You are currently viewing Torimodosu*

Torimodosu*

Hana menghela napas dalam. Disekanya keringat yang mengalir di kening. Siang itu terik. Ditambah lagi ia harus berdesakan di dalam angkot. Seorang bapak separuh baya tampak tenang mengisap rokok, untuk kemudian dengan lebih tenang mengembuskannya keluar.

Hana menghela napas lebih dalam. Dadanya sesak tak tertahankan. Maka ketika ia melihat persimpangan jalan menuju rumahnya, ia buru-buru berkata pada sopir.

“Berhenti kiri, Bang.”

Ia masih harus berjalan sekitar dua ratus meter lagi. Jalan menuju rumahnya tidak termasuk jalur angkutan umum.

Dua orang anak SD berlarian mendahului. Hana tersenyum melihatnya.

Ah… anak-anak.

Mereka masih bebas. Masih bisa tertawa lepas. Tidak seperti dirinya sekarang.

Hari ini pembagian raport SMA semester ganjil. Hana merabai tasnya dari luar. Ada raportnya di dalam. Selain itu ada raport Hani. Adiknya. Adik kembar tepatnya.

Hani masih di sekolah. Ia mendapat juara umum. Lagi. Untuk keempat kalinya sejak kelas satu semester dua. Sekarang mereka sudah kelas tiga.

Hana menelan ludah. Kerongkongannya tiba-tiba terasa sangat kering.

Ia sendiri biasa-biasa saja. Sepuluh besar juga tidak. Kalau tidak salah tadi Bu Hanum mengatakan nilainya urutan enam belas dari tiga puluh siswa.

Rumahnya sudah terlihat. Hana harus mengakui ia sedikit gugup. Apalagi ia melihat sepeda Andi, adik laki-lakinya. Anak itu biasanya juga dapat ranking satu. Hana senang karena adik-adiknya itu pintar. Hanya sayang, Andi masih suka mengejek. Seperti semalam …

“Hani besok tes beasiswa. Doain ya, Yah…”

Waktu itu ia sedang mengupas bawang untuk menggoreng sambal di dapur. Diam-diam ia mendengarkan pembicaraan Hani dan kedua orang tuanya itu.

“Oh ya. Yang kemarin kamu ceritakan itu? Jadi kamu lulus?”

“Alhamdulilah, Yah. Udah lulus tahap pertama. Kalau besok lulus lagi, Hani mewakili sekolah untuk babak selanjutnya.”

“Babak? Kok kayak perlombaan gitu, Han?” Ibunya ikut nimbrung.

“Ya… prosedurnya emang gitu, Bu…”

“Kak Hana ikut tes, nggak?”

Ini dia. Andi mulai ikut-ikutan juga.

“Pasti nggak. Iya kan? Iya kan?! Hahaha … bener nggak? Ah, kak Hani curang. Masa nggak mau jawab. Andi tanya sendiri, ah. Kak Hana mana? Di dapur ya?”

“Kringg… kringg!!”

Hana tersentak dan buru-buru menepi. Membiarkan tukang bakso tadi mendahuluinya. Ia sendiri sudah sampai. Terlihat sepeda Andi tergeletak menutupi pagar. Hana membereskannya sebelum masuk. Memarkirnya dengan baik di teras.

“Dorr!!!”

Astaghfirullahaladzim … Andi …! Ngapain sih?!”

“Hahaha … sorry man … eh … kakak cewek ya? Girl …” Andi masih tergelak. Tangannya membawa sebuah piagam. Ia memamerkannya. “Lihat. Bagus, nggak? Bagus, kan? Bagus … Andi dapat penghargaan. Hebat, kan?”

Hana sedang melepas sepatunya. Ia melirik sekilas. “Bagus. Selamat ya.”

Thank you. Eh, kakak udah terima raport? Gimana? Dapat rangking? Nggak? Dapat, nggak? Kak Hani gimana? Raportnya di mana? Dalam tas ya? Lihat ya?” Andi membuka tas Hana. Hana buru-buru merebutnya.

“Apaan sih? Nanti kakak lihatin! Baru juga nyampe.”

“Sekarang!” Andi balas menarik tas dengan kuat. Hana akhirnya mengalah. Membiarkan tasnya dibuka. Dadanya berdebar tambah keras.

“Wah … juara satu … wuuu … sembilan semua … cuma satu yang dapat delapan … pelajaran olahraga … waw … hebat …” Andi menatap wajah Hana dengan sorot kagum. Hana menelan ludah.

“Itu punya kak Hani.”

“Ha?! Kak Hani? Oh iya … Hani Safitri … hehehe … tadi cuma lihat fotonya sih …. Kak Hani mana? Kok nggak pulang sama-sama?”

“Belum. Masih di sekolah.” Hana menjawab pendek. Diletakkannya sepatunya dengan rapi. Bangkit. “Ibu mana?”

“Ke pasar. Wah, kakak nggak dapat juara lagi, ya? Hehehe … tapi nilai totalnya naik sih … satu angka … hihi ….”

Hana tak menanggapi. Ia sangat haus. Ia ingin minum. Andi masih terus berkomentar tentang nilai raportnya. Anak itu mengekor langkahnya. Ikut ke dapur.

“Kakak malas belajar, sih.”

Hana memeriksa rice-cooker. Ternyata nasi tinggal sedikit. Ia lalu mengambil rantang. Membasuh beras.

“Menurut yang Andi pelajari di Biologi, harusnya anak kembar itu sangat mirip satu sama lain. Apalagi kakak kan kembar identik.”

“Kamu sudah makan?”

“Belum. Gorengin telur, dong? Dadar, ya. Sambal semalam masih ada, kan? Eh, tadi Andi bilang telur apa? Dadar, ya? Ganti deh, mata sapi aja. Setengah matang. Eh, matang aja deh, yang kuningnya diaduk-aduk, ya. Biar gurih.”

Hana menyalakan kompor. Menaruh wajan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku Biologi. Sekelas sama kakak, ya?”

“Nggak. Eh, kakak ganti baju dulu. Kamu tungguin kompornya bentar. Nanti kalau minyaknya udah panas, masukin telurnya, ya.”

Ha? Nggak, ah. Andi kan minta dimasakin.”

“Bentar aja. Kakak mau ganti baju dulu. Ya?

“Nggak. Matiin aja kompornya dulu kalo gitu.”

Hana memberengut. Andi menjulurkan lidah.

“Bentar aja, kok.”

Tapi Andi tetap menggeleng. Kalau sudah begitu tidak ada gunanya lagi menyuruhnya.

Assalamu’alaikum…” terdengar salam dari pintu masuk.

Suara ibunya. Hana kembali merasakan jantungnya berdebar kencang. Andi berlari keluar. Memamerkan piagamnya.

“Hebat kan, Bu. Lihat … Bagus nggak?”

“Iya … Iya … Bagus … Tadi juga kamu udah bilang sama ibu … Bantu ibu angkat belanjaan. Itu di luar … Eh, udah pulang, Na?”

Hana mengangguk. Disekanya keringat yang tiba-tiba mengalir lagi. Ia mengulurkan tangan mengambil bungkusan belanjaan yang tak dipedulikan oleh Andi. Setelah itu menutup pintu dan mengikuti langkah ibunya ke dapur.

“Kamu masak apa? Ibu tadi beli ikan. Sekalian digoreng nanti ya.”

Hana tersadar. Tadi Andi minta dibuatkan telur mata sapi. Ia segera memecahkan telur.

“Sudah masak nasi?”

Hana mengangguk. Ia menatap ibunya. Ada yang ingin ia katakan. Tapi mulutnya seakan terkunci.

“Kuningnya dihancurkan. Dihancurkan.” Andi masuk. Terengah-engah.

Hana memberengut pada adiknya itu. Tapi tetap dituruti permintaannya itu. Setelah selesai ia mengambil piring dan mengambil sisa nasi di rice-cooker, meletakkan di depan Andi yang sudah duduk dengan manis di tepi meja makan. Mata anak itu berbinar-binar.

Thank you ….” Andi menyambut piring berisi telur yang disodorkan Hana. Matanya kemudian mengedip-ngedip nakal.

“Nanti kamu tumis kacang panjang, ya, Na. Ibu tadi ada beli. Mahal sekali, dua ikat sepuluh ribu… Kamu nggak mau nunggu ikannya digoreng dulu, Ndi?”

Hana mengangguk. Diambilnya tas sekolah dari atas meja makan. Andi yang meletakkannya di situ tadi. Ia tidak mendengar jawaban Andi atas pertanyaan ibunya tadi.

Sesampainya di kamar, Hana mengganti seragam. Kerudung putihnya terasa basah. Ia juga melepasnya. Rambutnya terlihat basah. Setelah selesai berganti pakaian ia segera kembali ke dapur

“Ada karet gelang, nggak?”

Andi menoleh. Menggeleng. Mulutnya penuh nasi.

“Itu ada. Dekat rak gelas. Ibu ingat ada satu di situ.” Ibu yang menjawab.

Hana mengambil dan mengikat rambutnya.

“Jangan lupa dibasuh dulu sayurnya, ya.”

“Bu…!” Andi menyela. “Kak Hani juara umum lagi, lho. Andi liat raportnya.”

“Oh, ya?” ibunya berpaling pada Hana. “Benar?”

Hana mengangguk pelan.

Alhamdulillah. Kamu sendiri? Bagus nilaimu?”

Hana memaksa bibirnya tersenyum.

“Naik satu.”

Alhamdulillah. Biar satu kan naik juga. Besok-besok mudah-mudahan lebih baik. Ibu sih senang saja kalau kalian semua dapat nilai yang baik.” Ibunya bicara sambil membersihkan ikan.

Ini dia. Hana merasa dadanya sesak. Ibunya tak pernah membandingkannya dengan Hani. Satu-satunya orang yang tak pernah menyinggung perbedaan antara ia dan saudara kembarnya itu. Hana selalu merasa sedih jika mengingat itu. Jauh di dalam hatinya ia ingin bisa menyamai Hani. Pintar. Pandai bergaul. Selalu membuat bangga keluarga.

“Kak Hani kok belum datang juga? Lama, ya? Andi kan mau kasih selamat.”

“Andi, piringnya dicuci kalau sudah selesai,” Ibu mengingatkan.

“Kak Hana cuciin, ya.”

“Cuci sendiri. Kan cuma satu. Malas jangan dipelihara,” Hana menyahut.

“Cuciin ya ….” Andi menggelitik kakaknya itu. Lalu berlari keluar.

Hana sudah selesai menumis kacang panjang saat ibunya berkata.

“Hani pulang jam berapa?”

Hana menatap ibunya. “Hana kurang tahu, Bu. Tadi katanya ada pertemuan. Mungkin sampai sore.”

“Oh ….”

Tiba-tiba Ibu menghentikan gerakannya membasuh ikan.

“Kamu sekarang kelas tiga ya, Na?”

Hana terdiam. Menduga-duga arah pembicaraan Ibu. “Ya. Masih satu semester lagi.”

“Nanti kalau selesai SMA, mau kuliah di mana?”

Hana terdiam lagi. Diambilnya ikan yang diberikan ibunya. Menggaraminya. Ibu melanjutkan kalimatnya. “Beberapa hari yang lalu Hani cerita kalau ia mau masuk fakultas kedokteran. Hani bilang ia akan berusaha dapat beasiswa agar bisa masuk. Sebab katanya kedokteran itu mahal. Kalau kamu mau masuk apa?”

Hana menggigit bibirnya. Pandangannya mulai terasa kabur. Ia merasa hidungnya juga mulai berair.

“Hana belum tahu …” tanpa bisa ditahan suaranya sedikit tercekat.

“Oh .…”

Hana mengambil asam jawa. Melumurinya pada ikan-ikan.

“Nanti digoreng sampai kering, ya? Ibu mau angkat jemuran. Sepertinya hari akan hujan.”

Sepeninggal ibunya, Hana termenung. Ia teringat saat di sekolah tadi…

Nanti kamu yang ambilin raportku, ya? Aku mau tes beasiswa. Kayaknya bakalan lama.”

“Ah. Apa kamu benar-benar nggak bisa…?”

“Pokoknya Hana tolong, ya. Hari ini kita pakai baju yang sama saja. Pakai bajuku. Pasti nggak ada yang menduga kalau Hana adalah Hani… gimana?”

Dan ia benar-benar gugup saat pengumuman di lapangan upacara. Hani kembali jadi juara umum. Dan itu berarti ia harus maju ke depan. Benar-benar ke barisan paling depan. Hana masih teringat betapa gugupnya ia dipandangi oleh hampir seribu pasang mata. Semuanya akan baik-baik saja jika ia tidak mendengar bisik-bisik dari barisan majelis guru…

“Lho? Bukannya Hani Safitri sedang tes beasiswa? Tadi saya yakin melihat dia sudah pergi diantar kepala sekolah.”

“Masa?”

“Iya. Benar. Apa dia nggak jadi pergi?”

“Mungkin juga, sih. Tapi sayang kalau dia tidak jadi ikut tes beasiswa. Dia itu sangat cerdas. Saya pernah mengajarnya saat kelas satu dulu. Kagum.”

“Benar. Jarang ada anak perempuan yang sudah pintar, baik, alim lagi. Kerudungnya lebar, lho…”

“Saudara kembarnya itu namanya siapa?”

“Siapa?”

“Ah, ada itu. Mereka mirip sekali. Saya pernah pulang bareng mereka. Mirip banget.”

“Masa? Sekolah di sini juga?”

“Lho? Ibu nggak tahu? Aduh, kok bisa nggak tahu?”

“Mungkin karena mirip, ya? Katanya mereka mirip. Mungkin saya kira mereka itu satu orang.”

“Tapi beda lho, Bu.”

“Beda gimana?”

Hana masih ingat ia hampir menangis saat itu. Dadanya benar-benar sesak. Apalagi ternyata kedua ibu guru itu mendekatinya dan menanyakan tentang Hana Safitri.

Lalu saat ia mendatangi kelas Hani untuk mengambil raport. Kelas terbaik. Kelas A. Kumpulan orang pintar.

“Jadi yang tadi itu bukan Hani yang maju?” wali kelas Hani menatapnya tajam.

Padahal ia sudah mengumpulkan seluruh keberanian untuk masuk, namun tetap saja kakinya sampai lemas. Seluruh kelas menontonnya.

“Maksudnya apa itu? Kamu berpura-pura jadi Hani? Begitu?”

“Hani sedang ikut tes. Saya menggantikannya…”

“Lho? Kenapa? Kenapa harus digantikan? Kan bisa dibilang kalau Hani sedang ikut tes. Kenapa malah kamu gantikan? Itu namanya membohongi kami. Saya kira yang maju tadi itu Hani.”

Hana terdiam, menunduk memandangi ujung sepatunya. Ibu wali kelas itu masih menatapnya tajam.

“Kamu Hana, kan? Kamu kira bisa tuker-tukeran gitu? Maksudnya apa coba?”

“Pengen ngerasain jadi Hani tuh…” seorang siswa menyeletuk. Seketika itu kelas gaduh. Penuh dengan tawa. Hana berjuang agar air matanya tidak tumpah.

“Jangan terlalu kering menggoreng ikannya…”

Hana tersentak. Mengangguk pada ibunya.

“Kalau sudah, nanti ditaruh di lemari. Suka ada kucing masuk.” Kata ibunya lagi. “Ibu ada beli mangga. Makan yuk. Sudah lama nggak makan mangga. Kita makan berdua saja.”

Hana menoleh pada ibunya. Mengangguk lagi. Kali ini dengan tersenyum kecil.

“Ibu tunggu di teras belakang, ya?” Ibu mendahului pergi sambil membawa kantung berisi mangga. “Sekalian nanti bawa pisaunya, ya, Na. Jangan lupa dibasuh dulu, tadi habis potong ikan.”

Hana mengangguk mengiyakan.

“Aku tunggu di parkiran, ya?”

Wahid. Betapa ia tidak berani memandangi wajah itu saat di kelas Hani tadi. Setelah mengambil raport Hani ia segera keluar ruangan, ia bisa merasakan pandangan seluruh mata menghujam punggungnya. Buru-buru ia menuju kelasnya, sebelum ia mendengar Wahid memanggilnya. “Aku tunggu di parkiran, ya. Aku sekalian mau mengembalikan buku. Tapi karena tidak membawa tas, bukunya masih kutaruh di mobil saja. Nanti sekalian ikut pulang saja. Kita nggak berdua kok, ada Fatima adikku.”

Ia ingat telah mengangguk sebagai jawaban. Namun ia tidak pernah datang ke parkiran. Setelah mengambil raport, ia buru-buru pulang dengan angkot pertama yang bisa ia masuki.

Assalamu’alaikum.

Hana bisa mendengar itu suara ayahnya. Ia bergegas mematikan kompor dan menuju pintu depan. “Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Yah?”

Ayahnya terlihat kaget saat melihat ia yang membukakan pintu. “Ibumu mana? Iya, Ayah tidak enak badan. Jadi pulang lebih awal.”

“Ibu di teras belakang. Ayah mau makan? Nanti Hana siapkan.”

Ayahnya menggeleng sambil melonggarkan dasinya. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu. Ibu ngapain di belakang?”

“Katanya mau makan mangga. Ayah mau dibuatkan teh?”

Ayahnya kembali menggeleng. “Nanti saja. Ayah mau tiduran dulu.” Ia kemudian menuju kamar. Sesaat sebelum membuka pintu ia membalikkan badan dan bertanya. “Hani mana?”

Hana mengulang jawaban yang sama saat menjawab pertanyaan ibunya. Ia kemudian melihat pintu kamar ditutup setelah ayahnya melewatinya. Ia kembali ke dapur dan menyimpan ikan goreng ke dalam lemari. Mengambil pisau dan mencucinya dengan bersih, setelah yakin tidak berbau ikan ia mengeringkannya. Ia baru akan keluar dapur ketika ibunya kembali masuk.

“Kenapa lama sekali?”

“Barusan Ayah datang. Katanya lagi nggak enak badan.”

Raut wajah ibunya berubah, “Sekarang di kamar?”

Hana mengangguk. Ibunya meletakkan kantung berisi mangga yang tadi dibawanya di atas meja, kemudian bergegas ke kamar.

Sejurus kemudian Andi datang dengan terengah-engah. “Ikan tadi udah digoreng? Andi mau makan lagi, dong.”

“Kamu dari mana saja, keringetan banget.” Hana mendorong dahi adiknya dan menyeka rambutnya yang basah. “Cuci tangan dulu.”

“Mau makan lagi.”

Hana menggeleng-geleng, namun diturutinya juga. “Nasinya baru matang jadi masih panas, hati-hati ngambilnya.”

“Ambilin.” Andi sudah duduk dengan manis di tepi meja.

“Kamu itu kenapa sih makan aja mesti diambilin. Kayak anak kecil.” Hana bersungut.

“Hehehe. Mumpung ada kak Hana. Kalau Kak Hani pasti nggak mau disuruh-suruh.” Andi terkekeh. “Lagian kan Andi ranking satu jadi harus dilayani. Ikannya mau dua, ya. Tapi nggak mau kepalanya. Kepalanya nggak mau.”

Hana menghela napas, dengan cepat ia mengambil nasi dan ikan untuk Andi. Ia juga memasukkan tumis kacang panjang dan sambal ke piring tersebut. Andi mengernyit tak suka. “Sayurnya nggak mau.”

“Sudah terlanjur di piring. Harus dimakan.”

Andi mencibir tak suka tapi tetap melanjutkan makan. “Tadi Andi main di rumah Heru. Dia punya game baru di Playstation-nya.”

“Kok sampe keringetan gitu?”

“Habis main PS kami main bola. Lagi asyik main eh berhenti karena ayah Heru pulang.”

Ayah Heru adalah teman sekantor ayahnya. Hana mengernyitkan kening. “Ayahnya Heru sudah pulang kantor?”

Andi mengangguk-angguk. Ia kemudian meludahkan sepotong tulang ikan ke tangannya. “Ayah Heru di-PHK katanya.”

Hana terkesiap. “Siapa yang bilang?”

“Heru. Dia dikasih tahu ibunya kalau game yang baru itu harus awet karena ntar susah buat beli lagi karena ayahnya mau di-PHK.” Andi mendesis kepedasan. “PHK apaan ya?”

Hana menelan ludah. Perasaannya tak enak. “Makannya pelan-pelan. Nanti tersedak.”

Andi mengangguk-angguk. Pandangannya nanar. Ia melihat kantung buah di atas meja.

“Andi mau mangga.”

“Punya Ibu.”

“Kupasin satu.”

“Bilang Ibu dulu.”

Andi menggigitkan giginya dengan gemas. “Minta satu…!”

“Bilang Ibu dulu.” Setelah itu Hana mengemasi kantung mangga tadi ke dalam lemari paling atas, tidak akan terjangkau oleh Andi. Anak itu mendecak kesal namun melanjutkan makan.

“Tadi bang Wahid datang. Dia balikin buku.”

“Tadi kamu sudah bilang.” Hana membuka kulkas, mengeluarkan lima butir telur. Andi mengamatinya.

“Kakak bikin apa?”

“Kue.”

“Mau.”

Hana mengacungkan telur mentah di tangannya, membuat Andi tergelak. Mau tak mau Hana ikut tersenyum.

“Bang Wahid bilang bukunya harus dikasih langsung ke Kakak.”

Hana diam saja dan kembali membuka lemari, mencari-cari tepung terigu.

“Katanya mau datang lagi ntar jam lima.”

Hana melirik Andi dengan ekor matanya. Anak itu sedang menjilat-jilati jemarinya.

“Andi mau kalau punya abang seperti bang Wahid.”

“Cuci piringmu kalau sudah selesai.”

“Kak Hani kok belum pulang?”

Hana mengambil mixer dan mulai mengocok telur, bisingnya membuat Andi kalah suara. Namun justru suara di dalam kepalanya yang mulai bergema.

“Wahid bertanya apakah kamu mau mengajar adiknya, si Fatima.”

“Kenapa harus aku?”

“Karena menurutnya kamu bisa nulis cerita dengan baik. Katanya dia tak sengaja baca salah satu cerpen yang kamu tulis di balik buku paket Biologi.”

“Aku nggak bisa, Hani.”

“Kamu bilang sendiri padanya, Hana. Aku sudah bilang kalau kamu pasti nggak mau tapi dia terus maksa.”

“Ya sudah nanti aku coba bilang sendiri.”

“Kakak melamun ya…!”

Hana hampir menumpahkan isi mangkuknya. Andi melonjak-lonjak kegirangan. Ia kemudian berlari ke kamar Ayah dan Ibu. Hana bisa mendengarnya berteriak minta izin mengupas mangga.

Setelah memasukkan adonan kue ke dalam oven, Hana mengambil satu buah mangga. Tidak ada yang bisa menghentikan Andi jika ia sudah bertingkah seperti tadi. Ia sudah setengah selesai mengupas buah ketika Andi masuk sambil tersenyum-senyum kecil, lidahnya melet-melet mengejek.

Beberapa saat kemudian ibu dan ayahnya juga masuk dapur. Hana menoleh dan berkata. “Hana siapin makan siang ya, Bu.”

Ibunya mengangguk dan menarik kursi untuk duduk, diikuti ayahnya.

“Kamu bikin kue, Na?” ibunya melihat oven yang sedang menyala. Hana menoleh dan mengangguk. Ia meletakkan nasi dan piring kosong di atas meja. Kemudian meletakkan lauk yang sudah dimasaknya tadi. Ia juga membuatkan segelas teh untuk ayahnya. Kali ini ayahnya diam saja. Andi yang sudah hampir menghabiskan mangganya kemudian berdiri dan menyorongkan piring kosong.

“Andi mau makan lagi…”

***

取り戻す (Torimodosu): Summed up in one word, it has the same meaning as the famous English saying, “When life knocks you down, dust yourself off and get back up again.” from here

Judulnya selalu tidak terasa pas: Hana; Bayangan di Cermin Itu. Kali ini Torimodosu.

Tinggalkan Balasan