola di siang bolong. Lengan Mang Dana ramping dan dari samping terlihat jelas lekukan garis yang memanjang hingga siku. Ia ingat betul karena ia sering duduk di depan rumah Minah—tidak mesti belanja pentol. Kadang hanya duduk-duduk, dan melihat-lihat. Anak kecil tidak masalah kalau melihat-lihat. 

Mang Dana beberapa kali memberinya pentol gratis. Sambil tersenyum ia akan memisahkan sebatang pentol dan menyiramnya dengan saus kacang pedas yang lengket. Biasanya itu akan diberikannya kalau pembeli lain sudah selesai ia layani. Mang Dana kemudian akan duduk di pagar teras, mengobrol dengan Minah. 

Ia senang diberi pentol gratis, karena selain ia tak perlu bayar (ibunya tak senang ia jajan—atau memang tidak punya uang untuk memberinya jajan, entahlah), sambil makan pentol gratis, ia bisa melihat Mang Dana lebih dekat. Kalau diperhatikan baik-baik, di pergelangan tangannya lebih banyak rambut-rambut halus yang menipis hingga ke bagian pangkal jari kelingkingnya. 

Ia dapat melihatnya dengan jelas karena kini aroma sampo dan sabun yang menyelimuti tubuh dan kamar mandi sempit itu seperti membawa gerobak Mang Dana ke dalam kamar mandi. 

Pesan satu Mang. Pesan tiga Mang. Ibu-ibu mulai berdatangan. 

Namun, yang membuatnya tersipu, Mang Dana justru kembali menyiapkan sebatang pentol untuknya. Lengkap dengan kuah saus yang melimpah. Lengan Mang Dana terjulur padanya, ia dapat melihatnya jelas. Rambut-rambut di lengannya. Beserta aroma keringat dan pentol yang berkuah kental lengket. 

Untuk pertama kali napasnya tersengal dan mulas yang dirasakannya seakan tak berujung. Membuat jari-jari kakinya tertarik. Punggungnya melengkung menahan pegal yang tertahan. Kepalanya terasa berat dan ringan secara bersamaan. 

Lebih banyak sabun ia pakai. 

Kemudian ibunya datang dan ikut memesan pentol pada Mang Dana. Hanya wajahnya terlihat tak senang. Ibunya menggedor-gedor gerobak pentol Mang Dana. 

“Apa yang sedang kau lakukan?” 

Pintu kamar mandi digedor kencang. Saking kuatnya, penyangganya yang hanya sepotong balok kecil yang dipaku longgar jadi terbuka. Tentu saja ibunya melihat semuanya. 

Tanpa bicara ibunya menyiramkan air bak mandi banyak-banyak. 

Menyapu bersih sabun dan sampo yang sedang ia pakai. 

Menyiram keluar aroma keringat dan pentol Mang Dana. 

“Pakai handuk dan tunggu di kamar,” perintah ibunya. 

Ia tak membantah, berlalu, dan menunggu. Hanya tahu kalau ia sudah melakukan kesalahan karena saat masuk ke kamar tidur, ibunya membawa sebilah penggaris yang sejurus kemudian mendarat tipis di bahunya. 

“Jangan pernah ulangi hal itu,” gumam ibunya dingin, tangannya bergerilya. 

Kembali penggaris itu melekat di kulitnya. 

Saat wanita itu keluar kamar ia bisa mendengar kalau ibunya menyumpahinya. Anak sialan. 

Matanya memanas. Hatinya terbakar.

*

Anak sialan. 

Ia memainkan jari di atas pinggiran gelas. Masih panas.

Tak ingin bibirnya terbakar lagi, ia menunda minumnya. 

Sesuatu yang ditahan lama-lama akan jadi penyakit. Kalau tidak sakit badan. Sakit hati. Minah pernah mengatakan hal itu padanya. Saat itu ia sedang duduk-duduk di depan terasnya. Mereka sedang menunggu Mang Dana (meski tentu Minah tak pernah tahu tentang perasaannya sendiri pada penjual cilok itu). 

Dan ia juga masih anak sekolah. 

“Kapan kau tamat?” tanya Minah malas-malasan.

Ia menjawab dengan nada serupa. Mereka sedang malas bicara. Laki-laki yang ditunggu tak kunjung kelihatan batang hidungnya. 

Kadang hidup memang begitu.

Pernah sekali waktu, hujan deras sampai tak bisa melihat langit. Ia sedang menggeser deretan pot kaktus di depan terasnya sendiri agar tidak tempias. Lalu di ujung lorong, dilihatnya gerobak itu. 

Senyumnya terbit dan ia buru-buru mematut dirinya pada kaca gelap di jendela. 

Mang Dana berhenti seperti biasa. 

Namun, sore itu, mungkin karena melihat teras Minah sedang kosong, pria itu justru menuju terasnya. Ia ingat betapa keras jantungnya memukul dada. Senyum yang tadi terbit segera hilang berganti dengan butir-butir keringat yang menghiasi kening.

“Saya numpang berteduh, ya.”

Ia kehilangan kata. Terangguk bagai pungguk. Lalu ia buru-buru berlari ke dalam. Ibunya menanyai siapa yang datang. Ia mengatakan hanya Mang Dana. Mungkin menyadari hujan deras yang sepertinya tak kunjung reda, ibunya menyuruhnya membuatkan segelas teh panas. 

Ia menurutinya. 

Itu pertama kali ia membuatkan minuman untuk seorang pria. 

Tangannya gemetar luar biasa, hampir saja ia menumpahkannya.   

“Terima kasih.”

Ia masih tak mampu bicara. Meski kini debaran di dadanya sudah tak lagi sama. Berganti dengan gelenyar hangat yang membuat napasnya sesak dan perutnya teraduk-aduk. 

Ia memilih permisi untuk duduk di dalam, menarik kursi mendekat di balik jendela. Bisa dilihatnya Mang Dana tersenyum padanya. 

Senyumnya kembali datang bertandang.

Jadi begini rasanya, bisiknya dalam hati. Jemarinya menyusuri terali yang memagari, batas antara dirinya dan Mang Dana.

Menyaksikan semuanya. 

Mang Dana duduk dalam diam, menyesap isi gelasnya.

Gelas diangkat sebatas dada. Kepulan uap panas mengudara, menghilang di matanya.  

Gelas mendekat pada bibirnya. Memberinya sentuhan panas. 

Satu tegukan. 

Melewati jakun itu. Leher dengan bintik-bintik tunas rambut yang bernas. 

Setelah itu ia menurunkan pandangannya ke pangkuannya sendiri. Memainkan kuku ibu jarinya, mengupas sisi-sisi yang tak rata. Menghilangkan sesuatu yang entah apa itu. 

Saat ia kembali mengangkat kepala, Mang Dana sedang melihatnya. 

Langkahnya ringan saat mendekati pintu. “Bisa minjam handuk, Dik?”

Ia terdiam sesaat di kursinya. Untuk kemudian melangkah tanpa suara. Semua terasa melayang. Seakan di awang-awang. Diambilnya handuk kecil yang terlipat kaku di dalam lemari miliknya. Mengangsurkannya dengan ragu-ragu. 

“Saya pinjam dulu. Punya saya basah,” jelas Mang Dana, “Besok saya kembalikan.”

Ia tidur memeluk handuk itu selama berminggu-minggu. 

Sampai hari itu datang. Usianya tujuh belas tahun menjelang. 

Ibunya minggat, bersama Mang Dana.

Ia sebenarnya tak pernah tahu apakah ibunya benar-benar pergi. Serta apakah benar memang Mang Dana yang membawanya lari. 

Hari itu ia pulang sekolah sehabis ujian dan mendapati rumah kosong. Bukan hal luar biasa. Ibunya memang kerap pergi sampai senja hari, sebagai buruh cuci, ia berpindah-pindah dari rumah ke rumah, tergantung siapa yang menghubunginya lebih dulu (ibunya harus pergi sedikit jauh karena di sekitar rumahnya, mereka semua mencuci sendiri dan beberapa sudah memakai mesin cuci). Maka ia masuk dengan kunci cadangan yang biasa diselipkan di bawah pot-pot kaktus di sudut teras. 

Malam larut menjelang, tetapi ibunya tak juga kunjung pulang. 

Barulah ia mulai bimbang. 

Pada Minah ia bertanya, “Apakah kau melihat ibuku seharian ini? Atau mungkin ia meninggalkan pesan saat pergi?”

Minah hanya bilang kalau ibunya terlihat keluar rumah sejak pagi dengan raut wajah berseri-seri. 

Ia tak punya ponsel untuk menghubungi ibunya. Maka ia meminjam pada Minah. 

“Nomornya tak aktif,” ujar Minah.

Ia kemudian mengorek-ngorek laci, mencoba mencari nomor ayahnya yang sudah tujuh tahun tidak pulang dari Kalimantan. 

“Nomornya tidak bisa dihubungi,” kata Minah lagi.

Malam itu ia tidur di ruang tamu, terkantuk-kantuk menunggui pintu. Ia memang tak dekat dengan ibunya, tetapi tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau wanita itu akan pergi meninggalkannya seorang diri. Pikiran-pikiran buruk lainnya yang justru menghantui benaknya saat itu. Bagaimana jika saat mencuci ibunya jatuh sakit? Bagaimana jika ternyata ia mengalami kecelakaan? Ia sering melihat kecelakaan di jalan raya saat pergi-pulang sekolah. Suatu kali misalnya, ia melihat seorang pengendara motor jatuh dengan helm terbelah. Ia tak berani melihat terlalu dekat. Setiap ada kecelakaan ia akan pergi menjauh. Mempercepat langkah, mengubah arah. Maka ia tetap menitip pesan pada Minah, sekiranya ada yang menghubungi.

Subuh pun datang, tetapi tetap tak ada tanda-tanda siapa pun akan bertandang. Diberanikannya masuk ke kamar ibunya yang terkunci. Ia tahu kuncinya ada di selasar lubang angin di atasnya. Berjingkat ia merabai debu-debu yang menempel di sana. 

Ada. 

Pintu kamar terbuka.

Seberkas sinar jingga mengintip dari tepi daun jendela yang rapat terkunci.

Sunyi pelan-pelan pecah oleh kumandang ayat-ayat dari musala di ujung lorong. 

Ia merapatkan pintu kamar. Meratakan punggung di sana. Menelaah seisi kamar sempit itu. Di salah satu sudut, di atas dipan, kasur tipis ibunya tergulung rapi tak berpenghuni. Beberapa helai pakaian terlihat menumpuk, berantakan di atasnya. Ia menajamkan mata, setengah berharap ibunya tersuruk di sudut sana. 

Tentu saja sia-sia.

Beringsut, ia menarik langkah mendekati dipan kayu sempit itu. Pikiran kalau ia benar-benar tinggal sendiri mulai merasuki. Berhati-hati, diangkatnya pakaian dan selimut dari sana, membongkar kasur tipis bergelung tadi. Meringkuk, ia duduk di pinggiran tempat tidur itu, gigil ia tersedu, lalu punggungnya menyerah. Seperti bayi, ia tidur menyamping, pandangannya mengabur. Dingin segera memeluk.

Matahari sudah tinggi saat ia terbangun. Sudut-sudut matanya terasa lengket dan berpasir.   

Kali ini semangatnya lebih menyala. Menyeka hidung yang setengah buntu, ia bangkit dan menuju sudut kamar di seberangnya. Dibukanya lemari yang dulu sering ia jadikan tempat sembunyi. Dulu. Dulu sekali. 

Tanpa sadar air matanya kembali tumpah melimpah. Lututnya goyah. Di depan lemari dengan kaca abu-abu itu ia tersimpuh, memandangi beberapa helai daster koyak-koyak yang tergantung di dalam sana. Ia bisa mencium aroma sabun yang dipakai Ibunya. 

Dijulurkannya tangan, menggapai ujung-ujung kain yang terasa kasar. Bisa terdengar derap sikat menempa papan penggilasan. Lalu air membilasnya. 

Sikat. Bilas.

Sikat.

Bilas.

Air yang banyak membilas busa-busa sabun yang kemudian beriringan menuju lubang di sudut rumah.

Hanya kini yang tersisa adalah air matanya. 

Ia bahkan tak benar-benar paham kenapa menangis. Perasaannya jadi tiba-tiba sangat sedih. Bahkan jauh sebelum ia benar-benar yakin kalau ibunya telah pergi dan mungkin tak akan pernah kembali. 

Perihal apakah Mang Dana yang membawanya, dihembuskan oleh para tetangga. Karena memang semenjak hari itu, tak pernah lagi gerobak pentol itu mangkal di situ. Bisa diduga, Minah juga kini memasang wajah masam padanya. Tak lagi membuka pintu meski ia mengetuk berkali-kali. 

Mang Dana sialan.

Ia memutuskan untuk tak lagi pergi ke sekolah, hingga kemudian di suatu petang, wali kelasnya datang. “Kami baru mendengar berita tentang ibumu,” ujarnya. 

Ia tak tahu harus menjawab apa. 

“Masuklah lagi, tinggal satu semester maka kau akan lulus.” 

Ia menggeleng. Sekolah tak ada lagi dalam pikiran.  

Mereka sama-sama tahu kalau ia tak punya uang. Selama beberapa hari ini ia menerima sumbangan tetangga, tetapi itu tak banyak. Akan segera habis. 

Ia sudah terpikir untuk membantu dari pintu ke pintu. Ia tahu kalau ia bisa dapat beberapa ribu dari menyetrika beberapa helai pakaian. Atau mencuci pakaian seperti yang biasa ibunya lakukan.

“Selesaikan sekolahmu, lebih mudah kau cari kerja nantinya,” wali kelasnya itu berkata, seakan bisa membaca pikirannya. 

Ditimbang-timbangnya beberapa saat. Ia kemudian mengangguk. 

Tangisnya pecah saat kemudian wali kelasnya memberi amplop. Sumbangan dari teman-teman, katanya. 

“Jumlahnya memang tak seberapa, tapi kau harus sekolah lagi.” 

Hari Minggu besoknya ia membentangkan tikar di teras sempit rumahnya. Pada Minah ia minta tolong untuk menyebarkan kabar, bahwa ia menjual baju-baju bekas, serta apapun barang layak jual di rumahnya yang tak lagi ia perlukan. Meski terlihat enggan, Minah membantunya. Saat petang menjelang, terasnya kosong dan mereka berhasil mengumpulkan beberapa ratus ribu.

Selanjutnya, ia hidup dari hari ke hari. Kadang saat bekerja sambilan, ia lebih memilih makanan sebagai bayaran karena itu jauh lebih menyenangkan. Tak harus mencuci piring. Tak harus masuk dapur, memikirkan kompor, dan segala pecah belah tak menarik yang ada di sana.   

Karena hal-hal itu beberapa kali membuatnya terkenang ibunya. 

Ia tak paham bagaimana cara perempuan itu membuat mereka bertahan selama ini. Yang jelas, tidak mungkin ayahnya yang mengirimi mereka uang, karena ia sendiri tak pernah dapat kabar sedikit pun dari laki-laki itu, bahkan setelah berbulan-bulan ibunya minggat. 

Sedikit demi sedikit ia memahami beban ibunya.

Maka ia mulai belajar memaafkan. Tak lagi membawa hawa benci di hatinya. 

Ia bahkan beberapa kali sengaja duduk di dapur sempit Ibunya. Mencoba mengenang langkah-langkahnya yang tegas. Serta bibirnya yang selalu penuh gumaman.  

Air matanya menetes. 

Perlahan diambilnya gelas teh yang tadi diseduhnya. Menyentuh pinggirannya. 

Minuman sialan. Namun, kali ini bibirnya tersenyum.

Lidahnya tak lagi terbakar. 

Teh itu telah dingin dengan sendirinya. 

***selesai***