Arsip Tag: flashfiction

Bayu Melagu 1

Bayu Melagu

Ready?

Satria memasang headphone-nya. Simulasi FTD Level 5 Mechatronic selalu menyenangkan, hanya saja kali ini dia tak bersemangat.

Calculate your distance without GPS or DME!” instruksi masuk.  

“Menggunakan VOR or ADF, ambil sepuluh derajat dari radius pesawat dan ukur waktu mencapai sepuluh derajat tersebut. Waktu total dalam detik dibagi sepuluh atau waktu total dalam menit dikali kecepatan terbang dibagi enam puluh. Itu adalah jarak pesawat dari stasiun.”

How to count your trip fuel?

Giliran partnernya menjawab. Mereka sedang simulasi penerbangan malam. Mengamati panel bercahaya di atas kepalanya, pikiran Satria melayang pada perkataan laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Dokter Sulung tadi pagi.

“Kau terpilih sebagai anggota Laskar Khatulistiwa.”

Ulang tahunnya yang ke-22 masih lama. April Mop sebulan lagi. Jika bukan karena kesopanan, dia sudah terbahak. Namun pria itu membungkamnya saat membeberkan satu persatu foto dirinya yang diambil secara rahasia.

“Kami memastikan tak ada yang mengungkit peranmu dalam pendaratan Naga Air tiga hari lalu.” Dokter Sulung tersenyum. “Secara pribadi, Presiden berterima kasih atas bantuanmu.”

Bantuan?

Pertama kali seseorang menganggapnya bukan kutukan.

“Ko berkelahi lagi?!”

Menggelegar suara Salman, rotan tersimpan di punggung. Di ambang pintu, Nene Ima berdiri gemetar.

Satria mematung di halaman.

“Ko jawab!”

Salman mengangkat rotan. Satria mundur selangkah.

“Kalau tidak bisa bermain baik dengan anak kampung, jangan keluar rumah!”

“Saya tidak berkelahi,” tercekat, Satria memandangi kaki.

Rotan membeset cepat. Satria berjengit, menahan sengat di betis.

“Jangan bohong!”

“Saya tidak berkelahi, Papa.”

Sabetan kedua.

Satria menggeleng. Air matanya mengalir.

Sabetan ketiga.

Keempat.

Temaram jingga di permukaan Danau Limboto sudah merata saat luka-luka di betis Satria berdarah dan menganga. “Ampun, Papa…”

Kemudian derap langkah itu terdengar.

Mereka warga kampung Kayudurian. Masing-masing membawa anak laki-laki babak-belur.

“Sekarang kamu orang percaya?!” satu dari mereka menunjuk wajah anaknya.

“Saya tidak berkelahi!”

Sanggahan itu berbuah tempeleng ayahnya di kepala. “Diam, bodo!”

Salman melangkah maju. Satria ditariknya ke belakang.

“Saya minta maaf. Saya sudah kasih pelajaran anak saya.”

“Anak itu perlu diajar lebih!”

Ucapan itu ditimpali angguk persetujuan.

Satria merapati tubuh ayahnya. Mengintip dari balik pinggang.

“Anak tak pernah diajar!” teriak seseorang.

“Mamamu lari karena malu punya anak begitu!”

Satria memekik histeris, tangannya terbentang lebar.

Warga kampung terheran.

Anak-anak babak-belur justru mengerti.

“Itu! Sihir itu…!!”

Seperti tanaman, tunas angin tumbuh dan berpusar cepat di kedua tangan Satria. Wajah Salman membeku.

Detik berikutnya pusaran angin itu menyapu habis kerumunan warga dan melempar mereka ke semak-semak.

Satria oleng.

Salman sigap menangkap. Membopongnya lari. “Jangan tunggu kami, Mama! Warga kampung akan membunuhnya karena takut sihir!”

Nene Ima terangguk, komat-kamit berdoa.

Tak butuh lama Satria tersadar. Tubuhnya terguncang. Dunia terbalik dan dia ingin muntah.

Langkah Salman cepat membelah bukit. Di belakang, warga sorak-sorai mengejar. Beberapa bersenjata badik dan panah.

“Papa…”

Sebilah anak panah melesat.

Salman menahan langkah.

Di depannya ngarai dalam berbatu. Gelap tak berdasar.

Di belakangnya, hutan terbakar amarah warga yang berkobar.

“Papa,” Satria memeluk tubuh berpeluh ayahnya. “Saya bisa bawa Papa pergi.”

Salman bingung tak mengerti. Dia tak sempat menjawab.

Satria memeluknya erat.

Sekejap kemudian kosong.

Beberapa ribu meter dari sana. Satria tergeletak pingsan.

Potongan tubuh ayahnya bergelimpangan.

*****

500 kata, di luar judul dan catatan kaki

FTD: Flight Training Devices

GPS: Global Positioning System

DME: Distance Measurement Equipment

VOR: VHF Omni Directional Radio Range; sebuah tipe system radio-navigasi jarak pendek pada pesawat, mengizinkan pesawat menerima sinyal/unit untuk menentukan posisi dan tetap tersambung dalam menerima sinyal radio dari jaringan di daratan.

ADF: Automatic Direction Finder; adalah instrument radio-navigasi pada kapal atau pesawat yang secara automatis dan berkesinambungan menampilkan posisi relative dari kapal/pesawat pada stasiun radio yang sesuai.

And the Oscar goes to…

Aku pernah baca tulisan tentang bagaimana mereka mengubah cara bilang ‘pemenangnya adalah bla bla bla’ di perhelatan Oscar yang awalnya ‘and the winner is…’ menjadi ‘and the Oscar goes to…’ (meski nggak sepersis itu ya kalimatnya) adalah karena ingin menghilangkan kesan ‘dipilih’ oleh board.

Padahal ya emang dipilih.

Tapi ya, supaya kesannya, somehow it is meant to be gitu. Hihihi. (kalau ini penafsiranku ya). Seakan-akan si piala yang semalaman udah muter-muter mikir ala Topi Seleksi dan secara ajaib nama si pemenang keluar dari Piala Api.

Halah, ini ngomong apa lagi.

Jadi, ada delapan belas naskah FF masuk via Instagram, WA, Twitter. Ditulisnya juga macem-macem, ada di blog, IG, medium, tumblr, facebook, twitter itu sendiri. Rame dah. Dan aku senang membacanya!

Awalnya sudah berniat akan milih dengan kriteria: siapa pun yang ceritanya masih keingat sampai keesokan harinya, itu yang menang; tapi nggak bisa gaes. Karena ternyata yang keingat lebih dari lima. Bhahahak. Ada rencana nambah pemenang tapi kayanya kita atur utk seru-seruan berikut aja ya. Biar sekalian aku juga berbagi apa yang menjadi kriteriaku saat memilih.

Bukaaan. Bukan sebagai juri yang menilai bagus buruk sih. Karena dari awal juga bilang utk lima orang beruntung. (berlepas tangan sejak dini, hiks). But yeah, kali ini, aku memilihnya berdasarkan sejauh mana aku menikmati ceritanya. Dan tentu saja, bukan berarti yang nggak terpilih, nggak bisa dinikmati ya.

Dan untuk itu pula, aku akan share link ke-18 cerita tersebut, supaya kalian bisa juga menemukan kisah yang kalian suka.

https://www.instagram.com/p/Cc2T_65BG4H/?utm_source=ig_web_copy_link
https://butir2hujan.wordpress.com/2022/04/29/flashfiction-salat-tarawih/
https://medium.com/@haditha/teman-baca-eb377b0c0517
https://messylochness.tumblr.com/post/682934643422609408/habis
https://www.instagram.com/p/Cc77Nh4vUBF/
https://fahmiafahmi.wordpress.com/2022/04/30/flash-fiction-malam-takbiran-dan-dean/
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1059065975024184&id=100027623733628
https://www.instagram.com/p/Cc7_y6bLnYo/
https://www.instagram.com/p/Cc5s2hdpsRZ/
https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=4993947127320892&id=100001169610980&scmts=scwspsdd
https://titahulfianicholil.blogspot.com/2022/04/setengah-sebelas-malam.html
https://www.instagram.com/p/Cc-OJ7XvFVX/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
https://twitter.com/chikopicinoo/status/1520348229698605056?s=21&t=lDSNkcjnfd38I04l5v3dFQ
https://twitter.com/kesenggolpelor/status/1520344015434285057?s=21&t=PwmQCqli1JYoQ_5w8-ducw
https://illianated.wordpress.com/2022/04/30/derita-kolektif/
https://www.instagram.com/p/Cc-QLTsvNyq/
https://www.instagram.com/p/Cc-HYggPsjG/
https://twitter.com/fjr23_/status/1520348213235961856?s=21&t=PwmQCqli1JYoQ_5w8-ducw

Dari lima yang kupilih ini: satu membuat mataku menyala karena kesegarannya, ada yang membuatku mengernyit karena konflik yang bisa diraba, satu lagi meramu teknik FF dengan twist yang rapi, satu lagi mengangkat isu lokal yang terasa dekat, dan ada juga yang membuatku tertegun karena puntiran yang menyentak.

Dan inilah, lima tulisan itu (urutan tiada makna apa-apa).

And the Oscar goes to... 3

Maafkan kalau ada salah-salah kata ya. Sekali lagi terima kasih untuk yang sudah ikutan nulis. Sampai ketemu di seru-seruan selanjutnya! Selamat lebaran!

Impulsive Event

So, I decided couple days ago to held a flash fiction writing event. Out. Of. Blue.

Nggak benar-benar mendadak sih, sudah kepikiran beberapa lama tentang nulis bareng-bareng, dan memberikan insentif buat mereka yang join — dan beruntung. Cuma kemarin rasanya cukup pas:

  • sudah dekat lebaran
  • nulisnya cuma FF 350 kata
  • kebetulan kerjaan di kantor sudah lumayan lapang jadi mestinya bisa baca-baca

Nah, hari ini, tenggat akhir buat ikutan. Jam 6 sore. WIB. Kemaren lupa bilang lokasi, baru nyadar kalau sekarang aku tinggal di daerah Timur yang waktunya selisih 2 jam. Itu cukup banget buat nulis FF 350 kata, kan. Jadi, sekiranya tulisan ini tayang, dan dirimu masih ingin ikutan nulis (siapa tau beruntung dapat 200rb rupiah!) silakan langsung nulis yaaa! 🙂

Sejauh ini sudah ada beberapa yang gabung nulis, akan aku baca agak maleman abis taraweh (kalau besok nggak lebaran) ehehe. Kalaupun lebaran, ya tetap dibaca agak subuhan berarti, karena kemarin janjinya diumumin sebelum takbiran.

Oke, sampai ketemu pas pengumuman 5 orang yang beruntung ya. Selamat menyambut Idul Fitri. Maaf lahir batin. Ini maafnya bukan impulsive ya, ahaha.

Impulsive Event 5
Apatía 7

Apatía

Fly me to the moon, and let me play among the stars…

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars… 

In other words, hold my hand.

In other words, darling, kiss me…

*

Sayup-sayup terdengar Julie London dari speaker yang kau pasang; selain suaranya yang merayu, tak ada yang bicara. Sudah hampir lima menit kau duduk bersamanya, namun tak sepatah pun kata terucap. Hingga akhirnya kau buka suara, “Kudengar kau tak rutin meminum obat.”

Kau lihat dia mengangkat mata. Pandangan kalian bertemu.

“Lalu kau juga masih….“ Sejenak kau diam, mencari kata yang pas.

“Melacur.” 

Berdeham kecil, perempuan itu yang menyelesaikannya. Kau melihatnya merogoh isi Prada tiruan di pangkuannya. Mengeluarkan lipstik dan mulai memoles bibir, tangannya yang lain memajang kaca kecil. Kau yakin benar keduanya gemetar. Di balik lengan baju panjangnya, kau tahu semua tak baik-baik saja. 

Ketika mendapatkan panggilan darinya tadi pagi buta, kau sudah menduga ada yang tak beres dengannya; yang tak kau tahu, apa dan bagaimana. 

“Bisakah aku mampir besok sore? Ada yang ingin kupastikan.”

Kau ingat bahkan sempat terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan meyakinkan bahwa benar dia yang menelepon. 

“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”

Gemerisik di telepon bercampur dengan desah napasnya. Kau mendengarnya terbatuk. Suaranya sedikit sengau. “Mungkin jam lima. Atau jam enam. Kau masih bisa menunggu?” 

Kau tak bisa tertidur sepicing pun setelah menutup telepon. Sudah sekian lama sejak terakhir kali kau dan dia bicara. 

Dan sekarang, di sini kalian berdua. 

Kembar tapi tak serupa. 

Meski tentu saja kau masih bisa melihat kilasan masa lalu dan masa depanmu pada wajahnya. Kau melihatnya mematut bibirnya yang penuh, merah kontras dengan wajahnya yang pucat. Kau kembali buka suara, “Tindakanmu itu sungguh berbahaya. Tidak hanya kau memperburuk status penyakitmu, namun kau juga berisiko menularkannya.”

Dengan bunyi ‘klik’ yang jelas dia menangkupkan cermin. Matanya terangkat padamu. “Kau tahu aku tak peduli.” 

“Tapi aku peduli.” 

Tak kau sangka dia terbahak keras sekali, menepuk lutut, dan memegangi perut. Tawanya berubah jadi sengal napas yang memburu.  

“Ooh…” ujarnya sambil mengeringkan sudut mata, “setelah sekian lama, tak kusangka kau masih lucu saja, Ariana.”

Rautmu sontak mengeras. “Aku bisa mengirimmu pada psikiater.”

“Lakukan apa yang kau mau. Aku juga begitu.”

Kau menggeleng gusar. “Luana, kita bukan anak kecil lagi.”

“Terang saja bukan anak kecil. Kau pikir pelangganku buta? Atau pedofil? Mereka hanya mencari selangkanganku! Setan! Kau seharusnya bersyukur aku memberikan virus kematian pada mereka dengan cuma-cuma!” 

Menahan amarah, kau buka lembar dokumen di depanmu. Mencoba memusatkan perhatian pada catatan yang sudah kau pelajari sejak pagi. 

Setidaknya dia kini tak lagi membisu, begitu pikirmu.  

“Tercatat positif HIV sejak lima tahun lalu. Sempat menerima obat rutin. Namun belakangan tak lagi melakukannya.” Kau dorong dokumen tersebut padanya, menuntut penjelasan. “Apa yang terjadi? Kenapa berhenti berusaha? Lalu apa yang membawamu periksa hari ini?”

Kau melihatnya mengangkat bahu, mendesah malas. Kembali mengorek isi tas, dia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

“Luana! Kau tak boleh merokok di sini!” suaramu meninggi.

“Tak ada tanda larangan.”

“Demi Tuhan! Jika kau begini tak peduli, apa gunanya hidup?!” 

Kini kau saksikan dia menurunkan rokok, memutar bola mata. “Kau terlalu lurus, Ariana. Wajar para pria takut padamu. Santailah sedikit. Papa Mama pasti menangis dalam kubur kalau tahu anak kesayangannya jadi perawan tua.” Mendengar nada suaranya mencela, wajahmu panas membara.

“Air mata mereka sudah habis karenamu.” 

Dapat kau lihat perkataanmu melukainya. Luana menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya bergetar saat berujar, “Kalau perlu mereka menangis darah karena garis keturunan Gouw akan habis di tangan kita: perempuan celaka.”

Kau terkesiap, tak siap. 

“Oh, kau pikir aku tak tahu tentang operasi kanker rahimmu, Ariana?” Kembali, dia menyulut rokok. Kali ini kau tak menghentikannya.

Tangannya bergetar. Api berkobar. “I’m sorry for your loss.” 

“Katakan apa maumu, Luana.” Setengah mati kau menahan air mata.

Jelas kau sadari dia tak peduli perasaanmu, karena seraya mengumpulkan segenap rambutnya ke bahu kiri, dia lanjut bicara, “Aku periksa karena badanku tak seperti biasa. Belum pernah aku selelah ini. Sekacau ini.” Untuk pertama kali kau mendengar kegelisahan dalam suaranya. Begitu juga dengan caranya mengukur diri dengan merentangkan kedua tangan di depan tubuhnya, seakan mengukur dan menghitung semua kesalahan yang ada di sana. “Jika benar akan segera mati, aku ingin memastikannya. Setidaknya kau bisa mengurusi mayatku nanti. Kau mau mengurusi mayatku, kan?” 

Kau tak menjawabnya. Bimbang apakah dia sedang kembali memancing amarahmu atau bicara sejujurnya. 

Lama kalian bertatapan. 

Sampai akhirnya pintu ruangan diketuk. Seorang perawat masuk membawa hasil laboratorium sore ini. Berterima kasih, kau menunggunya benar-benar pergi lalu membuka amplop tersebut. 

Dari ekor matamu kau menangkap Luana bangkit dari kursinya. Berjalan berkeliling, mengamati acuh tak acuh pada piagam-piagam pelatihan dan penghargaan di dinding. Saat kembali bersuara, dia bertanya, “Bagaimana kondisiku?” 

Kau hampir menyergah ‘apa pedulimu?’ namun tak jadi. Alih-alih, kau bergumam, “Tak terlalu bagus. Namun kurasa kau justru bahagia.” 

Lembaran kedua.

Jantungmu mencelos.

Mengangkat wajah, suaramu bergetar saat berkata, “Kau harus kembali meneruskan terapi.”

Kau melihatnya menggeleng. “Kau yang bilang apa gunanya hidup jika tak peduli. Aku ingin mati.”

Dadamu panas, kau sodorkan hasil laboratorium padanya. 

“Bacalah. Aku tak tahu caranya agar kau bisa peduli, tapi Tuhan mengerti. Mungkin ini kerja rahasianya.”

Nanar, kau lihat matanya melebar. Bibirnya gemetar, “Aku…,” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Kau membantunya, “Ya. Kau sedang berbadan dua.” 

Hening.

Tak kau dengar Luana membalas ucapanmu. 

Justru kau saksikan dia memberesi tas di meja dengan tergesa. Sebelum menjangkau pintu keluar dia berhenti sejenak dan membalikkan badan. Kau lihat matanya berkaca-kaca. “Kurasa aku butuh udara segar. Keluar sebentar. Pikiranku…” dia memegang kepalanya sambil terisak, menangkup wajah, “maaf karena telah berkata buruk padamu.” 

Sejurus kemudian dia berlalu. 

Sayup-sayup hanya Julie London yang masih mengalun di telingamu. 

*

Now you say you’re sorry

For being so untrue

Well, you can cry me a river, cry me a river

I cried a river over you… 

*****

*Apatia (Spanish) adalah kondisi kurangnya antusiasme, motivasi, ataupun kegembiraan. Merupakan istilah psikologi untuk kondisi ketidakpedulian, di mana individu tersebut tidak merespon baik secara emosi, sosial, atau aktivitas fisik. 

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 9

Lelaki Tua di Tengah Gerimis

Lelaki Tua di Tengah Gerimis 11

Setengah berjongkok aku duduk di depan nisan perempuan itu. Seminggu telah berlalu sejak kepergiannya; istriku. Leukimia yang lama menggerogotinya akhirnya menang. Kudekatkan pigura yang kubawa tadi dan berbisik padanya. 

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di nisan. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

~~~

 “Apa yang sedang kaulukis?”

Istriku menoleh sejenak, kemudian kembali pada kanvasnya. “Lelaki tua di tengah gerimis.”

Aku mengangguk pelan. Mataku menangkap foto yang sedang ia tiru.

“Kapan foto itu kauambil?”

“Kemarin. Saat aku sedang berteduh.”

“Kupikir kau membawa mobil.”

“Aku meninggalkannya di taman untuk berjalan kaki sebentar. Lalu hujan turun.”

“Siapa lelaki tua itu?”

Istriku terlihat sedikit jengah dengan pertanyaanku. Ia meletakkan kuas di pangkuannya, lalu menarik foto di sebelahnya dan mengangsurkannya padaku. “Aku tak mengenalinya. Aku hanya tertarik.”

Kuamati foto yang ia berikan. Sudut bibirku tertarik ke bawah. “Kenapa bisa?”

Istriku mengeluarkan tawa kecil. “Kau cerewet sekali.”

Mau tak mau aku tersenyum. “Kenapa ia tak menaiki sepedanya?”

Istriku melemparkan pandangan sinis. “Kau tak melihat ban sepedanya kempes?”

“Di mana ia mendapatkan rumput? Kupikir semua padang rumput tak ada lagi yang gratis.”

Istriku menggeleng pelan. Ia lalu kembali menekuni kanvasnya.

“Berapa usianya kira-kira?”

Istriku terlihat menimbang-nimbang. “Enam puluh. Entahlah. Tujuh puluh. Sulit untuk mengiranya dalam gerimis. Apalagi jika seseorang bekerja sekeras itu sampai tua. Bisa jadi ia lebih muda.”

“Berapa usiaku?”

Istriku melemparkan tube cat kosong padaku. “Tahu yang menarik perhatianku pada awalnya? Ia tidak berhenti menuntun sepedanya meski hujan.”

“Kenapa ia harus berhenti? Hujan tak membuat orang mati.”

Hei…!” istriku melempar pandangan sinis lagi.

Aku mengangkat bahu, menunjukkan wajah minta maaf. “Mungkin ia dikejar setoran. Sekarang kan banyak hewan kurban.”

Istriku tak menampiknya. Ia melanjutkan goresan kuasnya. Aku sendiri kembali mengamati foto di tanganku.

“Kautahu minuman apa yang ia bawa?”

Untuk pertama kalinya kulihat istriku tersenyum geli mendengar pertanyaanku. “Kopi? Minuman penambah tenaga? Entahlah.”

“Harusnya kautanyakan.”

Aku mendapat tatapan maut istriku sebagai balasan. Membuatku tersenyum. Kualihkan pandangan pada kanvas di depannya. “Kenapa belum ada wajahnya?”

Istriku tak menjawab.

“Aku tak mengerti kenapa kau tertarik pada lelaki ini.” Desahku.

“Dia tidak buncit sepertimu.”

Aku membelalak namun tak urung terbahak. “Hei…!” kugenggam lemak di depan pinggangku. Bibirku mengerucut. “Kurasa aku harus diet.”

“Karena kau takut buncit?”

“Karena kau senang melukis pria kurus.”

Istriku melayangkan pandangannya padaku. “Apa maksudmu?”

Aku tak menyangka akan mendengar nada serius dalam pertanyaannya itu. Sedikit tergagap aku menjawab. “Kau melukis lelaki tua di tengah gerimis. Kau bahkan tak mengenalnya.” Setelah berdehem kecil aku melanjutkan ucapanku. “Kau tak pernah melukisku.”

Istriku memutar kursinya padaku. “Kau ingin tahu alasan sebenarnya aku melukis lelaki tua ini?”

Aku menatap lurus padanya. Kurasakan ia serius ingin memberitahuku. Tak menjawab, aku hanya mengangguk.

Istriku mengambil kuas yang lebih kecil, membawanya ke area wajah yang belum ia lukis. Tangannya bergerak perlahan. Ekor mataku mengikutinya.

“Aku ingin melukis senyum di wajahnya.”

~~~

“Hai.” Kuusap namanya yang tertera di sana. Suaraku tercekat. ”Aku merindukanmu setengah mati.”

Kukuatkan diriku untuk mengumpulkan kata-kata. “Kubawakan lukisan terakhirmu. Kuharap kau juga tersenyum di sana…”

*****


Ditulis untuk ikut MondayFlashFiction Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis. #494 kata dengan judul. Gambar milik Rinrin Indrianie.