Mayat, Mima 1

Mayat, Mima

Seumpama bukan karena dua ekor kucing hitam berekor putih yang bertengkar di atap rumah, belum tentu mayat Tuk Hasan sudah ditemukan.

Hari itu, seperti biasa Mima masuk lewat pintu samping; dia memang diperkenankan membawa kuncinya, karena baik Tuk Hasan apalagi Cik Loya tak pernah lagi lewat sana. Yang satu sudah tak cukup awas untuk melewati celah remang-remang dengan paving block yang mulai berlumut itu, sedang satunya terlalu berat badannya untuk sekedar berpindah dari ruang tamu tempatnya menonton televisi sepanjang siang.

“Sudah kubelikan sarapan yang biasa,” Mima berucap datar saat Cik Loya berpaling melihatnya masuk. Ucapannya dibalas anggukan dan semacam lenguhan pelan.

Mima tak pernah ambil pusing, dia bekerja untuk dibayar, dan selama tak ada masalah tentang hal itu, dia tak berkeluh kesah tentang perangai acuh tak acuh majikannya. Pekerjaannya pun tak begitu berat.

Pagi hari, setelah menyiapkan sarapan dan bekal untuk suami dan anaknya, Mima akan pergi ke pasar, membeli belanja untuk tiga hari—bukan dapurnya, karena untuk yang itu, suaminya yang punya tugas—untuk dapur Cik Loya. Dia juga akan membeli sarapan yang banyak dijual di pasar: Cik Loya sarapan lontong sayur, Tuk Hasan makan nasi kuning dengan lauk sepotong ikan yang diberi sambal. Sesekali di awal masa kerjanya, Mima membelikan kerupuk untuk teman mengunyah sepasang majikannya itu, tetapi karena tak pernah disentuh dia berhenti melakukannya.

Menjelang matahari meninggi, Mima biasanya sudah selesai dengan urusan dapur. Tinggal mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin pencuci. Mima biasa meninggalkannya dalam mode otomatis lalu keluar rumah sebentar untuk menjemput anaknya pulang sekolah. Saat kembali, pakaian itu sudah siap untuk dijemur. Cik Loya punya ruangan khusus menjemur di lantai atas.

Ketika itulah Mima melihat dua ekor kucing hitam dengan ekor putih berkelahi begitu sengit. Dia tak ambil pusing sebagaimana sudah tabiatnya. Akan tetapi kucing-kucing itu berlari dan menabrak keranjang cuciannya yang tinggal berisi air sisa perasan cucian. Kucing malang itu tak sanggup menahan laju larinya dengan bantalan air sabun di bawah cakarnya, terpelanting menabrak dinding. Kucing yang lain tak kalah bodohnya ikut meluncur dan bertemu di dinding yang sama. Mima bergidik, dia tak pernah suka kucing. Apalagi kucing bodoh yang senang berkelahi. Maka diambilnya sapu yang tergeletak di sudut ruangan, berlagak hendak memukul kucing-kucing itu.

Keduanya menggeram lalu lari secepat mereka datang, satu ekor sempat terpeleset kembali tetapi tak dihiraukan oleh yang satunya. Mima berdecak kesal namun tak urung senyumnya tersungging.

Senyum itu segera menghilang saat menyadari ada yang aneh dengan aliran air di lantai. Biasanya air bekas cuciannya segera mengalir ke lubang pembuangan di sudut ruangan. Kali ini tidak. Mima mengutuk dalam hati, pasti kucing tadi sempat berak lalu kotorannya menyumbat lubang pembuangan. Itu sering terjadi. Kucing-kucing itu senang buang hajat di sudut ruangan yang gelap dengan kardus bertumpuk itu. Dia benci membersihkan berak kucing, dan itu salah satu alasan untuk tak suka kucing.

Tentu saja hari itu bukan berak kucing yang dia temukan.

*****

 

Cik Loya tampak terlalu kaget untuk terlihat sedih. Dia menganga saja dengan pandangan hampa di atas kursinya. Televisi tak lagi menyala tetapi dia tetap memandanginya. Satu dua polisi yang berusaha menanyainya akhirnya menyerah. Mereka bergumam tentang shock yang begitu hebat dan pada akhirnya saling mengangguk mengasihani Cik Loya. Mima yang pada akhirnya berhasil menguasai dirilah yang kemudian harus menjawab pelbagai pertanyaan. Tak banyak yang bisa dia jelaskan, karena memang dia tak tinggal di rumah itu.

“Kapan terakhir kali melihat Tuk Hasan?”

Dua hari yang lalu, saat dia membuang sisa sarapan yang setengahnya tak tersentuh; Tuk Hasan beralasan giginya sakit jadi dia tak mau makan. Mima ingat sempat menawarkan diri untuk membelikan obat penghilang nyeri tetapi kembali menemukan obat tersebut utuh tak tersentuh.

“Kira-kira apa yang dilakukan Tuk Hasan di lantai atas?”

Mima menjawab tak tahu. Polisi terus menanyakan pendapatnya. Tak peduli benar atau salah, yang penting dijawab.

“Mungkin ada yang ingin dicari. Gudang berisi barang-barang bekas ada di atas,” bahkan Mima sendiri tak yakin dengan pendapatnya itu. Selama dia bekerja di rumah, sekali dua dia memang pernah melihat Tuk Hasan menaiki lantai atas, tetapi tak pernah lagi terutama sejak matanya semakin senja.

Lalu apa gerangan yang membuat Tuk Hasan yang hampir buta naik ke sana?

Di luar para tetangga mulai kasak-kusuk, masing-masing dengan teorinya. Satu orang berhasil mengajak polisi berbicara. Pak Imam. Beliau menanyakan perihal pengurusan jenazah. Tuk Hasan memang telah lama tak nampak di masjid, tapi karena tak pernah terdengar kabar dia berpindah agama, Pak Imam merasa perlu mengurusi mayatnya.

“Coba tanyakan istrinya.”

Cik Loya masih belum mampu mengatup mulutnya. Hanya erangan tak jelas yang berhasil keluar.

“Tak adakah anak atau kerabat dekat?”

Lagi-lagi Mima yang harus menjelaskan. Dicarinya album foto keluarga lama yang biasa disurukkan di laci lemari ruang tengah. Di foto itu Tuk Hasan dan Cik Loya mengapit anak perempuan.

“Anak mereka hanya satu. Aziza. Sudah lama tak tinggal bersama. Kini tinggal di Jawa. Sudah berkeluarga, punya anak dua.”

Mima lalu menyampaikan kalau dia sudah sempat mencari-cari nomor telepon Aziza ketika berhasil menghubungi polisi. Urutannya: dia meminjam celana dalam Cik Loya karena sempat terkencing saat melihat mayat Tuk Hasan, setelah itu dia mencari Cik Loya untuk mengabarkan perihal suaminya. Mencari Cik Loya tak susah karena posisinya jarang berpindah, hanya saja menyampaikan berita kematian suaminya yang ternyata cukup payah.

“Tuk Hasan mati di atas.”

Cik Loya masih memandang televisi.

“Ada mayat Tuk Hasan di lantai atas.”

Cik Loya mengangguk pelan pada iklan sinetron India di depannya.

Mima mendekatkan mulut pada telinga perempuan gemuk itu. Membisikkan innalillahiwainnailaihirajiun.

Barulah Cik Loya tersentak.

Selepas itu Mima memberitahu tetangga. Tetapi saat itu jam makan siang. Jalanan sepi dan beberapa pintu terdekat tak kunjung membuka saat diketuk, jadi Mima menelepon suaminya. Dia hapal deretan nomor itu di luar kepala.

Suaminya yang menyuruhnya melapor polisi.

“Untuk apa?” Mima mencicit.

Suaminya mengatakan bahwa jaman sekarang menemukan mayat seperti itu harus lapor polisi.

Dia sempat menunggu lama karena suaminya juga tak hapal nomor telepon polisi.

Setelahnya barulah dia terpikir untuk mencari tahu nomor Aziza.

“Tapi nomor itu tak aktif lagi.” Mima menunjukkan buku telepon yang tadi dia pakai.

Pada akhirnya kedatangan polisi yang membuat para tetangga tahu perihal penemuan mayat Tuk Hasan. Beberapa orang memaksa masuk namun segera terhalau keluar oleh garis kuning hitam yang telanjur dipasang. Kini mustahil untuk Mima bisa pulang, jalan sempit di depan rumah itu sudah buntu total.

Selepas mengambil beberapa gambar dan mencatat keadaan sekitar, mayat Tuk Hasan diizinkan untuk dipindahkan. Beberapa orang warga antusias terpilih untuk membantu mengangkat mayat meski pada akhirnya terbatuk-batuk menahan napas.

“Sudah berapa hari agaknya jenazah ini?”

“Bukankah perlu berminggu-minggu untuk mayat bisa berbau?”

Sekejap saja lorong depan rumah itu penuh teori tentang pembusukan mayat. Pak Imam sampai membawa pengeras suara dari masjid dan menyampaikan ceramah singkat tentang kewajiban menjaga rahasia jenazah. Suasana langsung senyap meski jelas dari berpuluh pasang mata yang saling tatap itu, benak mereka bergemuruh.

Demi memenuhi rasa penasaran akan sebab kematian, seorang anggota polisi ikut memandikan mayat. Memeriksa dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Matanya yang tajam berhasil melihat luka di sana.

“Oh, ini luka bakar listrik. Mestinya ada luka keluar di bagian lain.”

Ketika mereka menemukannya, maka terpecahkanlah misteri kematian Tuk Hasan. Tak bisa dipungkiri, wajah mereka jadi berseri-seri.

“Tuk Hasan mati kesetrum.”

Demikianlah kabar itu segera menyebar.

Menjelang Ashar Mima berhasil menyeret deretan sofa berdebu dari ruang tamu, dibantu beberapa orang tetangga. Cik Loya berbaring di kamarnya. Satu demi satu warga yang sudah berganti pakaian datang membaca doa dan membawa makanan.

Mima ingin menyediakan suguhan tapi ditolak oleh Pak Imam.

“Tak boleh. Keluarga yang berduka justru sepantasnya menerima.”

Maka Mima menelepon suaminya, minta dijemput segera.

“Mungkin malam ini akan menginap menemani Cik Loya. Setidaknya aku pulang dulu untuk mandi dan berganti baju.”

*****

 

Karena nomor Aziza masih tak dapat dihubungi, diputuskan untuk segera menguburkan Tuk Hasan. Batas waktu adalah dua hari tiga malam, demikian ujar Pak Imam. Semakin disegerakan semakin dianjurkan. Hanya perkara memilih pemimpin rakyat yang bisa mengalahkan pemakaman mayat.

Cik Loya hanya mengangguk lemah saat ditanya persetujuannya.

“Ambilkan aku air gula,” bisiknya pada Mima.

Pelan tapi pasti kesadaran wanita tua itu kembali. Sekarang sesekali terdengar dia terisak sambil mengeringkan sudut-sudut matanya. Beberapa orang tetangga yang seusia dengannya diizinkan masuk menjenguk di dalam kamar.

“Kau bersabarlah, Loya. Pasti akan ada gantinya.”

Mima yang sempat mendengar ucapan itu menahan diri untuk tidak mencebik. Apa pula urusan doa tetangga ini? Ketika satu dua orang berikutnya mulai mengajak Cik Loya membahas kelanjutan sinetron India, Mima bertindak cepat dengan menumpahkan segelas air di lantai dan berkilah tak sengaja.

“Ada baiknya Makcik semua menunggu dulu di ruang tamu. Di dalam kamar tak cukup terang untuk membaca Yasin.”

Menjelang tengah malam pelayat yang datang hampir semua sudah pulang. Mima menutup pintu dan jendela. Dia belum pernah bermalam pada rumah yang sedang berduka. Ayah ibunya masih hidup dan dia tak sempat melihat kakek neneknya. Begitu juga dari pihak suaminya. Tamu terakhir adalah tetangga persis sebelah rumah, wanita itu menitipkan nomor telepon padanya.

“Seandainya ada yang kau perlukan di malam ini, Mima.”

Mima mengangguk. Sepenuh hati bersyukur. Ingin rasanya meminta Makcik tua itu ikut menginap tapi tak tahu bagaimana menyampaikannya.

Cik Loya sedang berbaring di dalam kamar ketika Mima mengetuk pintu dan membawakan sepiring nasi.

“Makanlah.”

Kemudian Mima teringat perihal Aziza. Ditanyakannya. Cik Loya menjawab di sela kunyahannya.

“Dia masih mengirim uang. Bagaimana mungkin aku membayarmu sedang kau tahu aku dan suamiku tak bekerja?”

Mima mengulangi pertanyaannya. Adakah cara menghubungi Aziza.

Cik Loya menggeleng.

“Suamiku. Aku tak bicara pada Aziza. Dia kawin dengan lelaki yang tak kusuka.”

Mima keluar kamar setelah mengingatkan Cik Loya untuk menaruh saja piring bekas di atas meja di samping tempat tidur. Dipandanginya ruang tamu yang sepi. Rasanya berbeda sekali. Temaram seakan semua cahaya yang ada telah tenggelam. Dalam benaknya, terlintas pikiran bisa saja sewaktu-waktu Tuk Hasan muncul dan menanyakan sarapannya.

“Ikan yang kemarin terasa hambar sekali.”

Atau,

“Tak bisakah dia mengingat seperti apa masakan yang kemarin dia buat?”

Dia teringat pertama kali bekerja karena Tuk Hasan yang memintanya. Mereka bertemu di pasar. Mima sedang berjualan nasi kuning. Tinggal sebungkus ketika lelaki tua itu datang membelinya. Lalu dimakan langsung di tempat.

“Kau yang membuatnya?”

Bukan, jawab Mima. Dia hanya menjualkan. Beberapa menit dia habiskan untuk menjelaskan tentang tetangganya yang pandai memasak nasi kuning.

“Kau sendiri, pandai membersihkan rumah?”

Bisa saja, jawab Mima. Tentu saja masih merasa heran karena dia pikir lelaki tua itu ingin memesan nasi kuning.

“Kerjalah di rumahku. Nanti kau belikan sarapan untukku dan istriku setiap hari. Yang seperti ini aku suka.”

Mima mendengarkan alamat yang diberikan laki-laki itu. Tak jauh dari pasar. Tak jauh dari rumahnya sendiri. Seorang penjual sarapan lain mengenal Tuk Hasan dan menganjurkan agar dia menerima saja tawarannya.

“Keduanya sudah tua. Jika tak cocok kau bisa berhenti kapan saja,” penjual itu berbisik begitu ketika Tuk Hasan sudah cukup jauh berlalu.

Sudah menjalani tahun kedua. Mima baru menyadarinya. Dia merasa tak berguna.

Bahkan menghubungi Aziza saja dia tak bisa.

*****

 

Hari ketujuh tiba ketika akhirnya telepon rumah berdering. Mima mengangkatnya. Dia menekan kuat benda itu ke telinganya karena beberapa orang tamu masih datang dan membaca ayat suci.

“Aziza,” kata suara di seberang sana.

Mima hampir tersungkur, bersujud syukur. Lalu tangisnya pecah.

Aziza sempat mengira yang bicara adalah Cik Loya, maka dia ikut menangis karena bahagia dan terharu. Sampai kemudian berita duka itu dikabarkan.

“Aku akan mengunjungi Ibu secepatnya,” demikian katanya, terdengar mengisak.

Cik Loya tak bahagia ketika Mima menyampaikan pesan Aziza. Dia membalik badan beradu pandang dengan dinding. Mima serba salah.

“Biar bagaimana pun, dia bilang akan mengurusmu.”

“Tahu apa kau tentang diriku.” Cik Loya membalas ketus.

Mima keluar kamar, sudah jadi tabiatnya untuk tak bicara panjang lebar. Yang jelas, dia kini lebih tenang. Cik Loya memang keras kepala, tetapi tak mungkin pula dia akan menolak Aziza datang ke rumahnya.

Esok berganti tanpa kejadian berarti kecuali Aziza yang mengabarkan bahwa kemungkinan dia akan tiba menjelang senja. Mima hampir merasa terbiasa dengan satu dua orang tetangga yang kini rutin berkunjung sekedar menyambung cerita dengan Cik Loya. Mereka penasaran dengan akhir kisah jandanya.

Seorang tetangga yang cukup rajin ikut mencuci pinggan dan gelas kotor sisa penganan tamu menggamit Mima. “Jika memang wanita itu tak ingin diurus anaknya, bagaimana bisa dia membayarmu nantinya?”

Sedikit pun prasangka tentang hal itu tak pernah terlintas di benak Mima tetapi kini dia jadi memikirkannya. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut. “Entahlah. Akan kutanya langsung pada anaknya ketika dia tiba.” Selepas itu dia kembali pergi, mengurus apa yang memang sudah jadi pekerjaannya.

Menjelang petang Mima naik ke lantai atas, membawa keranjang kosong. Dia teringat sudah hampir seminggu dia tak pernah menginjak tangga itu lagi. Pakaian kotor sudah menumpuk di sudut kamar dan itu sudah dia kumpulkan. Tinggal memetik jemuran yang telanjur dia abaikan.

Saat itulah dia kembali terpikir, apa penyebab Tuk Hasan naik ke lantai atas?

Selesai memasukkan jemuran yang kini setengahnya mengeras kaku karena terpanggang sinar matahari dan terendam embun seminggu, Mima menyempatkan diri menilik sudut ruangan yang penuh tumpukan kardus.

Polisi telah memeriksa tempat itu dan memperbaiki kabel yang diduga menyebabkan Tuk Hasan tersetrum.

“Ada bagian yang terbuka, tersambung ke dinding, kita tak akan pernah tahu bagaimana peristiwa aslinya.” Demikian polisi berkata saat itu.

Tetapi tetap saja Mima berhati-hati. Dilihatnya sekeliling paling tidak dua kali.

Dengkur kucing menarik perhatiannya. Berjinjit mencari asal suara, dia memanjangkan leher. Dengan kaki didorongnya kardus yang jadi sumber bunyi.

Seekor kucing melompat keluar dan menggeram marah. Perutnya bengkak.

Kucing bunting. Mima memberengut karena kaget. Dipastikannya kucing itu tidak sempat berak. Untunglah tidak. Sepertinya hanya sedang ingin beranak.

Matanya menangkap sudut pigura itu.

Lukisan?

Oh. Mima mendekatinya.

Menariknya dengan sedikit bertenaga.

Itu ternyata foto keluarga, jauh lebih baru dari yang pernah dilihatnya.

Mima hampir terpana dan tak menyangka, dalam pandangannya, di foto tersebut Aziza sangat mirip dengan dirinya.

Terdengar ribut-ribut dari lantai bawah. Asal suaranya seperti dari ruang tengah. Cik Loya berteriak histeris. “Anakku Aziza…!! Kau telah datang…!!”

Mima merasa darahnya naik ke kepala. Tak tahu kenapa tapi dia jadi sangat bahagia. Buru-buru diletakkannya pigura itu. Memungut keranjang berisi pakaian. Menuruni tangga dengan tergesa.

Betisnya menginjak gumpalan kenyal yang bersuara.

Mima segera menyadari dia telah menginjak kucing bunting. Hanya saja, kesadaran itu segera disusul dengan kelabatan dunia yang berguling.

Hal terakhir yang diingatnya adalah wajah-wajah penghuni rumah. Di matanya, mereka kini tampak bahagia.

Tuk Hasan, tersenyum menemukan foto keluarganya.

Cik Loya, memeluk anak yang diakunya durhaka.

Aziza. Jelas tak mampu berkata-kata.

Maka Mima memejam. Dalam diam.

Seumpama bukan karena seekor kucing hitam berekor putih yang siap sedia untuk beranak lalu mondar-mandir dan kemudian membuat bising di atap rumah, belum tentu…

*****

Author: Harun Malaia

Tinggalkan Balasan