Arsip Kategori: CERPEN

malam buta

Siapa Menekan Bel di Malam Buta?

malam buta

Mama histeris lagi. Saat aku bangun kudapati tiga puluh sembilan missed calls darinya. Semua dilakukan sebelum jam lima pagi. Malam buta! Ada juga beberapa pesan yang tak ingin kubuka. Lebih baik segera kutelepon. 

Mama mengangkat pada dering pertama dan suaranya melengking, “Seseorang menyentuh jendela kamarku!” Dia memberi penekanan pada tiap suku katanya.

Kamar Mama di lantai dasar, terdapat dua pasang jendela di sisi timur dan selatan yang memang memiliki tambahan teras. Pagar setinggi pinggang dengan kawat berduri memisahkannya dengan halaman di sekitarnya. Belum lagi beberapa petak rumpun mawar yang sengaja ditanam dan terawat baik sebagai pagar pelindung alami. Jadi rasanya mustahil jika seseorang bersusah payah hanya untuk menyentuh jendela kamar Mama, tapi kubiarkan saja Mama terus bercerita.

“Ada tiga belas telapak tangan, bernoda lumpur! Tiga belas! Aku menghitungnya sendiri. Kurasa ada yang bernoda darah! Di jendela kamarku!” 

Aku terus mendengarkan keluhan Mama sampai sekitar sepuluh menit berikutnya. Ketika dia sudah mulai tenang, kukatakan kalau akan kuperiksa jendelanya selepas makan siang. Sif malamku berakhir nanti jam delapan.

Mama terdengar senang. “Saat kau pulang, bawakan aku dua potong brownies dari kedai Nyonya Meulia. Dan permen.”

Aku mencatat pesanannya, meski aku tak akan membelikannya permen. Sejenak aku berpikir tentang makanan pengganti yang mungkin kubelikan. Kuputuskan akan singgah di toko buah yang jaraknya tak jauh dari kedai Nyonya Meulia.

“Ada lagi yang Mama mau?” 

Mama tak langsung menjawab, tapi aku tahu dia sedang berpikir karena telepon gemerisik selama beberapa waktu. Napasnya terdengar satu-satu.

“Mama?”

Dia berdeham sesekali. Terdengar ketukan-ketukan kecil, mungkin Mama sedang memainkan gagang telepon. Aku baru akan bertanya lagi saat jawabannya tiba. 

“Itu saja.” 

Lalu dia menutup sambungan.

***  

Sudah hampir dua tahun Mama tak berani keluar rumah. Dia selalu ingin keluar, tapi paling jauh lima langkah melewati pintu depan, lututnya mendadak goyah dan dia—dengan sejuta alasan untuk memutar badan, kembali ke dalam rumah. 

“Napasku sesak, mungkin aku perlu duduk-duduk sebentar.”

“Kurasa aku lupa mematikan keran air kamar mandi.”

“Aku lupa ada rekaman telenovela yang belum aku tonton.”

“Kurasa akan segera hujan, lebih baik kita ngobrol di kamarku.”

Meski kami sama-sama tahu bahwa itu semua hanya alasan palsu dan alasan sebenarnya Mama tak ingin keluar adalah dia semakin tak percaya orang-orang di sekitarnya, kami berdua tak membicarakannya lebih lanjut. Mama tak ingin aku mencampuri kecemasannya. Sedangkan aku, meski sedikit merasa berdosa karena mendiamkan hal itu, harus mengakui bahwa aku tak selalu cukup sabar untuk mendampingi kecemasannya. 

Jadi, kami sama-sama diuntungkan kalau mau jujur. 

Ada saja pikiran buruk yang segera menghinggapi Mama jika dia keluar rumah. Hal yang lucu tentunya, mengingat dia sama sekali tak punya pikiran seperti itu jika sudah di dalam rumah. Seakan-akan ada tabir pelindung kasat mata yang membentenginya dari dunia luar. Persis di depan pintu. 

Ya, kurasa Mama mungkin benar-benar merasa seperti itu. Rumah ini gelembung dan Mama senang di dalamnya. Kukatakan gelembung karena tentu saja cepat atau lambat dindingnya akan pecah dan suatu saat Mama harus menghadapi dunia luar sana.

Hanya saja, selama Mama merasa aman dalam gelembungnya, aku tak terlalu banyak pikiran. Dan itu sudah lebih dari cukup.

*** 

Segalanya memburuk dua bulan terakhir. Ketika Mama mulai tak ingin keluar kamar. Bukan lagi rumah.

Ya, aku ingat karena membuat silang merah di kalender gantung. Pertama kali dia menelepon di malam hari dan mengatakan ada seseorang membunyikan bel pintu depan. 

“Tapi ini jam satu malam, Mama.” Dan aku tak mendengar apapun di luar sana. Namun ucapan itu aku telan saja.

“Justru itu. Apa kau pikir hantu sudah bisa membunyikan bel?”

Kami tinggal serumah, kamarku di lantai atas. Aku baru pulang sif sore saat itu dan sejujurnya kepalaku pening dan tak ingin ribut dengannya, tapi karena tak tahan, kukatakan padanya itu semua khayalan dan Mama mendengar sesuatu yang lain. Perempuan itu mendiamkanku selama seminggu, dan baru mau bicara saat aku membawakan sekantung permen kesukaannya. 

Mama juga sudah tak mau lagi pergi beribadah. Dia bilang terlalu banyak cahaya di tempat-tempat itu dan semua mengingatkannya pada kematian. 

“Jika mati aku yakin mereka tak datang di kuburanku.” 

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depannya.

Satu dua kali teman-teman lama Mama menanyakan keberadaannya padaku, karena aku anak satu-satunya. Kucoba menjelaskan dan aku bersyukur setengah mati karena kebanyakan dari mereka memahami keadaan Mama. Pernah beberapa orang datang ke rumah, sekadar duduk-duduk dan bercerita. Pulangnya, Mama meninggalkan pesan singkat di handphone

‘kurasa Nyonya Tulita hanya ingin mencuri bunga anggrekku. dia tak henti-henti meliriknya (oh, aku benar-benar melihatnya—tentunya dia tak menyadari itu). dan saat kami berbincang, dia terus menyinggung betapa indahnya bunga itu. oh, kuharap dia berhenti mengunjungiku.’

***

Salah seorang teman lama Mama, tinggal tak jauh dari kami, adalah dokter spesialis jiwa. Kucoba mendekatinya, dan menceritakan sedikit banyak tentang Mama. 

“Apakah pernah terjadi sesuatu yang membuat ibumu khawatir?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Mama memang selalu khawatir. Bahkan sejak ingatan kanak-kanak pun, aku tak bisa mengingat kapan Mama tak khawatir.

“Jangan panjat pohon itu, kau bisa terluka.”

“Jangan berteman dengan Teddy dan Lily, mereka sering mengumpat dan sekali lagi kudengar kau menirukannya, aku akan menaruh cabe besar-besar di dalam roti isimu.”

Atau saat berbincang dengan mendiang Papa. 

“Kurasa anak kita itu memang tak cerdas. Setengah mati aku mengajarinya, tapi mungkin kepalanya benar-benar kosong—yang mana seharusnya bisa diisi, tapi ini kosong yang membuatmu muak. Oh, aku tak tahu harus lakukan apa dengannya.”

“Bisakah kau meminta kenaikan gaji? Kau sudah bekerja di sana berapa lama—dua puluh tahun? Tapi hanya ini saja yang kau bawa pulang.”

Pelan-pelan aku mencoba menceritakan tentang Mama kepada dokter itu, beberapa hal yang terlalu memalukan tentu tak kusampaikan. Perempuan ringkih dengan rambut memutih, tapi matanya bijak seperti telaga tak berpenghuni itu mengangguk-angguk dan sesekali membetulkan kacamatanya yang bertengger di ujung hidung. 

“Apakah memungkinkan jika aku mengunjungi ibumu sesekali?”

Aku ragu-ragu menjawabnya. Pertama, jelas Mama tak akan suka. Kedua, aku tak punya cukup uang untuk membayar dokter ahli jika konsultasi ini dilakukan secara normal. Untuk alasan pertama aku coba utarakan secara perlahan. Beruntung, dokter itu memahami situasiku—dan alasan kedua. 

“Tidak usah bayar. Aku sebenarnya sudah lama pensiun. Dan mungkin ini jalan untukku terus melayani. Aku juga memang sudah lama tak bertemu ibumu.”

Oh, besar hatiku mendengarnya. Jika tak ingat bahwa saat itu kami masih berada di persimpangan jalan, sudah kupeluk erat-erat dokter itu. Alih-alih, aku menggenggam tangannya dan mengucap terima kasih banyak-banyak. 

Karena dokter itu tak bisa serta merta mengunjungi Mama, aku memberikan laporan secara berkala: apa saja keluhan Mama, begitu juga dengan hal-hal baru yang Mama takuti. Termasuk coretan di kalendar yang sekarang sedang kupandangi. 

Mama mulai menelepon di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama melaporkan bel ditekan orang di tengah malam. Dua bulan lalu.

Mama memberhentikan Pascal tukang kebun. Satu bulan lalu.

***

Pascal patah hati saat Mama memberhentikannya. Meski dia tahu kondisi Mama sejak lama, kurasa dia tak menduga kalau dia akan termasuk orang yang pada akhirnya ditakuti oleh Mama. Pascal sebaya denganku, ayahnya yang pemabuk sering menempeleng kepalanya. Kurasa itu mengakibatkan otaknya tak begitu pintar. Untuk urusan itu, kami berdua senasib jadi secara otomatis berteman sejak kecil. Jika ayahnya mabuk dan kembali menempelengnya, Pascal kabur dan bersembunyi di rumahku dan kami berdua akan makan jagung bakar yang dibuatkan mendiang Papa. 

Mama akan mengomel dan bilang bisa jadi suatu saat keluarga kami dibunuh oleh ayah Pascal karena sering turut campur.

Mungkin malaikat lewat saat itu sehingga ketakutan Mama benar-benar terjadi, tidak semua tapi tetap terbukti. 

Suatu sore, ayah Pascal mabuk berat, berkali-kali lipat dari biasanya, datang menggedor pintu dan mencari Pascal. Papa mencoba menenangkannya namun pria itu tak mau tahu dan ketika tak menemukan Pascal di rumah kami—memang saat itu Pascal sedang bersembunyi di tempat lain. Pria itu mulai menarik-narik rumpun mawar Mama dan saat itu Mama meneriakinya ‘orang gila’. Entah bagaimana ayah Pascal bisa tersinggung, mengingat dia mabuk seperti pelaut, dia lantas mengayunkan sekop kebun menghancurkan jendela Mama. Papa yang berusaha menghentikannya tak begitu beruntung karena ayah Pascal terpeleset tanah kebun yang licin dan tak sengaja sekop kebun itu menghujam leher Papa dengan begitu keras. Papa tak tertolong, dia meninggal tersedak gumpalan darahnya sendiri. 

Ayah Pascal mendekam di penjara dan tak pernah kembali. Pascal kemudian diasuh bibinya yang tinggal di seberang sungai, tapi karena bibinya senang mengomel, anak itu tak pernah betah. Ketika dia sudah bisa memasak sendiri, anak laki-laki itu pulang kembali ke rumahnya, hidup sebatang kara. 

Lalu muncul suatu sore di pintu depan rumah kami, “Bisakah aku bekerja membersihkan halaman?” 

Pascal menanyakan setiap rumah pertanyaan yang sama. Jadi, meski tak besar upah yang didapatkannya dari Mama, total lembar-lembar yang ia terima sehabis memotong rumput atau memindah-mindahkan posisi pot bunga dari rumah-rumah yang lain memungkinkannya untuknya hidup. Bahkan sampai sekarang. Saat kami bukan lagi anak kecil yang tertawa-tawa memungut dan menyuap butiran jagung bakar yang terlepas dari tongkolnya.

Jadi saat ia menangis karena diberhentikan Mama, kupikir pasti karena sebab yang lain, bukan karena kehilangan upah. 

“Aku suka padamu. Sekarang apa alasanku datang menemuimu?”

Wajahku panas mengingat momen itu. Aku tak ingat bagaimana Pascal berani mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kami duduk lama di samping mesin cuci tempatku bekerja sebagai pegawai laundry.

*** 

Dokter ahli jiwa itu mengatakan bisa jadi Mama mengidap paranoid. Sedikit yang mengganggu pikiranku adalah karena dia menyebutkan bahwa kondisi ini bisa terus memburuk.

“Dia akan curiga setiap saat. Pada setiap hal. Pada setiap orang.”

“Tapi Mama tak mungkin curiga padaku, kan?”

Aku ingat wajah kasihan yang seketika muncul di wajah dokter tua itu. Kurasa dia tahu yang sebenarnya, meski aku belum cerita. Empat hari yang lalu, Mama menolak makanan yang kusiapkan.

“Aku melihatmu menambahkan sesuatu yang tak biasa ke dalamnya. Apa kau sedang ingin membunuhku?”

Aku memang menambahkan bumbu baru ke dalam supnya. Tapi itu kulakukan karena bumbu yang biasa digunakan sudah tak lagi diproduksi dan tak bisa kudapatkan lagi di mana-mana meski aku berkeliling dan rasanya betisku mau patah. Pascal yang menyarankan untuk menggantikan bumbu itu dengan bumbu lain. 

“Ini rasanya hampir sama. Aku sering pakai ini saat memasak. Harganya juga sedikit lebih murah.”

Aku ingat menangis di sudut dapur sambil memungut pecahan mangkuk yang Mama lemparkan di wajahku saat aku memaksanya makan. Aku tak cerita pada dokter tentang hal itu karena kupikir itu hanya kesilapan Mama. Dan memang kurasa dia tak sepenuhnya curiga padaku. 

Karena selama tiga hari ini dia bersikap manis padaku. Meski tak meminta maaf, tapi dia mengingatkanku untuk mengganti perban di dahiku jika aku habis mandi—tentu saja semua ini dilakukannya lewat telepon. Sempat terpikir olehku apa Mama lupa kalau dia yang menyebabkan kepalaku luka?

Aku juga tak cerita pada dokter kalau Mama sempat menyinggung agar aku berpacaran dengan pria baik-baik, dan dia secara tegas menyebutkan Pascal bukan pria baik-baik. 

“Dia terlihat baik tapi punya darah buruk. Dan darah itu akan mengalir selama dia hidup.”

Aku mengerti mungkin Mama masih dendam perihal kematian Papa. Sehingga aku mendiamkannya. 

Dokter tua itu sempat berpesan sebelum meninggalkan bangkunya–kami sedang duduk-duduk di bangku taman. Dia terlihat menimbang-nimbang sambil melihat-lihat catatan kalendar yang kuberikan padanya. Memang memburuk, demikian ujarnya. 

“Pastikan saja ibumu tidak menggunakan benda-benda tajam di dapur dan semacamnya. Kita tidak tahu apa yang besok-besok ada di pikirannya.” Dokter itu sempat menepuk bahuku pelan. “Jaga dirimu baik-baik, gadis muda.”

Aku tersentuh oleh perlakuannya, dadaku waktu itu menghangat. Diam-diam kucatat ucapannya. 

Benda tajam. 

Ya, akan kupastikan benda itu ada di dekat Mama malam ini. 

Jika tiga belas telapak tangan bikinan Pascal itu tak cukup, mungkin aku perlu mendorongnya lebih jauh… 

***selesai*** 

Bayu Melagu 3

Bayu Melagu

Ready?

Satria memasang headphone-nya. Simulasi FTD Level 5 Mechatronic selalu menyenangkan, hanya saja kali ini dia tak bersemangat.

Calculate your distance without GPS or DME!” instruksi masuk.  

“Menggunakan VOR or ADF, ambil sepuluh derajat dari radius pesawat dan ukur waktu mencapai sepuluh derajat tersebut. Waktu total dalam detik dibagi sepuluh atau waktu total dalam menit dikali kecepatan terbang dibagi enam puluh. Itu adalah jarak pesawat dari stasiun.”

How to count your trip fuel?

Giliran partnernya menjawab. Mereka sedang simulasi penerbangan malam. Mengamati panel bercahaya di atas kepalanya, pikiran Satria melayang pada perkataan laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Dokter Sulung tadi pagi.

“Kau terpilih sebagai anggota Laskar Khatulistiwa.”

Ulang tahunnya yang ke-22 masih lama. April Mop sebulan lagi. Jika bukan karena kesopanan, dia sudah terbahak. Namun pria itu membungkamnya saat membeberkan satu persatu foto dirinya yang diambil secara rahasia.

“Kami memastikan tak ada yang mengungkit peranmu dalam pendaratan Naga Air tiga hari lalu.” Dokter Sulung tersenyum. “Secara pribadi, Presiden berterima kasih atas bantuanmu.”

Bantuan?

Pertama kali seseorang menganggapnya bukan kutukan.

“Ko berkelahi lagi?!”

Menggelegar suara Salman, rotan tersimpan di punggung. Di ambang pintu, Nene Ima berdiri gemetar.

Satria mematung di halaman.

“Ko jawab!”

Salman mengangkat rotan. Satria mundur selangkah.

“Kalau tidak bisa bermain baik dengan anak kampung, jangan keluar rumah!”

“Saya tidak berkelahi,” tercekat, Satria memandangi kaki.

Rotan membeset cepat. Satria berjengit, menahan sengat di betis.

“Jangan bohong!”

“Saya tidak berkelahi, Papa.”

Sabetan kedua.

Satria menggeleng. Air matanya mengalir.

Sabetan ketiga.

Keempat.

Temaram jingga di permukaan Danau Limboto sudah merata saat luka-luka di betis Satria berdarah dan menganga. “Ampun, Papa…”

Kemudian derap langkah itu terdengar.

Mereka warga kampung Kayudurian. Masing-masing membawa anak laki-laki babak-belur.

“Sekarang kamu orang percaya?!” satu dari mereka menunjuk wajah anaknya.

“Saya tidak berkelahi!”

Sanggahan itu berbuah tempeleng ayahnya di kepala. “Diam, bodo!”

Salman melangkah maju. Satria ditariknya ke belakang.

“Saya minta maaf. Saya sudah kasih pelajaran anak saya.”

“Anak itu perlu diajar lebih!”

Ucapan itu ditimpali angguk persetujuan.

Satria merapati tubuh ayahnya. Mengintip dari balik pinggang.

“Anak tak pernah diajar!” teriak seseorang.

“Mamamu lari karena malu punya anak begitu!”

Satria memekik histeris, tangannya terbentang lebar.

Warga kampung terheran.

Anak-anak babak-belur justru mengerti.

“Itu! Sihir itu…!!”

Seperti tanaman, tunas angin tumbuh dan berpusar cepat di kedua tangan Satria. Wajah Salman membeku.

Detik berikutnya pusaran angin itu menyapu habis kerumunan warga dan melempar mereka ke semak-semak.

Satria oleng.

Salman sigap menangkap. Membopongnya lari. “Jangan tunggu kami, Mama! Warga kampung akan membunuhnya karena takut sihir!”

Nene Ima terangguk, komat-kamit berdoa.

Tak butuh lama Satria tersadar. Tubuhnya terguncang. Dunia terbalik dan dia ingin muntah.

Langkah Salman cepat membelah bukit. Di belakang, warga sorak-sorai mengejar. Beberapa bersenjata badik dan panah.

“Papa…”

Sebilah anak panah melesat.

Salman menahan langkah.

Di depannya ngarai dalam berbatu. Gelap tak berdasar.

Di belakangnya, hutan terbakar amarah warga yang berkobar.

“Papa,” Satria memeluk tubuh berpeluh ayahnya. “Saya bisa bawa Papa pergi.”

Salman bingung tak mengerti. Dia tak sempat menjawab.

Satria memeluknya erat.

Sekejap kemudian kosong.

Beberapa ribu meter dari sana. Satria tergeletak pingsan.

Potongan tubuh ayahnya bergelimpangan.

*****

500 kata, di luar judul dan catatan kaki

FTD: Flight Training Devices

GPS: Global Positioning System

DME: Distance Measurement Equipment

VOR: VHF Omni Directional Radio Range; sebuah tipe system radio-navigasi jarak pendek pada pesawat, mengizinkan pesawat menerima sinyal/unit untuk menentukan posisi dan tetap tersambung dalam menerima sinyal radio dari jaringan di daratan.

ADF: Automatic Direction Finder; adalah instrument radio-navigasi pada kapal atau pesawat yang secara automatis dan berkesinambungan menampilkan posisi relative dari kapal/pesawat pada stasiun radio yang sesuai.

Arwah 5

Arwah

Kurang lebih sejak tiga bulan yang lalu, arwah istri saya datang berkunjung ke rumah. Saya mengenalinya karena dia mengenakan pakaian kesukaannya. Terusan warna krem yang jatuh tepat di bawah lutut, bermotif bunga bakung. Entah dari mana dia mendapatkannya, seingat saya semua pakaiannya sudah saya sumbangkan karena saya tidak sanggup mengenang kepergiannya yang begitu tiba-tiba.

Awalnya, saya sedikit takut karena biar bagaimanapun dia adalah arwah, bukan manusia. Saya kemudian menceritakan hal tersebut pada Ibu saya yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Ibu menasihati agar saya segera mengikhlaskan kepergian istri saya, mungkin beliau berpikir saya hanya mengada-ada atau berhalusinasi. Saya tidak memaksa Ibu untuk percaya karena memang dia tidak terlalu senang mengurusi hal-hal semacam itu. 

Kembali kepada arwah istri saya, di permulaan kedatangannya, dia hanya lewat-lewat di teras. Memeriksa pot-pot bunga yang terlihat kering. Beberapa saat kemudian dia menghilang. Saya yang menyadari hal itu segera menyiram deretan bunga itu. Beberapa hari kemudian, arwah istri saya datang lagi, kali ini dia terlihat bolak-balik di sekitar tumpukan pakaian kotor berjamur, di ruang pencucian. Tak menunggu lama setelah arwah itu pergi, saya membeli deterjen dan menyalakan mesin cuci. 

**

Demikianlah permulaan rutin arwah itu berkunjung. Sempat saya berpikir apakah saya sedang bermimpi, karena tak ada tanda-tanda nyata kehadirannya. Sampai kemudian saya mendapati arwah istri saya itu mulai berani masuk ke rumah, dan mulai menyenggol barang-barang. Jika di awal kedatangannya dia hanya duduk-duduk sebentar, baik di teras, atau berkeliling di dapur, belakangan dia tinggal lebih lama. Kadang, saya terkaget-kaget sendiri karena tiba-tiba sudah ada dia di dalam kamar, tergolek di atas tempat tidur. Atau di kamar mandi, menyalakan keran air sampai tak ada yang tersisa untuk saya mandi di pagi hari. Kalau sudah begitu, saya memilih menyingkir ke ruangan lain, berpura-pura tak menyadari keberadaannya, sampai akhirnya dia pergi.

Lambat laun, saya pun terbiasa dengan kehadirannya. Meski kami tak saling menyapa, saya cukup terhibur dengan pengetahuan kalau arwah itu sedang ada di suatu sudut rumah. Misal di malam hari, jika saya terbangun untuk kencing, atau sekadar minum air, saya tidak lagi merasa aneh jika mendapati arwah itu mondar-mandir di ruang tamu, melihat-lihat foto-foto berpigura di dinding, atau album yang saya simpan di dalam laci. 

Suatu kali, ketika dia pergi dan tidak mengembalikan album itu ke tempat semula, saya mengintip apa yang lama dia pandangi. Ternyata, dia sedang melihat-lihat album anak kami satu-satunya, yang sedang kuliah di luar kota. Saya sedikit terenyuh menyadari hal itu. Mungkin, arwah istri saya merasa rindu. Sempat tercetus niat untuk menelepon anak saya, atau video call saat arwah itu datang bertandang, tapi saya khawatir jika anak saya mengira saya sudah gila. Sama seperti Ibu saya, yang tetap mengira, saya hanya terlalu rindu pada mendiang istri saya itu. 

Memang saya akui kalau saya sangat rindu pada istri saya, tapi saya juga sangat sadar bahwa seseorang yang sudah meninggal dunia, tak mungkin hidup lagi. Kecuali istri saya penganut ilmu hitam yang membikinnya tidak bisa mati, dan saya yakin istri saya tidak begitu. Lagipula, saya tidak menginginkan hal-hal lebih pada arwah istri saya ini, seperti yang sudah saya sampaikan, saya sudah cukup bahagia dengan perasaan bahwa saya tak lagi sendirian di rumah sebesar ini. 

**

Namun, ada beberapa hal yang mulai mengusik rasa tenteram di hati saya. 

Yang pertama, sekitar satu minggu lalu, seseorang berpakaian hitam-hitam, melintas di depan rumah saat saya sedang duduk-duduk minum kopi di teras. Dia menggunakan sepeda motor tua, yang tiba-tiba saja dia rem, lalu berhenti tepat di depan rumah saya. Pekarangan saya cukup luas dan ditumbuhi bunga-bunga dan pohon tinggi, jadi dia tak melihat keberadaan saya, tapi saya cukup jelas melihatnya. Laki-laki berbaju hitam itu turun dari sepeda motornya, berdiri di depan pagar, wajahnya tampak tak senang. Keningnya berkerut, lama-lama makin dalam. Matanya nanar memandang rumah saya secara keseluruhan. Paling lama dia menatap daerah sebelah kanan rumah saya, yang setelah laki-laki itu pergi, baru saya sadari, ada arwah istri saya sedang berdiri di sana. 

Arwah istri saya tampaknya juga menyadari keberadaan laki-laki berbaju hitam itu, karena dia hanya tegak berdiri, dengan pandangan lurus ke jalan. Barulah setelah laki-laki itu benar-benar lama pergi, dia menundukkan pandangan. 

Lalu menoleh pada saya. 

Itu kali pertama, saya dan arwah itu bertukar pandang sejak berbulan-bulan ini. 

Dan untuk pertama kali juga, saya baru menyadari, bahwa parasnya sama sekali tak menyerupai istri saya. Secara keseluruhan, penampakan tubuhnya memang seperti istri saya, rambut tergerai sebahu, punggung yang sedikit membungkuk, dan ditambah pakaian kesukaannya yang secara otomatis langsung membentuk gambaran lengkap istri saya. 

Namun wajahnya, terlihat berbeda. Jauh lebih tirus dan terutama matanya yang sangat cekung sehingga bola mata arwah istri saya itu terlihat sedikit membelalak. 

Saya buru-buru menurunkan pandangan saat itu. Menghabiskan kopi, lalu pindah ke ruang tamu. 

**

Kejadian berikutnya, yang lebih mengganggu pikiran saya, adalah ketika rumah saya kedatangan tamu. Beliau adalah imam masjid yang tinggal beberapa blok dari rumah saya. Sore itu datang terkait sumbangan masjid yang saya berikan saat istri saya meninggal. Saya memang menyedekahkan banyak hal atas nama istri saya untuk masjid, berharap itu mempermudahnya di alam sana.

Jadi, saya sedang sendirian di rumah, perlu saya jelaskan hal ini karena memang belakangan, arwah istri saya datang hampir setiap hari dan bertahan sepanjang hari. Khusus sore itu, hanya ada Pak Imam dan saya yang berbincang di ruang tamu. Saat datang, wajah Pak Imam tampak tak sehat. Memang beliau setahu saya sudah lama sakit kencing manis, tapi sore itu, beliau lebih pucat dari yang pernah saya ingat. Namun, bukan itu yang meresahkan saya—tentu saja saya khawatir pada kesehatan Pak Imam, tapi tak sampai masuk terlalu dalam ke benak saya, setidaknya belum. Pak Imam sedang menyampaikan beberapa hal, termasuk ucapan terima kasih dari ibu-ibu pengajian yang sudah saya berikan banyak hal, ketika terdengar ribut-ribut. 

Sumbernya dari arah dapur. Kami berdua tentu terkaget. Pak Imam sempat berseloroh bahwa kucing saya sedang mengamuk, karena memang ramai sekali bunyinya, seperti piring beradu dan kuali dihempaskan. Namun, karena saya tidak punya kucing, saya menunggu sejenak suara itu berhenti. Karena firasat saya, itu hanya angin. Memang pintu belakang saya biarkan terbuka lebar. 

Ternyata bukan angin. Ketika suara ramai itu tak kunjung berhenti, saya beranjak memeriksanya di dapur. Pak Imam menunggu di ruang tamu. Saat itulah saya melihat kalau arwah istri saya sedang bertengger di atas dinding. Kedua kaki dan tangannya menempel laksana cecak besar, dan sesungguhnya saya sangat kaget. Hampir pingsan rasanya. Arwah itu terus berdiam diri di sudut langit-langit rumah, memunggungi saya. Dapur berantakan, kompor menyala, dan saya duga arwah itu yang melakukannya. Entah dengan alasan apa. 

Saya buru-buru mematikan kompor, mengambil minuman dari kulkas lalu membawanya ke ruang tamu. Saya bilang hanya angin, sebagai penjelasan pada Pak Imam. Dan memang suara itu sudah berhenti saat saya meletakkan gelas di atas meja.

Kami berdua kembali berbincang, meski pikiran saya sudah tidak penuh lagi pada apa-apa yang dikatakan Pak Imam. Saya hanya mengangguk-angguk seperlunya, dan berbasa-basi di sana-sini. Lalu sejurus kemudian, tiba-tiba arwah istri saya keluar dari dapur, menuju pintu depan. Melintasi kami berdua. Saya hanya melihatnya dari ekor mata karena arwah istri saya itu melesat seperti kecepatan kucing yang diburu saat mencuri sesuatu. Tapi yang saya tidak duga, Pak Imam sepertinya juga melihat arwah itu, karena wajahnya langsung seperti kehilangan darah. Dan saat memegang gelas untuk minum air yang saya suguhkan, tangannya gemetar hebat. 

Pak Imam buru-buru pulang, tidak mengatakan banyak hal. Di malam hari, saya mendapati pesan darinya di ponsel saya, menyuruh saya agar berhati-hati. Dia bilang, dia melihat ada jin yang mondar-mandir di rumah saya. Dan dari apa yang beliau pahami, jin itu bukan jenis jin yang baik perangainya. Saya bimbang harus membalas apa, tapi pada akhirnya saya hanya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya, dan saya berjanji untuk berhati-hati.

**

Keesokan paginya saya kembali mendapat pesan di ponsel, tapi kali ini dari grup rukun tetangga. Mengabarkan kalau Pak Imam sudah meninggal dunia, kepalanya terbentur keras saat terpeleset di kamar mandi. Sudah meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Tentu saja itu menyedihkan, dan mengagetkan buat saya, karena kami baru berjumpa sehari sebelumnya. Saya sempat sampaikan perihal itu di grup, menyatakan bahwa hidup memang kadang seperti itu. Kita harus banyak mempersiapkan diri, semoga diberikan kemudahan dalam kehidupan dan kematian, dan banyak anggota grup yang mengamini apa yang saya katakan.

Saya sudah berniat untuk mengunjungi rumah Pak Imam pagi itu. Saya kirimkan pesan ke kantor, bahwa akan sedikit terlambat. Namun, hal berikutnya, yang membuat darah saya berdesir sangat kencang, adalah saat saya menyadari, bahwa di depan pintu kamar saya, sudah berdiri arwah itu. Tidak seperti biasanya, kali ini dia tampak memang sengaja menunggui saya tidur. Saya tidak tahu dia sudah berapa lama di sana. Saat itu, kali kedua kami berpandangan.

Saya semakin yakin, kalau raut wajahnya, semakin tidak mirip istri saya. 

Perasaan takut yang muncul di awal-awal kedatangannya beberapa bulan lalu, kini datang kembali. Kali ini, saya merasa tak tenang dengan kehadirannya. 

Saya menunggu beberapa saat sebelum bangkit dari kasur, biasanya arwah itu akan segera pergi dengan sendirinya. 

Namun, tidak, kali ini, dia tak kunjung pergi. 

Malah, dia berjalan mendekat. 

Saya buru-buru bangkit dari tempat tidur. Berjalan memutarinya, dan segera mandi, membersihkan diri. Saat itulah terpikir dalam benak saya, apakah Pak Imam terpeleset karena sakitnya, atau ada sebab lain. Pikiran itu mengganggu saya sampai sedikit sakit kepala. Saya memutuskan untuk benar-benar berhati-hati pada arwah itu. Saat keluar dari kamar mandi, saya tidak menemukannya lagi. 

Di rumah Pak Imam, saya kemudian bertanya-tanya dengan nada ringan pada tetangga yang sedang bertakziah, adakah yang berpengalaman mengusir jin dari rumahnya. Ternyata banyak juga yang punya cerita tentang jin dan arwah, walau rata-rata hanya dari mulut ke mulut. Tak ada yang mengalaminya langsung. Meski demikian, saya tetap mencatat beberapa nomor telepon yang mereka berikan, siapa tahu ada yang bisa saya hubungi nantinya. 

Dari rumah Pak Imam, saya berniat kembali untuk berganti pakaian kerja. Di depan gerbang rumah saya, terlihat sesosok berbaju hitam yang dulu pernah mampir dan melihat-lihat. Saya ingat padanya karena dari kejauhan, gelagatnya sama. Celingak-celinguk dari depan pagar. Dan saat melihat kedatangan saya, orang itu segera menyalakan motornya dan seperti bersiap akan pergi. Namun, entah apa yang menyebabkannya mengurungkan niat, karena saya lihat dia turun kembali dari motornya. 

Saya ragu-ragu untuk pulang. 

Laki-laki berbaju hitam itu tetap di sana, memandang lurus pada saya. Wajahnya terlihat menyeramkan. 

Saya menghentikan langkah dan menimbang-nimbang. Mungkin, laki-laki itu paham dengan ketakutan saya. Karena kemudian dia menuntun motornya, mendekat pada saya. Saya pikir dia akan berhenti namun tidak, dia terus berjalan melewati saya. Sepintas lalu, saya mendengarnya berucap saat badan kami bersisian. 

“Hati-hati.”

Hanya itu. Lalu sosok berbaju hitam itu melaju kencang.

Saya lantas mencoba berdiri di tempatnya melihat-lihat tadi, meski saya tak bisa melihat ada apa-apa yang aneh pada rumah saya. Kecuali kemudian, saya melihat ada yang bergerak-gerak di atas pohon, dan saat saya mengangkat wajah, arwah itu sedang bertengger di salah satu cabangnya. Matanya tajam menatap pada saya. Entah karena dia sedang menaiki pohon, atau karena masih pagi dan cahaya matahari membelakanginya, saya melihatnya sedikit tak terlampau jelas, tapi saya yakini penampilannya tidak seperti dulu lagi. Dia memang masih memakai pakaian istri saya, tapi rambutnya sudah semakin kasar dan awut-awutan, wajahnya juga semakin tirus, dan yang paling membuat leher dan punggung saya mendingin, adalah matanya yang seperti sumur gelap nan hitam. 

Saya buru-buru masuk ke rumah. Hanya untuk mendapati arwah itu sudah berada di sana duluan. Dia berdiri tepat di tengah-tengah ruang tamu, lekat-lekat memandangi saya. 

Seperti tadi pagi, saya berjalan memutarinya. Namun, ekor mata saya dapat melihat kalau kali ini dia terus mengikuti langkah-langkah yang saya ambil. Saya masuk kamar dan berganti baju. Baru saya sadari saya berkeringat banyak dan rasanya sesak napas. Tapi saya berusaha tetap tenang dan bersikap biasa saat keluar kamar, bersiap pergi kerja.

Arwah itu menghalangi pintu dan tak ada tanda-tanda dia akan menjauhinya. Saya mencoba keluar lewat pintu samping, tapi lagi-lagi dia menunggu di sana.

Kemudian, secara serempak semua daun jendela dan tirai menutup sempurna. 

Saya menelan ludah. Masih berpura-pura tak menyadari apa yang sedang arwah itu coba lakukan, saya lalu membuka laptop di ruang tamu. Menunjukkan kalau saya sedang bekerja, meski sebenarnya saya berusaha mencari-cari di mana saya menyimpan daftar doa-doa. 

Arwah itu berjalan mendekati saya. Mau tak mau saya memandanginya. Kali ini saya sangat yakin, jika arwah itu bukan arwah istri saya. Mukanya sudah tak ada mirip-miripnya. 

Bagaimana bisa saya terpedaya olehnya?

Saya jadi bertanya-tanya, perlukah saya benar-benar menghubungi nomor orang-orang pintar yang sempat saya simpan barusan?

***** selesai *****

Kopi yang Meledak 7

Kopi yang Meledak

Bagi mayat-mayat hidup itu, waktu minum kopi adalah kebahagiaan yang tak terganti. Untuk sesaat yang tak lama, mereka akan kembali merasakan jadi manusia. 

Dua kali sehari: jam tujuh pagi, dan sore saat matahari hampir terbenam. Masing-masing dua jam. Itu adalah waktu yang diizinkan untuk minum kopi. Meski sebenarnya mereka ingin minum lebih banyak dari itu, sayangnya, itu bisa berarti kematian—dalam arti harfiah. Baik dari sisi manusia, maupun mereka nantinya. Akan kujelaskan detilnya sebentar lagi.  

“Kau ingat mayat Alfred tempo hari? Astaga. Aku bersumpah belum pernah ada yang lebih hancur lebur daripada itu,” cetus Ernesto. 

“Bahkan hatimu?” 

Olokanku itu berbuah tonjokan kecil di perut. Aku tergelak melihat Ernesto yang cemberut. 

“Jikapun aku jadi mayat hidup—amit-amit!” dia lekas mengetuk meja dapur tiga kali,”aku yakin hatiku tak akan pernah benar-benar mati.”

Ya, semoga saja. Aku berdecak dalam hati. Aku yang mati kalau harus melayani sendiri.

Tak banyak waktu untuk bercanda. Kulirik jam bulat besar di depan palang pintu. Tiga puluh menit lagi. Aku bahkan sudah bisa mencium baunya! Mereka pasti sudah berjejer di gang-gang sempit tempatnya biasa bersembunyi. Mulai dari Jalan Q, hingga Lorong T, mayat-mayat hidup itu menguasai jalanan ibukota. 

Ernesto sepertinya mencium aroma yang sama. Dengan gerak otomatis, dia membuka pintu lemari sudut kanan atas. Menarik peti aluminium dan mengeluarkan masker standar untuk melayani sarapan mayat hidup. Aku sendiri merobek bungkusan paket hitam yang bersandar sejak tadi di meja dapur. Sepasang hazmat berwarna kelabu. Kutunggu sampai Ernesto memberikan masker. 

Seperti robot, kami berdua mengenakannya lapis demi lapis. 

Maskerku beraroma lemon, untuk sesaat aku merasa nyaman. Meski sebentar lagi, aroma hazmat itu pasti mengalahkannya. 

Bau bangkai trenggiling. Demikian tertera di bagian belakang leher. Ernesto tergelak.

“Saat kupikir mereka tidak bisa lebih kreatif!”

Dua tahun sudah, virus aneh menyebar di udara dengan cepat. Mayat bergelimpangan tanpa sempat dikubur. Seminggu setelahnya, mereka bangkit dan mulai mengorek-ngorek sampah. Dan ketika sampah habis, sesuai dugaan, mereka mengejar makhluk hidup. Mulai dari hewan, kini juga manusia. Kota makin bau tak terperi. Manusia yang berhasil bertahan, mengungsi di balai kota, membangun benteng pertahanan terakhir yang mereka sebut Gelembung. 

Nama yang tak bisa lebih pas.

Dalam Gelembung, para ilmuwan berlomba dengan waktu, menemukan formula masker yang pas untuk mencegah penularan. Vaksin tak mungkin dilakukan mengingat hampir semua hewan coba mati mengenaskan—untuk kemudian bangkit di hari ketujuh, sungguh menjengkelkan. 

Satu-satunya yang bisa menenangkan mayat-mayat itu, adalah kopi. 

Itu pun diketahui tanpa sengaja. 

Suatu sore, mayat-mayat itu menyerbu sebuah kafe yang dikelola sepasang kakek-nenek rabun senja. Mungkin mereka sudah bosan hidup jadi membuka kedai adalah pilihan yang cerdas. Drone patroli kebetulan melintas dan segera mengirimkan sinyal darurat untuk menyelamatkan dua sosok panas—drone tersebut memindai suhu tubuh. Gelembung menangkap sinyal itu dan segera melepaskan dua tim penyelamat. 

Untuk kemudian membatalkannya. 

Karena semenit kemudian, drone mengirimkan pesan selusin sosok panas sedang berkumpul di kedai itu. Tiga menit kemudian, pesan sepasang sosok panas kembali masuk. Dan saat film dalam kamera drone tersebut diperiksa, diketahui bahwa kakek-nenek itu menyuguhkan kopi. 

Mayat-mayat di kafe itu sempat menunjukkan kehidupan untuk sesaat. Lalu mati, untuk selamanya. Berita itu segera menggemparkan kota. Yang jadi masalah tentu saja, mencari biji kopi dalam jumlah yang banyak, sebelum seisi kota terkontaminasi. Harga kopi melonjak drastis. Tak ada yang mengalahkan pasarannya yang jauh di atas emas permata. Belum lagi, sekali pun biji kopi berhasil didapatkan, mencari formulasi seduhan kopi yang benar-benar dapat membunuh mayat hidup, susah sekali. 

Satu sendok teh kopi. Satu sendok teh gula. Air panas suhu 95 derajat Celcius tepat—tidak kurang tidak lebih. Disajikan dengan susu tiga sendok makan. 

Sepertinya sederhana, sampai kemudian terbukti bahwa racikan kopi yang salah, akan menyebabkan mayat-mayat hidup itu kebal kopi untuk beberapa waktu. Laboratorium Gelembung menemukan bahwa waktu kebal terlama yang pernah tercatat adalah dua puluh sembilan hari. Mayat hidup tak akan bisa dihancurkan setelah mereka kebal kopi, dan selama itu pula, mereka adalah penyebar virus yang paling ganas.

Mayat-mayat hidup itu pun sepertinya mengerti bahwa kopi, dapat menghidupkan mereka untuk sesaat, karena mulai banyak di antara mereka berbaris untuk merasakan beberapa menit menjadi manusia, lalu meninggal untuk selamanya. 

Tentu saja jika racikan kopinya tepat. Dan di sinilah, kami berdua berperan. 

*** 

Aku dan Ernesto, adalah dua peracik kopi yang lulus dengan nilai terbaik. 1000/1000. Itu nilai Ernesto. Aku sendiri hanya keliru satu kali saat latihan. Peracik yang lain masih terlalu jauh di bawah kami. Gelembung tak berani mengambil risiko. Maka, di sinilah kami setiap hari. 

Dua kali sehari, di kafe mobile: MINUM KOPIMU, LEDAKKAN KEPALAMU. 

Selebaran dibagikan, dan ajaib, mayat-mayat hidup itu cukup banyak yang memilih ‘kematian’. Padahal dalam brosur itu jelas tertera: kopimu dapat menyebabkan kembalinya fungsi kesadaran selama 2 menit 47 detik, dan selanjutnya, kau akan mati selamanya. Mungkin Ernesto benar, masih ada hati yang tersisa pada mayat-mayat itu. 

Drone pengintai pagi ini masuk lewat pintu khusus di atas jendela, sistem suaranya menyala otomatis. Benda itu terbang dengan dengung nyamuk yang malas di atas kepala Ernesto. 

“Selamat-pagi,” ucapnya dengan nada robot yang menjemukan. 

Ernesto melakukan high-five virtual padanya. Mila, pengendali drone jarak jauh itu, adalah pacarnya. Mila tahu aku benci suara robot, setiap hari dia mengatur suara drone itu menjadi versi paling mengesalkan. 

“Kau-terlihat-buruk-pagi-ini,” itu sapaan untukku. 

Aku menirukan gerakan tak senonoh padanya. Ernesto mengacungkan jari tengah padaku. 

Mila mengirimkan gambar terbaru. Mayat-mayat itu sudah antre tiga blok dari kafe. 

Aku melirik jam di depan pintu. Tujuh menit. 

Aku belum cerita permasalahan tugas ini, yang pertama adalah: kopi tak boleh dibikin sebelum pemesannya tiba. Enam setengah detik, setelah kopi selesai diseduh, adalah waktu menghidangkan terbaik. Lebih dari itu, efek kopi menurun drastis, dan yakinlah, hal terakhir yang diinginkan adalah mayat hidup kebal kopi. Kuulangi, mayat hidup kebal kopi—di dalam kafe. 

Mereka akan mengamuk bagai banteng, entah darimana datangnya kekuatan itu. 

Untuk kemungkinan terburuk itu, aku dan Ernesto dibekali hazmat berlapis, virus tak akan mampu menembusnya. Lapisan kaca anti peluru setebal sepuluh sentimeter juga memisahkan aku dan mayat-mayat hidup itu. 

Hal terburuk berikutnya: mengenali pemesan kopi. 

Ernesto menangis tak bersuara bulan lalu saat ibunya datang. Mata perak perempuan itu bercahaya selama beberapa saat saat menenggak kopi yang diseduh putra satu-satunya. Aku yakin Ernesto ingin berpaling tapi kuakui mataku panas saat melihat kepala Nyonya M, ibu Ernesto, meledak seperti semangka jatuh di aspal, dengan serpihan otak kehitaman yang sempat menempel di dinding kaca. 

Aku sendiri, sedikit beruntung karena tak punya keluarga. Ayah ibuku sudah lama mati. Satu-satunya orang yang kukenal, adalah sepupuku Sonego. Orang tua Sonego sendiri juga sudah meninggal dalam kecelakaan pabrik. Kami berdua diasuh Panti.  

Nama Sonego tak pernah terdaftar di dalam penghuni Gelembung. Sehingga hampir tak mungkin ia bertahan. Aku sendiri sudah mengikhlaskannya. Meski tentu saja, harapan suatu hari dapat menemuinya kembali sebagai manusia, beberapa kali terlintas dalam kepala. Sonego adalah tukang las yang handal, mungkin saja ia sempat membangun bentengnya sendiri di luar sana.

Sebenarnya ada hal terburuk berikutnya, tapi itu tak pernah terjadi. Yakni kalau kami kehabisan kopi, sebelum setiap mayat hidup yang melewati pintu hancur jadi debu. Sejauh ini, kafe LEDAKKAN KEPALAMU selalu mobile dan berhasil menemukan kumpulan mayat dalam jumlah tak terlalu banyak. Salah hitung pembeli, kematian menanti kami. 

*** 

Jam tujuh berdentang. Drone Mila melesat ke seberang ruangan, dari sana ia dapat merekam segalanya. Ernesto menekan tombol pembuka pintu truk. Langkah menggesek aspal terdengar mendekat. Aku menghirup dalam-dalam aroma lemon pada maskerku. 

Hazmat suit sengaja diberi aroma aneh karena para ilmuwan ingin melihat adakah bau-bauan tertentu lain yang juga mempengaruhi mayat hidup, selain kopi tentunya. Selama bertugas, aku pernah memakai aroma tahi kucing, muntah bayi, selokan mampet, air ketuban. Sebutlah hal-hal busuk lainnya. Aku dan Ernesto sudah khatam. 

Bangkai trenggiling hari ini sepertinya tak berefek apa-apa. Mayat pertama bergerak lambat ke depan kaca. Liur, atau sesuatu yang menyerupai liur menetes terjuntai dari pinggiran bibirnya yang robek setengah. 

KO-PI. Parau ia meminta. 

Ernesto membacakan consent secara cepat—sejujurnya aku tak pernah mengerti mengapa Gelembung tetap menerapkan aturan itu: mayat-mayat harus mengerti bahwa kepala mereka berisiko akan meledak. 

YA. Jawabnya. 

Ernesto mengangguk padaku. Aku menyiapkan gelas pertama. Satu sendok. Satu sendok. Air panas. Tiga sendok. Aduk-aduk-aduk. 

Ernesto menekan timer. Satu. Dua. Tiga. 

Mila tiba-tiba berkedip. “Ke-bo-cor-an!”

Kopi diteguk. 

“Menjauhlah selagi sempat. Para mayat sudah menyiapkan perangkap untuk kalian hari ini. Sementara kalian di sini, mereka sudah di belakang. Menggali.” 

Seperti bola lampu yang tiba-tiba putus kabelnya, mayat itu menggelepar dan hangus. Aku dan Ernesto berpandangan, tak mengerti maksud ucapannya. 

Mila masih berkedip-kedip. “Ke-bo-cor-an!” 

Ernesto mengernyit, mengetikkan sejumlah kode di layar komputernya, berusaha menghubungi Mila secara langsung dan dua arah. Di luar, barisan mayat tampak mulai menumpuk. Mereka tak suka menunggu kopinya disiapkan. 

“Halo, Mila?”

“Ernesto! Gelembung diserang pagi ini. Segerombolan bandit masuk dan mencuri persediaan kopi!” 

Mila mengirimkan video pengintai. Sesosok wajah itu tertangkap kamera. Jantungku berdetak lebih kencang. Sonego. 

Bandit mengincar kopi untuk dijual dengan harga beratus kali lipat. Entah untuk apa uangnya mereka gunakan. Aku memeriksa persediaan kopi yang kami punya. Menggeleng pada Ernesto. 

“Hanya seratus.”

Itu artinya, kami tak mungkin menyelesaikan tugas hari ini. Jika normalnya kami akan terus melayani selama dua jam hingga mayat-mayat tak lagi bermunculan, sementara pesanan biji kopi dikirimkan dari Gelembung; kali ini, seratus porsi kopi akan segera habis bahkan sebelum satu jam. 

“Kirimkan bala bantuan.” Ernesto memberikan kiss-bye pada Mila.

Oh yeah. Mungkin untuk pertama kalinya, aku dan Ernesto akan benar-benar bertarung dengan mayat-mayat hidup ini. Aku menggeretakkan jari. Sonego sialan.   

Ernesto menarik laci paling bawah. Barisan senapan runduk semi otomatis berjejer di dalamnya. Darahku berdesir. 

Hmm, mungkin sebelum itu, waktunya minum kopi! 

*** selesai *** 

patak hanto harun malaia

Patak Hanto*

Dengan debaran dada yang makin kencang, kau seret langkahmu mendekati salah satu toko dengan tulisan besar menyala di persimpangan jalan itu. TOKO KUDA PONY—huruf Y-nya sudah terbalik, kemungkinan lepas paku bagian atasnya. Bangunan di samping kanan-kirinya tampak gelap, membuat toko itu semakin mencolok. Beberapa puluh langkah sebelum sampai di sana, kau berhenti. Menimbang-nimbang. Menajamkan pandangan. 

Kau yakin melihat sesuatu bergerak di dalam sana. 

Apakah itu bayangan yang tadi? Kau sudah bersiap untuk kembali berlari. 

Namun lagi-lagi, kau melihatnya sekilas. Kali ini cukup jelas untuk meyakinkanmu bahwa itu benar-benar manusia. 

Menengok kanan-kirimu sekali lagi, kau memantapkan hati. Semoga siapa pun itu tahu jalan keluar dari tempat keparat ini, demikian kau membatin. 

Sekelebat bayangan melintas cepat di depanmu. Membuatmu hampir terjatuh dan memaki. Lalu mengikik setelah menyadari itu hanya seekor tikus yang ukurannya memang cukup besar. Binatang itu berhenti sejenak, mengendus udara di depannya, kemudian menghilang di balik deretan tong sampah warna-warni yang berjejer rapi di samping sebuah mesin minum otomatis yang tampak berpendar disiram sorot cahaya lampu jalanan jangkung yang ada di seberangnya.

Kau sontak menelan ludah.

Antara toko di depan sana, dan mesin minum beberapa langkah di kananmu, kau menimbang-nimbang. Akhirnya, rasa haus mengalahkan penasaranmu. Lagipula aku bisa memeriksanya setelah ini, pikirmu. 

Sekaleng Coke jatuh dengan bunyi nyaring setelah kau memasukkan uangmu. Buru-buru kau mengambilnya. Baru kau sadari tanganmu gemetar saat mencoba membukanya dengan tergesa. Minuman itu mendesis ringan di tanganmu. Tak menunggu lama, kau meneguknya dengan beringas. 

Hausmu belum tuntas. Kembali kau memilih minuman yang sama. Kali ini kau sengaja menimangnya lebih lama. Buat nanti, kau membatin. 

Tong sampah di sampingmu berisik dan seekor tikus berlari keluar dari dalamnya. Mungkin tikus yang sama. Kali ini ia berlari ke arahnya datang tadi. Membuatmu ingat untuk memeriksa toko di ujung jalan sana. Melangkah gontai, kau menekan kaleng dingin di tanganmu ke dahi. Merasakan tetesan embunnya turun menyatu dengan basah keringat di lehermu.  

Saatnya keluar dari tempat busuk ini, gumammu. 

Kompleks pasar malam yang digelar akhir pekan telah lama tutup dan entah bagaimana ceritanya kau menjadi orang terakhir yang belum pulang. 

Oke, ralat sedikit. Sebenarnya kau tahu jawabannya: kau adalah salah satu petugas listrik yang disewa untuk memastikan setiap stand yang didirikan tidak mengalami masalah dengan jaringan kabel yang baru dipasang, tapi sialnya, hari ini kau sedang diare. Meskipun sudah minum obat, tetap saja tak kurang sudah tujuh kali kau bolak-balik ke kamar mandi, sejak datang ke pasar malam lepas matahari terbenam tadi. Kau sampai hapal dengan pesingnya yang menusuk, serta mural norak yang menghiasi hampir tiap jengkal dindingnya. Yang terakhir tadi, saat kembali terduduk di bibir toilet yang dinginnya membuat anusmu berkerut, kau sebenarnya sudah sangat lemas. Dehidrasi, kau berbisik dalam hati. Sempat kau putuskan akan memakai lembar terakhir dalam dompetmu untuk membeli sebotol Coke atau sejenisnya di mesin minum otomatis. Setelah ‘setoran’ terakhir ini, demikian kau berjanji. Dan kau pun bertekad untuk langsung pulang setelahnya. 

Lalu entah bagaimana ceritanya, kau ketiduran. 

Ya, kau pasti tidur sedikit terlalu lama, karena saat terbangun, keheningan nan beku yang menyapamu. Tak terdengar sedikit pun bisik-bisik serta canda menggelikan khas remaja-remaja tanggung—yang saking seringnya kau menyambangi kamar mandi, kau hapal riuhnya celetukan mereka. Satu bukti lagi bahwa kau tidur dalam waktu lama adalah jeansmu yang sudah turun ke lantai yang lembap—celana itu jadi basah dan terus terang itu sedikit menjijikkan. Mengabaikan perasaanmu, kau tetap memakainya. Toh aku akan segera pulang, kilahmu. 

Membuka pintu bilik kamar mandimu, kau hanya menemukan deretan urinoir bau tertempel di dinding, serta mural-mural norak itu. Tapi bukan itu yang membuatmu tertegun lama hingga tak berani beranjak dari tempatmu berdiri.

Ada lima kamar mandi kecil di dalam sepetak ruangan itu. Kau sedang menempati nomor lima, yang paling ujung, terjauh dari pintu masuk. Dari sana, saat sekilas berpaling, kau melihatnya. 

Sepotong bayang-bayang memanjang di lantai. 

Asalnya dari bilik pertama. Kau menyadarinya karena persis sepertimu, bayang-bayang milikmu terlihat di depanmu karena posisi lampu yang ada di belakang punggungmu. 

Namun, dari tempatmu berdiri, kau bisa melihat kalau bayang-bayang itu tak sepenuhnya seperti bayang-bayangmu. 

Dua potongan runcing seperti tanduk mencuat tinggi dari atas kepalanya. Dan saat mencoba saksama mendengarkan, kau yakin benar tak ada sedikit pun suara napas dari bilik sana. 

Bayang-bayang itu hanya membeku di lantai. 

“Anjir. Setan….”

Kau pelan-pelan memundurkan langkah. Memanjangkan kaki, mencoba menekan tuas flush. Bising air yang berpusar segera memenuhi ruangan. 

Lehermu memanjang. 

Mengintip.

Bayang-bayang itu bergeming. 

Lalu tiba-tiba lampu di atas kepalamu padam diawali redup yang ganjil. 

Satu. 

Dua. 

Tiga. 

Seluruh lampu di deretan kamar mandi itu padam. Gelap gulita mencengkeram. 

Kecuali di ujung bilik sana. 

Bayang-bayang bertanduk itu masih kaku di tempatnya.

“Permisi … Saya permisi dulu .…” suaramu bergetar, tercekat di pangkal tenggorokan. 

Kali ini, seakan mengerti, kau melihat bayang-bayang itu bergerak.

Lalu lampu terakhir ikut padam. 

Instingmu bergerak lebih cepat, membawa lari kakimu pergi. Di depan pintu masuk kau sempat terpeleset genangan air, tetapi itu tak menyurutkan langkahmu. 

Kau berlari secepat mungkin. Sejauh-jauhnya. 

Maka di sinilah kau. Kaleng minumanmu sudah tak terlalu dingin namun kau masih senang merasakan bebannya di dalam genggamanmu, dan lehermu—membuatmu tetap terjaga. Apalagi kompleks pasar malam yang kosong terasa sangat berbeda dibanding saat manusia sedang ramai-ramainya. Jalan-jalan yang tadinya terasa sempit dan kanan-kirinya penuh dengan penjual makanan kini lengang dan lapang. 

Setidaknya sudah lima kali kau memutari ruwetnya jalan-jalan kompleks yang tanahnya terasa lengket di bawah sol ketsmu, dan selalu saja ada hal baru yang kau lihat. Mungkin tadi panik, mungkin itu bukan benar-benar setan, pikirmu. Awalnya, menghibur diri seperti itu terasa menyenangkan. Apalagi kini, ketika kau sudah tidak punya beban kerja, kau bisa melihat-lihat santai deretan toko-toko suvenir dengan hiasan jendela yang cantik. Atau bangku-bangku duduk yang tampak keren dari sudut-sudut tertentu. Kau menikmati pengalaman barumu. Jarang-jarang bisa begini, batinmu. 

Namun, saat bulan dan bintang kelihatan semakin tinggi di atas kepala, dan dinginnya malam sudah mengalahkan lembapnya bokongmu, kau harus mengakui kalau kau sedikit cemas. Kembali kau memutar, mencari-cari jalan untuk keluar. 

Sialan. 

Sepertinya kau benar-benar tersesat. 

Bodoh sekali, tersesat di pasar malam, kembali kau menggerutu. 

Beberapa stand toko yang lampunya masih menyala coba kau datangi, tetapi percuma saja, karena semua sudah rapat terkunci. Tak peduli berapa lama kau menempelkan wajah di depan kaca pintu atau jendelanya, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di dalam sana. 

Kecuali toko yang satu ini. Kau sudah berdiri tepat di depannya. Kau yakin benar tadi telah melihat sesuatu bergerak di dalam sana. Semoga benar manusia, kau berdoa.

“Permisi? Ada orang di dalam?”  

Tiba-tiba lampu kelap-kelip yang menghiasi tulisan TOKO KUDA PONY meredup. Kau mendongak waspada. 

Lalu bangunan di depanmu gelap gulita. 

Kau mundur beberapa langkah. Bersiap lari meski lututmu goyah. 

Namun sekejap kemudian lampu menyala kembali. 

Jantungmu menumbuk-numbuk dinding dada. Tapi kau sudah kepalang basah. Mungkin ini satu-satunya kesempatanmu, menemukan seseorang yang bisa ditanyai jalan pulang. 

Kau mendorong pintu itu. Tak ada pergerakan. Sekali lagi kau coba, kali ini lebih bertenaga.

Pintu membuka dengan derit yang aneh. Semerbak bau pembersih lantai menyergap hidung. Sontak kau melihat ke bawah kakimu. Air tampak tergenang dan mengalir pelan-pelan ke salah satu sudut ruangan, menghilang di balik etalase kusam berisi deretan boneka kuda poni yang tampak bosan. 

Berjingkat, kau memasuki toko itu. “Permisi …?” Kau menyadari suaramu terdengar tak seperti biasa. 

Kau memanjangkan leher, menyeberangi meja kasir, mencari sumber air yang bocor. Lalu kau melihatnya, bilik kecil di sudut sana, tersuruk di belakang tumpukan kardus-kardus yang tersusun tinggi. Kamar mandi. Benar saja, terlihat air deras melewati bawah pintu bilik. Buru-buru kau masuk dan usai mematikan kerannya yang terbuka, kau lantas menyadari bahwa sesuatu yang bergerak yang tadi kau lihat, pasti pantulan cahaya lampu di air yang tergenang. Ah, berengsek sekali. 

Tak butuh lama untuk air di lantai segera surut. Kau melirik jam dinding yang terpasang miring di atas pintu masuk. Lima belas menit lagi jam dua.

“Sial ini namanya.”

Meneguk habis minumanmu, kau melemparnya ke dalam keranjang sampah di bawah meja kasir. Dengan tanganmu yang masih sejuk kau merabai leher. Kau berkeringat luar biasa. Asal-asalan, kau tarik tali kipas angin raksasa yang menempel di langit-langit. Benda itu berputar malas dengan bising yang menjemukan. 

Kau menggeser keluar bangku kecil dari depan meja kasir. Duduk di sana.

Lalu kau melihatnya. 

Di luar jendela, di seberang sana. Seseorang sedang berdiri dan tampak menengok kanan-kiri. 

“Hei …!” sontak kau bangkit dan melambaikan tangan, berharap dia melihatmu. Bergegas kau maju, bermaksud lari ke pintu, hanya untuk terkesiap. 

Sosok itu berdiri tepat di depan lampu jalanan yang jangkung menjulang. Membuat wajahnya sulit untuk dikenali. Ia tampak merabai keningnya. Lehernya. 

Sosok itu melangkah maju. 

Keningmu berkerut. 

Merasakan dingin yang merayap di punggung. 

“Permisi? Ada orang di dalam?” teriaknya. 

Kali ini sosok itu maju dan cahaya lampu tepat menyinari wajahnya. 

Darahmu tersirap dan lututmu goyah. Berkali-kali kau mengucek mata.

Sosok tadi terus mendekat. Kali ini kau bisa melihat dengan jelas kedatangannya, memiringkan kepala, menempelkan minuman kaleng di lehernya. Kembali di depan toko ia berhenti. Dipayungi lampu jalan di belakang punggungnya, bayang-bayangnya memanjang hingga ke depan pintu. 

Spontan, kau menekan saklar lampu di samping pintu. Untuk sesaat kegelapan menyelimutimu. 

Terhuyung-huyung kau mencoba menarik pintu lebar-lebar. Sial! Sial! Tak bisa terbuka! 

Buru-buru kau kembali ke meja kasir, mencari-cari kunci. Atau apa pun untuk melindungi diri. Jantungmu seakan pindah ke perut. Mulas tak terkendali. Tapi dalam kegelapan tak mungkin ada yang bisa kau cari. 

Lalu lampu kembali menyala. 

Nanar, kau melihat sosokmu di luar sana merapat.

Setan! 

Teriakanmu terhenti di tenggorokan. Bergegas kau masuk ke bilik kamar mandi, sembunyi. 

Menutup mata. Kau berharap semua ini mimpi belaka. 

Menutup mata. Kau berteriak sekerasnya.

Membuka mata. Kau mengepalkan tanganmu yang gemetar.  

Kau merasakan air tumpah-tumpah membasahi sepatu. Merembes di celanamu. 

Kau memantapkan hati. Kali ini, semua akan kau hadapi.

Membuka pintu. 

Lorong kamar mandi gelap bau pesing berhiaskan mural norak menyambutmu. 

*** selesai ***  

*Patak Hanto; judul terinspirasi istilah ‘patak hantu/hanto’, (patak artinya sembunyi), sebuah kepercayaan masyarakat suku Banjar tentang hantu/jin yang senang menyembunyikan anak-anak yang bermain terlalu jauh ke dalam hutan, atau bermain di waktu-waktu terlarang (sore menjelang magrib, misalnya).