Arsip Tag: CERPEN

Bayu Melagu 1

Bayu Melagu

Ready?

Satria memasang headphone-nya. Simulasi FTD Level 5 Mechatronic selalu menyenangkan, hanya saja kali ini dia tak bersemangat.

Calculate your distance without GPS or DME!” instruksi masuk.  

“Menggunakan VOR or ADF, ambil sepuluh derajat dari radius pesawat dan ukur waktu mencapai sepuluh derajat tersebut. Waktu total dalam detik dibagi sepuluh atau waktu total dalam menit dikali kecepatan terbang dibagi enam puluh. Itu adalah jarak pesawat dari stasiun.”

How to count your trip fuel?

Giliran partnernya menjawab. Mereka sedang simulasi penerbangan malam. Mengamati panel bercahaya di atas kepalanya, pikiran Satria melayang pada perkataan laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Dokter Sulung tadi pagi.

“Kau terpilih sebagai anggota Laskar Khatulistiwa.”

Ulang tahunnya yang ke-22 masih lama. April Mop sebulan lagi. Jika bukan karena kesopanan, dia sudah terbahak. Namun pria itu membungkamnya saat membeberkan satu persatu foto dirinya yang diambil secara rahasia.

“Kami memastikan tak ada yang mengungkit peranmu dalam pendaratan Naga Air tiga hari lalu.” Dokter Sulung tersenyum. “Secara pribadi, Presiden berterima kasih atas bantuanmu.”

Bantuan?

Pertama kali seseorang menganggapnya bukan kutukan.

“Ko berkelahi lagi?!”

Menggelegar suara Salman, rotan tersimpan di punggung. Di ambang pintu, Nene Ima berdiri gemetar.

Satria mematung di halaman.

“Ko jawab!”

Salman mengangkat rotan. Satria mundur selangkah.

“Kalau tidak bisa bermain baik dengan anak kampung, jangan keluar rumah!”

“Saya tidak berkelahi,” tercekat, Satria memandangi kaki.

Rotan membeset cepat. Satria berjengit, menahan sengat di betis.

“Jangan bohong!”

“Saya tidak berkelahi, Papa.”

Sabetan kedua.

Satria menggeleng. Air matanya mengalir.

Sabetan ketiga.

Keempat.

Temaram jingga di permukaan Danau Limboto sudah merata saat luka-luka di betis Satria berdarah dan menganga. “Ampun, Papa…”

Kemudian derap langkah itu terdengar.

Mereka warga kampung Kayudurian. Masing-masing membawa anak laki-laki babak-belur.

“Sekarang kamu orang percaya?!” satu dari mereka menunjuk wajah anaknya.

“Saya tidak berkelahi!”

Sanggahan itu berbuah tempeleng ayahnya di kepala. “Diam, bodo!”

Salman melangkah maju. Satria ditariknya ke belakang.

“Saya minta maaf. Saya sudah kasih pelajaran anak saya.”

“Anak itu perlu diajar lebih!”

Ucapan itu ditimpali angguk persetujuan.

Satria merapati tubuh ayahnya. Mengintip dari balik pinggang.

“Anak tak pernah diajar!” teriak seseorang.

“Mamamu lari karena malu punya anak begitu!”

Satria memekik histeris, tangannya terbentang lebar.

Warga kampung terheran.

Anak-anak babak-belur justru mengerti.

“Itu! Sihir itu…!!”

Seperti tanaman, tunas angin tumbuh dan berpusar cepat di kedua tangan Satria. Wajah Salman membeku.

Detik berikutnya pusaran angin itu menyapu habis kerumunan warga dan melempar mereka ke semak-semak.

Satria oleng.

Salman sigap menangkap. Membopongnya lari. “Jangan tunggu kami, Mama! Warga kampung akan membunuhnya karena takut sihir!”

Nene Ima terangguk, komat-kamit berdoa.

Tak butuh lama Satria tersadar. Tubuhnya terguncang. Dunia terbalik dan dia ingin muntah.

Langkah Salman cepat membelah bukit. Di belakang, warga sorak-sorai mengejar. Beberapa bersenjata badik dan panah.

“Papa…”

Sebilah anak panah melesat.

Salman menahan langkah.

Di depannya ngarai dalam berbatu. Gelap tak berdasar.

Di belakangnya, hutan terbakar amarah warga yang berkobar.

“Papa,” Satria memeluk tubuh berpeluh ayahnya. “Saya bisa bawa Papa pergi.”

Salman bingung tak mengerti. Dia tak sempat menjawab.

Satria memeluknya erat.

Sekejap kemudian kosong.

Beberapa ribu meter dari sana. Satria tergeletak pingsan.

Potongan tubuh ayahnya bergelimpangan.

*****

500 kata, di luar judul dan catatan kaki

FTD: Flight Training Devices

GPS: Global Positioning System

DME: Distance Measurement Equipment

VOR: VHF Omni Directional Radio Range; sebuah tipe system radio-navigasi jarak pendek pada pesawat, mengizinkan pesawat menerima sinyal/unit untuk menentukan posisi dan tetap tersambung dalam menerima sinyal radio dari jaringan di daratan.

ADF: Automatic Direction Finder; adalah instrument radio-navigasi pada kapal atau pesawat yang secara automatis dan berkesinambungan menampilkan posisi relative dari kapal/pesawat pada stasiun radio yang sesuai.

Maut Melengking di Gang Buntu 3

Maut Melengking di Gang Buntu

“Kau tahu mengapa mereka menyebutnya ‘gang buntu’?”

Huh?

“Karena sesuatu yang buntu dijajakan di sana.”

“Pasien itu datang mengeluhkan rasa sakit di pinggangnya. Katanya dia mau melahirkan. Saat diperiksa tekanan darahnya tinggi. Saya sebenarnya sempat merasa curiga, ketika dia dan temannya memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama.”

“Pertanyaan apa?”

“Suaminya di mana.”

“Pasien itu pre-eklampsia1. Saya sudah konsultasikan kepada dokter kandungan yang bertanggung jawab. Beliau putuskan untuk di-ter-mi-nasi.”

“Apanya?”

“Apanya?”

“Yang diterminasi.”

“Kehamilannya.”

Polisi itu terlihat malu.

“Saya pikir pasiennya.”

“Salah satu risiko dari pre-eklampsia berat terhadap janin memang seperti itu. Kita sudah memutuskan untuk merujuk bayinya ke rumah sakit yang lebih lengkap, tapi keluarganya menolak.”

Lha, katanya dia tak punya keluarga di sini?”

“Temannya itu mengaku keluarganya. Ternyata bukan.”

“Lalu siapa?”

“Ternyata ibu kosnya.”

“Warga menolak karena ibunya tidak punya identitas yang jelas. Bahkan katanya belum lapor dengan RT. Mereka tidak mau memakamkan bayinya sampai identitasnya jelas.”

“Jelas bagaimana?”

“Ya, pokoknya jelas. Mereka takut aib.”

“Yang aib itu kalau menolak memakamkan bayi yang tidak tahu apa-apa tentang identitas kita semua.”

“Jadi sebenarnya dia punya suami apa tidak?”

“Menurutmu?”

“Buktinya dia hamil.”

“Dayang Sumbi hamil dengan seekor anjing.”

“Itu kan cerita.”

“Itu sindiran.”

“Sekarang yang jadi masalah sebenarnya apa? Masalah pemakaman? Identitas pasien? Yang bertanggung jawab membayar? Aku bingung.”

“Semua juga bingung.”

“Bisakah kau periksa tekanan darahku?”

“Bisakah aku memeriksanya di lehermu?”

“Dokter bisa membantu untuk memimpin sholat?”

“Sudah bisa dimakamkan?”

“Sudah. Tapi bayinya baru dimandikan.”

Oh.

“Bisa?”

“Bisa. Umh. Lima menit. Saya google dulu.”

“Intinya, rumah sakit ditegur karena memberikan persetujuan penolakan tindakan rujuk padahal yang menandatangani bukan keluarga inti pasien.”

“Kan tadi sudah dijelaskan kalau terjadi salah paham.”

“Iya, itu bukan pembenaran, tapi bisa dijadikan pembelajaran.”

“Lalu kalau benar-benar tidak ada yang bisa bertanggung jawab?”

“Menurutmu?”

“Kau pernah ke Gang Buntu itu?”

“Menurutmu?”

“Kau tersinggung ya?”

Semua orang tersinggung pagi ini.”

“Aku tidak.”

“Itu menjelaskan semuanya.”

“Lalu mengapa warga membiarkan mereka tetap jualan?”

“Menurutmu?”

“Karena masih ada yang beli?”

“Menurutmu?”

“Menurutku, kau tak pernah suka padaku.”

“Menurutmu?”

— 

Kasih Bersemi di Bulan Mei

I LOOVE this month. As always. Ahahaha.

I’m going to have my birthday in few more days, dan meski nggak merayakannya secara spesial (you knew it already, old reader), ku selalu merasa hari itu spesial. Seumpama cerita, ada kasih yang selalu bersemi di bulan ini. It belongs to me, ehehe. (jijik sendiri T_T)

Terus, anak-anak kan sudah pada belajar baca kalender, naah, mereka juga diajarin ibunya menandai tanggal kelahiran, haha, jadilah mereka tahu kalau saya lahir di bulan ini. Anwar juga di bulan ini. Alhamdulillah.

Singkat cerita, menindaklanjuti (halah) keseruan nulis sebelum Lebaran kemarin, kali ini mari kembali menulis. Yaa, nggak jauh bedalah dengan kemarin. Tetap nulis cerpen, cuma kali ini tenggatnya sedikit lebih lama, jadi mungkin punya banyak waktu untuk menulis lebih matang. Informasinya sudah tak rangkum dalam poster berikut. Kalaupun ada yang kurang jelas, silakan ditanyakan yak! Semangat menulis! 🙂

Kasih Bersemi di Bulan Mei 5
Arwah 7

Arwah

Kurang lebih sejak tiga bulan yang lalu, arwah istri saya datang berkunjung ke rumah. Saya mengenalinya karena dia mengenakan pakaian kesukaannya. Terusan warna krem yang jatuh tepat di bawah lutut, bermotif bunga bakung. Entah dari mana dia mendapatkannya, seingat saya semua pakaiannya sudah saya sumbangkan karena saya tidak sanggup mengenang kepergiannya yang begitu tiba-tiba.

Awalnya, saya sedikit takut karena biar bagaimanapun dia adalah arwah, bukan manusia. Saya kemudian menceritakan hal tersebut pada Ibu saya yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Ibu menasihati agar saya segera mengikhlaskan kepergian istri saya, mungkin beliau berpikir saya hanya mengada-ada atau berhalusinasi. Saya tidak memaksa Ibu untuk percaya karena memang dia tidak terlalu senang mengurusi hal-hal semacam itu. 

Kembali kepada arwah istri saya, di permulaan kedatangannya, dia hanya lewat-lewat di teras. Memeriksa pot-pot bunga yang terlihat kering. Beberapa saat kemudian dia menghilang. Saya yang menyadari hal itu segera menyiram deretan bunga itu. Beberapa hari kemudian, arwah istri saya datang lagi, kali ini dia terlihat bolak-balik di sekitar tumpukan pakaian kotor berjamur, di ruang pencucian. Tak menunggu lama setelah arwah itu pergi, saya membeli deterjen dan menyalakan mesin cuci. 

**

Demikianlah permulaan rutin arwah itu berkunjung. Sempat saya berpikir apakah saya sedang bermimpi, karena tak ada tanda-tanda nyata kehadirannya. Sampai kemudian saya mendapati arwah istri saya itu mulai berani masuk ke rumah, dan mulai menyenggol barang-barang. Jika di awal kedatangannya dia hanya duduk-duduk sebentar, baik di teras, atau berkeliling di dapur, belakangan dia tinggal lebih lama. Kadang, saya terkaget-kaget sendiri karena tiba-tiba sudah ada dia di dalam kamar, tergolek di atas tempat tidur. Atau di kamar mandi, menyalakan keran air sampai tak ada yang tersisa untuk saya mandi di pagi hari. Kalau sudah begitu, saya memilih menyingkir ke ruangan lain, berpura-pura tak menyadari keberadaannya, sampai akhirnya dia pergi.

Lambat laun, saya pun terbiasa dengan kehadirannya. Meski kami tak saling menyapa, saya cukup terhibur dengan pengetahuan kalau arwah itu sedang ada di suatu sudut rumah. Misal di malam hari, jika saya terbangun untuk kencing, atau sekadar minum air, saya tidak lagi merasa aneh jika mendapati arwah itu mondar-mandir di ruang tamu, melihat-lihat foto-foto berpigura di dinding, atau album yang saya simpan di dalam laci. 

Suatu kali, ketika dia pergi dan tidak mengembalikan album itu ke tempat semula, saya mengintip apa yang lama dia pandangi. Ternyata, dia sedang melihat-lihat album anak kami satu-satunya, yang sedang kuliah di luar kota. Saya sedikit terenyuh menyadari hal itu. Mungkin, arwah istri saya merasa rindu. Sempat tercetus niat untuk menelepon anak saya, atau video call saat arwah itu datang bertandang, tapi saya khawatir jika anak saya mengira saya sudah gila. Sama seperti Ibu saya, yang tetap mengira, saya hanya terlalu rindu pada mendiang istri saya itu. 

Memang saya akui kalau saya sangat rindu pada istri saya, tapi saya juga sangat sadar bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia, tak mungkin hidup lagi. Kecuali istri saya penganut ilmu hitam yang membikinnya tidak bisa mati, dan saya yakin istri saya tidak begitu. Lagipula, saya tidak menginginkan hal-hal lebih pada arwah istri saya ini, seperti yang sudah saya sampaikan, saya sudah cukup bahagia dengan perasaan bahwa saya tak lagi sendirian di rumah sebesar ini. 

**

Namun, ada beberapa hal yang mulai mengusik rasa tenteram di hati saya. 

Yang pertama, sekitar satu minggu lalu, seseorang berpakaian hitam-hitam, melintas di depan rumah saat saya sedang duduk-duduk minum kopi di teras. Dia menggunakan sepeda motor tua, yang tiba-tiba saja dia rem, lalu berhenti tepat di depan rumah saya. Pekarangan saya cukup luas dan ditumbuhi bunga-bunga dan pohon tinggi, jadi dia tak melihat keberadaan saya, tapi saya cukup jelas melihatnya. Laki-laki berbaju hitam itu turun dari sepeda motornya, berdiri di depan pagar, wajahnya tampak tak senang. Keningnya berkerut, lama-lama makin dalam. Matanya nanar memandang rumah saya secara keseluruhan. Paling lama dia menatap daerah sebelah kanan rumah saya, yang setelah laki-laki itu pergi, baru saya sadari, ada arwah istri saya sedang berdiri di sana. 

Arwah istri saya tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki berbaju hitam itu, karena dia hanya tegak berdiri, dengan pandangan lurus ke jalan. Barulah setelah laki-laki itu benar-benar lama pergi, dia menundukkan pandangan. 

Lalu menoleh pada saya. 

Itu kali pertama, saya dan arwah itu bertukar pandang sejak berbulan-bulan ini. 

Dan untuk pertama kali juga, saya baru menyadari, bahwa parasnya sama sekali tak menyerupai istri saya. Secara keseluruhan, penampakan tubuhnya memang seperti istri saya, rambut tergerai sebahu, punggung yang sedikit membungkuk, dan ditambah pakaian kesukaannya yang secara otomatis langsung membentuk gambaran lengkap istri saya. 

Namun wajahnya, terlihat berbeda. Jauh lebih tirus dan terutama matanya yang sangat cekung sehingga bola mata arwah istri saya itu terlihat sedikit membelalak. 

Saya buru-buru menurunkan pandangan saat itu. Menghabiskan kopi, lalu pindah ke ruang tamu. 

**

Kejadian berikutnya, yang lebih mengganggu pikiran saya, adalah ketika rumah saya kedatangan tamu. Beliau adalah imam masjid yang tinggal beberapa blok dari rumah saya. Sore itu datang terkait sumbangan masjid yang saya berikan saat istri saya meninggal. Saya memang menyedekahkan banyak hal atas nama istri saya untuk masjid, berharap itu mempermudahnya di alam sana.

Jadi, saya sedang sendirian di rumah, perlu saya jelaskan hal ini karena memang belakangan, arwah istri saya datang hampir setiap hari dan bertahan sepanjang hari. Khusus sore itu, hanya ada Pak Imam dan saya yang berbincang di ruang tamu. Saat datang, wajah Pak Imam tampak tak sehat. Memang beliau setahu saya sudah lama sakit kencing manis, tapi sore itu, beliau lebih pucat dari yang pernah saya ingat. Namun, bukan itu yang meresahkan saya—tentu saja saya khawatir pada kesehatan Pak Imam, tapi tak sampai masuk terlalu dalam ke benak saya, setidaknya belum. Pak Imam sedang menyampaikan beberapa hal, termasuk ucapan terima kasih dari ibu-ibu pengajian yang sudah saya berikan banyak hal, ketika terdengar ribut-ribut. 

Sumbernya dari arah dapur. Kami berdua tentu terkaget. Pak Imam sempat berseloroh bahwa kucing saya sedang mengamuk, karena memang ramai sekali bunyinya, seperti piring beradu dan kuali dihempaskan. Namun, karena saya tidak punya kucing, saya menunggu sejenak suara itu berhenti. Karena firasat saya, itu hanya angin. Memang pintu belakang saya biarkan terbuka lebar. 

Ternyata bukan angin. Ketika suara ramai itu tak kunjung berhenti, saya beranjak memeriksanya di dapur. Pak Imam menunggu di ruang tamu. Saat itulah saya melihat kalau arwah istri saya sedang bertengger di atas dinding. Kedua kaki dan tangannya menempel laksana cecak besar, dan sesungguhnya saya sangat kaget. Hampir pingsan rasanya. Arwah itu terus berdiam diri di sudut langit-langit rumah, memunggungi saya. Dapur berantakan, kompor menyala, dan saya duga arwah itu yang melakukannya. Entah dengan alasan apa. 

Saya buru-buru mematikan kompor, mengambil minuman dari kulkas lalu membawanya ke ruang tamu. Saya bilang hanya angin, sebagai penjelasan pada Pak Imam. Dan memang suara itu sudah berhenti saat saya meletakkan gelas di atas meja.

Kami berdua kembali berbincang, meski pikiran saya sudah tidak penuh lagi pada apa-apa yang dikatakan Pak Imam. Saya hanya mengangguk-angguk seperlunya, dan berbasa-basi di sana-sini. Lalu sejurus kemudian, tiba-tiba arwah istri saya keluar dari dapur, menuju pintu depan. Melintasi kami berdua. Saya hanya melihatnya dari ekor mata karena arwah istri saya itu melesat seperti kecepatan kucing yang diburu saat mencuri sesuatu. Tapi yang saya tidak duga, Pak Imam sepertinya juga melihat arwah itu, karena wajahnya langsung seperti kehilangan darah. Dan saat memegang gelas untuk minum air yang saya suguhkan, tangannya gemetar hebat. 

Pak Imam buru-buru pulang, tidak mengatakan banyak hal. Di malam hari, saya mendapati pesan darinya di ponsel saya, menyuruh saya agar berhati-hati. Dia bilang, dia melihat ada jin yang mondar-mandir di rumah saya. Dan dari apa yang beliau pahami, jin itu bukan jenis jin yang baik perangainya. Saya bimbang harus membalas apa, tapi pada akhirnya saya hanya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan saya berjanji untuk berhati-hati.

**

Keesokan paginya saya kembali mendapat pesan di ponsel, tapi kali ini dari grup rukun tetangga. Mengabarkan kalau Pak Imam sudah meninggal dunia, kepalanya terbentur keras saat terpeleset di kamar mandi. Sudah meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Tentu saja itu menyedihkan, dan mengagetkan buat saya, karena kami baru berjumpa sehari sebelumnya. Saya sempat sampaikan perihal itu di grup, menyatakan bahwa hidup memang kadang seperti itu. Kita harus banyak mempersiapkan diri, semoga diberikan kemudahan dalam kehidupan dan kematian, dan banyak anggota grup yang mengamini apa yang saya katakan.

Saya sudah berniat untuk mengunjungi rumah Pak Imam pagi itu. Saya kirimkan pesan ke kantor, bahwa akan sedikit terlambat. Namun, hal berikutnya, yang membuat darah saya berdesir sangat kencang, adalah saat saya menyadari, bahwa di depan pintu kamar saya, sudah berdiri arwah itu. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak memang sengaja menunggui saya tidur. Saya tidak tahu dia sudah berapa lama di sana. Saat itu, kali kedua kami berpandangan.

Saya semakin yakin, kalau raut wajahnya, semakin tidak mirip istri saya. 

Perasaan takut yang muncul di awal-awal kedatangannya beberapa bulan lalu, kini datang kembali. Kali ini, saya merasa tak tenang dengan kehadirannya. 

Saya menunggu beberapa saat sebelum bangkit dari kasur, biasanya arwah itu akan segera pergi dengan sendirinya. 

Namun, tidak, kali ini, dia tak kunjung pergi. 

Malah, dia berjalan mendekat. 

Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur. Berjalan memutarinya, dan segera mandi, membersihkan diri. Saat itulah terpikir dalam benak saya, apakah Pak Imam terpeleset karena sakitnya, atau ada sebab lain. Pikiran itu mengganggu saya sampai sedikit sakit kepala. Saya memutuskan untuk benar-benar berhati-hati pada arwah itu. Saat keluar dari kamar mandi, saya tidak menemukannya lagi. 

Di rumah Pak Imam, saya kemudian bertanya-tanya dengan nada ringan pada tetangga yang sedang bertakziah, adakah yang berpengalaman mengusir jin dari rumahnya. Ternyata banyak juga yang punya cerita tentang jin dan arwah, walau rata-rata hanya dari mulut ke mulut. Tak ada yang mengalaminya langsung. Meski demikian, saya tetap mencatat beberapa nomor telepon yang mereka berikan, siapa tahu ada yang bisa saya hubungi nantinya. 

Dari rumah Pak Imam, saya berniat kembali untuk berganti pakaian kerja. Di depan gerbang rumah saya, terlihat sesosok berbaju hitam yang dulu pernah mampir dan melihat-lihat. Saya ingat padanya karena dari kejauhan, gelagatnya sama. Celingak-celinguk dari depan pagar. Dan saat melihat kedatangan saya, orang itu segera menyalakan motornya dan seperti bersiap akan pergi. Namun, entah apa yang menyebabkannya mengurungkan niat, karena saya lihat dia turun kembali dari motornya. 

Saya ragu-ragu untuk pulang. 

Laki-laki berbaju hitam itu tetap di sana, memandang lurus pada saya. Wajahnya terlihat menyeramkan. 

Saya menghentikan langkah dan menimbang-nimbang. Mungkin, laki-laki itu paham dengan ketakutan saya. Karena kemudian dia menuntun motornya, mendekat pada saya. Saya pikir dia akan berhenti namun tidak, dia terus berjalan melewati saya. Sepintas lalu, saya mendengarnya berucap saat badan kami bersisian. 

“Hati-hati.”

Hanya itu. Lalu sosok berbaju hitam itu melaju kencang.

Saya lantas mencoba berdiri di tempatnya melihat-lihat tadi, meski saya tak bisa melihat ada apa-apa yang aneh pada rumah saya. Kecuali kemudian, saya melihat ada yang bergerak-gerak di atas pohon, dan saat saya mengangkat wajah, arwah itu sedang bertengger di salah satu cabangnya. Matanya tajam menatap pada saya. Entah karena dia sedang menaiki pohon, atau karena masih pagi dan cahaya matahari membelakanginya, saya melihatnya sedikit tak terlampau jelas, tapi saya yakini penampilannya tidak seperti dulu lagi. Dia memang masih memakai pakaian istri saya, tapi rambutnya sudah semakin kasar dan awut-awutan, wajahnya juga semakin tirus, dan yang paling membuat leher dan punggung saya mendingin, adalah matanya yang seperti sumur gelap nan hitam. 

Saya buru-buru masuk ke rumah. Hanya untuk mendapati arwah itu sudah berada di sana duluan. Dia berdiri tepat di tengah-tengah ruang tamu, lekat-lekat memandangi saya. 

Seperti tadi pagi, saya berjalan memutarinya. Namun, ekor mata saya dapat melihat kalau kali ini dia terus mengikuti langkah-langkah yang saya ambil. Saya masuk kamar dan berganti baju. Baru saya sadari saya berkeringat banyak dan rasanya sesak napas. Tapi saya berusaha tetap tenang dan bersikap biasa saat keluar kamar, bersiap pergi kerja.

Arwah itu menghalangi pintu dan tak ada tanda-tanda dia akan menjauhinya. Saya mencoba keluar lewat pintu samping, tapi lagi-lagi dia menunggu di sana.

Kemudian, secara serempak semua daun jendela dan tirai menutup sempurna. 

Saya menelan ludah. Masih berpura-pura tak menyadari apa yang sedang arwah itu coba lakukan, saya lalu membuka laptop di ruang tamu. Menunjukkan kalau saya sedang bekerja, meski sebenarnya saya berusaha mencari-cari di mana saya menyimpan daftar doa-doa. 

Arwah itu berjalan mendekati saya. Mau tak mau saya memandanginya. Kali ini saya sangat yakin, jika arwah itu bukan arwah istri saya. Mukanya sudah tak ada mirip-miripnya. 

Bagaimana bisa saya terpedaya olehnya?

Saya jadi bertanya-tanya, perlukah saya benar-benar menghubungi nomor orang-orang pintar yang sempat saya simpan barusan?

***** selesai *****

flashfiction cermin

Cermin

Tak banyak yang paham bahwa jauh di dasar tiap-tiap ‘rumah’, terdapat ruang rahasia tempat menyimpan cermin gambaran jiwa. Mulai dari gubuk derita sampai ke istana raja sekali pun, pasti punya. Semula aku pun tak tahu tentang hal ini.

Singkat cerita, aku baru saja melakukan operasi pada hidungku. Sekian lama aku memimpikannya: berhidung tinggi layaknya artis luar negeri. Tak kurang dua minggu kerjaanku hanya bercermin saja. Ketika mulai bosan, aku mencari cermin baru yang lebih besar, begitu terus berulang, sampai kemudian, saat itulah aku menemukannya. Terpasang indah pada dinding ruangan bawah tanah.

Ruangan itu ada begitu saja.

Tak sempat aku memikirkan asal-usulnya, segera aku menghambur ke depan cermin, mematut diri. Namun, yang terpampang di sana nyaris saja membuat gila. Hidungku yang seharusnya indah tampak meleleh turun. Tak hanya itu, kulitku kisut dan terlihat urat-urat berakar pada tiap ruas badan.

Sontak aku menjerit.

Tapi bayangan di cermin tidak. Ia terus mematut dirinya yang buruk rupa. Matanya berkilauan seakan ide-ide cemerlang sedang berlintasan di dalam kepala. Aku menangis, ingin berlari meninggalkan cermin tapi kakiku terpaku. Sampai akhirnya aku pingsan ketakutan.

Ketika terbangun, aku bukanlah orang yang sama. Kuceritakan pengalamanku pada suamiku dan ia hanya tersenyum penuh makna. “Hidup jangan mengejar rupa,” ia berbisik dan menarikku dalam dekapan.

Aku mengangguk perlahan. Tersadarkan.

***

Originally posted here. I made several little edit.