Arsip Penulis: Harun Malaia

Apatía 1

Apatía

Fly me to the moon, and let me play among the stars…

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars… 

In other words, hold my hand.

In other words, darling, kiss me…

*

Sayup-sayup terdengar Julie London dari speaker yang kau pasang; selain suaranya yang merayu, tak ada yang bicara. Sudah hampir lima menit kau duduk bersamanya, namun tak sepatah pun kata terucap. Hingga akhirnya kau buka suara, “Kudengar kau tak rutin meminum obat.”

Kau lihat dia mengangkat mata. Pandangan kalian bertemu.

“Lalu kau juga masih….“ Sejenak kau diam, mencari kata yang pas.

“Melacur.” 

Berdeham kecil, perempuan itu yang menyelesaikannya. Kau melihatnya merogoh isi Prada tiruan di pangkuannya. Mengeluarkan lipstik dan mulai memoles bibir, tangannya yang lain memajang kaca kecil. Kau yakin benar keduanya gemetar. Di balik lengan baju panjangnya, kau tahu semua tak baik-baik saja. 

Ketika mendapatkan panggilan darinya tadi pagi buta, kau sudah menduga ada yang tak beres dengannya; yang tak kau tahu, apa dan bagaimana. 

“Bisakah aku mampir besok sore? Ada yang ingin kupastikan.”

Kau ingat bahkan sempat terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan meyakinkan bahwa benar dia yang menelepon. 

“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”

Gemerisik di telepon bercampur dengan desah napasnya. Kau mendengarnya terbatuk. Suaranya sedikit sengau. “Mungkin jam lima. Atau jam enam. Kau masih bisa menunggu?” 

Kau tak bisa tertidur sepicing pun setelah menutup telepon. Sudah sekian lama sejak terakhir kali kau dan dia bicara. 

Dan sekarang, di sini kalian berdua. 

Kembar tapi tak serupa. 

Meski tentu saja kau masih bisa melihat kilasan masa lalu dan masa depanmu pada wajahnya. Kau melihatnya mematut bibirnya yang penuh, merah kontras dengan wajahnya yang pucat. Kau kembali buka suara, “Tindakanmu itu sungguh berbahaya. Tidak hanya kau memperburuk status penyakitmu, namun kau juga berisiko menularkannya.”

Dengan bunyi ‘klik’ yang jelas dia menangkupkan cermin. Matanya terangkat padamu. “Kau tahu aku tak peduli.” 

“Tapi aku peduli.” 

Tak kau sangka dia terbahak keras sekali, menepuk lutut, dan memegangi perut. Tawanya berubah jadi sengal napas yang memburu.  

“Ooh…” ujarnya sambil mengeringkan sudut mata, “setelah sekian lama, tak kusangka kau masih lucu saja, Ariana.”

Rautmu sontak mengeras. “Aku bisa mengirimmu pada psikiater.”

“Lakukan apa yang kau mau. Aku juga begitu.”

Kau menggeleng gusar. “Luana, kita bukan anak kecil lagi.”

“Terang saja bukan anak kecil. Kau pikir pelangganku buta? Atau pedofil? Mereka hanya mencari selangkanganku! Setan! Kau seharusnya bersyukur aku memberikan virus kematian pada mereka dengan cuma-cuma!” 

Menahan amarah, kau buka lembar dokumen di depanmu. Mencoba memusatkan perhatian pada catatan yang sudah kau pelajari sejak pagi. 

Setidaknya dia kini tak lagi membisu, begitu pikirmu.  

“Tercatat positif HIV sejak lima tahun lalu. Sempat menerima obat rutin. Namun belakangan tak lagi melakukannya.” Kau dorong dokumen tersebut padanya, menuntut penjelasan. “Apa yang terjadi? Kenapa berhenti berusaha? Lalu apa yang membawamu periksa hari ini?”

Kau melihatnya mengangkat bahu, mendesah malas. Kembali mengorek isi tas, dia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

“Luana! Kau tak boleh merokok di sini!” suaramu meninggi.

“Tak ada tanda larangan.”

“Demi Tuhan! Jika kau begini tak peduli, apa gunanya hidup?!” 

Kini kau saksikan dia menurunkan rokok, memutar bola mata. “Kau terlalu lurus, Ariana. Wajar para pria takut padamu. Santailah sedikit. Papa Mama pasti menangis dalam kubur kalau tahu anak kesayangannya jadi perawan tua.” Mendengar nada suaranya mencela, wajahmu panas membara.

“Air mata mereka sudah habis karenamu.” 

Dapat kau lihat perkataanmu melukainya. Luana menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya bergetar saat berujar, “Kalau perlu mereka menangis darah karena garis keturunan Gouw akan habis di tangan kita: perempuan celaka.”

Kau terkesiap, tak siap. 

“Oh, kau pikir aku tak tahu tentang operasi kanker rahimmu, Ariana?” Kembali, dia menyulut rokok. Kali ini kau tak menghentikannya.

Tangannya bergetar. Api berkobar. “I’m sorry for your loss.” 

“Katakan apa maumu, Luana.” Setengah mati kau menahan air mata.

Jelas kau sadari dia tak peduli perasaanmu, karena seraya mengumpulkan segenap rambutnya ke bahu kiri, dia lanjut bicara, “Aku periksa karena badanku tak seperti biasa. Belum pernah aku selelah ini. Sekacau ini.” Untuk pertama kali kau mendengar kegelisahan dalam suaranya. Begitu juga dengan caranya mengukur diri dengan merentangkan kedua tangan di depan tubuhnya, seakan mengukur dan menghitung semua kesalahan yang ada di sana. “Jika benar akan segera mati, aku ingin memastikannya. Setidaknya kau bisa mengurusi mayatku nanti. Kau mau mengurusi mayatku, kan?” 

Kau tak menjawabnya. Bimbang apakah dia sedang kembali memancing amarahmu atau bicara sejujurnya. 

Lama kalian bertatapan. 

Sampai akhirnya pintu ruangan diketuk. Seorang perawat masuk membawa hasil laboratorium sore ini. Berterima kasih, kau menunggunya benar-benar pergi lalu membuka amplop tersebut. 

Dari ekor matamu kau menangkap Luana bangkit dari kursinya. Berjalan berkeliling, mengamati acuh tak acuh pada piagam-piagam pelatihan dan penghargaan di dinding. Saat kembali bersuara, dia bertanya, “Bagaimana kondisiku?” 

Kau hampir menyergah ‘apa pedulimu?’ namun tak jadi. Alih-alih, kau bergumam, “Tak terlalu bagus. Namun kurasa kau justru bahagia.” 

Lembaran kedua.

Jantungmu mencelos.

Mengangkat wajah, suaramu bergetar saat berkata, “Kau harus kembali meneruskan terapi.”

Kau melihatnya menggeleng. “Kau yang bilang apa gunanya hidup jika tak peduli. Aku ingin mati.”

Dadamu panas, kau sodorkan hasil laboratorium padanya. 

“Bacalah. Aku tak tahu caranya agar kau bisa peduli, tapi Tuhan mengerti. Mungkin ini kerja rahasianya.”

Nanar, kau lihat matanya melebar. Bibirnya gemetar, “Aku…,” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Kau membantunya, “Ya. Kau sedang berbadan dua.” 

Hening.

Tak kau dengar Luana membalas ucapanmu. 

Justru kau saksikan dia memberesi tas di meja dengan tergesa. Sebelum menjangkau pintu keluar dia berhenti sejenak dan membalikkan badan. Kau lihat matanya berkaca-kaca. “Kurasa aku butuh udara segar. Keluar sebentar. Pikiranku…” dia memegang kepalanya sambil terisak, menangkup wajah, “maaf karena telah berkata buruk padamu.” 

Sejurus kemudian dia berlalu. 

Sayup-sayup hanya Julie London yang masih mengalun di telingamu. 

*

Now you say you’re sorry

For being so untrue

Well, you can cry me a river, cry me a river

I cried a river over you… 

*****

*Apatia (Spanish) adalah kondisi kurangnya antusiasme, motivasi, ataupun kegembiraan. Merupakan istilah psikologi untuk kondisi ketidakpedulian, di mana individu tersebut tidak merespon baik secara emosi, sosial, atau aktivitas fisik. 

Sehidup Semati 3

Sehidup Semati

“Apa kabarmu?” 

Ia mengerling, mengangkat bahu. 

Aku mengangguk paham, tak ada jawaban ‘baik’ bagi pesakitan, kecuali saat mereka dibebaskan. 

“Aku membawakan bacaan,” kudorong bingkisan di atas meja. Kulihat ia mengerling malas di kursinya, jelas tak berminat berbincang. 

“Ibu bilang kalau lagi-lagi kau tak membalas suratnya, ia akan datang sendiri.” 

Kali ini ia mengangkat wajah, sejajar dengan pandanganku. Aku serasa sedang selfie dengan kamera depan berfilter buruk. 

“Tak usah repot-repot.” 

“Ibu ingin tahu keadaanmu.” 

“Sampaikan saja apa yang kaulihat sekarang!” Membentangkan tangan lebar-lebar, ia lalu naik dan berdiri di kursinya. Sepasang penjaga di depan pintu menoleh sesaat, lalu kembali ngobrol. 

“Aku selalu menyampaikannya…”

“Peduli setan!!” Tiba-tiba ia menggebrak meja. Cukup untuk mengundang teguran keras salah satu penjaga.

Ia lalu kembali duduk, lambat-lambat mendekatkan wajah padaku. Dekat sekali sampai aku bisa melihat irisnya yang cokelat tua. “Katakan kalau aku sudah mati,” bisiknya dingin.

“Ibu tak menyalahkanmu mencoba bunuh diri.” 

“KAU YANG MENCOBA MEMBUNUHKU…!!! KEPARAT!!” Ia meninju wajahku, meninggalkan bekas memar yang nyata di buku kepalan tangannya. 

Salah satu dari penjaga akhirnya mendekat masuk, disusul oleh temannya. Mereka menggeleng-geleng. Salah satunya berbisik berkomentar, “Lihat apa jadinya jika terlalu dalam berkhayal? Kudengar dulu ia penulis handal. Tapi sekarang gila karena halusinasinya sendiri.” 

Menutup kalimatnya, mereka memasang kembali borgol di tanganku. Kali ini, ia tak memberontak. Satu hidup, yang lain mati. Sehidup semati. 

***

Penjaga Langit 5

Penjaga Langit

undefined

Tahun 2145 M. Bumi mengalami penurunan massa secara cepat. Gravitasi menghilang sampai nyaris tak ada. Manusia membuat apartemen melayang yang mampu menyuplai medan elektromagnetik untuk bertahan dari benturan sekeliling. Kecuali para penjaga langit dan sulur-sulur raksasa penyerap sumber energi bumi yang tersisa, seluruh bentuk kehidupan tak lagi menjejak bumi.


“HEI! KURANGI KECEPATANMU!!”

Kedua remaja tanggung itu mengedip nakal dari balik helmnya dan melesat cepat melewati kami. Hoverboard yang mereka kendarai menyisakan berkas tipis yang menyebalkan. Beberapa detik kemudian, jauh di atas kami, kulihat mereka sedang menyusun formasi akrobatik yang rumit.

“Jangan hiraukan mereka.”

Aku berpaling dan menyeringai lemah pada partner jaga yang barusan menegurku. “Kenapa?”

“Dari desing halus hoverboard-nya, mereka pasti dari Level Satu.”

Level Satu. Uang. Kelicikan. Kebusukan.

Aku mendengus. Melirik sekali lagi pada mereka yang masih berputar-putar di atas. Privilege. 

Mencoba mengabaikan kejadian barusan, kusetel layar helm yang kukenakan. Kedipan lampu merah kecil di sudut kiri bawahnya membuatku mengumpat pelan.

“Ada apa? Kau tidak mengisi baterainya?”

Aku menggeleng. “Punya cadangan?”

Rekanku melayang mendekat, memasukkan kode-kode rumit di layar miliknya sendiri. “Kau berutang banyak padaku. Tidak ada tempat pengisian baterai di lapisan thermosfer.”

Belum sempat aku menjawabnya, kami berdua mendapatkan signal yang sama.

“Lihat!”

Aku mendongak, memastikan apa yang ditunjuk. Percuma, badai listrik dengan cepat menutup jalur pandang normal. Melayang lebih rendah menghindarinya, aku setengah berteriak membacakan voice command untuk mengaktifkan perisai pelindungku. Kulihat rekanku melakukan hal yang sama.

“Mereka masih di atas!”

Dua titik berkedip di layarku mengonfirmasi kebenarannya. Sekejap kemudian informasi tentang mereka muncul.

Oh. Tidak.

Salah satu dari mereka adalah anak Menteri Pertahanan. Rekanku mengirimkan rencana penyelamatan standar yang kusetujui. Baru saja aku melayang naik saat sebuah hoverboard tanpa pengendara menukik turun dan hampir menyambarku. Rekanku melesat mengejarnya. Aku sendiri mengubah arah dan segera terbang naik. Tanpa hoverboard, salah satu dari mereka sekarang bisa saja sudah tersedot keluar atmosfer.

ZZZZTTTT!!! ZZZZZTTTT!!!

Tubuhku kesemutan. Memaksakan perisai maksimum akan memakan energi dan itu hal terakhir yang ingin kuhadapi saat ini. Menahan napas, aku melakukan salto terbaikku selama berbulan-bulan terakhir, menghindari pusaran listrik yang terus menerjang.

Layarku kembali berkedip. Kali ini pesan suara yang masuk.

“TOLOOONG!!”

Perempuan? Aku memeriksa ulang data remaja yang tadi kuterima.

“Salah satu dari mereka adalah perempuan. Kuulangi, PEREMPUAN!”

Oh. Ini bagus sekali. Aku memaki dalam hati.

Infertilitas merupakan salah satu masalah besar dan petinggi bumi sudah menegaskan bahwa kematian seorang perempuan adalah bencana—dan bagi seorang penjaga batas bergaji rendah sepertiku, itu bisa berakibat buruk sekali.

“Bisakah kau kirim kode baterai tadi, mate?” Aku mengirim pesan.

Sederet kode masuk dan helmku mendengung seakan berterimakasih, bar hijau berpendar terang dan helmku kembali terasa bertenaga. Kuaktifkan perisai maksimal. “Aku akan menerobos!”

Rekanku mengirim persetujuan. Namun ia memperingatkanku.

LEVEL DUA BELAS.

Itu berarti aku akan memasuki wilayah tanpa jalur komunikasi dengan level di bawahku.

“Kau melihat mereka?!” 

Layarku memberi sinyal kosong. Aku memaksa terus naik menerobos pelangi mematikan yang berkeliaran.

“TOLOOONG!!”

Helmku segera mengirimkan lokasi asal pesan.

Di sana!

Kedua remaja itu berpelukan di dalam perisai maksimal yang dikeluarkan hoverboard mereka. Mereka melambai cepat melihat kedatanganku dan aku meluncur mendekat. “Aku penjaga batas, jangan panik! Hoverboard kalian akan segera dikirimkan.”

Saat itulah aku menyadari kedua remaja itu mengaktifkan mode escape-autopilot.

“Kalian akan kehabisan energi!! AP–APAA??!!!”

Hoverboard mereka ternyata dilengkapi sulur pengisap yang kini menodongku. “Tidak jika kau meminjamkan energimu.” Sulur melekat dan remaja itu mengedip dengan helm yang kini menyala hijau terang. “Bertahanlah, prajurit!!”

ZZZZTTTT!!!! ZZZZTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!

******

Picture not mine, taken from here

Radio 8

Radio

“Selamat malam,” penyiar bersuara serak itu memulai acaranya. Ini siaran radio favoritku. Aku mengencangkan volumenya. Meski harus berhati-hati agar tak membangunkan Mom di lantai atas. Semakin tua pendengarannya justru semakin tajam.

“Pakai earphone-mu. Kita tak ingin orang lain mendengar pembicaraan kita.”

Aku tersenyum malu. Penyiar itu memang senang begitu, seakan-akan pendengarnya sedang berbincang privat dengannya. Aku pasti melakukannya jika saja earphone-ku tidak disita Mom. Dia bilang aku bisa tuli karena sering menyumbat telinga.

Kupikir Mom yang seharusnya dibelikan earphone. Agar ia tak hobi menguping.

Krieet! 

Tuh, langkah kakinya terdengar turun. Anak tangga paling atas memang berisik saat diinjak. Tapi itu jadi penandaku. Aku masuk ke bawah selimut, radio kubawa serta, kututupi bantal untuk membungkam suaranya.

“Apakah kau tidur sendirian?” Penyiarku bertanya. “It’s okay. Calm down…

Embusan dingin menerpa kakiku yang tak sempurna tertutup selimut.

Astaga, Mom sudah membuka pintu kamar.

Aku mengatur napas, berpura-pura tidur. Jika Mom mendengar suara dengkur halus, dia akan meninggalkanku.

“Apakah kau selalu sendirian?” Radioku gemerisik. Lalu siarannya hilang, menyisakan desau halus layaknya angin meniup pepohonan tinggi dan daun-daunnya saling menggesek.

Kurasakan beban berat jatuh perlahan di ujung tempat tidurku, tepat di sebelah kakiku. Astaga, Mom mau apa, sih?

Aku bimbang antara ingin menarik kaki atau konsisten berakting tidur.

Calm… down…

Punggungku meremang.

Suara itu?

Bukan berasal dari radioku.

Dari luar selimut.

Tapi serak sekali.

“Mom…?” suaraku tercekat, yang terdengar hanya desah napasku sendiri.

Kurasakan beban berat itu bergeser. Betisku mati rasa, dingin sekali.

Krieet…! 

Sontak beban di atas tempat tidurku menghilang. Samar kudengar langkah kaki mendekat.

Demi Tuhan, kau belum tidur?!”

Aku berbalik dan keluar dari selimut. Mom berkacak pinggang dengan wajah tertekuk. Rambutnya acak-acakan.

“Sudah kukatakan untuk menutup jendela dan pintu kamar jika tidur. Lalu matikan radio brengsek itu, kau membuatku sakit kepala.” Mom bersungut-sungut sambil menutup jendela kamarku. Dia lalu menutup pintu sambil menunjuk, “Segera tidur, atau radio itu kusita.”

Aku tak sanggup berkata-kata.

Jika Mom baru saja masuk, lalu siapa yang tadi duduk di atas tempat tidurku?

Astaga.

Konyol sekali. Aku pasti telah bermimpi. Kutarik selimut dan mematikan radio, menciumnya untuk mengucapkan selamat malam.

Aku yakin sudah hampir tertidur ketika kudengar suara itu.

Kriieet…! 

Kelopak mataku sigap membuka.

Mom? Mau apa lagi?

Calm down…” Suara serak itu lagi.

Hampir aku terpekik, buru-buru kumatikan radio. Tapi benda itu sudah mati sejak tadi. Keningku berkerut.

Terdengar desau angin meniup dedaunan pohon di samping jendela kamar.

Aku menarik selimut dan mengeluarkan kepala perlahan. Mengintip.

ASTAGA.

Apa itu yang meringkuk janggal di sudut kamarku?

Aku mengkerut masuk dalam selimut. Jantungku berdentam-dentam memukul dinding dada.

Bunyi gemerisik itu datang lagi. Ya ampun, radioku pasti sudah rusak.

Dan aku ingin kencing.

Demi Tuhan, apa ini mimpi? Menyebalkan sekali.

Kuputuskan menunggu, ini pasti mimpi dan dalam beberapa saat aku akan terbangun.

Lalu kurasakan beban berat jatuh perlahan di atas tempat tidurku.

Klik.

Radioku menyala pelan. Ini gila.

Kuangkat kepala, keluar dari selimut. Kembali mengintip. Syukurlah, tak ada siapapun di sudut kamar.

Karena kini dia duduk di tempat tidur, tepat di ujung kakiku.

Ter-senyum…

*****

cinta dan sebatang rokok

Cinta dan Sebatang Rokok

cinta dan sebatang rokok

Belum tidur?”

Aku sampai menjatuhkan korek api dari tanganku. Tak kusangka Nenek masih terjaga. Ini sudah lewat satu jam dari tengah malam. Cepat kusembunyikan sebatang rokok di tangan kiriku. “Eh, belum.” Aku menggeleng. Memaksakan tersenyum. Nenek balas tersenyum. Sama sekali tidak terpaksa kelihatannya. Ia kemudian menepuk-nepuk pundakku. Aku tak berani memperkirakan maksudnya.

Aku memilih untuk tinggal bersama dengan Nenek daripada harus memilih antara Ayah atau Ibu ketika mereka bercerai. Kakek sudah lama meninggal, satu hal yang kutahu sejak kecil, ia adalah perokok berat.

Dan aku tahu Nenek tidak akan suka jika aku merokok.

Tapi bagaimana lagi, pikiranku kacau. Aku merasakan merokok dapat menenangkanku. Tidak banyak. Tapi membantu paling tidak. Semenjak itu aku biasa merokok jika sedang gundah.

Aku sudah siap jika Nenek akan marah.

Tapi ia tak kunjung membuka suara. Sudut mataku menangkap ia malah duduk dengan tenang di kursi sudut. Memang tempat kesukaannya. Tangannya membuka laci lemari kecil yang terletak di samping kursi, mengambil rajutan.

Aku makin serba salah.

“Bagaimana kuliah?”

Akhirnya.

Aku berpaling padanya. Mencari-cari jejak kemarahan pada wajahnya. Gagal total. “Biasa saja.” Aku mengangguk-angguk kecil. “Tidak ada yang istimewa.”

Aku memperbaiki posisi bersandarku.

Sunyi.

Hanya bisa kudengar Nenek menggumamkan lagu. Tak bisa kupastikan nadanya.

“Nenek sendiri, kenapa belum tidur?” kuputar arah dudukku. Menghadap padanya. Tidak nyaman sekali jika berada dalam posisi sedang diawasi.

Ia mengangkat wajah dari kedua tangannya yang terus bergerak lincah seakan telah terprogram otomatis untuk terus merajut. “Aku tidak bisa tidur.”

Nenek dulu seorang dosen bahasa. Ia merasa nyaman berbicara tanpa harus memandang umur seseorang. Aku sendiri sudah terbiasa dengan kelugasannya. Kupandangi ia yang kembali tenggelam dalam rajutannya.

“Aku memang belum bilang kalau aku merokok.” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Tanpa persiapan.

Nenek mengangkat wajahnya. Berhenti merajut. Kurasa ia juga tidak siap mendengar pengakuanku. Matanya sedikit membesar.

“Aku hanya sesekali merokok.” Kali ini kupilih kataku dengan cermat. “Memang tidak bisa dibenarkan juga. Aku minta maaf.”

Aku dapat melihat air muka wanita di depanku itu berubah. Untuk wanita seusianya, aku kagum melihatnya masih dapat mengekspresikan segala emosi hanya dari sedikit kerutan di dahi atau tarikan bibir. Ia tak memerlukan banyak kata untuk sekedar bicara. Lama kami saling menatap. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memandang lantai marmer kecoklatan di bawah kakiku. Lalu menatap langit di seberang wajahku.

Malam hampir sempurna dengan pekatnya. Langit hitam legam dengan sebaran bintang-bintang mengeriap di tepiannya sebagai renda. Bulan bertahta agung dengan kemilau keperakan, menggantung; sejumput awan lalu lalang melintas, namun tetap tak mampu menutupi. Ia purnama malam ini.

“Kau tahu aku punya banyak cerita tentang rokok.”

Kualihkan pandangan ke arah Nenek. Mengangguk. “Nenek banyak bercerita tentang Kakek.”

Ia tersenyum. Menarik nafas. “Aku sedang di tahun terakhir saat itu. Menulis tugas akhir.” Satu helaan nafas dalam yang tak biasa.”Berusaha menulis tugas akhir tepatnya.”

Suaranya terdengar jelas dalam hening begini. Aku diam.

*****

Aku punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan tugas akhir itu. Berkali-kali kuulang kalimat itu di kepalaku. Sepanjang hari. Bahkan sampai menempelkannya di dinding kamar. Pintu tiap ruangan. Pintu kamar mandi tak luput, hanya saja kertas itu tak bertahan lama karena tersiram air saat seseorang terlalu bersemangat untuk mandi.

Tinggal di asrama sama sekali tidak membantu. Saat kurasakan mendapatkan seuntai kalimat yang akan kutulis, ketukan di pintu ataupun suara langkah berlarian di lorong akan dengan mudah membuyarkan konsentrasi dan tinggallah aku mengumpat kesal dalam ketidakpastian.

Kuputuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Harus. Dosen pembimbingku sudah memberi peringatan bahwa deadline kali ini bukan main-main. Ia ingin aku seserius mungkin. Katanya aku punya kemampuan yang jauh lebih cukup dari sekedar menulis ulang kalimat-kalimat tugas akhir milik senior yang berserakan di perpustakaan.

Maka sore itu, aku sengaja keluar asrama. Tanpa tujuan. Saat akhirnya memarkir skuter di sebuah kafe di pinggiran taman kota, alasan laparlah yang lebih memaksa. Saat itulah aku melihatnya.

Ia duduk tepat di seberang mejaku, di sudut kafe. Berusaha menyalakan rokoknya.

Gerakannya canggung sekali. Kurasa bisa saja ia membakar sebagian bulu hidungnya saat itu. Takkan pernah bisa kulupa saat pertama itu. Setelah rokoknya menyala, ia tersenyum puas. Meletakkan di asbak.

Tanpa sadar aku memperhatikan.

Lelaki itu kemudian mengeluarkan buku dari dalam tas yang tersampir di kursi. Mencabut pena dari balik saku kemeja. Lalu menulis.

Aku hampir terpekik saat pelayan kafe menanyakan pesananku. Aku rasa aku terlalu serius memperhatikan lelaki di seberangku hingga tak sadar sudah ditanyai akan memesan apa. Aku tidak ingat memesan apa saat itu. Yang kuinginkan adalah pelayan itu segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Wajah itu seteduh telaga di subuh hari yang diselimuti kabut. Asap rokok yang berputar-putar menguatkan efek itu.

Tuhan. Aku rasa aku bisa tenggelam di sana.

Lagi-lagi pelayan itu mengagetkanku. Aku rasa aku jadi sedikit kesal. Sama sekali tidak ingat apa yang kukatakan padanya, namun seperti yang sudah kubilang, aku ingin ia segera pergi dan aku kembali bebas mengamati.

Atau diamati.

Lelaki itu ternyata sedang memandangiku. Badanku langsung panas-dingin.

Lalu seakan-akan semua menepi. Tinggal kami.

*****

Besoknya aku datang lagi. Kali ini dengan debaran jantung yang tak terkira iramanya. Skuter hampir rebah karena aku lupa memarkirnya dengan benar.

Sayang sekali, tempat dudukku kemarin sudah terisi. Rasa kecewa langsung menyelimuti. Tapi mungkin itu sudah dirancang oleh Allah.

Ia, masih di tempat yang sama. Sendirian.

Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menyeret sepasang kakiku yang tiba-tiba seberat puluhan kilogram, lalu untuk tidak jatuh lunglai saat akhirnya sampai di mejanya. Ia mengangkat wajah dari buku tulisnya.

Tuhan. Kau telah memperlihatkan aku surga.

Sama sekali tidak ingat apa yang ia katakan.

Yang kuingat adalah aku duduk di depannya. Berusaha untuk tidak terlihat gemetar saat mengeluarkan tumpukan kertas coretan tugas akhir yang selalu kubawa kemana-mana. Berusaha untuk tidak bergaduh karena kini ia kembali menekuni tulisannya.

Sepanjang sore itu, kami bersama. Tidak saling bicara. Tidak saling menyapa. Sampai aku menyadari sesuatu yang ganjil.

Ia sama sekali tidak menghisap rokoknya.

*****

Kekakuannya saat menyulut rokok semakin kentara karena kini jarak yang memisahkan kami hanya setengah depa. Aku bisa memastikan kalau ia gemetar.

“Bisa kubantu?” tanpa sadar aku memuntahkan kalimat itu.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Menampilkan deretan gigi putih rapi berjejer. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya.

“Kau bukan perokok.” Cetusku. Aku mengernyitkan kening saat ia tertawa kecil.

Ia menggeleng. Rokoknya telah menyala dan ia meletakkannya di dalam asbak yang kini hampir penuh dengan abu. Hati-hati sekali. Ia menaruhnya di sana, memastikannya tidak mati.

“Lalu?” tak sabar. Aku menyadari nada suaraku sedikit meninggi.

Kembali ia tersenyum. Lebih lebar dari sebelumnya. Ia meletakkan pena di atas buku, membentangkan kedua tangannya ke samping dan berusaha untuk tidak terlihat sedang menggeliat. Matanya beralih ke jam di pergelangan tangannya.

“Kita sudah hampir empat jam di sini. Tapi aku sama sekali tidak tahu siapa namamu.” Ucapnya. Lagi-lagi sambil tersenyum.

Kurasa aku mengerti rasanya mabuk.

Sore itu, kurasa, dan kupastikan, aku telah jatuh cinta.

*****

“Aku sedang dikejar jadwal. Menulis buku.”

“Aku juga begitu.” Kurasakan kesadaran makin menguasaiku setelah kami saling mengenal. Lambat laun suasana mencair dan aku bahkan bisa bercanda padanya. Menanyakan berapa kali ia membakar jarinya sendiri saat akan membakar rokok. “Lalu, apa mereka punya arti?”

Kami saling memandang.

“Aku bukan orang yang baik dalam mengatur waktu. Seringkali semuanya lewat begitu saja. Jam. Hari. Pekan. Sama sekali tidak terasa. Sementara tiba-tiba semuanya harus selesai dalam satu kedipan mata. Lalu suatu hari, tidak perlu kujelaskan aku mendapat ide dari mana, kucoba untuk merokok. Kau tahu, orang-orang melakukannya. Merokok. Memperlambat waktu barang sedetik.

Tapi aku gagal pada hisapan pertama. Kurasa itu tawa terbesarku dalam beberapa tahun terakhir. Aku memandangi saja rokok di tanganku yang terus terbakar. Jika ia mati, kunyalakan lagi, sampai akhirnya ia benar-benar habis. Lalu aku tersadar bahwa aku telah melewatkan hampir satu jam untuk sekedar membakar dan mengamati asapnya.

Aku membakarnya lagi, kali ini seperti yang kulakukan sekarang. Menaruhnya di asbak. Memastikannya tidak mati. Ajaib. Konsentrasiku kembali dan aku bisa menulis. Tidak, bukan rokok yang membuatku menulis. Kurasa aku menyadari bahwa waktu perlahan habis, seperti batang rokok di depanku, yang terus terbakar. Mungkin jika aku mencobanya pertama kali dengan lilin, kita sekarang akan duduk dengan sebatang lilin yang terus menyala.”

Aku memiringkan wajah, menopangnya dengan punggung tangan. Mengangguk pelan. Berusaha mencerna setiap kata dalam kalimatnya.

Besoknya kami berjanji untuk kembali bersama.

*****

Masih tersisa dua hari dari deadline ketika tugas akhirku selesai. Ia banyak membantuku, memberi masukan. Lelaki yang benar-benar pintar. Kurasa aku bisa bicara padanya tentang apa saja. Aku ingat saat kami saling bersandar. Di kursi masing-masing. Puas setelah selesai menulis. Ia dengan bukunya. Aku dengan tugasku.

“Jadi, apa yang akan kaulakukan setelah ini?”

Aku tergagap. Tak menyangka ia akan bertanya seperti itu. “Ah. Pertanyaan yang sulit. Kurasa aku…”

“Tidak ingin menikah?”

Aku bisa merasakan wajahku memanas. Sama sekali tidak siap. Ia tersenyum lebar. Aku buru-buru menjawab. “Belum. Aku belum memikirkannya.”

Lalu kami saling diam. Tiba-tiba saja, seperti ada benteng yang memisahkan kami. Tiba-tiba saja, aku merasa kami berdua menjauh. Kulihat ia melirik jam tangannya.

“Sudah siap untuk pulang?”

Aku tak tahu telah menjawab apa.

“Besok kita bertemu lagi, kan? Ada yang ingin kutunjukkan.” Lalu ia berlalu setelah mematikan sebatang rokok di asbak.

Untuk pertama kali pula, aku ketakutan. Tanpa sebab.

*****

Aku tidak bisa tidur. Tidak sepicing pun. Kupandangi jarum jam di dinding yang terus berputar, melompat-lompat dari satu angka ke angka lainnya. Sepanjang malam begitu.

Di pagi hari teman dari kamar sebelah menyampaikan pesan. Dosen pembimbingku ingin aku menemuinya hari itu juga. Maju lebih awal sehari dari jadwal asli. Ya, kurasa kini ketakutanku beralasan.

Panik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku menjumpai dosen pembimbingku dengan kepala dan hati hampa. Kuserahkan tugas akhirku padanya. Menjelaskan beberapa ratus lembar hasil kerjaku seperti yang selama ini ia minta. Saat akhirnya ia menyalamiku, kurasakan air mataku mengalir.

Ia tersenyum lebar. Aku tahu ia menyangka aku terharu.

Padahal aku menangis karena kehabisan waktu.

Sudah malam saat aku sampai di kafe. Ya. Benar sekali.

Asbak itu penuh abu dan batang rokok yang sudah berhenti menyala.

Ia tidak di sana.

*****

 “Apa maksud Nenek?” aku terpana.

“Kita sering terlalaikan oleh waktu. Datang dan pergi. Silih berganti. Siang. Malam. Semua berjalan teratur sekali. Ketika malam berakhir kita akan berharap dihampiri pagi.” Nenek mengalihkan wajah padaku. “Aku sama sekali tidak pernah menanyakan tentangnya. Dari mana ia berasal. Bahkan aku tidak tahu buku apa yang sedang ia tulis. Kurasa, aku terlarut dalam perasaanku sendiri. Terlanjur percaya diri bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kami.”

“Ia bukan Kakek?” suaraku meninggi.

Nenek tersenyum. Menatapku lama. “Tentu saja bukan.” Ia kemudian membuka laci di sampingnya. Memasukkan hasil rajutannya. Lalu mendekatiku. Memandangi bulan yang ada di seberang kami berdua.

“Aku sudah akan tidur.” Katanya.

Ia sudah sampai ke pintu saat berbalik. “Kau selalu boleh bercerita padaku. Kau tahu benar itu.”

Lama setelah pintu itu tertutup, aku baru mengangguk pelan. Ya, aku tahu benar itu.

***** selesai *****

Tinggalkan Balasan