Arsip Tag: dokter

Maut Melengking di Gang Buntu 1

Maut Melengking di Gang Buntu

“Kau tahu mengapa mereka menyebutnya ‘gang buntu’?”

Huh?

“Karena sesuatu yang buntu dijajakan di sana.”

“Pasien itu datang mengeluhkan rasa sakit di pinggangnya. Katanya dia mau melahirkan. Saat diperiksa tekanan darahnya tinggi. Saya sebenarnya sempat merasa curiga, ketika dia dan temannya memberikan jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama.”

“Pertanyaan apa?”

“Suaminya di mana.”

“Pasien itu pre-eklampsia1. Saya sudah konsultasikan kepada dokter kandungan yang bertanggung jawab. Beliau putuskan untuk di-ter-mi-nasi.”

“Apanya?”

“Apanya?”

“Yang diterminasi.”

“Kehamilannya.”

Polisi itu terlihat malu.

“Saya pikir pasiennya.”

“Salah satu risiko dari pre-eklampsia berat terhadap janin memang seperti itu. Kita sudah memutuskan untuk merujuk bayinya ke rumah sakit yang lebih lengkap, tapi keluarganya menolak.”

Lha, katanya dia tak punya keluarga di sini?”

“Temannya itu mengaku keluarganya. Ternyata bukan.”

“Lalu siapa?”

“Ternyata ibu kosnya.”

“Warga menolak karena ibunya tidak punya identitas yang jelas. Bahkan katanya belum lapor dengan RT. Mereka tidak mau memakamkan bayinya sampai identitasnya jelas.”

“Jelas bagaimana?”

“Ya, pokoknya jelas. Mereka takut aib.”

“Yang aib itu kalau menolak memakamkan bayi yang tidak tahu apa-apa tentang identitas kita semua.”

“Jadi sebenarnya dia punya suami apa tidak?”

“Menurutmu?”

“Buktinya dia hamil.”

“Dayang Sumbi hamil dengan seekor anjing.”

“Itu kan cerita.”

“Itu sindiran.”

“Sekarang yang jadi masalah sebenarnya apa? Masalah pemakaman? Identitas pasien? Yang bertanggung jawab membayar? Aku bingung.”

“Semua juga bingung.”

“Bisakah kau periksa tekanan darahku?”

“Bisakah aku memeriksanya di lehermu?”

“Dokter bisa membantu untuk memimpin sholat?”

“Sudah bisa dimakamkan?”

“Sudah. Tapi bayinya baru dimandikan.”

Oh.

“Bisa?”

“Bisa. Umh. Lima menit. Saya google dulu.”

“Intinya, rumah sakit ditegur karena memberikan persetujuan penolakan tindakan rujuk padahal yang menandatangani bukan keluarga inti pasien.”

“Kan tadi sudah dijelaskan kalau terjadi salah paham.”

“Iya, itu bukan pembenaran, tapi bisa dijadikan pembelajaran.”

“Lalu kalau benar-benar tidak ada yang bisa bertanggung jawab?”

“Menurutmu?”

“Kau pernah ke Gang Buntu itu?”

“Menurutmu?”

“Kau tersinggung ya?”

Semua orang tersinggung pagi ini.”

“Aku tidak.”

“Itu menjelaskan semuanya.”

“Lalu mengapa warga membiarkan mereka tetap jualan?”

“Menurutmu?”

“Karena masih ada yang beli?”

“Menurutmu?”

“Menurutku, kau tak pernah suka padaku.”

“Menurutmu?”

— 

Seminggu 3

Seminggu

“Kau memakai sendalku.” 

Itu bukan pertanyaan.

Aku memutar badan dan mendapati wajah cemberut Citra. Terpaksa kulepas sendal di kakiku. Citra kemudian pergi melengos dengan gaya yang berlebihan. Aku bergegas, setengah berlari kembali ke ‘ruko’,—singkatan untuk ruang koas1—mencari sendal milikku sendiri; hampir tak bisa kupercaya tadi Citra tidak memakai alas kaki sama sekali. 

Membuka pintu, kudapati Iqbal yang sedang bercukur, handuk menutupi bahu dari rambutnya yang terlihat masih meneteskan air. 

“Apa yang kau lakukan?!” jeritku. 

Koas memiliki ruang istirahat terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Iqbal memalingkan wajah dengan raut tak berdosa, “Kamar mandi kami sedang tidak ada air.” Bisingnya alat cukur memenuhi ruangan, sesaat aku terpaku melihat alat yang sedang bergerak-gerak di dagunya. “Berapa pasienmu? Sepertinya banyak.” 

Aku tak menggubris pertanyaan retorisnya dan buru-buru mencari sendal. “Kau melihat sendal warna merah? Yang ujungnya robek?” 

Iqbal memiringkan wajahnya sedikit, seperti mengingat-ingat. “Kalau tidak salah dipakai Lia.” 

“Oh, demi Tuhan.” Hanya tinggal dua pasang sendal di ruangan itu. “Sendalmu yang mana?” 

“Yang hitam.” 

Aku buru-buru mengenakan sisanya dan secepat kilat menutup pintu. Mood-ku sedikit rusak karena Citra yang sudah repot-repot minta ganti sendal di pagi buta di saat pasien melimpah ruah dan aku belum tidur sepicing pun sejak jam delapan malam! 

Menggeretakkan gigi, kutarik napas dalam-dalam, dan sekali lagi membaca daftar pasien yang belum kuselesaikan laporan visite2-nya untuk pagi ini. 

Tujuh pasien baru. Tujuh. 

Kupejamkan mata. 

Dan delapan pasien lama. 

Aku mencoba memetakan denah ruangan masing-masing pasien tersebut dalam kepalaku dan menetapkan rute visite yang paling efisien. Kulirik jam di pergelangan tangan. Seharusnya waktunya cukup. 

Baru aku akan melangkah saat kurasakan seseorang menggamit bahuku.

“Apakah kau menggunakan penaku?” 

Astaga, Citra!

***

Aku menarik napas lega memasuki ruang perawatan III-D karena tidak satu pun pasien di ruangan ini merupakan tanggung jawabku, yang artinya aku bisa bersandar di dinding dan memejamkan mata sembunyi-sembunyi. Telingaku menangkap sayup-sayup gumaman Pedro yang sedang menyampaikan laporannya di depan konsulen3 pagi ini, dokter Wahid. Mataku nyaris terkatup sepenuhnya ketika kurasakan seseorang menggamit sikuku. 

“Kau belum mandi?” bisiknya.  

Aku membuka mata. Daniel seperti menahan senyum memandangiku. Aku membelalakkan mata padanya—bukan urusanmu, kataku tanpa suara. Ia hanya meneruskan senyum terkulumnya. Kemudian ia mengedikkan kepala ke arah tempat tidur di sampingku, masih berbisik. “Itu pasien siapa?” 

Seorang kakek. 

Aku mengingat-ingat. “Pasien titipan, dari ruang saraf. Mereka juga kebanjiran pasien tadi malam,” jawabku sambil memanjangkan leher, berbisik di samping telinga Daniel. Meskipun begitu aku hanya mencapai lehernya karena keterbatasan tinggi badanku. Tak sengaja kuhirup parfum yang ia gunakan. 

Bagus sekali, aku merasa kotor berdiri di sampingnya. 

Kami baru mencapai tempat tidur pasien terakhir di ruangan III D ketika sekelompok koas bagian saraf memasuki ruangan diiringi Dokter Suki, konsulen visite mereka, dari ekor mataku kulihat Lovina yang menjelaskan kondisi kakek itu. 

Sepertinya kakek itu stroke4. Tapi sudah membaik. Di samping tempat tidur kulihat seorang nenek sedang duduk; kentara sekali ia kurang tidur, kepalanya terangguk-angguk saat mendengarkan dokter Suki bicara pada si kakek. Tepat di samping kakinya, tersuruk di bawah tempat tidur, kulihat satu tas kain jinjing kecil berisi pakaian yang menyembul-nyembul keluar. Selain dari tas itu, tidak kulihat ada barang lain kecuali setumpuk kecil pakaian lain di atas pangkuan si nenek. Baru kusadari bahwa sambil mengangguk-angguk tadi si nenek ternyata sedang melipat pakaian. 

Aku jadi lebih memerhatikan mereka dibanding pasien sesak-napas yang sedang dijelaskan Iqbal pada dokter Wahid. Kulihat dokter Suki menepuk-nepuk pundak si kakek dan mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang. Si nenek tampak tersenyum, masih dengan anggukan kecilnya. Sejurus kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas air minum yang diminta oleh si kakek. Saat membantu si kakek minum, tangannya terlihat gemetar. Keningku berkerut, memperkirakan umur pasangan tersebut. 

Sikuku kembali digamit Daniel, kali ini ia melirikku dengan tatapan tajam. Ketika kualihkan pandangan darinya, kulihat dokter Wahid sedang memberiku tatapan tak sabar. Tanpa sadar aku menganga. 

“Berapa-urine-output5pak-Sanusi.” Daniel berdesis di telingaku. Aku bisa merasakan di balik kerudungku telingaku panas, separuh karena malu dan separuh karena Daniel yang melakukannya. Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaan tersebut sambil melirik pada Iqbal yang meringis meminta maaf karena tidak mencatat data yang telah kuberikan sebelumnya padanya. Aku hanya memutar mata dan terus menjelaskan. 

Sebelum keluar ruangan sejenak aku kembali memerhatikan pasangan renta tadi. Si nenek berusaha menyelipkan sisa pakaian yang belum ia masukkan ke dalam tas kemudian memberesi beberapa gelas dan piring plastik ke dalam kantong kresek hitam, sementara si kakek tampak kembali tidur. 

*

Sehabis visite aku bergegas mandi—ini satu-satunya waktu yang paling aman karena seusai visite seluruh perawat akan sibuk menyiapkan tambahan terapi dari masukan para konsulen, mengisi chart-chart setiap penghuni tempat tidur, hingga memastikan seluruh permintaan pemeriksaan tambahan laboratorium ataupun radiologi sudah dikirimkan; dan kami para koas akan seperti kasat mata oleh semua orang di waktu ini (yang sesungguhnya merupakan anugerah terindah). Sebelum mandi kukirim SMS kepada Lovina mengatakan ada yang ingin kutanyakan padanya, memintanya untuk bertemu di lantai satu rumah sakit saat pulang nanti. Usai mandi aku mendapati pesanku telah dibalas dan ada dua missed calls

Daniel dan Ibu. 

Aku masuk ke kamar ganti sambil membawa handphone, mendapati Citra dan Lia sedang berbagi mie goreng, bibir mereka tampak berminyak. Ruang ganti sempit itu penuh aroma makanan sekarang. 

“Kita tidak punya jadwal sampai jam 12, kan? Bisakah aku skip jadwal di poliklinik? Aku ingin tidur sebentar saja.” Kutekankan nada bicaraku pada kata sebentar. 

Citra menggeleng cepat. “Hari ini jadwal poliklinik dokter Nurul. Akan rame sekali. Kau tidak bisa skip.”

Aku memicingkan mata, otakku memikirkan bagaimana bisa ia terus mengunyah sambil mengeluarkan kalimat barusan tanpa ada kesan tersedak. Diam-diam aku memikirkan melakukan Heimlich Manuver6 pada Citra, dengan sedikit beringas tentunya.

“Tadi Daniel kemari saat kau mandi.” Lia mengulurkan sebuah kotak. Aku menerimanya. Membukanya. 

Oh. Daniel. Hatiku seperti meleleh. 

“Bagaimana kau bisa belum mandi dan belum sarapan? Apa saja kerjamu semalaman? Pasien ramai sekali?” Citra bertanya sambil menjilati sendok dan garpunya. Aku memilih tidak menjawab demi menjaga kesehatan mental. Cepat kuambil handphone dan mengirim SMS pada Daniel. 

Thanks for the breakfast. Ha-ha.

Sejurus kemudian balasannya datang. 

Baru dimakan? It’s brunch then. Nanti ke poliklinik?

Tanpa bisa kutahan wajahku memanas. Kupalingkan wajah dari Citra dan Lia.

Poliklinik. Tidak. Poliklinik. Tidak. Aduh, aku mengantuk sekali. 

Tidak. Kukirim pesan itu dengan cepat. 

*

“Kau menunggu siapa?” 

Aku tersentak bangun. Daniel memamerkan senyumnya yang bertebarkan barisan gigi nan rapi. Jasnya dipeluk di depan dada. Kuintip jam di pergelangan tanganku. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini selalu rapi dan wangi?

Aku mendengus, mencoba menarik napas dari kedua hidungku yang nyaris buntu. “Aku? Aku menunggu Lovina.”

“Kau bisa tidur di mana saja. Luar biasa.” 

Aku mengangguk-angguk pelan. “Kau tahu, Daniel, aku hanya memejamkan mata,” kemudian menggeleng, “bukan tidur.”

Daniel kembali tersenyum. Ia kemudian mengambil tempat di sampingku. “Aku melihatmu tidur selama sepuluh menit penuh. You’re lucky I didn’t take picture of this.” Dia memperagakan wajah bodoh dengan mata terpejam, jarinya mengisyaratkan lelehan liur dari satu sudut mulut. 

Wajahku terasa panas sekali. Dengan salah tingkah aku memeriksa isi tasku. “Oh. Ha-ha. Kau pasti melebih-lebihkan saja. Bagaimana bisa aku tidur selama itu. Haha.” Setelah tidak berhasil menemukan sesuatu yang pantas untuk kucari dari dalam tas, aku menarik selembar tisu dan mengembuskannya kuat-kuat menutupi hidung, sekalian mengusap sudut bibir. “Kau dari mana?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Tadi baru selesai bimbingan referat5 dengan dokter Liliana.”

Aku mengangguk-angguk pelan. “Oh, hei. Terimakasih tadi untuk sarapannya!” 

Daniel tidak menjawabku. Aku kemudian berpaling kepadanya. Ia kemudian berkata. “Bisakah kau bersikap biasa saja? Aku hanya seseorang yang kebetulan menyukaimu. Kau tidak perlu membuatku merasa tidak enak.” 

Oh, Tuhan. 

Kurasakan darah mengalir deras dalam jumlah yang tak wajar ke kepalaku, berkumpul di wajah. Jantungku memukul-mukul keras dinding dada.

“Kau sendiri yang mengatakan bahwa tidak ada yang berubah dari hubungan kita. We’re still friend. I accepted it. You don’t like me. I am cool with that.” 

Aku memandangi jari-jariku, seperti pesakitan menunggu putusan. “Ya, but for the record, aku nggak pernah bilang ‘i don’t like you’, ya.” 

Daniel terkekeh, “Bisakah kau bersikap biasa saja? Jika kau terus seperti ini, aku akan salah mengerti.” 

Aku menghela napas panjang kemudian memiringkan tubuh padanya, tidak menatapnya secara langsung, hanya memperhatikan kedua pergelangan tangannya yang entah mengapa menurutku kokoh sekali. 

Oh Tuhan. Ampuni pikiranku. 

Kukumpulkan lagi segenap hal yang tadi ingin kukatakan. 

Aku berdeham satu kali. “Daniel. Maafkan aku. Aku mengantuk sekali.” Sialan. Aku menggeleng kuat. “Bukan itu yang ingin kukatakan. Maksudku…”  

Daniel mendorong dahiku pelan-pelan dengan pena di tangannya. Membuatku berhenti menggeleng. Ia kemudian bersandar. “Sudahlah. Kau tidak usah menjelaskan. Nanti saja.” 

Aku terdiam. Perlahan aku meliriknya. Demi Tuhan, bagaimana bisa suasananya jadi serupa dengan seminggu yang lalu?  

*

Aku baru pulang dari poliklinik dan mendapat SMS dari Ibu kalau tante Mia, tetangga sebelah rumah—dirawat di rumah sakit karena akan operasi batu kandung empedu, jadi sepulangnya dari poli aku menyempatkan diri untuk menjenguknya, ujung-ujungnya aku malah ketiduran di sofa penunggu pasien dan baru tersadar ketika sudah hampir senja. Tante Mia mengatakan ia sengaja tak membangunkanku karena sepertinya aku kecapean.

Ketika turun aku sudah kelaparan setengah mati jadi aku membeli roti sobek di cafe rumah sakit dan duduk di bangku lobi—tentunya setelah memastikan tidak ada atribut koas yang masih melekat di tubuhku. Bisa mati kalau kedapatan leyeh-leyeh makan roti di lobi saat sedang jam dinas. Meskipun tentu saja petang itu aku memang sudah lepas dari tanggung jawab. 

Saat itulah aku melihat Daniel, ia belum melihatku sampai aku meneriaki namanya dan mengacungkan roti seakan-akan itu umpan. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Makan roti lebih banyak dari yang kutawarkan padanya. Saat kuprotes ia mengatakan bahwa ia sedang sangat kelaparan dan sedang tidak membawa uang. Aku menertawainya karena bagiku itu lucu sekali.

Seorang Daniel kelaparan dan tidak punya uang.

Daniel tentu saja protes. Tapi aku menjelaskan pendapatku, “Menurutku kau orang terakhir yang mungkin akan kelaparan. Kau bisa mengubah apa saja menjadi makanan.” 

“Menurutmu begitu?” mata Daniel terlihat bersinar. Ia menepuk-nepuk remah roti dari sela-sela jarinya. 

“Menurutku kau bisa membuatkanku sarapan setiap hari sampai aku mati. Aku tidak akan menolak.” 

“Kalau makan siang dan makan malam?”

“Untuk makan siang, kurasa selera kita sedikit berbeda, kau terlalu simpel untuk makan siangmu dan aku akan kelaparan jika makan makanan seperti itu. Tapi untuk makan malam, kurasa sudah tepat sekali, meski aku baru sekali makan masakanmu saat buka puasa bersama tahun lalu. Bisa saja kau membelinya di restoran.” Aku mengikik, hampir saja tersedak. Cepat kutenggak air minum yang sempat kubeli. 

Daniel tampak tersenyum melihatku. Aku membelalak padanya. “Kau senang aku mati tercekik roti?” 

“Aku bisa saja membuatkanmu sarapan setiap hari.” 

Aku tergelak. Mengangguk-angguk penuh semangat. “Oke-oke. Bagus sekali. Katakan saja berapa biayanya.” 

“Aku juga bisa saja masak makan siang yang cocok untuk seleramu. Dan jika makan malam sudah pas, aku rasa tidak terlalu banyak masalah.” 

Kurasa saat itu aku tertawa sampai keluar air mata. “Kau baik sekali. Aku bisa dimarahi ibumu jika sampai ketahuan membuatmu harus memasak sebanyak itu setiap hari.” 

Ibu Daniel adalah Tante Mia. Aku jadi teringat tentangnya, “Hei, kau tidak pernah cerita tentang sakit ibumu.”

Daniel hanya menggeleng-geleng pelan. “You know her. Tidak akan bilang sakit sampai benar-benar tumbang. Aku sudah curiga beberapa hari sebelum ini, tapi Ibu tidak mau disuruh periksa. Jadi ya… begitulah.” Dia mengangkat bahu, kemudian duduk bersandar. Dengan punggung tangan disekanya pinggiran bibirnya. “Tadi dia sms kalau kau baru menjenguknya. Thanks, ya.”

Aku mendengus, mengangkat bahu pelan. “Yah, semoga semuanya berjalan baik dan lancar.”

“Hei, aku bisa meminta airmu?” Daniel menghabiskan sisa roti, mengangsurkan plastik pembungkusnya padaku. Mulutnya penuh.

Aku memicingkan mata padanya. “Aku cuma punya sebotol ini.” 

“Kau harus bisa berbagi pada orang yang akan mendampingimu seumur hidupmu.” Selepas itu ia dengan enteng mengambil botol air mineral yang ada di sampingku dan menenggaknya sampai separuh habis.

Aku menatap jakunnya yang bergerak-gerak saat minum, sampai kemudian kalimatnya yang terakhir itu tercerna oleh otakku. Detik itu juga ia berhenti minum dan menatapku dengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. 

“Kau melihat hantu?” ia mendorong penanya ke depan dahiku. 

Aku menarik botol air mineral dari tangannya. “Jangan katakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah berpikir tentangmu.” 

Ia tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

*

“Apakah suasana ini membuatmu mengingat minggu lalu?”  

Aku memalingkan wajah padanya. “Kau sekarang bisa membaca pikiran?” tanpa bisa kutahan nada bicaraku jadi sinis. 

Daniel mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi?”

Aku sampai terkesiap. Alasan aku menunggu Lovina sampai sesore ini adalah untuk menanyakan pasien tersebut. Entah mengapa, hatiku seperti tertambat pada mereka. Dua orang yang terlihat begitu sendiri. Namun saling memiliki. 

“Aku pernah merawat si nenek saat di bagian Jantung.” Daniel menunggu beberapa saat untuk kemudian kembali bicara. “Kau ingat pasien saraf titipan tadi tidak?”

“Teruslah bicara.” Aku memberengut padanya. Ia terkekeh. 

“Saat itu beberapa bulan lalu, aku sedang visite pagi, dan nenek itu sedang dalam kondisi sesak sekali. Ia tidak bisa berbaring. Hanya bersandar. Kutanyakan apakah ia bisa tidur tadi malam. Ia berkata bahwa ia masih bisa tidur meski hanya sebentar. Aku melihat mereka hanya punya bantal sepotong, sedangkan tempat tidur yang nenek itu gunakan tidak sepenuhnya bisa dinaikkan posisi sandarannya, sehingga jika nenek itu harus bersandar, ia tetap merasa sesak. Saat itu aku sempat bercanda pada si kakek bahwa sebagai suami yang baik, harusnya kakek berkorban meminjamkan bahunya sebagai bantal nenek. Kau tahu apa yang dijawab oleh kakek itu?”

Aku diam. Daniel menghela napas, berdeham kecil. “Kakek itu mengatakan bahwa ia bisa menahan tubuh nenek untuk bersandar, tapi tidak untuk waktu yang lama.” Daniel mendengus pelan, hidungnya seperti beringus. “Karena ia pernah kena stroke—jadi jika dia kembali dirawat saat ini, berarti stroke berulang atau semacam itu—, intinya tubuhnya tidak kuat untuk menahan tubuh si nenek terlalu lama.” 

Aku tidak tahu harus berkata apa. Juga masih menerka-nerka arah pembicaraannya.

Daniel kemudian berkata lirih, “Aku serius saat mengatakan ingin menghabiskan hidup bersamamu. Saat melihatmu, aku bisa melihat masa depanku. Aku kenal denganmu sudah cukup lama. Aku ingin menjagamu saat kau sakit. Aku ingin kau yang menjagaku saat aku sakit. Meskipun tentu akan lebih baik jika tidak ada yang sakit.” Daniel cepat-cepat menambahkan kalimatnya, senyumnya tertahan, kemudian ia menggeleng. Suaranya terdengar parau saat kembali berucap, “Ketika pagi ini kembali melihat pasangan kakek-nenek itu, aku hampir menangis. Hidup mereka mungkin terlihat menyedihkan di mata orang, tapi sepenuh hati aku iri pada mereka yang saling menguatkan. Aku tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Jadi jika kau benar-benar tidak bisa, katakan sekarang dan aku akan menerimanya sebagai suatu kenyataan.” 

*

… 

Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menarik pandangan. “Jika aku tidak salah dengar, bisa saja aku menganggap kau baru saja mengajukan lamaran padaku.” 

“Jika aku tidak salah dengar, tadi kau yang mengatakan ingin aku memasak untukmu—seumur hidupmu.” 

Punggungku meremang. “Daniel, I was just kidding.” 

But I’m not.” 

“Daniel… kau jangan menakutiku.” 

“Kau tidak seharusnya takut akan cinta.”

Aku menggeleng pelan dan perlahan senyumku mengembang. “Kau terlalu banyak makan roti dan sekarang bicaramu melantur. Kurasa aku harus pulang sekarang. Dan kau juga sebaiknya kembali ke kamar ibumu. Atau jaga malam. Kau sedang jaga, kan?”

Is it a ‘no’?

Aku sampai ternganga. “Demi Tuhan, Daniel. You’re my friend. One of the best. Aku tidak ingin lelucon seperti ini membuat kita jadi tidak nyaman satu sama lain.”

So now my confession is a joke?

Aku bangkit dan mengemasi jasku. Kujejalkan sisa bungkusan roti dan air mineral ke dalam tas sandangku. “Okay, kuberikan satu minggu padamu dan tunjukkan padaku bahwa ini bukan lelucon.” 

Daniel tersenyum. “Fine. One week.” Ia mengulurkan tangannya padaku. 

Aku balas tersenyum. “Oh. Please.” Kemudian bergegas pergi. Sejurus kemudian aku berbalik dan berteriak padanya. “Kau bisa memulainya dengan membuatkanku sarapan.” 

***selesai***

  1. koas; co-ass, dokter muda, sarjana kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. 
  2. visite; kegiatan mengunjungi pasien rawat inap, meliputi pemeriksaan mendalam mengenai keluhan subjektif dan objektif pasien, serta penatalaksanaan yang sesuai untuk saat itu.
  3. konsulen; konsultan, dokter spesialis/sub-spesialis.
  4. stroke; cerebrovascular accident, cva, kondisi di mana otak mengalami gangguan suplai darah bisa karena pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh darah di otak, manifestasinya sesuai fungsi otak yg terganggu suplainya.
  5. urine output; buangan/produksi urine, salah satu komponen yang diukur saat mengukur keseimbangan cairan pasien.
  6. Heimlich Manuver; prosedur pertolongan pertama pada kondisi sumbatan jalan napas dengan memberikan tekanan tiba-tiba pada area antara pusar dan ulu hati.
  7. referat; salah satu jenis tulisan/laporan, membahas topik tertentu yang disadur dari banyak referensi. 
Di Tepi Sungai 5

Di Tepi Sungai

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Namanya Hena. Aku tidak ingat persis kapan pertama kali mengenalnya. Sejauh yang bisa kukenang, ia salah satu teman bermain jika aku sedang liburan ke kampung kakek-nenek. Ia anak tetangga kakek-nenek. Dua rumah di sebelah kanan. Tepat di penghujung jalan.

Aku dan Tian — sepupuku,  terbiasa melintasi rumahnya untuk mencapai anak sungai kecil tempat kami mencari udang ataupun ikan kecil yang mabuk saat air pasang naik bercampur dengan hujan deras yang turun saat malam hari. Kadang Hena akan ikut turun ke tepi sungai, tapi lebih sering ia hanya memandangi dari tepian rumah, duduk di teras, menggelantungkan kedua belah kakinya yang telanjang.

Hampir semua rumah di kampung adalah rumah panggung. Sehingga bagi kami yang hanya sepinggang orang dewasa, kolong rumah adalah tempat bermain yang luar biasa menyenangkan. Sebagai umpan untuk memancing, biasanya kami akan mencari cacing. Mereka tidak suka terkena sinar matahari jadi tempat terbaik untuk menemukannya adalah di bagian bawah rumah, tempat terakhir cahaya akan masuk. Tian pandai sekali mencari cacing. Dalam setiap bongkahan tanah yang ia cungkil, dengan sigap ia akan menemukan satu-dua ekor cacing tanah yang tidak mudah untuk ditangkap. Selain karena memang licin, rasanya sedikit geli jika belum pernah memegangnya. Di antara gumpalan tanah liat, kau sebenarnya tidak terlalu merasakan gerakannya kecuali jika ia benar-benar telah menyentuh telapak tanganmu. Atau menjalari lenganmu. Aku pernah sekali sampai terpekik ketika alih-alih melarikan diri dari tangkapanku, cacing itu menggeliat naik ke atas siku.

Kurasa itu pertama kali aku mengenal Hena. Mungkin mendengar teriakanku, ia dengan sigap menelungkup di teras rumahnya, menjulurkan leher dan kepala, mengintip ke bawah rumah. Aku kembali berteriak karena gerakannya yang tiba-tiba itu membuatku seperti melihat kepalanya melayang dari atas dan putus jatuh ke bawah. Tapi nyatanya kepala itu hanya menggantung dan berayun-ayun. Dalam posisi terbalik aku bisa melihat kalau ia tersenyum lebar. Gigi depannya sedang tanggal dan gigi penggantinya baru tumbuh setengah.

Tian hanya menjulurkan lidah padanya. Tawa Hena pecah. Ia kemudian menarik kepalanya dan sejurus kemudian kami kembali melihat sepasang kakinya yang telanjang, bergoyang-goyang. Ia sedang berdendang.

*

Setiap kali aku kembali ke kampung pada liburan berikutnya, aku akan melihat kalau Hena menjadi orang yang berbeda. Sebenarnya wajar saja, karena aku sendiri tidak pernah benar-benar mengingatnya, dan kurasa anak-anak seperti kami yang sedang dalam masa tumbuh akan sekali dua kali terlihat tidak normal bentuk tubuhnya.

Lambat laun, aku menyadari bahwa meski kami sering sekali melintasi rumahnya, atau bermain di sekitar sana, Hena jarang sekali bergabung. Ia biasanya akan langsung menghilang ke dalam rumah jika ada yang menegur atau mengajak bicara. Kurasa itu alasan Tian secara konsisten hanya menjulurkan lidah atau mengangkat alis, ataupun sedikit membelalak setiap kali kami berpapasan dengannya. Hena tidak lari jika diperlakukan begitu, ia hanya akan balas mengikik. Atau seperti yang kukatakan sebelumnya, ia bisa saja akan turut serta turun ke tepi sungai, sekedar membuat keruh air tempat kami mencari udang.

Suatu kali, aku datang ke kampung kakek-nenek tidak dalam rangka liburan. Tapi pernikahan Paman Rizal, adik terakhir ibu. Aku ingat suasananya jadi berbeda sekali. Mulai dari rumah yang terasa begitu ramai dengan handai taulan yang juga datang dari jauh, hingga kenyataan bahwa di pagi hari, aku akan lebih sering bermain sendiri. Karena Tian tidak sedang libur, aku terpaksa bermain dengan sepupu-sepupu lain. Mereka anak kota yang mungkin saja asyik sebagai teman jika sedang di kota, tapi ketika di desa, mereka semua jadi membosankan dan memuakkan. Salah satu dari mereka, bahkan tidak lepas bermain di gawai sepanjang hari.

Aku sendiri anak kota, tapi selalu merasa girang jika bisa bersentuhan langsung dengan alam. Kuingat ketika Tian pertama kali membantuku membuat layang-layang, dan benangnya putus ketika kami adu gelasan, kami semua berlari mengejar layang-layang tersebut sambil tertawa-tawa menerabas semak-semak penuh lintah. Sampai di rumah aku dimarahi ibu karena menurutnya anak perempuan tidak selayaknya berbuat seperti itu. Tian juga dimarahi. Tapi seperti biasa, Tian hanya tersenyum dan mengedip nakal padaku, seakan janji bahwa besok kami akan main lagi. Dan aku sendiri juga tahu bahwa ibu tidak benar-benar marah padaku, ia hanya kesal karena rok yang baru ia berikan minggu lalu robek tersangkut kayu ketika aku berlari dalam ranting dan perdu.

Untuk itu, pagi hari pada saat penghuni rumah asyik mempersiapkan pesta, aku menyelinap keluar setelah menghabiskan sarapan. Sekedar berjalan-jalan di setapak yang tepiannya ditumbuhi rumput setinggi mata kaki, atau menendang-nendangi rumpunan putri malu yang rajin tumbuh di sekitar pohon pisang yang banyak berkerumun di tepian telaga.

Saat itu aku melihat Hena. Ia tidak sekolah.

Hampir aku meneriakinya untuk mengajak bermain, namun ingat bahwa ia akan segera menghilang di balik pintu, aku hanya memberi senyum padanya. Kurasa Hena mengingatku, sebagai teman Tian, karena ia membalas senyumku. Kali ini, giginya sudah tumbuh dengan rapi. Bahkan sangat rapi.

Aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai naik ke teras rumahnya, lalu duduk di sampingnya, mendengarkannya berdendang. Ia tiba-tiba menggamit punggungku. Semula aku tidak mengerti, namun kemudian aku berbalik dan merasakan tangannya telah ada di rambutku. Rupanya ia ingin membuat jalinan pada rambutku yang panjang sepunggung. Aku senang saja. Sambil menjalin rambut, Hena terus berdendang.

Tidak benar-benar berdendang sebenarnya, sebab ia hanya seperti mendengung. Tidak ada kata-kata yang benar-benar terucap.

Lama setelah hari itu berlalu, aku baru tersadar. Hena tidak pernah bicara.

*

Setelah lulus SD aku jarang menghabiskan liburan di kampung kakek-nenek. Alasan terkuatnya jelas karena aku memang lumayan sibuk dengan sekolah. Tidak seperti sekolah dasar yang ketika libur tidak ada tugas yang benar-benar penting untuk dikerjakan, sekolah menengah bisa sangat menyebalkan karena alih-alih bisa liburan, para guru seperti kerasukan setan, mereka akan memberikan berlembar-lembar tugas yang harus segera dikumpulkan ketika awal minggu semester baru dimulai. Sehingga kerap kali liburan justru seperti kontes mengerjakan tugas. Sejujurnya aku rindu sekali bisa berlibur.

Alasan lain aku tidak lagi ke kampung kakek-nenek adalah karena Tian sudah tidak lagi seperti dulu. Aku ingat terakhir kali bertemu dengannya saat akhir kelas tiga SMP. Waktu itu kakek sakit keras dan kami sekeluarga menjenguknya. Aku bisa bersumpah bahwa tidak ada anak laki-laki di kelasku yang tumbuh sebesar Tian. Ia bahkan sudah melebih tinggi Ayah. Sore harinya saat aku turun hendak mandi sebelum magrib aku berpapasan dengannya saat ia baru kembali dari sungai selepas mencari ikan. Ia hanya mengenakan celana training lusuh dan singlet yang aku yakin sebelumnya berwarna putih, namun karena terlalu banyak dicuci ataupun dipakai, atau mungkin keduanya, kini berwarna kekuningan pudar. Ia seperti biasa mengangguk dan memberikan senyum khasnya. Aku justru yang tidak bisa bersikap biasa melihatnya seperti itu, aku hanya memberikannya tatapan datar dan bergegas memasuki kamar mandi.

Itu terakhir kali aku melihat Tian.

*

Lalu hari itu datang.

Aku sedang menjalani kuliah Fisiologi ketika handphoneku bergetar pelan menandakan sms masuk. Aku tidak memeriksanya sampai pelajaran selesai dan ketika membacanya, kurasakan lututku lemas sekali. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan perasaanku saat itu. Aku merasakan sebagian jiwaku pergi dan kembali sesuka hati, membuatku tidak benar-benar utuh. Membuatku runtuh.

Aku sampai harus diantar pulang ke rumah.

Tian menghilang.

Kapal ikan yang biasa membawa hasil tangkapan laut yang sering melintasi kampung kakek-nenek mengalami kecelakaan menabrak karang. Saat itu memang musim badai. Tidak ada yang selamat dalam musibah laut itu.

Begitu juga Tian yang sedang ikut melaut dalam kapal itu.

Aku tidak pernah hadir di rumah kakek-nenek dalam suasana duka. Bahkan ketika kakek meninggal dua tahun sebelumnya, aku tidak hadir. Kali ini, untuk pertama kalinya, rumah dan kampung kecil tempatku memastikan hanya ada bahagia di luar sana, memberiku rasa dingin yang tidak dapat kumengerti. Untuk pertama kalinya, aku merasa menjadi dewasa itu tidak menyenangkan sama sekali. Aku bisa melihat bayanganku memudar dan terbawa angin malam, menyusuri tepian sungai tempat kami biasa mandi setelah mencari udang. Sedetik pun aku tidak pernah bisa menerima Tian pergi dengan cara seperti itu.

Mayat Tian tidak pernah ditemukan. Kematiannya diikhlaskan oleh seluruh anggota keluarga setelah lewat tenggat waktu pencarian yang dilakukan. Sore itu, sehabis acara membaca doa di rumah, aku berjalan sendirian menyusuri jalanan di tepian sungai, sekedar melihat daun-daun keladi yang bergoyang-goyang tertimpa butiran gerimis. Aku bisa melihat air sungai keruh jauh di depanku. Menderu. Seluruh masa kecilku seperti berkelabat jelas di depan mataku.

Saat itu aku melihatnya.

Hena.

Ia sedang berdiri di tepi sungai. Menendang-nendang air yang keruh.

Aku seakan tak mengenalnya namun sekaligus merasa sebagai yang paling paham perasaannya saat itu. Saat ia berbalik, aku sampai terkesiap, tidak pernah aku melihat wajah seteduh itu. Ia seperti makhluk penghuni air yang muncul dari keremangan batuan sungai dan menjelma sebagai manusia dalam rinai sore itu.

Hena telah tumbuh menjadi wanita yang cantik sekali.

Seperti merasakan pandanganku, ia mengangkat wajah ke arahku.

Sore itu, dalam gerimis yang turun perlahan seumpama kabut yang menyelimuti sungai, dalam cahaya matahari yang hampir membenamkan diri, aku melihat Hena menangis.

*

Kejadian berikutnya aku ingat dengan persis, sebab sejak tanggal kematian Tian yang kuberi silang merah di kalender, aku berusaha mengingat semuanya dengan baik dan runut. Tapi memang sudah seharusnya itu yang kulakukan karena jadwal kuliahku sudah seperti teror yang tidak mengenal ampun. Sedikit saja lengah dan berleha-leha, akan ada berlembar-lembar bahan pelajaran yang terlewatkan dan habislah aku menganga saat kuliah disampaikan. Kurasa keputusan kuliah di Fakultas Kedokteran adalah sesuatu yang mungkin saja akan kusesali di kemudian hari. Mungkin.

Enam bulan setelah kepergian Tian, sesaat setelah menghabiskan makan malam, aku mendengar ayah dan ibu berbincang di ruang tamu. Mereka baru saja menerima telepon dari kampung kakek-nenek. Selayaknya kampung kecil, seluruh berita dan gosip yang beredar akan dengan mudah tersebar. Tanpa rasa ingin tahu aku berlalu dan ingin masuk ke kamar namun telingaku terlanjur menangkap kalimat itu.

Hena hamil besar.

Seseorang telah terperdaya oleh keindahan tanpa dosa dan suara itu.

Untuk kali kedua aku merasakan sergapan rasa dingin yang begitu menyiksa. Mengelilingi leher dan pundakku. Membuatku lemas dan rebah.

Aku ingat benar diopname dua hari karenanya. Seluruh teman sekelas menertawakannya. Tentu saja, sebagai calon dokter, kelelahan yang tidak bisa dijelaskan adalah kelemahan yang tidak bisa diterima. Aku sendiri tidak memberi penjelasan pada siapa pun. Bahkan ayah dan ibu.

Karena tidak ada yang benar-benar tahu.

*

Dua minggu sebelum pernikahan, akhirnya diputuskan selain di rumahku dan Adam, pesta juga diselenggarakan di kampung kakek-nenek. Seperti biasa, alasan mereka sebenarnya tidak bisa diterima namun akan selalu dimaklumi. Katanya, mereka orang kampung akan sangat bangga mengetahui bahwa salah satu cucu asli kampung telah menjadi dokter dan pada akhirnya menikah.

Aku tidak keberatan selama Adam tidak keberatan. Ia tanpa diduga justru senang dengan ide tersebut. Ia mengatakan bahwa sudah lama sekali ingin melihat kampung halamanku, yang kutahu sama sekali tidak benar. Sampai saat ini aku tetap melihat Adam sebagai anak kota yang asyik jika sedang di kota, namun besar kemungkinan ia akan membosankan setengah mati jika harus berada di desa. Bukan salahnya kurasa. Ia hanya ingin membuatku senang. Lagipula seumur hidup aku hanya mengenal satu orang yang bisa membuatku betah tinggal di desa.

Maka untuk pertama kalinya aku kembali ke kampung dengan status yang baru. Istri seseorang. Dokter. Meski kurasa keduanya tidak mengubahku sama sekali. Jauh di dalam sana, ada hal yang tidak akan pernah berubah jika bicara tentang kampung ini.

Sore itu, aku mengajak Adam menyelinap keluar rumah. Menyusuri jalan-jalan kecil yang sekarang semakin sempit saja rasanya. Kuceritakan padanya bagaimana aku dan Tian biasa berlarian mengejar kambing saat sore tiba. Kutunjukkan padanya rumah-rumah tempat biasa kami berjongkok dan mengendap-endap mencari cacing untuk umpan pancing.

Kemudian tentu saja kami sampai ke penghujung jalan, tempat anak sungai mengalir tenang. Kali ini airnya tidak keruh. Tadi malam memang tidak turun hujan. Aku menunjuk pepohonan tempat kami biasa duduk dan melemparkan kail.

Saat itulah aku melihatnya.

Seorang anak laki-laki duduk memancing. Ia tenang sekali duduk di cabang pohon yang menjulur ke atas air mengalir. Kakinya bergoyang-goyang pelan. Saat diam dan melihatnya lebih lama, mendengarkan dengan lebih seksama, aku bisa memastikan ia sedang bersenandung.

*

Setiap tahun sejak saat itu, aku selalu menyempatkan diri untuk kembali ke kampung kakek-nenek.

Setiap kali melihat anak itu, aku tidak akan pernah melupakan ibunya.

Atau ayahnya.

♦♦♦