Arsip Tag: harun malaia

Radio 1

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran radio favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet! 

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…! 

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…! 

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****

Tak Semestinya 3

Tak Semestinya

“Yang warna hitam?” Aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu.

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. “Ya. Yang itu.” Sejurus kemudian ia keluar dari kamar mandi. Air masih menetes-netes dari rambutnya. Ia mengalungkan handuk ke leher, menjaga agar kaos putihnya tidak basah. Kemudian ia mendekati jendela, melihat ke luar. “Lama juga hujannya. Apa kita berangkat saja?” ia melirikku sekilas.

Aku mengangkat bahu. “Terserah, kau yang bawa motor. Aku ikut saja.”

Hendi tersenyum. “Kau terlihat cocok mengenakan jaket itu.” Ia kemudian masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang tadi ia pakai di leher. “Kau sudah mencatat buku yang ingin kau cari?”

Aku mengiyakan dengan lirih. Tanpa bisa kutahan, jantungku berdetak tak beraturan. Jaket Hendi yang kupakai sekarang membuatku risih. Aku bisa mencium bau tubuhnya yang membekas di jaket ini. Aku sendiri jadi panas dingin.

Hendi keluar dari kamar dengan rambut sedikit lebih rapi. Sepertinya ia hanya menggunakan tangan untuk membuat rambut itu tersisir. Ia mengangsurkan helm padaku. “Jalan Pattimura kan?”

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum. “Kau benar tidak sedang sibuk kan?”

Hendi mendengus pelan. “Aku seharusnya sudah tidur dalam cuaca sedingin ini. Tapi seseorang yang menggilai buku mengajakku untuk mengunjungi pameran. Apa pendapatmu?”

Aku tak bisa menahan senyum. “Thanks then…

Aku sudah mencatat jadwal pameran buku ini sejak dua minggu yang lalu. Sialnya, baru hari ini aku punya waktu luang — itupun mencuri waktu di sela ujian tengah semester. Aku sudah hampir putus asa ketika tadi akan pergi, hujan turun dengan deras. Dari jam sembilan sampai sekarang; sudah hampir Ashar. Maka kuberanikan untuk meminta bantuan Hendi. Ia sepertinya sedang tidur saat kutelepon.

“Kau gila?” itu katanya. Aku cuma bisa meringis dan memohon padanya.

“Tolonglah. Hari ini hari terakhir. Mereka tutup jam sembilan malam. Kita hanya akan sampai magrib. Ya?”

“Magrib?”

“Paling lama sampai magrib.”

—–

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di belakang Hendi yang dengan mulus melewati beberapa mobil yang melaju dalam rinai gerimis sore ini. Kurasakan gerimis mulai menembus bagian lutut celanaku. Aku menggertakkan gigi. Kedinginan. “Ternyata deras juga ya?”

“Kau jangan cerewet. Aku di depan lebih kebasahan.” Hendi menjawab ketus. Aku mendorong helmnya. Ia langsung tergelak. Aku bisa merasakan bahunya menguncang saat ia tertawa.

Pameran ternyata sepi. Mungkin karena hujan. Tapi aku tak peduli. Justru lebih nyaman jika sedikit orang. Aku bergegas ke kamar mandi, merapikan rambutku.

“Aku tunggu di luar saja ya. Kau tidak lama kan?” Hendi menunjuk sebuah kafe. “Aku mau cari makan. Lapar.”

Aku mengangguk. “Akan kuberitahu kalau sudah selesai.”

Kulihat Hendi berjingkat-jingkat menyeberangi jalan kecil yang digenangi air. Langkah kakinya yang panjang membuat hal itu seakan begitu mudah baginya. Aku tersenyum sendiri. Merapatkan jaket yang kukenakan. Rasanya seperti Hendi ada di dekatku. Aku melangkah menuju pintu masuk, berpaling sebentar ke kafe. Tepat saat itu Hendi juga sedang berpaling ke arahku. Ia menggerakkan kepalanya sambil tersenyum, seakan menyuruhku masuk. Aku tersenyum lagi.

Sampai di dalam, aku justru merasa bingung. Selama berhari-hari aku memikirkan pameran ini, namun sekarang, setelah berhadapan langsung dengan deretan buku-buku itu, aku lebih tertarik untuk memikirkan hal lain.

Aku mendekati stan buku-buku sastra Inggris.

Handphoneku bergetar.

Jangan melamun

Aku menoleh dengan sigap, tapi tak kulihat ia. Kubalas sms itu.

Jangan pesan baso, lebih kenyang nasi goreng

Sejurus kemudian smsku dibalas.

Haha. Aku baru saja menghabiskan setengah mangkuk.

Aku menggeleng pelan sambil tersenyum. Kumasukkan handphone ke dalam saku jaket. Kualihkan perhatian pada buku di depanku. Mencoba membalik-balik beberapa halaman.

“Boleh dibaca?” aku bertanya pada gadis penjaga stan itu. Ia mengangguk ramah.

“Lebih baik di dekat jendela sana. Lampu di sini terlalu redup. Meskipun hujan, kurasa di dekat jendela lebih terang. Di sana juga ada bangku untuk duduk.”

Itu lebih dari cukup. Aku mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih.” Kubawa dua buah buku.

Aku duduk sambil meletakkan tas di sebelahku. Benar kata penjaga stan itu. Di sini adalah tempat terbaik untuk membaca. Kuperhatikan sekitarku. Tidak terlalu banyak orang memang. Bahkan yang sedang membaca di dekatku tidak ada. Rata-rata hanya berkeliling stan. Kuambil buku pertama, meletakkannya di pangkuan. Untuk kemudian sekali lagi mengagumi tempat duduk ini.

Aku berada tepat di seberang jendela. Cahaya sinar matahari sore menembus kaca dengan arah yang sedikit melengkung di sebelah kiriku. Hujan di luar membuat kaca jendela berembun, sebagian sudah bergabung dan mengalir menjadi bentuk sungai-sungai kecil sampai di bagian bawah kaca. Aku bisa melihat deretan pot bunga yang daunnya terangguk-angguk tertimpa butiran-butiran hujan yang menetes setelah bergelantungan di kabel-kabel yang melintas tepat di atas jendela. Lebih jauh keluar, melewati pagar pembatas gedung, aspal jalan tampak menghitam bersih meski permukaannya tampak sedikit beriak karena hujan. Jalanan tidak terlalu ramai. Mencoba melihat lebih jauh, mataku menangkap deretan toko yang sebagian besar memasang tirai pelindung hujan guna menghindari percikan air membasahi dagangan mereka. Saat itulah aku melihatnya.

Hendi.

Ia masih di kafe.

Aku tersenyum. Merasakan luapan rasa hangat memenuhi dadaku. Entah kenapa, wajahku juga jadi terasa panas. Kubaui jaket yang sedang kupakai.

Mungkin hanya perasaanku. Tapi sekarang Hendi juga sedang memandang ke arah jendela di mana aku berada. Matanya jelas terfokus untuk melihat sesuatu. Tapi bisa kupastikan ia tidak akan melihatku karena jendela di depanku ini adalah jendela satu arah. Kurasa aku berada di sisi yang tak terlihat.

Aku menggelengkan kepala. Mengusir pikiran aneh yang sempat melintas. Kemudian kubuka halaman pertama buku di pangkuanku.

Ia adalah orang pertama yang mengajakku berkenalan saat aku pindah kost. Ia juga orang pertama yang menawarkan untuk berkeliling kompleks perumahan. Ia juga orang pertama yang tidak dimusuhi Debu, kucingku. Ia adalah tipe orang yang mudah untuk disukai, kuputuskan begitu. Kurasa Debu juga setuju.

Keningku berkerut. Kucoba untuk fokus membaca huruf-huruf di atas kertas.

Ia anak yang mudah bergaul. Pembawaannya tenang. Tidak banyak bicara kosong. Tapi juga tidak terlalu serius. Ia juga pandai. Meski jarang mengakui kalau ia menyenangi buku, aku mendapati ia punya banyak koleksi majalah dan buku yang menunjukkan pola pikirnya.

Kututup buku dengan gusar. Memejamkan mata, aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya.

Entah sejak kapan, ia terlihat begitu besar. Begitu mudah untuk diperhatikan. Begitu menyenangkan untuk dipikirkan. Begitu nyaman untuk diingat. Betapa aku merasa aman jika sedang bersamanya.

Yang paling sulit, ia membuatku kembali mengingat Kak Sam. Mereka berdua hampir setara. Terlalu mudah untuk disukai. Mungkin tak perlu banyak alasan untuk mengakuinya.

Aku menyerah. Kudekati jendela. Mencoba melihatnya.

Tapi Hendi sudah tak di sana. Aku memicingkan mata, menajamkan pandanganku.

Ya. Benar. Ia sudah tak di sana.

“Lihat apa?”

Aku terperanjat. Membuang nafas berat aku segera berbalik. Hendi sudah duduk di atas bangku yang tadi kududuki. “Bagus bukunya?” ia seperti tidak menyadari betapa terkejutnya aku.

“Lumayan.” Aku mengangguk. Sekarang debaran itu kembali lagi. “Kenapa masuk?”

Hendi mengangkat wajah. Senyumnya mengembang. “Tadi di kafe, ada anak perempuan; akhwat,” Ia berbisik pada kata terakhirnya. “Terus dia bilang kalau banyak buku-buku bagus di dalam. Ya… lagipula aku sudah selesai makan.”

“Kau baru berjumpa dengannya dan langsung mau masuk.” Aku mencibir dan tanpa kusadari jadi sedikit sinis. Hendi tergelak pelan. Ia membuka buku yang tadi kupegang. Membolak-balik beberapa halaman.

“Jadi, ada yang menarik?”

Aku kembali mengangguk. “Kurasa aku akan ambil yang dua ini.” Kuambil buku dari tangan Hendi dan buku lain di sebelahnya. “Kita pulang saja.”

“Cepat sekali?”

Aku berbalik padanya, mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa.”

“Katamu sampai magrib.”

“Kataku paling lama sampai magrib.”

Hendi mengangguk pelan. “Ya sudah.” Ia mendahului keluar ruangan, membiarkanku membayar di kasir.

Hujan sudah tak sederas tadi. Bisa dikatakan hampir reda. Aku membuka kaca penutup helm dan mendapati hembusan udara dingin bercampur titik-titik halus air di wajahku. Menyegarkan mataku yang entah kenapa terasa berat.

“Kau belum cerita kenapa kau pindah.”

Aku terdiam. Aku ingat Hendi pernah menanyakan alasan kenapa aku pindah kost. Itu sudah hampir sebulan yang lalu. Waktu itu aku sudah mulai sibuk ujian hingga belum sempat menjawabnya.

“Benarkah?” Aku menelan ludah.

“Kau tidak ingin menceritakannya?”

Aku terdiam lagi. Bibirku kering saat akhirnya aku berucap. “Ada orang yang kusukai di sana. Tapi aku tidak bisa menyukainya. Aku tidak boleh menyukainya.”

Aku sempat menunggu beberapa saat sebelum Hendi akhirnya merespon ceritaku.

“Oh. Aku tidak tahu kalau kau memiliki masalah itu.”

“Masalah — itu?

Hendi tertawa pelan. “Jadi kau melarikan diri. Apakah boleh seperti itu?”

“Entahlah. Aku hanya mencari tempat yang lebih baik.” Aku menelan ludah. “Kurasa sudah benar keputusanku untuk pindah. Itu saja.”

“Berarti tempat sekarang lebih baik?”

Aku menghela nafas berat. “Kurasa tidak juga.” Kuperbaiki letak tas di punggungku. “Aku punya tetangga yang hobi makan baso… dan entah kenapa hal itu bagiku sangat tidak menyenangkan.”

Hendi terbahak. Aku bisa merasakan guncangan bahunya. Kuletakkan kedua tangan di punggungnya.

“Jangan mengelap di jaketku.” Hendi berkata ketus. Kudorong helmnya sampai ia tertawa lebih keras. Aku ikut tertawa. Tapi entah mengapa, hatiku rasanya perih. Tersayat. Lagi.

“Aku sedikit mengantuk. Aku tidak akan bicara lagi.” Kataku. Hendi mengangguk dan melarikan motor lebih kencang.

“Asal kau tidak jatuh saja.” Ia berdesis di antara desingan motor.

Hembusan angin yang dingin menerpa wajahku. Menelusup ke balik jaket yang kukenakan. Seiring dengan hujan yang mereda, semua telah kuputuskan.

—–

Hendi mengangsurkan handuk padaku. Aku menerimanya sekedar untuk mengeringkan bagian leherku yang sedikit basah. “Terima kasih.” Kukembalikan lagi padanya. Ia membawanya masuk ke kamar mandi. Aku melepas jaket. “Aku pulang dulu. Sekali lagi terimakasih. Oh ya, jaketmu akan kuletakkan kembali di balik pintu.”

Hendi menjulurkan kepala dari balik pintu kamar mandi. Ia selalu berganti pakaian di kamar mandi. “Ya. Taruh saja di sana. Pintu dirapatkan.”

Aku mengangguk. Kuturuti kata-katanya. Kurapatkan pintu saat keluar.

Gerimis kembali turun. Aku menadahkan tangan, mencoba merasakan basahnya. Saat melihat kembali ke kaca jendela, aku melihatnya.

Tetesan-tetesan embun. Serupa dengan kaca di gedung pameran tadi.

Aku menuliskan tiga huruf di sana.

“Kau sedang apa?” wajah Hendi terlihat di baliknya. Ia tersenyum. Aku menggeleng. “Bye.

Hendi mengangguk.

Aku sudah hampir sampai di depan rumah ketika kudengar suara itu berteriak memanggil. “Dani!”

Aku memalingkan wajah.

Hendi mengacungkan handphoneku sambil tersenyum.

Aku mengambilnya setengah berlari. Hujan sudah semakin deras. Tanpa berkata-kata lagi aku langsung pulang. Hendi juga langsung menghilang ke balik pintu.

Aku membuka pintu rumah. Debu menyambutku dengan tergesa. Kubiarkan ia meliuk-liuk di kakiku. Kuseret langkah menuju dapur. Menuangkan segelas air.

Bersandar di tepi wastafel, aku mengelus-elus kepala Debu dengan ujung jariku. “Sepertinya kita harus pindah lagi…”

Debu hanya mengeong pelan. Kurasa itu artinya ia mengerti.

—– selesai —–

lalu kelindan 5

lalu kelindan

Do you know what is the strongest spell that evil ever casted?” dia bertanya.

Aku menguap lebar, lalu kembali menatap layar ponsel. “Huh?”

“Tahu, nggak?”

Aku menggeliat sampai gigiku gemeletuk. Mataku menangkap baris-baris cahaya lampu yang lolos dari kerai jendela. Aku hapal biasnya. Kukembalikan pandanganku ke layar, memastikan aku tak salah lihat. Masih belum subuh. Kunyalakan lampu di samping tempat tidur. “Kau menghubungiku sepagi ini hanya untuk menanyakan itu?”

Dia tertawa di seberang sana, matanya jadi tinggal segaris. “Come on. Hanya empat huruf.”

Aku menarik selimut sampai batas hidung, lalu berguling miring. Mendengus lemah, aku merasakan hidungku buntu. “Empat huruf?”

In English.

“Beri waktu sejenak,” aku menutup mata dan mengernyitkan kening, berpura-pura berpikir.

Seperti biasa, dia tak termakan muslihatku. “Ayolah. Four letters. Buka matamu.”

Aku membuka mata.

I’ll give you another clue then. You like it. A lot.” dia membisikkan kalimat terakhirnya sambil mengedipkan mata.

Aku sontak merasakan ada yang aneh di bawah sana. Refleks aku meringkukkan tubuh. Wajahku memanas.

“Bukan itu! Hey!” dia menukas cepat sambil tertawa keras.

“Memangnya apa yang barusan aku pikirkan?” aku mencebik menutupi rasa malu.

Senyumnya masih tersisa, dia mendekatkan wajah ke layar hingga aku merasa dia seperti sedang berbaring di sampingku. Dengan suara baritonnya yang serak dia berbisik, “Kau baru saja memikirkan tentang ‘love’.” Dia masih terlihat menahan tawa. “Well, it is almost romantic.

“Lalu, apa yang benar?” aku tak bisa mengelak.

Masih dengan senyumnya, dia kembali berbisik. “It is hope, Dani.” Dia mengedip jahil. “Hope.

Aku di sini dan kau di sana. Kita memandang langit yang sama…1

Aku melepas earphone di telinga. Mendecak pelan.

Kuperiksa deretan playlist yang kumiliki. Menghitung jumlah lagu yang mengisahkan tentang hubungan jarak jauh. Ketika selesai, aku tertawa lemah.

Mungkinkah secara tidak sadar aku menaruh lagu-lagu tersebut? Terkadang, lagu-lagu tersebut memang membuatku merasa tidak sendirian. Aku tahu benar masih banyak pasangan lain bernasib sama, terpisah jarak dan waktu. Mereka juga setengah mati menahan rindu tetapi belum bisa bertemu. Lagu-lagu tersebut memang membantu membuatku sabar menanti hari yang berganti.

Tapi hey, para musisi ini telah mengambil keuntungan atas kondisi yang sedang kualami. Aku mendecak.

Bukankah memang itu yang selalu mereka lakukan? Aku membatin lagi. Mereka, para seniman, menyulap kesedihan hingga tampak tetap mengesankan. Mereka membalut luka dengan rapi agar terasa tak sakit lagi; menyenandungkan kisah-kisah pilu dengan nada-nada sendu hingga hati yang mendengar ikut mengharu-biru. Pada akhirnya, mereka mendapatkan bayaran untuk itu.

That’s brilliant.

Jika dipikir lagi — keningku berkerut, tidak hanya para seniman yang begitu. Manusia pada dasarnya akan melakukan hal yang sama. Manusia akan mengambil keuntungan selagi mereka bisa. Bukankah itu yang akhirnya berakhir pada tiap hubungan? Mutualisme. Parasitisme. Pernikahan. Pacaran. Aku mengernyitkan kening.

Juga hubungan tanpa status. Suara dari dalam benak itu membuatku memutar bola mata.

Aku menggeleng pelan. Kututup lembar kerja di hadapanku, sudah waktunya pulang. Sambil membereskan meja, kupungut surat beramplop coklat dari dalam rak penerimaan dokumen. Aku memang sengaja belum membukanya.

Menghela napas berat, kumatikan sebagian lampu ruangan, mengunci pintu agar tak ada yang tiba-tiba masuk. Aku kembali ke belakang meja kerjaku, bersiap membuka amplop.

Ponselku berbunyi, sebuah pesan masuk.

Home already?

Aku tersenyum kecil. Mengetik balasannya dengan cepat.

Belum. Sebentar lagi.

Kusisihkan ponsel setelahnya. Berkonsentrasi pada surat di tangan. Yang ada justru bayangan percakapan dua minggu lalu yang kembali muncul. Wajah dokter itu menari-nari.

“Statusmu masih indeterminate. Meski tes pertama reaktif, tes yang kedua menunjukkan hasil sebaliknya yakni non-reaktif.”

“Kapan saya harus melakukan tes ulang?” aku tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya.

“Dua minggu lagi.”

Indeterminate. Aku mengulang-ulang kata itu di dalam hati. Tersenyum kecut. How fit and ironic.

Sebuah percakapan lain yang terjadi jauh sebelumnya ikut berputar. Kali ini mengambil tempat di sebuah kafetaria. Wajah dokter yang sama kembali membayang.

“Kita ini kolega. Meski saya tak mengenal dokter dengan dekat, tetapi saya selalu mendengar laporan yang baik mengenai pekerjaanmu sebagai dokter di rumah sakit ini. Hanya saja, terlalu riskan jika dokter tidak segera melakukan tes. Hampir seluruh pegawai rumah sakit telah mendengar cerita bagaimana dokter tertusuk jarum bekas pasien yang positif HIV.”

Sungguh aku tak menyangka kalau dia akan membicarakan hal tersebut, padahal kami sedang berada di tempat umum. Aku tak tahu alasan kenapa dia tak memanggilku saja ke ruangannya. Lagipula, dia adalah direktur rumah sakit. Mungkin melihat aku tak memberikan respon, dokter itu kemudian kembali berkata. “Saya telah menghubungi beberapa perusahaan yang membutuhkan dokter untuk mengevaluasi aspek keselamatan kerja di tempat mereka. Mereka mengatakan siap mempekerjakan dokter meskipun dengan kondisi seperti ini.”

“Saya belum dinyatakan positif,” aku tak bisa menahan nada tersinggung dalam kalimatku.

“Karena itu dokter harus segera melakukan tes,” dia kemudian menyodorkan sejumlah berkas. “Ini daftar perusahaan yang sudah saya hubungi. Saya akan memberikan rekomendasi buat dokter. Seperti yang saya katakan, dokter telah bekerja dengan baik selama ini. Saya harap dokter mengerti keputusan yang saya ambil.”

Mengapa kita selalu diminta untuk mengerti?

Dering pesan menyadarkanku dari lamunan. Aku mengintip isinya.

This meeting is forever. Tell me when you’re home.

Aku menelan ludah. Mengetik cepat.

Whose home?

Sekelebat kesadaran membuatku segera menghapusnya.

Akan kukabari.

Namaku Dani, aku seorang dokter.

Aku menatap kursor yang berkedip-kedip.

Ide menulis jurnal ini luar biasa menyebalkan. Terlebih ketika pikiranku sama sekali tak bisa diajak bekerja sama seperti sekarang. Sedikit pun aku tak bisa memikirkan apa yang hendak kutulis.

Semua ini berawal ketika hari itu aku bertugas di instalasi gawat darurat. Aku sama sekali tak punya firasat jika akan mengalami suatu kejadian yang mungkin — dan sepertinya memang akan — mengubah drastis jalan hidupku. Sore itu, seperti biasa, hampir setiap tempat tidur terisi pasien; kesibukan yang normal. Pasien berdatangan silih berganti namun tak ada kejadian istimewa.

Aku saat itu sedang bertugas di bagian trauma. Bagian berdarah-darah, begitu biasanya kami para dokter menyebutnya. Karena memang rata-rata pasien yang datang, pasti berlumuran darah atau pun berbalut perban tebal. Sore itu, beberapa saat sebelum waktu Magrib, pintu ruangan terbuka dan seorang pasien masuk, diantar keluarganya.

Aku mengenalnya sebagai pasien rutin di rumah sakit, bukan sebagai pasien trauma. Seorang perawat memberiku kode dan memberikan lembar status khusus. Aku mengerti maksudnya. Pasien infeksius.

“Dia mencoba bunuh diri…” keluarga pasien yang mengantar terisak saat menjelaskan padaku. Aku mengangguk dan mengucapkan beberapa patah kata, berharap mereka tenang. Kuminta mereka untuk masuk di ruangan tunggu.

Pasien itu sepertinya menelan sesuatu — apapun itu, jumlahnya pasti banyak. Aku mencoba membaui aroma yang menguar. Keningku berkerut.

“Dia sadar?”

Salah seorang perawat menggeleng. Aku mendekati pasien tersebut, memastikan informasi yang baru kudapat. Membuka kelopak mata pasien. Seketika aku mengumpat dalam hati.

Pin point pupil.2

Pasien ini kemungkinan menelan obat jenis opioid.

Aku bergegas melakukan primary survey. Memberikan instruksi sementara perawat bergegas melaksanakannya. “Jalan napas terganggu. Suction. Persiapkan intubasi. Bernapas spontan, frekuensi meningkat. Berikan oksigen lima liter per menit. Denyut nadi halus cepat, seratus dua puluh, tolong cek tekanan darah, siapkan cairan. Ambil sampel untuk laboratorium. Kesadaran…”

Saat itulah pasien tersebut menyentak hebat, berguling nyaris jatuh seandainya tidak ada seorang perawat di sampingnya yang menahannya. Beberapa orang perawat lain sigap datang membantu.

“Siapkan antikejang!”

Kembali pasien itu melenting hebat. Untuk kemudian tenang.

Namun justru seorang perawat wanita yang terpekik. Dia menunjuk ke arah lenganku.

Sebatang syringe tertancap di sana. Darah merembes pelan di seragam putihku.

Ding!

Messenger-ku berkedip-kedip.

Aku menutup dokumen jurnal dan membuka Messenger. Mengklik pilihan Camera.

“Hei.”

Jendela di layar itu membesar dan menayangkan wajahnya. Dia melepas kacamatanya. Melambaikan tangan.

As always.

Aku tersenyum, “Hai.”

“Hello, Kak Dani!” seraut wajah tiba-tiba muncul dan memeluk tubuh pria itu dari belakang. Anak itu tertawa saat ayahnya menariknya untuk duduk di hadapannya. Dia lalu melingkarkan tangan di bahu anak tersebut, memijatnya, atau apa pun itu, yang jelas anak laki-laki itu kini kegelian dan tertawa makin lebar.

Aku ikut tersenyum menyaksikannya. “Hei, Ryan,” kulirik jam di tangan. “Kenapa belum tidur?”

Anak itu tersenyum malu, dia lalu mendongak, berharap mendapat pembelaan dari ayahnya.

“Besok libur, jadi dia minta agar bisa tidur lebih larut.”

Sesaat kemudian aku melihat seseorang melintas di belakang mereka. Sosok itu telah melewati camera, untuk kemudian berjalan mundur, memeriksa apa yang suami dan anaknya sedang lakukan. “Bukankah itu Dani?” dia tersenyum lebar. “Kau terlihat kurusan! Jangan-jangan kau sedang sakit?”

Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan menggeleng pelan. “Selera makanku sedang tak baik.”

Wanita itu tertawa mendengar jawabanku. “Jika kau di sini, akan kubuatkan makanan kesukaanmu. Ryan dan ayahnya tak menyukai masakanku! Hanya kau yang selalu memujinya,” dia memberengut lucu. Di sampingnya, Ryan dan ayahnya memasang wajah protes.

“Mereka selalu memuji masakanmu setahuku,” aku membalas sekenanya.

Wanita itu melambaikan tangan jengah meski tetap tersenyum. “Kau selalu membela mereka. Huh. Okay, akan kutinggalkan kalian,” dia lalu menggamit lengan anaknya. “Cokelat hangatmu akan dingin jika kau tak segera menghabiskannya.”

Ryan melompat dan mengekor ibunya dengan riang. Dia tak lupa juga melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya sambil tertawa. Kemudian kembali memusatkan perhatian pada sosok yang kini sendirian di dalam layar persegi itu. Pria itu diam sesaat seakan memastikan kami benar-benar tinggal berdua sebelum kemudian berkata, “Kau memang terlihat lebih kurus.”

Aku menghela napas berat, “Beratku masih sama,” tukasku singkat, aku tak berminat membahas kesehatanku.

Seperti biasa, dia menangkap nada tak suka pada suaraku. “Ada yang ingin kau ceritakan?”

Aku melirik jam di sudut layar komputer, kemudian beralih pada wajahnya yang sedang tersenyum. Mereka pasti baru saja selesai makan malam. Aku kembali menghela napas. “Actually, I’m in the middle of something. Kita ngobrol nanti, ya?”

Dia terlihat menimbang-nimbang. Beberapa saat dia diam, kemudian kembali mengenakan kacamatanya. “All right, take care then.”

“Apa yang membuatmu tertarik padanya?”

Okay, mari berpura-pura sedang berada dalam sesi konsultasi dengan seorang psikolog dan itu tadi adalah pertanyaan yang diberikan.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di atas keyboard.

Dia baik.

Detik berikutnya aku menekan tombol backspace.

Pintar.

Hello, Mr. Obvious.

Dia penyayang.

Aku tertawa sendiri membaca tulisanku. Dari sekian banyak karakter yang dia miliki, aku memilihkan ‘penyayang’ untuknya? Sungguh haus kasih sayang. Aku menghapusnya dengan senang hati.

He’s hot.

Wajahku memanas. Aku berbalik cepat, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Kubiarkan tulisan itu selama beberapa saat sebelum kembali menghapusnya.

“Sepertinya pertanyaan tersebut terlalu sulit. Bagaimana jika diganti dengan, apa yang membuatmu seharusnya meninggalkannya?” psikolog khayalan itu kembali bertanya dengan nada mengesalkan.

Aku memutar bola mata.

He’s married.

That’s more than enough. Psikolog itu mengangguk.

Aku mengempaskan punggung di sandaran kursi.

He’s more than enough.

Aku menatap tulisan di layar. That’s exactly why I liked him, bisikku pelan.

Aku bertemu dengannya pertama kali saat dia sedang menulis tentang pilihan metode terbaik penanganan limbah berbahaya di lingkungan rumah sakit. Dia adalah seorang aktivis lingkungan hidup. Aku saat itu masih seorang mahasiswa yang juga melakukan penelitian untuk skripsi. Topik infeksi nosokomial3 yang kuambil membuatku sering bolak-balik rumah sakit dan kerap menghabiskan waktu di laboratorium untuk memilah hasil pemeriksaan dan kultur pasien rawat inap. Aku ingat telah melihatnya beberapa kali saat berpapasan di laboratorium, namun tidak ada yang menarik perhatianku awalnya.

Suatu ketika, entah bagaimana, dia memergoki aku yang sedang membuang sampah plastik permen yang memang terbiasa kukumpulkan di dalam saku jas putih yang kupakai. Dia tertawa dan memberiku tatapan aneh.

“Ada yang salah?” aku tak tahan untuk tidak bertanya.

Dia lantas menunjuk sampah lain yang tergeletak di sekitar kakiku.

That wasn’t mine,” aku membela diri.

Dia kembali tertawa lebar. “You’re being apathetic?

Aku memikirkan sejenak perkataannya. “No. Aku hanya berusaha untuk mengurusi apa yang aku bisa.”

Pembelaan yang sangat lemah.

Selama setengah jam kemudian aku dan dia bertukar pandangan mengenai kesadaran dan tanggung jawab individu dalam masalah hidup berkelompok. Yang kemudian merembet pada isu pemanasan global yang kutertawakan, hingga akhirnya dia mengajakku makan siang.

“Why?” aku bertanya curiga.

“Because even an antevasin4 needs to eat.”

Kukemasi meja kerjaku. Memasukkan beberapa buku dan pigura foto ke dalam box yang telah kusiapkan. Beberapa lembar jurnal penelitian yang sering kubaca juga kususun rapi ke dalam tempat terpisah.

Mataku menangkap setumpuk berkas yang sepertinya belum kubaca. Setelah kuperiksa, itu adalah daftar perusahaan yang pernah diberikan oleh direktur. Aku menyeringai, menimbang beberapa saat sebelum akhirnya juga memasukkannya ke dalam box.

Another departure.

Aku menelan ludah. Memandang berkeliling dan mencoba mengingat hal-hal menarik yang terjadi di ruangan ini. Duduk di pinggiran meja, kutelusuri tepian kanan kirinya dengan tanganku. How ironic, dari sekian banyak benda, meja ini yang nantinya akan sangat aku rindukan. Untuk alasan tertentu, aku merasa aman jika duduk di belakangnya.

You’re getting too melancholic.

Aku menggeleng pelan. Berdehem kecil, sekali lagi kuputar mata berkeliling, memastikan semua telah terangkut.

Pindah.

“Kau memutuskan untuk pindah kerja?” aku seketika ingat pesan yang dia kirimkan. Aku menerimanya beberapa saat setelah mengiriminya email tentang keputusanku untuk berhenti.

Aku beralasan mengenai kejenuhan yang memuncak serta tawaran gaji yang lebih baik. Dia tertawa mendengarnya.

“Is there something you didn’t tell me?”

As usual. I am an open book for him.

Pintu ruanganku terbuka. Penjaga lantai tempat ruanganku berada tersenyum dan menyapa. “Sudah selesai, Dok? Biar saya bantu antar barangnya.”

Aku membiarkannya. “Saya akan menyusul beberapa saat lagi.”

Dia hanya mengangguk.

Setelah kembali sendirian, aku membuka ponsel dan membaca kembali percakapan kemarin.

Is there something you didn’t tell me?

Ya, dan kuharap kau menghargai keputusanku saat ini untuk tidak berbagi.

‘Saat ini’?

You know I can’t predict tomorrow.

You’re acting weird.

Thank you.

Dan dia tidak lagi membalas.

Sampai sekarang.

Aku menimang-nimang benda itu sebelum kembali memasukkannya ke dalam saku kemeja. Kuambil amplop berwarna cokelat yang telah kupersiapkan sebelumnya dan menuju ruang direktur. Hari ini hari Minggu, namun dia sudah setuju untuk bertemu denganku secara pribadi.

Sampai di depan ruang kerjanya aku mengetuk dan direktur sendiri yang membukakan pintu untukku.

“Selamat sore, Dokter. Bagaimana, sudah selesai beres-beres?”

Aku mengangguk. “Saya ingin berpamitan.”

“Kenapa tidak tunggu besok saja, sih? Kita bisa buat pesta perpisahan kecil-kecilan.”

Aku menahan diri untuk tidak menyeringai sinis.

“Terimakasih. Begini lebih nyaman.”

Direktur mengangguk-angguk. Wajahnya mengesankan dia paham dengan keputusanku. “Dari dulu saya senang dengan dokter karena tidak banyak mengeluh tentang pekerjaan. Sayang sekali kita harus berpisah seperti ini.”

Aku membiarkannya bicara selama beberapa saat.

“Jadi, dokter sudah menghubungi perusahaan yang saya rekomendasikan?”

Aku mengangguk. Direktur tampak senang. Dia bahkan sempat bertepuk tangan kecil, lebih pada puas terhadap dirinya sendiri, kurasa.

“Saya ucapkan selamat bekerja di tempat yang baru.”

Sekali lagi aku mengangguk, “Terima kasih. Saya juga ingin menyerahkan salinan hasil tes yang ketiga. Serta dua tes sebelumnya, saya diminta untuk memberikannya kepada dokter sebagai pimpinan.”

Wanita itu menerimanya dengan hati-hati, seakan amplop itu berisi bom. “Ah. Hasil tes. Baik, terimakasih. Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa kita dari manajemen rumah sakit berharap yang terbaik buat semua pihak. Saya senang dokter tidak pernah terlihat terganggu dengan semua mekanisme pemeriksaan yang dilakukan.”

Aku berdehem kecil untuk menutupi senyumku. “Saya permisi.” Di belakang pintu ruang kerjanya yang sudah menutup aku tersenyum lebar. Menyaksikan polah tingkahnya seperti jadi hiburan untuk sesaat.

Menuruni tangga, aku menyempatkan diri singgah di pos penjaga. “Bisakah aku minta tolong. Aku ingin melihat salah satu CCTV ruangan.” Kuselipkan dua lembar proklamator di tangannya.

Di ruangannya, direktur membuka amplop yang tadi kuberikan. Amplop itu berisi hasil tes pemeriksaan HIV/AIDS. Terlihat direktur menarik berkas di dalamnya dengan hati-hati, dia telah mengenakan sarung tangan tipis yang tampaknya telah dia persiapkan sebelumnya. Nanar matanya membaca deretan huruf-huruf yang tertulis. Aku tahu benar apa yang tertulis di sana.

Result: Non Reactive.

Kulihat bibirnya mengerucut. Keningnya berkerut.

Menarik napas dalam, gelombang bahagia yang sejenak kurasakan tiba-tiba menyisakan sedih. Tinggal satu lagi yang harus kulakukan. Kurogoh ponsel dari saku. Mengetik pesan dan mengirimnya pada sebuah nomor yang sudah begitu kuhapal.

Good bye, dear. 

*

  1. penggalan lirik lagu berjudul Dekat di Hati, dari RAN
  2. pin point pupil, kondisi di mana ukuran pupil sangat kecil hampir berupa titik; normalnya pupil manusia berukuran 2-4 mm, membesar dalam gelap dan mengecil saat cahaya berlebih.
  3. nosokomial, jenis infeksi yang didapat pasien dari lingkungan rumah sakit tempat dia sedang dirawat.
  4. antevasin, seseorang yang merasa hidupnya berada di antara batas antara hiruk pikuk dunia dan kesunyian spritual