Arsip Tag: harun malaia

Kopi yang Meledak 1

Kopi yang Meledak

Bagi mayat-mayat hidup itu, waktu minum kopi adalah kebahagiaan yang tak terganti. Untuk sesaat yang tak lama, mereka akan kembali merasakan jadi manusia. 

Dua kali sehari: jam tujuh pagi, dan sore saat matahari hampir terbenam. Masing-masing dua jam. Itu adalah waktu yang diizinkan untuk minum kopi. Meski sebenarnya mereka ingin minum lebih banyak dari itu, sayangnya, itu bisa berarti kematian—dalam arti harfiah. Baik dari sisi manusia, maupun mereka nantinya. Akan kujelaskan detilnya sebentar lagi.  

“Kau ingat mayat Alfred tempo hari? Astaga. Aku bersumpah belum pernah ada yang lebih hancur lebur daripada itu,” cetus Ernesto. 

“Bahkan hatimu?” 

Olokanku itu berbuah tonjokan kecil di perut. Aku tergelak melihat Ernesto yang cemberut. 

“Jikapun aku jadi mayat hidup—amit-amit!” dia lekas mengetuk meja dapur tiga kali,”aku yakin hatiku tak akan pernah benar-benar mati.”

Ya, semoga saja. Aku berdecak dalam hati. Aku yang mati kalau harus melayani sendiri.

Tak banyak waktu untuk bercanda. Kulirik jam bulat besar di depan palang pintu. Tiga puluh menit lagi. Aku bahkan sudah bisa mencium baunya! Mereka pasti sudah berjejer di gang-gang sempit tempatnya biasa bersembunyi. Mulai dari Jalan Q, hingga Lorong T, mayat-mayat hidup itu menguasai jalanan ibukota. 

Ernesto sepertinya mencium aroma yang sama. Dengan gerak otomatis, dia membuka pintu lemari sudut kanan atas. Menarik peti aluminium dan mengeluarkan masker standar untuk melayani sarapan mayat hidup. Aku sendiri merobek bungkusan paket hitam yang bersandar sejak tadi di meja dapur. Sepasang hazmat berwarna kelabu. Kutunggu sampai Ernesto memberikan masker. 

Seperti robot, kami berdua mengenakannya lapis demi lapis. 

Maskerku beraroma lemon, untuk sesaat aku merasa nyaman. Meski sebentar lagi, aroma hazmat itu pasti mengalahkannya. 

Bau bangkai trenggiling. Demikian tertera di bagian belakang leher. Ernesto tergelak.

“Saat kupikir mereka tidak bisa lebih kreatif!”

Dua tahun sudah, virus aneh menyebar di udara dengan cepat. Mayat bergelimpangan tanpa sempat dikubur. Seminggu setelahnya, mereka bangkit dan mulai mengorek-ngorek sampah. Dan ketika sampah habis, sesuai dugaan, mereka mengejar makhluk hidup. Mulai dari hewan, kini juga manusia. Kota makin bau tak terperi. Manusia yang berhasil bertahan, mengungsi di balai kota, membangun benteng pertahanan terakhir yang mereka sebut Gelembung. 

Nama yang tak bisa lebih pas.

Dalam Gelembung, para ilmuwan berlomba dengan waktu, menemukan formula masker yang pas untuk mencegah penularan. Vaksin tak mungkin dilakukan mengingat hampir semua hewan coba mati mengenaskan—untuk kemudian bangkit di hari ketujuh, sungguh menjengkelkan. 

Satu-satunya yang bisa menenangkan mayat-mayat itu, adalah kopi. 

Itu pun diketahui tanpa sengaja. 

Suatu sore, mayat-mayat itu menyerbu sebuah kafe yang dikelola sepasang kakek-nenek rabun senja. Mungkin mereka sudah bosan hidup jadi membuka kedai adalah pilihan yang cerdas. Drone patroli kebetulan melintas dan segera mengirimkan sinyal darurat untuk menyelamatkan dua sosok panas—drone tersebut memindai suhu tubuh. Gelembung menangkap sinyal itu dan segera melepaskan dua tim penyelamat. 

Untuk kemudian membatalkannya. 

Karena semenit kemudian, drone mengirimkan pesan selusin sosok panas sedang berkumpul di kedai itu. Tiga menit kemudian, pesan sepasang sosok panas kembali masuk. Dan saat film dalam kamera drone tersebut diperiksa, diketahui bahwa kakek-nenek itu menyuguhkan kopi. 

Mayat-mayat di kafe itu sempat menunjukkan kehidupan untuk sesaat. Lalu mati, untuk selamanya. Berita itu segera menggemparkan kota. Yang jadi masalah tentu saja, mencari biji kopi dalam jumlah yang banyak, sebelum seisi kota terkontaminasi. Harga kopi melonjak drastis. Tak ada yang mengalahkan pasarannya yang jauh di atas emas permata. Belum lagi, sekali pun biji kopi berhasil didapatkan, mencari formulasi seduhan kopi yang benar-benar dapat membunuh mayat hidup, susah sekali. 

Satu sendok teh kopi. Satu sendok teh gula. Air panas suhu 95 derajat Celcius tepat—tidak kurang tidak lebih. Disajikan dengan susu tiga sendok makan. 

Sepertinya sederhana, sampai kemudian terbukti bahwa racikan kopi yang salah, akan menyebabkan mayat-mayat hidup itu kebal kopi untuk beberapa waktu. Laboratorium Gelembung menemukan bahwa waktu kebal terlama yang pernah tercatat adalah dua puluh sembilan hari. Mayat hidup tak akan bisa dihancurkan setelah mereka kebal kopi, dan selama itu pula, mereka adalah penyebar virus yang paling ganas.

Mayat-mayat hidup itu pun sepertinya mengerti bahwa kopi, dapat menghidupkan mereka untuk sesaat, karena mulai banyak di antara mereka berbaris untuk merasakan beberapa menit menjadi manusia, lalu meninggal untuk selamanya. 

Tentu saja jika racikan kopinya tepat. Dan di sinilah, kami berdua berperan. 

*** 

Aku dan Ernesto, adalah dua peracik kopi yang lulus dengan nilai terbaik. 1000/1000. Itu nilai Ernesto. Aku sendiri hanya keliru satu kali saat latihan. Peracik yang lain masih terlalu jauh di bawah kami. Gelembung tak berani mengambil risiko. Maka, di sinilah kami setiap hari. 

Dua kali sehari, di kafe mobile: MINUM KOPIMU, LEDAKKAN KEPALAMU. 

Selebaran dibagikan, dan ajaib, mayat-mayat hidup itu cukup banyak yang memilih ‘kematian’. Padahal dalam brosur itu jelas tertera: kopimu dapat menyebabkan kembalinya fungsi kesadaran selama 2 menit 47 detik, dan selanjutnya, kau akan mati selamanya. Mungkin Ernesto benar, masih ada hati yang tersisa pada mayat-mayat itu. 

Drone pengintai pagi ini masuk lewat pintu khusus di atas jendela, sistem suaranya menyala otomatis. Benda itu terbang dengan dengung nyamuk yang malas di atas kepala Ernesto. 

“Selamat-pagi,” ucapnya dengan nada robot yang menjemukan. 

Ernesto melakukan high-five virtual padanya. Mila, pengendali drone jarak jauh itu, adalah pacarnya. Mila tahu aku benci suara robot, setiap hari dia mengatur suara drone itu menjadi versi paling mengesalkan. 

“Kau-terlihat-buruk-pagi-ini,” itu sapaan untukku. 

Aku menirukan gerakan tak senonoh padanya. Ernesto mengacungkan jari tengah padaku. 

Mila mengirimkan gambar terbaru. Mayat-mayat itu sudah antre tiga blok dari kafe. 

Aku melirik jam di depan pintu. Tujuh menit. 

Aku belum cerita permasalahan tugas ini, yang pertama adalah: kopi tak boleh dibikin sebelum pemesannya tiba. Enam setengah detik, setelah kopi selesai diseduh, adalah waktu menghidangkan terbaik. Lebih dari itu, efek kopi menurun drastis, dan yakinlah, hal terakhir yang diinginkan adalah mayat hidup kebal kopi. Kuulangi, mayat hidup kebal kopi—di dalam kafe. 

Mereka akan mengamuk bagai banteng, entah darimana datangnya kekuatan itu. 

Untuk kemungkinan terburuk itu, aku dan Ernesto dibekali hazmat berlapis, virus tak akan mampu menembusnya. Lapisan kaca anti peluru setebal sepuluh sentimeter juga memisahkan aku dan mayat-mayat hidup itu. 

Hal terburuk berikutnya: mengenali pemesan kopi. 

Ernesto menangis tak bersuara bulan lalu saat ibunya datang. Mata perak perempuan itu bercahaya selama beberapa saat saat menenggak kopi yang diseduh putra satu-satunya. Aku yakin Ernesto ingin berpaling tapi kuakui mataku panas saat melihat kepala Nyonya M, ibu Ernesto, meledak seperti semangka jatuh di aspal, dengan serpihan otak kehitaman yang sempat menempel di dinding kaca. 

Aku sendiri, sedikit beruntung karena tak punya keluarga. Ayah ibuku sudah lama mati. Satu-satunya orang yang kukenal, adalah sepupuku Sonego. Orang tua Sonego sendiri juga sudah meninggal dalam kecelakaan pabrik. Kami berdua diasuh Panti.  

Nama Sonego tak pernah terdaftar di dalam penghuni Gelembung. Sehingga hampir tak mungkin ia bertahan. Aku sendiri sudah mengikhlaskannya. Meski tentu saja, harapan suatu hari dapat menemuinya kembali sebagai manusia, beberapa kali terlintas dalam kepala. Sonego adalah tukang las yang handal, mungkin saja ia sempat membangun bentengnya sendiri di luar sana.

Sebenarnya ada hal terburuk berikutnya, tapi itu tak pernah terjadi. Yakni kalau kami kehabisan kopi, sebelum setiap mayat hidup yang melewati pintu hancur jadi debu. Sejauh ini, kafe LEDAKKAN KEPALAMU selalu mobile dan berhasil menemukan kumpulan mayat dalam jumlah tak terlalu banyak. Salah hitung pembeli, kematian menanti kami. 

*** 

Jam tujuh berdentang. Drone Mila melesat ke seberang ruangan, dari sana ia dapat merekam segalanya. Ernesto menekan tombol pembuka pintu truk. Langkah menggesek aspal terdengar mendekat. Aku menghirup dalam-dalam aroma lemon pada maskerku. 

Hazmat suit sengaja diberi aroma aneh karena para ilmuwan ingin melihat adakah bau-bauan tertentu lain yang juga mempengaruhi mayat hidup, selain kopi tentunya. Selama bertugas, aku pernah memakai aroma tahi kucing, muntah bayi, selokan mampet, air ketuban. Sebutlah hal-hal busuk lainnya. Aku dan Ernesto sudah khatam. 

Bangkai trenggiling hari ini sepertinya tak berefek apa-apa. Mayat pertama bergerak lambat ke depan kaca. Liur, atau sesuatu yang menyerupai liur menetes terjuntai dari pinggiran bibirnya yang robek setengah. 

KO-PI. Parau ia meminta. 

Ernesto membacakan consent secara cepat—sejujurnya aku tak pernah mengerti mengapa Gelembung tetap menerapkan aturan itu: mayat-mayat harus mengerti bahwa kepala mereka berisiko akan meledak. 

YA. Jawabnya. 

Ernesto mengangguk padaku. Aku menyiapkan gelas pertama. Satu sendok. Satu sendok. Air panas. Tiga sendok. Aduk-aduk-aduk. 

Ernesto menekan timer. Satu. Dua. Tiga. 

Mila tiba-tiba berkedip. “Ke-bo-cor-an!”

Kopi diteguk. 

“Menjauhlah selagi sempat. Para mayat sudah menyiapkan perangkap untuk kalian hari ini. Sementara kalian di sini, mereka sudah di belakang. Menggali.” 

Seperti bola lampu yang tiba-tiba putus kabelnya, mayat itu menggelepar dan hangus. Aku dan Ernesto berpandangan, tak mengerti maksud ucapannya. 

Mila masih berkedip-kedip. “Ke-bo-cor-an!” 

Ernesto mengernyit, mengetikkan sejumlah kode di layar komputernya, berusaha menghubungi Mila secara langsung dan dua arah. Di luar, barisan mayat tampak mulai menumpuk. Mereka tak suka menunggu kopinya disiapkan. 

“Halo, Mila?”

“Ernesto! Gelembung diserang pagi ini. Segerombolan bandit masuk dan mencuri persediaan kopi!” 

Mila mengirimkan video pengintai. Sesosok wajah itu tertangkap kamera. Jantungku berdetak lebih kencang. Sonego. 

Bandit mengincar kopi untuk dijual dengan harga beratus kali lipat. Entah untuk apa uangnya mereka gunakan. Aku memeriksa persediaan kopi yang kami punya. Menggeleng pada Ernesto. 

“Hanya seratus.”

Itu artinya, kami tak mungkin menyelesaikan tugas hari ini. Jika normalnya kami akan terus melayani selama dua jam hingga mayat-mayat tak lagi bermunculan, sementara pesanan biji kopi dikirimkan dari Gelembung; kali ini, seratus porsi kopi akan segera habis bahkan sebelum satu jam. 

“Kirimkan bala bantuan.” Ernesto memberikan kiss-bye pada Mila.

Oh yeah. Mungkin untuk pertama kalinya, aku dan Ernesto akan benar-benar bertarung dengan mayat-mayat hidup ini. Aku menggeretakkan jari. Sonego sialan.   

Ernesto menarik laci paling bawah. Barisan senapan runduk semi otomatis berjejer di dalamnya. Darahku berdesir. 

Hmm, mungkin sebelum itu, waktunya minum kopi! 

*** selesai *** 

patak hanto harun malaia

Patak Hanto*

Dengan debaran dada yang makin kencang, kau seret langkahmu mendekati salah satu toko dengan tulisan besar menyala di persimpangan jalan itu. TOKO KUDA PONY—huruf Y-nya sudah terbalik, kemungkinan lepas paku bagian atasnya. Bangunan di samping kanan-kirinya tampak gelap, membuat toko itu semakin mencolok. Beberapa puluh langkah sebelum sampai di sana, kau berhenti. Menimbang-nimbang. Menajamkan pandangan. 

Kau yakin melihat sesuatu bergerak di dalam sana. 

Apakah itu bayangan yang tadi? Kau sudah bersiap untuk kembali berlari. 

Namun lagi-lagi, kau melihatnya sekilas. Kali ini cukup jelas untuk meyakinkanmu bahwa itu benar-benar manusia. 

Menengok kanan-kirimu sekali lagi, kau memantapkan hati. Semoga siapa pun itu tahu jalan keluar dari tempat keparat ini, demikian kau membatin. 

Sekelebat bayangan melintas cepat di depanmu. Membuatmu hampir terjatuh dan memaki. Lalu mengikik setelah menyadari itu hanya seekor tikus yang ukurannya memang cukup besar. Binatang itu berhenti sejenak, mengendus udara di depannya, kemudian menghilang di balik deretan tong sampah warna-warni yang berjejer rapi di samping sebuah mesin minum otomatis yang tampak berpendar disiram sorot cahaya lampu jalanan jangkung yang ada di seberangnya.

Kau sontak menelan ludah.

Antara toko di depan sana, dan mesin minum beberapa langkah di kananmu, kau menimbang-nimbang. Akhirnya, rasa haus mengalahkan penasaranmu. Lagipula aku bisa memeriksanya setelah ini, pikirmu. 

Sekaleng Coke jatuh dengan bunyi nyaring setelah kau memasukkan uangmu. Buru-buru kau mengambilnya. Baru kau sadari tanganmu gemetar saat mencoba membukanya dengan tergesa. Minuman itu mendesis ringan di tanganmu. Tak menunggu lama, kau meneguknya dengan beringas. 

Hausmu belum tuntas. Kembali kau memilih minuman yang sama. Kali ini kau sengaja menimangnya lebih lama. Buat nanti, kau membatin. 

Tong sampah di sampingmu berisik dan seekor tikus berlari keluar dari dalamnya. Mungkin tikus yang sama. Kali ini ia berlari ke arahnya datang tadi. Membuatmu ingat untuk memeriksa toko di ujung jalan sana. Melangkah gontai, kau menekan kaleng dingin di tanganmu ke dahi. Merasakan tetesan embunnya turun menyatu dengan basah keringat di lehermu.  

Saatnya keluar dari tempat busuk ini, gumammu. 

Kompleks pasar malam yang digelar akhir pekan telah lama tutup dan entah bagaimana ceritanya kau menjadi orang terakhir yang belum pulang. 

Oke, ralat sedikit. Sebenarnya kau tahu jawabannya: kau adalah salah satu petugas listrik yang disewa untuk memastikan setiap stand yang didirikan tidak mengalami masalah dengan jaringan kabel yang baru dipasang, tapi sialnya, hari ini kau sedang diare. Meskipun sudah minum obat, tetap saja tak kurang sudah tujuh kali kau bolak-balik ke kamar mandi, sejak datang ke pasar malam lepas matahari terbenam tadi. Kau sampai hapal dengan pesingnya yang menusuk, serta mural norak yang menghiasi hampir tiap jengkal dindingnya. Yang terakhir tadi, saat kembali terduduk di bibir toilet yang dinginnya membuat anusmu berkerut, kau sebenarnya sudah sangat lemas. Dehidrasi, kau berbisik dalam hati. Sempat kau putuskan akan memakai lembar terakhir dalam dompetmu untuk membeli sebotol Coke atau sejenisnya di mesin minum otomatis. Setelah ‘setoran’ terakhir ini, demikian kau berjanji. Dan kau pun bertekad untuk langsung pulang setelahnya. 

Lalu entah bagaimana ceritanya, kau ketiduran. 

Ya, kau pasti tidur sedikit terlalu lama, karena saat terbangun, keheningan nan beku yang menyapamu. Tak terdengar sedikit pun bisik-bisik serta canda menggelikan khas remaja-remaja tanggung—yang saking seringnya kau menyambangi kamar mandi, kau hapal riuhnya celetukan mereka. Satu bukti lagi bahwa kau tidur dalam waktu lama adalah jeansmu yang sudah turun ke lantai yang lembap—celana itu jadi basah dan terus terang itu sedikit menjijikkan. Mengabaikan perasaanmu, kau tetap memakainya. Toh aku akan segera pulang, kilahmu. 

Membuka pintu bilik kamar mandimu, kau hanya menemukan deretan urinoir bau tertempel di dinding, serta mural-mural norak itu. Tapi bukan itu yang membuatmu tertegun lama hingga tak berani beranjak dari tempatmu berdiri.

Ada lima kamar mandi kecil di dalam sepetak ruangan itu. Kau sedang menempati nomor lima, yang paling ujung, terjauh dari pintu masuk. Dari sana, saat sekilas berpaling, kau melihatnya. 

Sepotong bayang-bayang memanjang di lantai. 

Asalnya dari bilik pertama. Kau menyadarinya karena persis sepertimu, bayang-bayang milikmu terlihat di depanmu karena posisi lampu yang ada di belakang punggungmu. 

Namun, dari tempatmu berdiri, kau bisa melihat kalau bayang-bayang itu tak sepenuhnya seperti bayang-bayangmu. 

Dua potongan runcing seperti tanduk mencuat tinggi dari atas kepalanya. Dan saat mencoba saksama mendengarkan, kau yakin benar tak ada sedikit pun suara napas dari bilik sana. 

Bayang-bayang itu hanya membeku di lantai. 

“Anjir. Setan….”

Kau pelan-pelan memundurkan langkah. Memanjangkan kaki, mencoba menekan tuas flush. Bising air yang berpusar segera memenuhi ruangan. 

Lehermu memanjang. 

Mengintip.

Bayang-bayang itu bergeming. 

Lalu tiba-tiba lampu di atas kepalamu padam diawali redup yang ganjil. 

Satu. 

Dua. 

Tiga. 

Seluruh lampu di deretan kamar mandi itu padam. Gelap gulita mencengkeram. 

Kecuali di ujung bilik sana. 

Bayang-bayang bertanduk itu masih kaku di tempatnya.

“Permisi … Saya permisi dulu .…” suaramu bergetar, tercekat di pangkal tenggorokan. 

Kali ini, seakan mengerti, kau melihat bayang-bayang itu bergerak.

Lalu lampu terakhir ikut padam. 

Instingmu bergerak lebih cepat, membawa lari kakimu pergi. Di depan pintu masuk kau sempat terpeleset genangan air, tetapi itu tak menyurutkan langkahmu. 

Kau berlari secepat mungkin. Sejauh-jauhnya. 

Maka di sinilah kau. Kaleng minumanmu sudah tak terlalu dingin namun kau masih senang merasakan bebannya di dalam genggamanmu, dan lehermu—membuatmu tetap terjaga. Apalagi kompleks pasar malam yang kosong terasa sangat berbeda dibanding saat manusia sedang ramai-ramainya. Jalan-jalan yang tadinya terasa sempit dan kanan-kirinya penuh dengan penjual makanan kini lengang dan lapang. 

Setidaknya sudah lima kali kau memutari ruwetnya jalan-jalan kompleks yang tanahnya terasa lengket di bawah sol ketsmu, dan selalu saja ada hal baru yang kau lihat. Mungkin tadi panik, mungkin itu bukan benar-benar setan, pikirmu. Awalnya, menghibur diri seperti itu terasa menyenangkan. Apalagi kini, ketika kau sudah tidak punya beban kerja, kau bisa melihat-lihat santai deretan toko-toko suvenir dengan hiasan jendela yang cantik. Atau bangku-bangku duduk yang tampak keren dari sudut-sudut tertentu. Kau menikmati pengalaman barumu. Jarang-jarang bisa begini, batinmu. 

Namun, saat bulan dan bintang kelihatan semakin tinggi di atas kepala, dan dinginnya malam sudah mengalahkan lembapnya bokongmu, kau harus mengakui kalau kau sedikit cemas. Kembali kau memutar, mencari-cari jalan untuk keluar. 

Sialan. 

Sepertinya kau benar-benar tersesat. 

Bodoh sekali, tersesat di pasar malam, kembali kau menggerutu. 

Beberapa stand toko yang lampunya masih menyala coba kau datangi, tetapi percuma saja, karena semua sudah rapat terkunci. Tak peduli berapa lama kau menempelkan wajah di depan kaca pintu atau jendelanya, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di dalam sana. 

Kecuali toko yang satu ini. Kau sudah berdiri tepat di depannya. Kau yakin benar tadi telah melihat sesuatu bergerak di dalam sana. Semoga benar manusia, kau berdoa.

“Permisi? Ada orang di dalam?”  

Tiba-tiba lampu kelap-kelip yang menghiasi tulisan TOKO KUDA PONY meredup. Kau mendongak waspada. 

Lalu bangunan di depanmu gelap gulita. 

Kau mundur beberapa langkah. Bersiap lari meski lututmu goyah. 

Namun sekejap kemudian lampu menyala kembali. 

Jantungmu menumbuk-numbuk dinding dada. Tapi kau sudah kepalang basah. Mungkin ini satu-satunya kesempatanmu, menemukan seseorang yang bisa ditanyai jalan pulang. 

Kau mendorong pintu itu. Tak ada pergerakan. Sekali lagi kau coba, kali ini lebih bertenaga.

Pintu membuka dengan derit yang aneh. Semerbak bau pembersih lantai menyergap hidung. Sontak kau melihat ke bawah kakimu. Air tampak tergenang dan mengalir pelan-pelan ke salah satu sudut ruangan, menghilang di balik etalase kusam berisi deretan boneka kuda poni yang tampak bosan. 

Berjingkat, kau memasuki toko itu. “Permisi …?” Kau menyadari suaramu terdengar tak seperti biasa. 

Kau memanjangkan leher, menyeberangi meja kasir, mencari sumber air yang bocor. Lalu kau melihatnya, bilik kecil di sudut sana, tersuruk di belakang tumpukan kardus-kardus yang tersusun tinggi. Kamar mandi. Benar saja, terlihat air deras melewati bawah pintu bilik. Buru-buru kau masuk dan usai mematikan kerannya yang terbuka, kau lantas menyadari bahwa sesuatu yang bergerak yang tadi kau lihat, pasti pantulan cahaya lampu di air yang tergenang. Ah, berengsek sekali. 

Tak butuh lama untuk air di lantai segera surut. Kau melirik jam dinding yang terpasang miring di atas pintu masuk. Lima belas menit lagi jam dua.

“Sial ini namanya.”

Meneguk habis minumanmu, kau melemparnya ke dalam keranjang sampah di bawah meja kasir. Dengan tanganmu yang masih sejuk kau merabai leher. Kau berkeringat luar biasa. Asal-asalan, kau tarik tali kipas angin raksasa yang menempel di langit-langit. Benda itu berputar malas dengan bising yang menjemukan. 

Kau menggeser keluar bangku kecil dari depan meja kasir. Duduk di sana.

Lalu kau melihatnya. 

Di luar jendela, di seberang sana. Seseorang sedang berdiri dan tampak menengok kanan-kiri. 

“Hei …!” sontak kau bangkit dan melambaikan tangan, berharap dia melihatmu. Bergegas kau maju, bermaksud lari ke pintu, hanya untuk terkesiap. 

Sosok itu berdiri tepat di depan lampu jalanan yang jangkung menjulang. Membuat wajahnya sulit untuk dikenali. Ia tampak merabai keningnya. Lehernya. 

Sosok itu melangkah maju. 

Keningmu berkerut. 

Merasakan dingin yang merayap di punggung. 

“Permisi? Ada orang di dalam?” teriaknya. 

Kali ini sosok itu maju dan cahaya lampu tepat menyinari wajahnya. 

Darahmu tersirap dan lututmu goyah. Berkali-kali kau mengucek mata.

Sosok tadi terus mendekat. Kali ini kau bisa melihat dengan jelas kedatangannya, memiringkan kepala, menempelkan minuman kaleng di lehernya. Kembali di depan toko ia berhenti. Dipayungi lampu jalan di belakang punggungnya, bayang-bayangnya memanjang hingga ke depan pintu. 

Spontan, kau menekan saklar lampu di samping pintu. Untuk sesaat kegelapan menyelimutimu. 

Terhuyung-huyung kau mencoba menarik pintu lebar-lebar. Sial! Sial! Tak bisa terbuka! 

Buru-buru kau kembali ke meja kasir, mencari-cari kunci. Atau apa pun untuk melindungi diri. Jantungmu seakan pindah ke perut. Mulas tak terkendali. Tapi dalam kegelapan tak mungkin ada yang bisa kau cari. 

Lalu lampu kembali menyala. 

Nanar, kau melihat sosokmu di luar sana merapat.

Setan! 

Teriakanmu terhenti di tenggorokan. Bergegas kau masuk ke bilik kamar mandi, sembunyi. 

Menutup mata. Kau berharap semua ini mimpi belaka. 

Menutup mata. Kau berteriak sekerasnya.

Membuka mata. Kau mengepalkan tanganmu yang gemetar.  

Kau merasakan air tumpah-tumpah membasahi sepatu. Merembes di celanamu. 

Kau memantapkan hati. Kali ini, semua akan kau hadapi.

Membuka pintu. 

Lorong kamar mandi gelap bau pesing berhiaskan mural norak menyambutmu. 

*** selesai ***  

*Patak Hanto; judul terinspirasi istilah ‘patak hantu/hanto’, (patak artinya sembunyi), sebuah kepercayaan masyarakat suku Banjar tentang hantu/jin yang senang menyembunyikan anak-anak yang bermain terlalu jauh ke dalam hutan, atau bermain di waktu-waktu terlarang (sore menjelang magrib, misalnya).

Apatía 4

Apatía

Fly me to the moon, and let me play among the stars…

Let me see what spring is like on Jupiter and Mars… 

In other words, hold my hand.

In other words, darling, kiss me…

*

Sayup-sayup terdengar Julie London dari speaker yang kau pasang; selain suaranya yang merayu, tak ada yang bicara. Sudah hampir lima menit kau duduk bersamanya, namun tak sepatah pun kata terucap. Hingga akhirnya kau buka suara, “Kudengar kau tak rutin meminum obat.”

Kau lihat dia mengangkat mata. Pandangan kalian bertemu.

“Lalu kau juga masih….“ Sejenak kau diam, mencari kata yang pas.

“Melacur.” 

Berdeham kecil, perempuan itu yang menyelesaikannya. Kau melihatnya merogoh isi Prada tiruan di pangkuannya. Mengeluarkan lipstik dan mulai memoles bibir, tangannya yang lain memajang kaca kecil. Kau yakin benar keduanya gemetar. Di balik lengan baju panjangnya, kau tahu semua tak baik-baik saja. 

Ketika mendapatkan panggilan darinya tadi pagi buta, kau sudah menduga ada yang tak beres dengannya; yang tak kau tahu, apa dan bagaimana. 

“Bisakah aku mampir besok sore? Ada yang ingin kupastikan.”

Kau ingat bahkan sempat terdiam beberapa saat, mencoba mencerna dan meyakinkan bahwa benar dia yang menelepon. 

“Kau di mana? Apa kau baik-baik saja?”

Gemerisik di telepon bercampur dengan desah napasnya. Kau mendengarnya terbatuk. Suaranya sedikit sengau. “Mungkin jam lima. Atau jam enam. Kau masih bisa menunggu?” 

Kau tak bisa tertidur sepicing pun setelah menutup telepon. Sudah sekian lama sejak terakhir kali kau dan dia bicara. 

Dan sekarang, di sini kalian berdua. 

Kembar tapi tak serupa. 

Meski tentu saja kau masih bisa melihat kilasan masa lalu dan masa depanmu pada wajahnya. Kau melihatnya mematut bibirnya yang penuh, merah kontras dengan wajahnya yang pucat. Kau kembali buka suara, “Tindakanmu itu sungguh berbahaya. Tidak hanya kau memperburuk status penyakitmu, namun kau juga berisiko menularkannya.”

Dengan bunyi ‘klik’ yang jelas dia menangkupkan cermin. Matanya terangkat padamu. “Kau tahu aku tak peduli.” 

“Tapi aku peduli.” 

Tak kau sangka dia terbahak keras sekali, menepuk lutut, dan memegangi perut. Tawanya berubah jadi sengal napas yang memburu.  

“Ooh…” ujarnya sambil mengeringkan sudut mata, “setelah sekian lama, tak kusangka kau masih lucu saja, Ariana.”

Rautmu sontak mengeras. “Aku bisa mengirimmu pada psikiater.”

“Lakukan apa yang kau mau. Aku juga begitu.”

Kau menggeleng gusar. “Luana, kita bukan anak kecil lagi.”

“Terang saja bukan anak kecil. Kau pikir pelangganku buta? Atau pedofil? Mereka hanya mencari selangkanganku! Setan! Kau seharusnya bersyukur aku memberikan virus kematian pada mereka dengan cuma-cuma!” 

Menahan amarah, kau buka lembar dokumen di depanmu. Mencoba memusatkan perhatian pada catatan yang sudah kau pelajari sejak pagi. 

Setidaknya dia kini tak lagi membisu, begitu pikirmu.  

“Tercatat positif HIV sejak lima tahun lalu. Sempat menerima obat rutin. Namun belakangan tak lagi melakukannya.” Kau dorong dokumen tersebut padanya, menuntut penjelasan. “Apa yang terjadi? Kenapa berhenti berusaha? Lalu apa yang membawamu periksa hari ini?”

Kau melihatnya mengangkat bahu, mendesah malas. Kembali mengorek isi tas, dia mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

“Luana! Kau tak boleh merokok di sini!” suaramu meninggi.

“Tak ada tanda larangan.”

“Demi Tuhan! Jika kau begini tak peduli, apa gunanya hidup?!” 

Kini kau saksikan dia menurunkan rokok, memutar bola mata. “Kau terlalu lurus, Ariana. Wajar para pria takut padamu. Santailah sedikit. Papa Mama pasti menangis dalam kubur kalau tahu anak kesayangannya jadi perawan tua.” Mendengar nada suaranya mencela, wajahmu panas membara.

“Air mata mereka sudah habis karenamu.” 

Dapat kau lihat perkataanmu melukainya. Luana menyilangkan tangan di depan dada, bibirnya bergetar saat berujar, “Kalau perlu mereka menangis darah karena garis keturunan Gouw akan habis di tangan kita: perempuan celaka.”

Kau terkesiap, tak siap. 

“Oh, kau pikir aku tak tahu tentang operasi kanker rahimmu, Ariana?” Kembali, dia menyulut rokok. Kali ini kau tak menghentikannya.

Tangannya bergetar. Api berkobar. “I’m sorry for your loss.” 

“Katakan apa maumu, Luana.” Setengah mati kau menahan air mata.

Jelas kau sadari dia tak peduli perasaanmu, karena seraya mengumpulkan segenap rambutnya ke bahu kiri, dia lanjut bicara, “Aku periksa karena badanku tak seperti biasa. Belum pernah aku selelah ini. Sekacau ini.” Untuk pertama kali kau mendengar kegelisahan dalam suaranya. Begitu juga dengan caranya mengukur diri dengan merentangkan kedua tangan di depan tubuhnya, seakan mengukur dan menghitung semua kesalahan yang ada di sana. “Jika benar akan segera mati, aku ingin memastikannya. Setidaknya kau bisa mengurusi mayatku nanti. Kau mau mengurusi mayatku, kan?” 

Kau tak menjawabnya. Bimbang apakah dia sedang kembali memancing amarahmu atau bicara sejujurnya. 

Lama kalian bertatapan. 

Sampai akhirnya pintu ruangan diketuk. Seorang perawat masuk membawa hasil laboratorium sore ini. Berterima kasih, kau menunggunya benar-benar pergi lalu membuka amplop tersebut. 

Dari ekor matamu kau menangkap Luana bangkit dari kursinya. Berjalan berkeliling, mengamati acuh tak acuh pada piagam-piagam pelatihan dan penghargaan di dinding. Saat kembali bersuara, dia bertanya, “Bagaimana kondisiku?” 

Kau hampir menyergah ‘apa pedulimu?’ namun tak jadi. Alih-alih, kau bergumam, “Tak terlalu bagus. Namun kurasa kau justru bahagia.” 

Lembaran kedua.

Jantungmu mencelos.

Mengangkat wajah, suaramu bergetar saat berkata, “Kau harus kembali meneruskan terapi.”

Kau melihatnya menggeleng. “Kau yang bilang apa gunanya hidup jika tak peduli. Aku ingin mati.”

Dadamu panas, kau sodorkan hasil laboratorium padanya. 

“Bacalah. Aku tak tahu caranya agar kau bisa peduli, tapi Tuhan mengerti. Mungkin ini kerja rahasianya.”

Nanar, kau lihat matanya melebar. Bibirnya gemetar, “Aku…,” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Kau membantunya, “Ya. Kau sedang berbadan dua.” 

Hening.

Tak kau dengar Luana membalas ucapanmu. 

Justru kau saksikan dia memberesi tas di meja dengan tergesa. Sebelum menjangkau pintu keluar dia berhenti sejenak dan membalikkan badan. Kau lihat matanya berkaca-kaca. “Kurasa aku butuh udara segar. Keluar sebentar. Pikiranku…” dia memegang kepalanya sambil terisak, menangkup wajah, “maaf karena telah berkata buruk padamu.” 

Sejurus kemudian dia berlalu. 

Sayup-sayup hanya Julie London yang masih mengalun di telingamu. 

*

Now you say you’re sorry

For being so untrue

Well, you can cry me a river, cry me a river

I cried a river over you… 

*****

*Apatia (Spanish) adalah kondisi kurangnya antusiasme, motivasi, ataupun kegembiraan. Merupakan istilah psikologi untuk kondisi ketidakpedulian, di mana individu tersebut tidak merespon baik secara emosi, sosial, atau aktivitas fisik. 

Sehidup Semati 6

Sehidup Semati

“Apa kabarmu?” 

Ia mengerling, mengangkat bahu. 

Aku mengangguk paham, tak ada jawaban ‘baik’ bagi pesakitan, kecuali saat mereka dibebaskan. 

“Aku membawakan bacaan,” kudorong bingkisan di atas meja. Kulihat ia mengerling malas di kursinya, jelas tak berminat berbincang. 

“Ibu bilang kalau lagi-lagi kau tak membalas suratnya, ia akan datang sendiri.” 

Kali ini ia mengangkat wajah, sejajar dengan pandanganku. Aku serasa sedang selfie dengan kamera depan berfilter buruk. 

“Tak usah repot-repot.” 

“Ibu ingin tahu keadaanmu.” 

“Sampaikan saja apa yang kaulihat sekarang!” Membentangkan tangan lebar-lebar, ia lalu naik dan berdiri di kursinya. Sepasang penjaga di depan pintu menoleh sesaat, lalu kembali ngobrol. 

“Aku selalu menyampaikannya…”

“Peduli setan!!” Tiba-tiba ia menggebrak meja. Cukup untuk mengundang teguran keras salah satu penjaga.

Ia lalu kembali duduk, lambat-lambat mendekatkan wajah padaku. Dekat sekali sampai aku bisa melihat irisnya yang cokelat tua. “Katakan kalau aku sudah mati,” bisiknya dingin.

“Ibu tak menyalahkanmu mencoba bunuh diri.” 

“KAU YANG MENCOBA MEMBUNUHKU…!!! KEPARAT!!” Ia meninju wajahku, meninggalkan bekas memar yang nyata di buku kepalan tangannya. 

Salah satu dari penjaga akhirnya mendekat masuk, disusul oleh temannya. Mereka menggeleng-geleng. Salah satunya berbisik berkomentar, “Lihat apa jadinya jika terlalu dalam berkhayal? Kudengar dulu ia penulis handal. Tapi sekarang gila karena halusinasinya sendiri.” 

Menutup kalimatnya, mereka memasang kembali borgol di tanganku. Kali ini, ia tak memberontak. Satu hidup, yang lain mati. Sehidup semati. 

***

Penjaga Langit 8

Penjaga Langit

undefined

Tahun 2145 M. Bumi mengalami penurunan massa secara cepat. Gravitasi menghilang sampai nyaris tak ada. Manusia membuat apartemen melayang yang mampu menyuplai medan elektromagnetik untuk bertahan dari benturan sekeliling. Kecuali para penjaga langit dan sulur-sulur raksasa penyerap sumber energi bumi yang tersisa, seluruh bentuk kehidupan tak lagi menjejak bumi.


“HEI! KURANGI KECEPATANMU!!”

Kedua remaja tanggung itu mengedip nakal dari balik helmnya dan melesat cepat melewati kami. Hoverboard yang mereka kendarai menyisakan berkas tipis yang menyebalkan. Beberapa detik kemudian, jauh di atas kami, kulihat mereka sedang menyusun formasi akrobatik yang rumit.

“Jangan hiraukan mereka.”

Aku berpaling dan menyeringai lemah pada partner jaga yang barusan menegurku. “Kenapa?”

“Dari desing halus hoverboard-nya, mereka pasti dari Level Satu.”

Level Satu. Uang. Kelicikan. Kebusukan.

Aku mendengus. Melirik sekali lagi pada mereka yang masih berputar-putar di atas. Privilege. 

Mencoba mengabaikan kejadian barusan, kusetel layar helm yang kukenakan. Kedipan lampu merah kecil di sudut kiri bawahnya membuatku mengumpat pelan.

“Ada apa? Kau tidak mengisi baterainya?”

Aku menggeleng. “Punya cadangan?”

Rekanku melayang mendekat, memasukkan kode-kode rumit di layar miliknya sendiri. “Kau berutang banyak padaku. Tidak ada tempat pengisian baterai di lapisan thermosfer.”

Belum sempat aku menjawabnya, kami berdua mendapatkan signal yang sama.

“Lihat!”

Aku mendongak, memastikan apa yang ditunjuk. Percuma, badai listrik dengan cepat menutup jalur pandang normal. Melayang lebih rendah menghindarinya, aku setengah berteriak membacakan voice command untuk mengaktifkan perisai pelindungku. Kulihat rekanku melakukan hal yang sama.

“Mereka masih di atas!”

Dua titik berkedip di layarku mengonfirmasi kebenarannya. Sekejap kemudian informasi tentang mereka muncul.

Oh. Tidak.

Salah satu dari mereka adalah anak Menteri Pertahanan. Rekanku mengirimkan rencana penyelamatan standar yang kusetujui. Baru saja aku melayang naik saat sebuah hoverboard tanpa pengendara menukik turun dan hampir menyambarku. Rekanku melesat mengejarnya. Aku sendiri mengubah arah dan segera terbang naik. Tanpa hoverboard, salah satu dari mereka sekarang bisa saja sudah tersedot keluar atmosfer.

ZZZZTTTT!!! ZZZZZTTTT!!!

Tubuhku kesemutan. Memaksakan perisai maksimum akan memakan energi dan itu hal terakhir yang ingin kuhadapi saat ini. Menahan napas, aku melakukan salto terbaikku selama berbulan-bulan terakhir, menghindari pusaran listrik yang terus menerjang.

Layarku kembali berkedip. Kali ini pesan suara yang masuk.

“TOLOOONG!!”

Perempuan? Aku memeriksa ulang data remaja yang tadi kuterima.

“Salah satu dari mereka adalah perempuan. Kuulangi, PEREMPUAN!”

Oh. Ini bagus sekali. Aku memaki dalam hati.

Infertilitas merupakan salah satu masalah besar dan petinggi bumi sudah menegaskan bahwa kematian seorang perempuan adalah bencana—dan bagi seorang penjaga batas bergaji rendah sepertiku, itu bisa berakibat buruk sekali.

“Bisakah kau kirim kode baterai tadi, mate?” Aku mengirim pesan.

Sederet kode masuk dan helmku mendengung seakan berterimakasih, bar hijau berpendar terang dan helmku kembali terasa bertenaga. Kuaktifkan perisai maksimal. “Aku akan menerobos!”

Rekanku mengirim persetujuan. Namun ia memperingatkanku.

LEVEL DUA BELAS.

Itu berarti aku akan memasuki wilayah tanpa jalur komunikasi dengan level di bawahku.

“Kau melihat mereka?!” 

Layarku memberi sinyal kosong. Aku memaksa terus naik menerobos pelangi mematikan yang berkeliaran.

“TOLOOONG!!”

Helmku segera mengirimkan lokasi asal pesan.

Di sana!

Kedua remaja itu berpelukan di dalam perisai maksimal yang dikeluarkan hoverboard mereka. Mereka melambai cepat melihat kedatanganku dan aku meluncur mendekat. “Aku penjaga batas, jangan panik! Hoverboard kalian akan segera dikirimkan.”

Saat itulah aku menyadari kedua remaja itu mengaktifkan mode escape-autopilot.

“Kalian akan kehabisan energi!! AP–APAA??!!!”

Hoverboard mereka ternyata dilengkapi sulur pengisap yang kini menodongku. “Tidak jika kau meminjamkan energimu.” Sulur melekat dan remaja itu mengedip dengan helm yang kini menyala hijau terang. “Bertahanlah, prajurit!!”

ZZZZTTTT!!!! ZZZZTTTTTTTTTTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!

******

Picture not mine, taken from here