Arsip Penulis: Harun Malaia

Kesah Penyihir 1

Kesah Penyihir

Apa yang kalian ketahui tentang penyihir?

Atau, jika kusebutkan kata ‘sihir’, apa yang terlintas di benak?

Hampir semua yang kutanyai sebelumnya, memberikan jawaban mengecewakan. Kisah tentang penyihir sudah begitu lama tersiar hingga kesesatannya sudah tak bisa diluruskan. Meskipun itu membantuku — dan penyihir lainnya —, untuk bisa hidup tenang dan tersembunyi; belakangan, aku hampir tak tahan lagi, ingin rasanya menampakkan wajah dan menghukum mereka yang telah menggangguku.

Jadi begini, sebelum seorang penyihir resmi dinyatakan sebagai penyihir, kami — aku dan para penyihir — sebenarnya hanyalah manusia biasa. Sampai di sini biasanya legenda tentang sihir masih benar. Namun yang tidak pernah diketahui adalah untuk menjadi seorang penyihir, ada pengorbanan yang perlu dilakukan.

Kalian tak pernah mendengarnya?

Ya, pengorbanan terbesar: kami harus rela tidak akan pernah jadi manusia lagi.

Masih bingung?

Pohon.

Ya, manusia yang akan jadi penyihir harus membenamkan kakinya dalam-dalam, berakar di perut bumi, lalu merapalkan mantra untuk berubah jadi pohon seutuhnya. Perlu kutegaskan, tidak semua pohon adalah penyihir, tapi setiap penyihir, sejatinya adalah sebatang pohon.
Kami tak pernah bisa berpindah tempat. Jika dalam cerita kaudengar penyihir menaiki sapu dan mengarungi langit, itu hanya sebaris rapalan mantra yang kami tiupkan pada sebatang ranting di tubuh kami.

Masih tak percaya?

Kaupikir darimana asal ide membakar penyihir untuk benar-benar memusnahkannya?

Intinya, aku sudah membahayakan diriku sendiri dan kaumku yang tersisa dengan menceritakan kebenaran ini, tapi ini harus kulakukan. Kubocorkan saja sekalian bahwa sebagai penyihir, aku masih terhitung anak bawang. Ilmuku tak seberapa, rapalan mantraku tak mampu menyeberangi samudera, dan itu jadi masalah bagi kaumku. Mereka menganggap aku takkan mampu melindungi diri sendiri.

Bukan, bukan karena manusia menyadari keberadaanku. Sebaliknya.

Tepian hutan telah dibakar habis. Makin lama makin jauh ke dalam. Sudah berpuluh tahun aku bertahan tapi kurasa ini tahun terburukku. Tadi pagi kukirimkan pesan perpisahan lewat daun terakhirku. Lewat tengah malam aku mendapatkan balasan. Pesan singkat tertiup angin kering yang begitu menakutkan.

BERTAHANLAH. LANGIT SEGERA MENANGIS.

Aduhai.

Kalian para manusia takkan sanggup menerimanya. Hujan semacam ini hanya untukku yang berakar dalam memeluk bumi. Bukan untuk kalian yang bahkan membaca musim saja sudah tak peduli.

Bukan untuk kalian yang tak punya hati.

Aduhai…

Pertemuan di Kereta 3

Pertemuan di Kereta

“Kau paham konsekuensi semua ini, kan?” kalimat terakhir dari penyihir bermata emas itu terngiang-ngiang. “Mengubah masa lalu—sekecil apapun, akan ada balasannya. Mengubah masa depan—, kuharap tekadmu sudah benar-benar bulat, Nak. Dan waktumu tak panjang, jangan berlama-lama di sana,” kecemasan memenuhi air mukanya.

Aku menelan ludah. Panik mulai memenuhi benak.

Kurasakan sensasi aneh mencair di mulutku. 

Aku tak sempat untuk berubah pikiran—bahkan sekiranya ingin—karena sesuatu tiba-tiba menarik rambutku naik ke atas dan aku seakan tersedot ke dalam pipa pembuangan air di bawah kota yang dulu sering kujelajahi untuk menghabiskan waktu makan siang, alih-alih melatih mantra di kelas sihir yang membosankan.

Bedanya kali ini aku tak berakhir di pinggiran Sungai Ouk yang ditumbuhi semak blueberry. Kereta yang melolong serta desis relnya yang khas menyadarkanku bahwa aku telah berpindah tempat. Aku meringkuk rapat-rapat, sampai kurasakan kereta yang kutumpangi berhenti. 

Membuka mata, aku melirik sekeliling. Tidak terlihat lagi wajah Nenek Perta. Serta aroma apak dinding ruang tamunya yang menurutku mengandung racun. 

Aku terbatuk pelan. 

Langkah pertama berhasil.

Sekarang yang harus kulakukan adalah keluar dari tempat ini tanpa terlihat mencurigakan.

Yang sepertinya tidak akan mudah. 

Nenek Perta sialan. 

Dari sekian banyak peron pemberhentian, penyihir tua renta itu mendaratkanku di gerbong yang berterali. 

Sempurna. 

Aku mengumpat dan meloloskan diri dengan susah payah—pada akhirnya mantra Tulang Lunak terpakai juga. Seorang kakek tua berjenggot membantuku dengan wajah penuh penyesalan (setelah kupikirkan lagi, dia mungkin seorang pengemis yang sempat mengira aku adalah tetesan jeli hijau-lumut yang bisa dimakan). 

“Kau pasti tersesat, Manis. Tahun berapa asalmu?” Dia menyapa ramah.

Aku hanya tersenyum lemah, menggumamkan terimakasih yang tak jelas lalu pergi. 

Astaga, tempat ini cool sekali (dalam artian sebenarnya dan kiasan), pantas saja mereka segera mengenaliku dari tahun lampau. Buru-buru aku ke kamar mandi dan merapikan diri.

Setidaknya gaun biru elektrik ini terlihat lebih natural (di tahun ini!) daripada gumpalan goni yang tadi kukenakan. Kini tinggal mencari wanita itu. Kuputar mesin pencari (mirip dengan peta manusia yang pernah kubaca dalam kelas sejarah) dan menuangkan dua tetes air mata buaya untuk mengaktifkannya (aku menangkap sendiri buayanya tapi kisah itu terlalu panjang untuk kuceritakan). Mesin itu segera melesat, kugenggam sudut perkamennya erat-erat. Kehilangan barang itu bisa berarti mati.

Dibawanya aku ke sudut stasiun dengan jejeran pohon serupa pinus yang berbuah panjang-panjang berwarna ungu-biru, buah itu menjuntai panjang hampir dua meter dari tangkainya menempel. Beberapa anak tampak mengisapnya sambil tertawa-tawa, aku tergoda untuk mencobanya jika urusanku sudah selesai.

Teler karena Buah Sulur Jembalang adalah pilihan yang sangat manusiawi. Aku mendengus pelan.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seorang wanita muda menegurku.

Aku segera mengenalinya. Hmm, lumayan, selera berpakaianku tak terlalu buruk.

“Bisa bicara?”

Wanita itu menyelisik rambutnya dengan gugup. Dengan satu lambaian tangan dia mengajakku ke kursi panjang yang banyak tertanam di peron kereta. Lambaian tongkat berikutnya membuat batas samar antara kami dan dunia sekitar.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” ulangnya dengan membelalak.

“Ibu; dia ingin aku—maksudku, kau,” aku sedikit tak terbiasa melihat riasan di matanya,”menghindari naik gerbong yang biasa kau tumpangi. Pilih saja gerbong lansia. Atau para guru.”

“Gerbong lansia banyak pelecehan seksual. Kau tak mau tahu apa isi koran belakangan.”

“Kalau begitu para guru.”

“Apa kau sudah gila?!” Wajahnya tampak khawatir, memandang sekitar dengan nanar. “Sebenarnya ada apa kau datang? Kau tahu berisiko sekali bepergian ke masa depan.”

Aku berdeham. Hampir saja aku lupa dengan risiko itu. Kudekatkan wajah ke telinganya (astaga, aku menindik telingaku sebanyak tujuh lubang?), “Ada pria yang akan jadi suamimu di sana,—dan apa yang kaulakukan dengan hidungmu? Kau mengoperasinya?”

Wanita itu spontan menjengit. “Siapa yang bilang?”

Aku memutar bola mata. “Ibu. Dengarkan aku: dia-melarangmu-naik-gerbong-yang-biasa-kau-tumpangi,” aku mengulang pesan dengan sedikit tak sabaran. 

“Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”

“Dia baru saja merenovasi dapurnya di tahunku.”

Wanita itu meringis. “Rasanya aku ingat dapur jelek itu.”

“Fokus.” Aku menepuk lengannya. “Pria itu berambut merah, kau tahu Ibu benci rambut merah.”

“Mengingatkannya pada Ayah yang pemabuk. Bagaimana Ibu tahu hal seperti ini?”

Aku mengibaskan tangan. “Ibu belakangan merawat seekor naga yang sekarat, saat mati hewan itu membisikinya masa depan. Dan ada banyak hal lagi yang jadi ceracaunya belakangan ini. Hindari rambut merah itu, dan hidupmu akan baik-baik saja, begitu katanya.”

Wanita itu menghela napas. “Aku tak ingat itu. Astaga, runyam sekali.” Dia lalu melirik jam tangannya. Bertepatan dengan lolongan kereta yang mendekat. 

“Keretaku datang, saranmu akan kupertimbangkan. Sekarang cepat pulang atau kita berdua akan melanggar batas waktu.”

Aku mengangguk cepat. Kurogoh saku jubah, mencari permen mint yang sudah dimantrai oleh Nenek Perta. “Jaga diri!” teriakku pada wanita itu persis sebelum permen itu meledak di dalam mulutku (secara harfiah!) dan merasakan sensasi tersedot yang sama seperti sebelumnya.

Kali ini gerbong pengembalianku tak berterali, lebih empuk dan wangi biji bunga matahari. Sayangnya aku jatuh dengan posisi tertelungkup. 

Oh, Demi-Tanduk-Kelabang! 

Kurasa hidungku patah. 

Perlahan aku mengeluarkan saputangan, menyumpal darah yang mulai menetes.

Wow. Sepertinya kau butuh dokter.”

Suara itu mengagetkanku, sigap aku berbalik dan mendapati seorang anak laki-laki bertopi jerami sedang memandangiku takjub. Mata hijaunya berkilauan. “Kau tampak—biru. Tersesat?”

Aku menggeleng pelan, memeriksa sekujur tubuh—selain hidung, aku tak kurang satu apapun. Bangkit berdiri, aku bertanya pada anak itu, sepertinya kami seumuran. “Hei, sekarang tahun berapa?” 

Anak laki-laki itu menjawab pelan, dia mengulurkan tambahan sapu tangan dari saku jubahnya. “Kau yakin tidak perlu ke dokter? Ayahku punya penyembuh yang bagus.”

Tidak. Uang dan tabunganku telah habis untuk membayar Nenek Petra. 

Aku menggeleng yakin, meski kini kurasakan pandanganku agak mengabur dan sulit bernapas. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” 

Anak laki-laki itu mengangkat bahu, “Terserah kau saja.” 

Kulepas sapu tangan dari hidungku. Darahnya sudah berhenti. 

“Kau seperti nenek sihir,” anak itu terkekeh. Menunjuk pada hidungku yang bengkok tak wajar. 

Berdecak kesal, aku mendorongnya, mengintip keluar kereta yang sedang berjalan—perpindahan hanya bisa dilakukan pada objek yang sedang bergerak cepat. “Apakah ini gerbongmu?”

Kembali dia mengangkat bahu, “Menurutmu?” 

Aku berpaling padanya. Menyewa satu gerbong sendirian? Anak orang kaya yang mulutnya pedas sekali. 

Sekelabat sinar matahari masuk dan menyinari gerbong, kembali aku mengintip keluar jendela. Padang Rusa Merah, sebentar lagi aku akan sampai di rumah. 

“Kau habis bepergian?” Anak itu ikut bertumpu di jendela. 

Aku meliriknya, “Menurutmu?”

Dia terkekeh, dengan susah payah dia mengangkat tepian kaca yang berat, “Bantu aku.”

Bersungut-sungut, aku tetap ikut mengungkitnya. Berat sekali, sepertinya tidak pernah ada yang repot-repot meminyaki jendela ini. 

Berhasil! 

Kaca itu mengayun naik dengan derak terpaksa, mengizinkan gerombolan angin sore sabana yang keras menghempas masuk. Aku tertawa saat melihat topi jerami anak itu disambar angin kencang lalu terbang keluar gerbong. 

“Hei…!” sudah terlambat untuk mengucap mantra pemanggil. 

Aku masih terkekeh, “Kau harus merelakannya.” 

Kali ini sinar matahari benar-benar masuk gerbong secara merata. 

Senyumku lenyap. 

Anak laki-laki itu masih mencebik, mengusap-ngusap rambutnya yang berkibar berantakan. 

Rambut merah itu.

*****

Waktu Berhenti di Matanya 5

Waktu Berhenti di Matanya

Jam berapa?

Sekilas tak ada yang janggal dari jawabannya atas pertanyaanku barusan. Ia menjawab ringkas, lalu tersenyum, sebelum sekali lagi menatap jam tangannya. Yang lain mungkin mengira ia sedang memastikan jawabannya tak keliru. 

Tapi aku tidak. 

Aku tahu pasti alasannya. Ia sedang mengenangnya. Wanita yang pernah mengisi hatinya, dan waktunya. Aku menyadarinya saat ulang tahun hari pernikahan kami, ia menyimpan hadiah jam tangan yang kuberikan dan kembali mengenakan jam tangan lamanya. 

Aku terlanjur terbiasa, ujarnya. 

Ia tidak berbohong. Aku tahu ia terbiasa melakukannya. Membaca perbedaan waktu lebih dari setengah hari. 

Ya, jam tangannya menunjukkan waktu wilayah wanita itu berada. Pernah berada. Kadang, jika suasana hatiku sedang tidak baik, menyadari ia masih memikirkannya akan membuatku sedih dan sakit kepala. Beribu pertanyaan laju meragu dan berakhir pada satu retoris. 

Kurangku apa?

Aku tak pernah berani langsung bertanya, tentu saja. Terlalu mudah untuk dijawab. 

Tapi jika aku sedang tak cemburu, tak jarang kubayangkan betapa bahagianya andaikan aku yang ada dalam benaknya setiap kali ia mengusap dan mengamati jam tangannya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku merona dan dadaku menghangat.

Jika sudah seperti itu, aku bingung dengan perasaanku. 

Ia sendiri sepertinya paham dengan perasaanku. Tak pernah sekalipun ia terang-terangan mengamati jam tangannya jika sedang bersamaku. Ia hanya akan melakukannya jika kutanyakan tentang waktu. Aku sering mencuri lihat apakah di belakangku ia juga begitu, dan ternyata memang demikian adanya. Jika tak ada yang menanyakan, ia seakan tak menyadari keberadaan jam tangannya. 

Kalau sudah begitu, aku akan jadi ‘orang ketiga’ yang sengaja bertanya: jam berapa? 

Tak peduli tentang rasa apa yang berikutnya akan mendera. Ah, betapa bodohnya. 

Semula, aku tak pernah ragu pada kemungkinan bisakah aku menggantikannya. Toh, secara genetik kami sama. Kepergiannya seakan menyeretku untuk menggantikan posisinya, yang dengan serta merta kuterima karena memang sejak lama aku mencintainya. 

Ah, mestinya telah kusadari, bahwa—bahkan sejak awal—bukan aku yang dipilihnya. 

Ah, betapa bodohnya. 

Beberapa kali pernah terlintas di benak, untuk sekadar menggodanya, lalu mengubah putaran jarum di jam tangannya. Tapi memikirkan kemungkinan kemarahannya, niat itu tak pernah benar-benar terlaksana. 

Biarlah, kupasrah pada waktu, jika memang berhenti padanya, aku bisa apa?

———

“Jam berapa?” 

Aku mengangkat wajah dan melirik jam tanganku, “Setengah delapan. Lewat tiga menit.” Tak urung senyumku mengembang. Kuperiksa kembali benda melingkar itu, memastikan jawabanku tak keliru. 

Dari sudut mata kulihat ia memperhatikanku. Kuangkat wajah dan tersenyum padanya. “Kita akan berangkat jam delapan, kau sudah siap?”

Ia hanya mengangguk pelan.

Kunjungan ke dokter kadang membuatnya senang, tapi tak jarang memukul kepercayaan dirinya. Jika sudah begitu, ia akan menjadi sosok asing itu. Secara fisik sama, tapi bisa kurasa berbeda.  

Ah, seandainya waktu itu aku tak terlambat menjemputnya, ia akan pulang denganku, bukan menaiki taksi dan mengalami kecelakaan fatal yang merenggut kenangannya, yang sepanjang hidup kutahu berusaha ia isi kembali, —sayangnya—dengan sesuatu yang lain. 

“Jam berapa?” ia bertanya lagi. 

Aku mengangkat wajah. Ia sedang tersenyum padaku. Dia.  

** selesai **

Kasih, ini yang penghabisan. 7

Kasih, ini yang penghabisan.

Apa yang lebih berat daripada terus menerus mengingatmu?

Terpaksa aku.

Dalam tiap rinai yang basah.

Aku gelisah.

Tak ayal lagi rindu yang membuncah.

Pecah tak berkesudah.

Di bawah hujan sore itu.

Waktu seakan tak pernah berlalu.

Hanya ada kau… lalu aku.

(1)

Adam menepikan sepeda motor dengan tergesa. Bersungut-sungut dia memaki dalam hati. Joni, abangnya yang pelupa, pasti tidak langsung mengembalikan jas hujan ke dalam jok motor. Beberapa orang siswa lain juga memilih untuk berteduh. Hujan deras turun tiba-tiba beberapa saat setelah pagar sekolah dibuka. Melihat tebalnya awan yang sekarang menggelayut di langit, hujan ini akan lama. 

Seorang siswi berlari tergesa dan mengambil tempat berdiri persis di sebelah Adam; siswi itu sedang menelepon. Adam bisa melihat pakaiannya sudah setengah basah. Butir-butir air hujan tampak jelas di lengannya yang sedang melekatkan handphone di telinga, mengalir pelan dan menetes jatuh setelah sempat berkumpul sebentar di bagian sikunya. 

“Ya, Mama. Aku masih terjebak hujan.” 

Adam tersenyum, dia mengenali siswi di sampingnya sebagai siswi baru di kelasnya. Suaranya terdengar berbeda dari jarak sedekat ini.  

Merasa diperhatikan, siswi itu memalingkan wajah, lalu tersenyum sambil menyapa, “Hai.”

Adam sampai tergagap, “Hai. Kau ingat aku? Kita sekelas.”

Siswi itu masih tersenyum. “Ya, kau yang dihukum karena tidak membuat tugas Fisika.”

Adam bisa merasakan darah mengalir deras ke daerah kepalanya, “Ah, kini aku berharap kau tak mengingat apa pun.”

Siswi itu tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang rapi luar biasa, “Kau juga ketua kelas.”

Adam hanya mengangguk-angguk pelan, “Kau boleh mengingat yang itu,” dia kemudian memaksa dirinya untuk tersenyum. Digesernya posisi berdirinya agar lebih mendekat, “bagaimana hari pertamamu? Dan maafkan aku, namamu Ana, bukan?”

Siswi bernama Ana itu mengangguk pelan. Dengan tangan kirinya dia menyisipkan helai-helai rambut yang berkibar tertiup angin ke belakang telinganya. “Kau — Adam?” dia sempat mencuri lihat pada badge name yang terjahit di seragam Adam. “Tadi apa pertanyaanmu?”

Adam menggaruk kepalanya, “Bagaimana hari pertamamu? Kuharap tidak mengecewakan.”

Ana menggeleng. Membuat rambutnya kembali jatuh ke sisi wajahnya. Adam memperhatikan saat dia kembali menelusupkannya ke belakang telinga. “Untuk hari pertama, kau tidak akan mendengar keluhanku.”

“Baguslah,” Adam mengangguk, “aku senang mendengarnya.” 

Ana berpaling padanya, “Benarkah? Wajahmu tidak terlihat senang.”

Ah,” Adam kembali merasakan wajahnya panas. Dia lalu menceritakan tentang jas hujannya yang dipinjam oleh abangnya. “Biasanya kalau pakai jas hujan, aku bisa menembus hujan.”

“Menembus hujan?”

Adam berpaling, “Ya.”

“Kau menggunakan pilihan kata yang jarang kudengar,” Ana tertawa pelan. Entah kenapa Adam senang mendengarnya, dia jadi bersemangat untuk bercerita lebih banyak.

“Aku senang merasakan hujan jatuh di atas jas hujanku saat di atas motor. Bisingnya menenangkan.” Adam merapatkan tangannya, memeluk dada. “Kau sendiri?”

Ana menggeleng pelan sambil tersenyum, rambutnya kembali tergerai. Kali ini dia mengumpulkan mereka semua di sisi bahu kanannya. Dari sudut matanya, Adam bisa melihat kulit leher di bawah telinganya sekarang. “Aku menderita asma,” sambung Ana.

Adam menunjukkan wajah khawatir. “Sekarang kau tidak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

Ana memiringkan kepala, berpaling pada Adam, “Apa tugas ketua kelasmu sampai sejauh ini?”

Adam tak mengerti, jelas itu tergambar di wajahnya karena Ana kembali tertawa sebelum akhirnya berkata, “Kau sangat perhatian.”

Adam belum pernah merasakan wajahnya sepanas itu. 

*****

Berdua kita pernah menyandarkan hati

menatap langit dan menunjuk bintang yang sama

berdua kita pernah menguatkan diri

ketika semua sulit dan gelap membayangi

padamu aku percaya

padaku kau percaya

berdua sudah cukup

kau alasan bagiku untuk bahagia

(231)

“Kau tidur berapa jam?” 

Adam mengangkat wajah, mengangkat bahu tak acuh. “Tidurku cukup.”

Ana menatap Adam cukup lama, seakan memastikan kata-kata terakhirnya itu dapat dipercaya. Dia kemudian mengangsurkan beberapa lembar kertas, “Aku suka bagian yang ini. Meski kurasa kau kadang lepas kontrol.”

“Lepas kontrol?”

“Kau memasukkan keinginanmu ke dalam kisah ini.”

“Bukankah aku yang menulisnya? Aku bisa saja memasukkan apa yang kuinginkan.”

Ana menggeleng pelan, “Ini sedikit terlalu banyak. Tidak sesuai dengan watak tokoh yang kautulis.”

Adam mencibir, “Sedikit terlalu banyak.

“Terserah kau saja berarti.”

Adam menopangkan dagu pada telapak tangan kiri sementara dengan tangan kanan dia mengaduk teh yang baru saja diantar. Dilihatnya Ana mengambil beberapa lembar kertas dan mulai menggambar.

“Aku tidur satu jam saja,” Adam membuka suara.

Ana tidak menjawab. Dia masih saja menggambar. 

“Belakangan ini aku terus memikirkanmu, Ana.”

Adam melihat Ana terus menggambar. Ia kemudian mengangkat gelasnya dan meminumnya beberapa teguk. Hangatnya langsung membuat hidungnya terasa penuh. 

“Aku tahu kau tidak menyukaiku sebanyak aku menyukaimu.”

Gerakan tangan Ana terhenti. 

Dia mengangkat wajah. 

Pandangan mereka bertemu.

“Aku mengerti keadaanmu sekarang, tetapi aku tidak bisa menahan perasaanku sendiri,” lanjut Adam tergesa.

Ana meletakkan pensilnya. Menggerakkan tangan ke arah telinga, untuk kemudian menariknya kembali. 

Adam mendengus pelan. 

Kini tak ada lagi anak rambut berjatuhan di pipi. Tidak ada lagi gerakan semi otomatis menyelipkan rambut di belakang telinga. Tidak ada lagi pemandangan kulit leher yang tersembunyi. 

“Kau ingin mengatakan apa?” suara Ana terdengar bergetar.

Adam berdehem pelan, kerongkongannya tercekat. “Ini terakhir kalinya aku meminta padamu. Jika kau tidak bisa bersamaku, pacaran denganku, kurasa akan lebih baik jika kita tidak bertemu sama sekali.”

“Kita sekelas.”

“Kau bisa menghindariku. Atau sebaliknya.”

“Sebegitu mengganggu perasaanmu?”

Adam mendengus dan memaki pelan. 

Ana menarik napas dalam dan mengemasi tasnya. Adam mencoba menahannya. 

“Ana…” Adam tercekat saat mengucapkan nama itu.

Ana menatapnya sejenak, lalu memasukkan pensil dan kertasnya. Dia juga mengangsurkan kembali naskah yang tadi malam dia edit. “Aku pergi.” Dia kemudian berdiri dan keluar dari belakang meja. Saat membuka pintu kafe, udara panas di luar yang berangin menyambutnya, mengibarkan kerudungnya. 

*****

karena kata yang telah terucap tak dapat ditarik kembali

begitu juga dengan kepergianmu

yang membawa serta mimpiku

kau segala yang kutahu

harus darimana aku memulai lagi?

karena hidup adalah tentang pembelajaran

meski semua tak kutahu bisa sesakit ini

kehilangan

(298)

“Ada apa? Bingkisan apa ini?” tanya Ana, setengah berteriak.

Adam mengedikkan kepala, mengajak Ana keluar ruangan yang penuh dengan siswa berpakaian gelap. Sekarang malam perpisahan SMA. Musik berdentam-dentam menulikan telinga dari setiap sudut ruangan. Namun tak seorang pun yang benar-benar memedulikannya, semua tampak asyik dengan kegiatannya sendiri. Beberapa tampak berfoto bersama, mencoba untuk membuat kenangan untuk terakhir kalinya. Sebagian bercerita dengan suara keras agar terdengar dengan lawan bicaranya, saling menceritakan penggalan-penggalan kisah yang sempat terjalin antara mereka semua. Terutama yang menyenangkan. Tawa biasanya sudah pecah bahkan sebelum kisah selesai diceritakan. 

Ana mengikuti langkah Adam keluar ruangan. Meski tetap saja ramai, paling tidak kalau bicara tidak perlu sambil berteriak. 

“Di sini saja.” Ana berhenti melangkah. 

Mereka sekarang di salah satu sudut yang hanya berisikan sekelompok siswi yang saling bercerita sambil bergantian berfoto. 

Adam berbalik dan sekarang mereka berhadapan. 

Adam menunjuk pada bingkisan yang tadi ia berikan pada Ana. “Itu buku. Aku biasa menulis di sana.” 

“Lalu?” 

Adam tampak gelisah. Ana mengenali tanda-tandanya. Dia berulang kali menjejak dengan ujung sepatunya, bergoyang-goyang kecil. Kedua tangannya juga dimasukkan ke dalam saku celana. 

“Kupikir aku tidak akan menulis lagi.” 

Ana berdecak, “Adam, apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”

“Aku tidak ingin menulis lagi.”

“Apa?”

“Aku tidak bisa menulis lagi!”

Ana mengerutkan kening, menatap Adam tajam, “Adam, aku tidak tahu kenapa kau tiba-tiba membicarakan ini. Terakhir kali, kau mengatakan tidak ingin bicara lagi denganku. Sekarang kau memberikan aku buku dan mengatakan kau tidak akan menulis lagi.”

Beberapa siswa yang tadi asyik berfoto dapat mendengar nada suara Ana yang mulai meninggi. Mereka sekarang mulai memperhatikan. Adam yang menyadari hal itu lalu menarik tangan Ana melangkah menjauh. 

Gerakannya itu membuat Ana terkejut. 

Hei!

Adam membawanya ke depan gedung sekolah. Menuruni tangga. Menuju parkiran. 

“Adam. Lepaskan aku.”

“Kita bicara di mobil.” 

“Aku tidak bisa hanya berdua denganmu.”

Adam memaki pelan. Dilepaskannya tangan Ana. 

Sekarang mereka memang hanya berdua di area parkiran. 

“Itu yang tidak kusuka darimu. Kau pikir aku akan melakukan apa? Hah?!” suara Adam sampai menggema saking kerasnya dia berteriak. “Aku tahu kau sekarang sudah menggunakan jilbab. Atau kerudung. Atau apa pun istilahnya. Aku tahu kau sekarang tidak lagi bergaul bersama siswa laki-laki. Aku berterima kasih karena setelah semua itu terjadi kau masih mau membaca tulisanku. Kau masih mau bertemu denganku. Kau membuatku merasa bahwa aku istimewa di matamu. Tapi kau harus tahu bahwa aku benar-benar sayang padamu dan aku tidak sama sekali berniat untuk merusakmu.”

“Kau sudah pernah mengatakan ini.”

“Oh, Ana… kau membuatku gila.”

“Adam. Kau tidak perlu berteriak.”

Adam mengangkat tangannya, meminta maaf. “Aku tidak akan berteriak.”

Ana menarik nafas panjang. Dia menimang-nimang buku di tangannya. “Jika kau memintaku untuk kembali bersamamu, aku tidak bisa.”

“Ana…”

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam terperangah, “Kau gila? Bagaimana bisa aku menikahimu?”

“Karena kita baru saja lulus SMA?”

“Karena kita baru saja lulus SMA. Karena aku tidak bekerja. Karena aku hanya menginginkan kau bisa lebih lama bersamaku. Menemaniku menulis. Mengajakku bicara. Aku tidak akan melakukan lebih. Aku bersumpah. Aku belum siap menikah. Kau belum siap menikah,” Adam gelagapan.

“Aku akan menerimamu jika kau ingin menikahiku.”

Adam menggeleng-geleng pelan. Dia bersandar pada mobilnya. Saat mengangkat wajahnya lagi, matanya berkaca-kaca. Ditatapnya Ana sambil berucap pelan, tangannya terangkat seakan meminta penjelasan, “Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?”

*****

jauh di dalam sana 

kau ada

tidak perlu susah payah 

untuk mengingat semua kisah

bahkan kehancuran pun bisa terasa indah

melihatmu lagi

aku seperti pernah mengenal getir ini

(4376)

Ah… aku tidak pernah suka hujan seperti ini,” Rani merapatkan jaket yang dia kenakan, “Bisakah kita kembali ke dalam? Jika kita pulang sekarang kemungkinan jalan juga akan macet dan kau tahu aku tidak senang berdiam diri di mobil dalam cuaca seperti ini.” 

Yang diajak bicara malah beranjak menuruni undakan tangga, tepat berhenti di batas lantai yang terkena tempias air yang tertiup angin sore itu. Laki-laki itu mengulurkan tangan dan merasakan butiran-butiran air yang lembut langsung menyentuh telapak tangannya. 

Hujan. 

Dia kemudian menatap langit, seolah mencari celah untuk sinar matahari lewat. Namun sia-sia saja. Awan gelap telah menyelimuti langit kota sejak pagi buta. Tinggal menunggu waktu saja sampai air yang benar-benar banyak akan turun dari langit dan membuat dataran di bawahnya basah kuyup. 

“Ayolah. Aku tadi menemukan buku yang bagus sekali, tapi aku tidak membawa kartu untuk meminjam. Kita masuk lagi saja, ya?” Rani setengah melonjak-lonjak di tempatnya berdiri. Dia memasukkan kedua tangan dalam-dalam kebalik saku jaket. 

“Kau duluan saja, aku menyusulmu sebentar lagi.” 

Rani berhenti melonjak-lonjak. Dia kemudian menuruni undakan tangga di bawah kakinya. Kemudian berdiri di samping pria tadi. “Kau sedang bad-mood, ya? Kenapa tiba-tiba sekali?” 

Pria itu berpaling dan tersenyum, “Aku hanya sedang menikmati gerimis.” 

Rani mencibir, “Aku tidak akan pernah bisa bersaing dengan hujan.” 

“Cepatlah naik. Aku akan menyusulmu sebentar lagi.”

Rani tertawa kecil. Dia memeluk lengan pria itu sebelum kemudian setengah berlari naik dan kembali masuk ke dalam perpustakaan. 

Adam menunggu beberapa saat sebelum akhirnya terus menuruni tangga dan membiarkan gerimis menyentuh tubuhnya. Dia tak merasa perlu repot-repot menyeka kacamatanya yang kini beruap dan berbintik-bintik air. 

Hujan. 

Ketika Adam hampir mencapai mobil, hujan deras mulai turun. Dia bisa merasakan butiran-butiran air yang lumayan besar menumbuki punggungnya, membuatnya merasa kegelian. Buru-buru dia mengeluarkan kunci dari dalam jaket, dia tidak ingin basah kuyup. 

Telinganya mendengar segerombolan anak kecil berteriak-teriak kesenangan, sambil berlarian menuju teras perpustakaan. Adam memutar pandangannya, tanpa bisa ditahan dia tersenyum. Diangkatnya wajah menatap langit yang benar-benar pekat dan putih. 

Adam tak lagi memaksa dirinya membuka pintu mobil. Dia memejamkan mata, mendengarkan desau angin yang bergesekan dengan ribuan partikel air yang terpelanting jatuh saling mendahului sebelum akhirnya pecah terhempas ke bumi. Atau ke atas bahunya. Di samping telinganya dia bisa mendengar riak yang tak pernah bisa dia lupakan. 

Adam membuka mata.

Saat itulah dia melihatnya

Tidak ada yang pernah membuat degup jantungnya seperti ini.

Kakinya menyeret badannya menjauhi mobil. Mendekatinya

Wanita itu berlutut, terlihat dia menangkupkan kedua tangan kedepan mulutnya, sebuah benda kecil berwarna putih menempel erat di mulutnya, mungkin juga hidungnya. Adam memicingkan mata. Air hujan mengaburkan pandangannya. 

Inhaler.

Adam tidak tahu sejak kapan air hujan yang mengalir di wajahnya bisa terasa begitu hangat. Dia juga tidak tahu kenapa sekitarnya berubah jadi pelataran parkiran.

*****

(4401)

“Aku tidak menyangka kalau kau masih menyimpan buku itu.”

Rani mengangkat wajah. “Kupikir kau ingin aku menyimpannya.”

Adam tersenyum, tapi wajahnya seperti menyesali sesuatu. Dia masih menimang-nimang buku yang diberikan Rani padanya barusan. 

 “Kau tahu,” Rani menelusuri pinggiran buku itu, “Aku punya beberapa bagian yang selalu aku baca berulang kali.”

“Aku minta maaf.”

“Diamlah, Adam. Perceraian kita bukan sesuatu yang perlu disesali. Aku memang tidak akan pernah sepenuhnya mengerti bagaimana bisa Ana memiliki hatimu sebanyak itu, dalam waktu sesedikit itu. Aku tidak akan menutupi rasa iriku padanya, tetapi itu adalah kenyataan yang tidak bisa kutolak. Aku juga pernah bersamamu dan bagiku itu adalah kenangan yang tidak bisa kutukar dengan apa pun.” 

Adam terdiam. Dia mengerutkan kening. Rani meneruskan kalimatnya.  

“Mungkin benar bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Kalian saling menyukai, tapi tak pernah bisa bersama. Kita pernah bersama, tapi tak lagi menyimpan rasa yang sama. Jika boleh aku memberi nasihat, hiduplah dengan berterus terang. Mungkin hatimu akan terluka lagi. Mungkin ada hati yang akan terluka lagi. Namun begitulah hidup. Aku pernah kecewa, dan aku memaafkanmu. Kuharap kita bisa meneruskan hidup masing-masing.” 

Rani merapikan syal hitam yang melilit di leher dan bahunya. Dia menepuk pundak Adam pelan sebelum akhirnya membalikkan badan. Meninggalkan Adam sendirian.

***** selesai *****

Winter Lullaby 9

Winter Lullaby

Nathan duduk di tepian tempat tidur, memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. Seseorang harus melakukannya jika tak ingin benda itu meleleh dan merusak tart yang susah payah dibuat ibunya. Perlahan dia bangkit, mengintip di balik pintu. Polisi masih mondar-mandir di teras dan ruang tamu. Samar-samar terdengar berisik alat komunikasi yang mereka gunakan. Dari kejauhan sirene dan suara binatang malam silih bersahutan.

Jika bukan karena salju yang mulai turun sejak siang, Nathan tak akan menelepon Mrs. Alberta, janda tua yang tinggal seratus lima puluh meter dari rumahnya. Ibunya memang terbiasa pulang larut malam. Hanya saja, hari ini ulang tahunnya dan mereka sudah berencana menonton rekaman pertandingan football tempo hari. 

“Ibuku belum pulang, Mrs. Alberta. Aku tak bisa menghubungi ponselnya. Bisakah aku memintamu menghubungi polisi?” 

Sudah lewat 15 jam sejak terakhir kali seseorang melihat Amber; Ibu Nathan. Ms. Austin, penjual kue di pinggiran kota mengaku wanita itu datang membayar bahan-bahan kue di pagi hari. Mr. Simmons, pemilik kelab malam tempatnya bekerja mengangkat bahu saat ditanyai polisi. “Dia sudah minta libur malam ini dan besok. Nathan, anaknya berulang tahun.” 

“Sebenarnya, apa pekerjaannya di sini?” 

“Dia penari. Pool dancer.” 

“Amber tak bisa melakukan hal lain karena kikuk. Pernah mencoba jadi pelayan, atau kasir di toko. Dia sebenarnya bisa melakukannya, maksudku, dia bukan orang yang bodoh, hanya cenderung teledor dan lupa.” Nancy, pramusaji di kelab, mencoba membantu menjelaskan. “Tapi dia sangat bertanggung jawab. Maksudku, dia sadar kelemahannya, jadi dia belakangan membawa buku catatan kemana-mana. Dan dia tak merepotkan siapa-siapa, kalau mau jujur.” 

Buku catatan itu ide Nathan. Ketika dia mulai kelas tujuh dan ibunya kerap mangkir pertemuan orangtua murid, dia membuatkan catatan untuk diselipkan di kantong jaket jeans biru satu-satunya milik ibunya. Polisi memastikan ibunya keluar tak mengenakannya. Jaket itu masih tersampir rapi di belakang pintu depan. Ramalan cuaca memang tidak memperkirakan kalau salju akan turun jauh lebih dini. Kemungkinan ibunya pergi pagi-pagi sekali karena yang Nathan jumpai saat bangun hanya selembar kertas tertempel di pintu lemari es. 

Ke tempat Ms. Austin, membayar tepung dan mentega!

“Kau yakin ibumu tak bekerja di tempat lain, Nak? Mungkin kau melewatkan sesuatu? Teman yang baru dikenal? Atau apapun yang mungkin dia coba lakukan seharian ini?” Letnan Donovan, polisi perempuan berkulit hitam yang memimpin pencarian mencoba memastikan.

Nathan menggeleng. Mrs. Alberta yang menengahi, “Amber menderita Alzheimer dini yang langka. Hampir tak ada yang bisa dia kerjakan tanpa mengacau. Hanya menari. Ya, dia bilang, saat menari seseorang tak perlu ingat. Dia hanya perlu bergerak sampai tiga puluh menitnya selesai lalu mendapat bayaran.” 

Di jalanan depan rumah salju mulai menumpuk setinggi lutut ketika jarum jam dinding berkencan di angka dua belas. Nathan terkantuk, Mrs. Alberta mengelus kepalanya. 

“Kau perlu tidur, Sayang.” 

Nathan menggeleng, hidungnya berair. “Ibuku akan baik-baik saja?”

“Polisi sedang mencarinya. Kuharap dia hanya tersesat.” 

Ibunya sering tersesat. Tapi tak pernah selama ini. Atau dalam cuaca seperti ini. 

Mrs. Alberta bersikeras kalau Nathan harus tidur jadi anak itu mengalah. Berbaring kaku di atas kasur, telinganya menangkap desau angin memukul-mukul jendela. Terlelap sejenak, Nathan tersentak saat membuka mata. Dia mendengar bisik-bisik di balik pintunya.

“Dari mana kau semalaman?” 

“Aku terjebak salju, Mrs Alberta. Dokter Grey berbaik hati mengantarkanku, tapi aku lupa jalan pulang jadi kami berputar-putar sejenak. Apakah Nathan kecewa aku melewatkan ulang tahunnya?”

Nathan mengerjap-ngerjap. 

Memasang telinga.

Sekarang hening.

Hanya sirene terdengar di kejauhan.

Serta angin yang memukul-mukul daun jendela. 

Nathan bangkit, menggosok mata, lalu duduk di tepian tempat tidurnya. Memandangi lilin yang sudah lama dia tiup. 

Bisik-bisik barusan, mimpi—atau nyata?